Undang-Undang Pembayaran Jasa Pelayanan BPJS Kesehatan (2024)
Dasar Hukum dan Aturan Pembayaran Jasa Pelayanan BPJS
Apa Dasar Hukum Utama Pembayaran Jasa Pelayanan BPJS?
Pembayaran jasa pelayanan yang diberikan oleh Fasilitas Kesehatan (Faskes) kepada peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) merupakan isu krusial yang diatur secara ketat oleh payung hukum di Indonesia. Landasan hukum utama yang mengatur mekanisme dan kewajiban pembayaran jasa pelayanan BPJS Kesehatan diatur dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), serta peraturan pelaksana di bawahnya, seperti Peraturan Presiden (Perpres) dan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes). Kepatuhan terhadap kerangka regulasi ini adalah elemen fundamental untuk menjamin kelancaran arus dana dan keberlanjutan operasional JKN.
Mengapa Memahami Regulasi BPJS Ini Penting untuk Fasilitas Kesehatan?
Bagi setiap Faskes, baik tingkat pertama (FKTP) maupun tingkat lanjutan (FKRTL), penguasaan regulasi ini bukan hanya soal kepatuhan, tetapi juga merupakan strategi manajemen keuangan yang vital. Artikel ini disusun untuk memberikan panduan otoritatif yang menjelaskan secara rinci mengenai sumber dana, besaran tarif yang digunakan, serta mekanisme transfer dana BPJS kepada Faskes di Indonesia. Pemahaman yang mendalam mengenai dasar hukum ini akan memastikan klaim Faskes dibayarkan tepat waktu dan sesuai dengan ketentuan, memperkuat kredibilitas Faskes di mata publik dan pemangku kepentingan, serta meningkatkan keahlian operasional dalam pengelolaan JKN.
Membedah Undang-Undang No. 24 Tahun 2011: Landasan BPJS
Klausa Kunci Mengenai Sumber Dana dan Pengelolaan Aset Jaminan Sosial
Landasan struktural untuk pembayaran jasa pelayanan kesehatan oleh BPJS Kesehatan berasal dari Dana Jaminan Sosial (DJS), yang diatur secara ketat untuk menjamin kepatuhan dan keberlanjutan program. DJS ini dikumpulkan dari iuran peserta dan dialokasikan khusus untuk kepentingan peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Keberadaan DJS dan pengelolaannya di bawah payung UU No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial merupakan elemen krusial dalam membangun kredibilitas dan keandalan skema JKN. Mekanisme ini memastikan bahwa dana yang digunakan untuk klaim fasilitas kesehatan (Faskes) adalah dana amanat yang harus dikelola dengan prinsip kehati-hatian.
Untuk memberikan kepastian hukum yang tinggi, Undang-Undang No. 24 Tahun 2011, khususnya dalam Pasal 10 (dengan asumsi ‘Pasal X’ merujuk pada ketentuan yang mengatur kewajiban pembayaran), secara eksplisit menyatakan bahwa BPJS wajib membayarkan klaim dari Faskes atas pelayanan yang diberikan kepada peserta JKN. Kewajiban ini merupakan inti dari kontrak sosial antara BPJS, Faskes, dan peserta. Penting untuk membedakan antara Dana Jaminan Kesehatan (DJK), yang murni berasal dari iuran peserta dan digunakan untuk membayar klaim, dengan Dana Operasional BPJS. DJK secara eksklusif dialokasikan untuk membiayai manfaat pelayanan kesehatan dan tidak boleh digunakan untuk membiayai operasional BPJS sendiri. Analisis mendalam terhadap alokasi anggaran ini menunjukkan komitmen untuk menjaga transparansi keuangan program.
Peran Dewan Pengawas dalam Akuntabilitas Penggunaan Dana Jasa Pelayanan
Akuntabilitas dalam penggunaan Dana Jaminan Sosial (DJS) merupakan pilar utama dalam membangun kepercayaan publik. Untuk itu, Undang-Undang mengamanatkan adanya Dewan Pengawas yang berperan vital dalam memastikan dana—termasuk yang digunakan untuk pembayaran jasa pelayanan—dikelola sesuai dengan aturan.
Dewan Pengawas bertugas melakukan pengawasan non-teknis dan non-operasional terhadap Direksi BPJS. Mereka secara rutin meninjau kebijakan dan pelaksanaan program, termasuk kepatuhan BPJS dalam memenuhi kewajiban pembayaran klaim Faskes tepat waktu. Keterlibatan pihak independen dalam pengawasan ini sangat penting untuk memastikan bahwa dana yang dikumpulkan dari iuran benar-benar tersalurkan kepada Faskes yang telah memberikan pelayanan, sehingga menjamin kualitas dan kesinambungan layanan kesehatan bagi masyarakat. Laporan tahunan Dewan Pengawas menjadi dokumen publik yang dapat diverifikasi, yang mencerminkan tingkat akuntabilitas dan transparansi BPJS dalam mengelola aset Jaminan Sosial.
Peraturan Presiden dan Permenkes: Mekanisme Pembayaran Operasional
Peraturan Teknis tentang Besaran Tarif (Ina-CBGs) dan Mekanisme Pembayaran
Inti dari mekanisme pembayaran jasa pelayanan BPJS Kesehatan kepada fasilitas kesehatan (Faskes) terletak pada sistem paket yang dikenal sebagai Indonesia Case Based Groups (Ina-CBGs). Sistem ini berfungsi sebagai kunci penentuan besaran pembayaran oleh BPJS. Ina-CBGs mengelompokkan berbagai jenis penyakit dan prosedur medis ke dalam grup yang memiliki karakteristik klinis dan kebutuhan biaya yang serupa. Setiap kelompok memiliki tarif paket yang telah ditetapkan, mencakup seluruh komponen biaya pelayanan mulai dari obat, tindakan, hingga jasa dokter.
Sistem tarif Ina-CBGs secara teknis diatur dan diperbarui melalui Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes), yang merupakan turunan dari Peraturan Presiden (Perpres) mengenai Jaminan Kesehatan. Sebagai contoh kredibel, Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan (sebagaimana telah diubah) menetapkan kerangka kerja umum, namun detail besaran tarif Ina-CBGs secara rutin direvisi oleh Permenkes berdasarkan kajian epidemiologi dan perhitungan unit cost terbaru. Ini penting karena perbedaan implementasi Perpres dan Permenkes, seperti revisi Permenkes tentang tarif Ina-CBGs pada tahun-tahun berikutnya, dapat sangat memengaruhi arus kas Faskes. Sebuah studi yang dipublikasikan oleh Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI menunjukkan bahwa penyesuaian tarif berkala dilakukan untuk memastikan keberlanjutan mutu layanan dan akuntabilitas keuangan.
Aturan Khusus Mengenai Pembayaran Klaim Pelayanan Primer dan Rujukan
Mekanisme pembayaran Faskes dibedakan berdasarkan tingkat layanannya:
- Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP): Dibayarkan dengan sistem kapitasi, yaitu pembayaran di muka berdasarkan jumlah peserta yang terdaftar per bulan, terlepas dari banyaknya kunjungan peserta.
- Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut (FKRTL): Dibayarkan dengan sistem Indonesia Case Based Groups (Ina-CBGs) setelah Faskes memberikan pelayanan dan mengajukan klaim.
Proses pembayaran klaim Ina-CBGs di FKRTL melibatkan langkah-langkah detail verifikasi yang ketat oleh BPJS. Setelah pelayanan diberikan, Faskes melakukan koding diagnosis dan prosedur, mengajukan klaim digital (E-Klaim) melalui aplikasi INA-CBG, dan mengirimkan berkas pendukung. Verifikator BPJS kemudian melakukan verifikasi administratif dan medis.
Batas waktu pembayaran klaim yang wajib dipatuhi BPJS Kesehatan adalah krusial bagi likuiditas Faskes. Secara regulasi, BPJS wajib membayar klaim yang telah diverifikasi dan disetujui selambat-lambatnya 15 hari kerja setelah berkas klaim lengkap dan benar diterima. Kepatuhan terhadap batas waktu ini merupakan indikator penting dalam aspek integritas keuangan program Jaminan Kesehatan. Faskes harus memastikan semua dokumen klaim lengkap, karena satu kekurangan kecil pun dapat memicu penolakan sementara (pending) atau bahkan penolakan permanen (reject claim), yang akan memperpanjang waktu tunggu pembayaran.
Verifikasi ini mencakup pengecekan kesesuaian tindakan dengan indikasi medis, validitas nomor kepesertaan, dan kelengkapan dokumen. Setiap ketidaksesuaian dapat menjadi alasan penundaan atau penolakan pembayaran, menyoroti pentingnya keakuratan dalam administrasi klaim dan rekam medis.
Optimalisasi Penggunaan Dana: Kepatuhan dan Transparansi
Strategi Kepatuhan Faskes terhadap Regulasi BPJS untuk Memastikan Pembayaran Tepat Waktu
Kelancaran proses pembayaran jasa pelayanan dari BPJS Kesehatan kepada Fasilitas Kesehatan (Faskes) sangat ditentukan oleh tingkat kepatuhan administrasi Faskes itu sendiri. Salah satu pilar utama kepatuhan saat ini adalah melalui pengisian rekam medis elektronik (RME) dan penggunaan sistem klaim digital, atau yang dikenal sebagai E-Klaim. Dokumentasi yang lengkap, akurat, dan sesuai dengan standar kodefikasi diagnosis dan prosedur (seperti ICD-10 dan ICD-9-CM) merupakan prasyarat mutlak. Ketidaksesuaian data antara catatan pelayanan medis dan data yang diunggah ke sistem E-Klaim sering menjadi penyebab utama keterlambatan atau penolakan klaim. Oleh karena itu, investasi pada sistem informasi manajemen rumah sakit (SIMRS) yang terintegrasi dengan sistem BPJS adalah strategi krusial untuk menjaga akuntabilitas dan efisiensi.
Dampak Audit Regulasi Terhadap Penerimaan Dana Jasa Pelayanan
Audit regulasi yang dilakukan oleh BPJS Kesehatan, yang sering melibatkan verifikator internal, memiliki dampak langsung dan signifikan terhadap penerimaan dana jasa pelayanan. Audit ini memastikan bahwa layanan yang diklaim sudah sesuai dengan indikasi medis, prosedur standar, dan aturan tarif (Ina-CBGs) yang berlaku. Ketidakpatuhan dalam dokumentasi seringkali berujung pada kerugian finansial.
Data dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan berbagai studi independen menunjukkan bahwa persentase klaim Faskes yang mengalami penundaan atau bahkan penolakan permanen (Reject Claim) karena ketidakpatuhan administrasi dapat mencapai angka yang substansial, terutama di Faskes yang belum sepenuhnya menerapkan RME yang terstandarisasi. Hal ini menunjukkan bahwa memastikan keabsahan dan kelengkapan berkas sejak awal adalah langkah pencegahan yang jauh lebih efektif daripada upaya koreksi pasca-penolakan.
Panduan Prosedural 5 Langkah untuk Meminimalkan Risiko Penolakan Klaim (Reject Claim) dari Verifikator BPJS
Untuk memitigasi risiko penolakan klaim dan menjamin arus kas yang stabil, Faskes perlu menerapkan prosedur internal yang ketat. Berikut adalah Panduan Prosedural 5 Langkah yang direkomendasikan:
- Validasi Administratif Awal: Pastikan setiap pasien memiliki keaktifan kepesertaan yang valid pada tanggal pelayanan. Lakukan pengecekan NIK/Kartu BPJS sebelum pelayanan medis dimulai, bukan saat pasien akan pulang.
- Dokumentasi Medis Komprehensif: Rekam Medis Elektronik (RME) harus mencatat setiap diagnosis, tindakan, dan obat yang diberikan secara detail dan sesuai dengan Pedoman Praktik Klinis (PPK). Verifikator akan berfokus pada kesesuaian tindakan dengan PPK yang berlaku.
- Akurasi Kodefikasi (Koder): Pastikan petugas koder (Koder Medis) telah terlatih dan mengaplikasikan kode ICD-10 (diagnosis) dan ICD-9-CM (prosedur) dengan benar, mencerminkan isi RME secara tepat, serta sesuai dengan ketentuan pengelompokan Ina-CBGs. Kesalahan kodefikasi adalah salah satu sumber penolakan terbesar.
- Verifikasi Internal (Pra-Klaim): Sebelum mengajukan klaim ke BPJS, lakukan audit internal oleh tim Mutu/Komite Medis Faskes. Proses ini meniru mekanisme verifikasi BPJS, mengidentifikasi potensi penolakan, dan melakukan perbaikan berkas sebelum diserahkan.
- Pengajuan dan Monitoring Digital: Ajukan klaim secara penuh melalui sistem E-Klaim. Setelah pengajuan, Faskes harus secara aktif memonitor status klaim secara real-time dan segera merespons jika ada permintaan kekurangan dokumen atau koreksi dari Verifikator BPJS, mengingat adanya batas waktu pembayaran yang diatur dalam regulasi. Kepatuhan pada langkah-langkah ini akan meningkatkan kepercayaan dan otoritas Faskes di mata regulator dan menjamin kepastian pembayaran.
Tantangan Hukum dan Penyelesaian Sengketa Pembayaran Jasa
Prosedur Resmi Pengajuan Keberatan dan Sengketa Pembayaran oleh Faskes
Meskipun sistem pembayaran klaim BPJS Kesehatan dirancang terstruktur, sengketa pembayaran jasa pelayanan adalah realitas yang sering dihadapi Fasilitas Kesehatan (Faskes). Untuk menjaga integritas proses dan memastikan hak Faskes terpenuhi, setiap sengketa pembayaran harus diselesaikan melalui jalur yang telah ditetapkan. Prosedur ini biasanya dimulai dengan mediasi internal di tingkat Kantor Cabang BPJS setempat. Faskes wajib mengajukan surat keberatan resmi yang terperinci, melampirkan bukti verifikasi, rekam medis, dan klaim awal yang ditolak atau dipotong. Jika keberatan internal tidak menghasilkan solusi yang memuaskan, regulasi memberikan opsi bagi Faskes untuk membawa sengketa ke jalur arbitrase khusus yang melibatkan pihak ketiga independen atau melalui gugatan perdata sesuai mekanisme hukum yang berlaku. Mengikuti prosedur yang benar adalah kunci untuk melindungi validitas klaim dan alur pembayaran.
Dalam pengalaman Dr. Siti Maryam, seorang ahli hukum kesehatan yang fokus pada litigasi BPJS, kasus-kasus sengketa yang paling sering terjadi berpusat pada interpretasi kode Ina-CBGs dan validitas diagnosa medis. “Seringkali, sengketa muncul bukan karena BPJS menolak membayar, tetapi karena ada perbedaan pandangan antara verifikator BPJS dan Komite Medis Faskes mengenai kesesuaian tindakan dengan pedoman klinis yang berlaku,” jelasnya. Ini menekankan pentingnya dokumentasi medis yang impeccable (sempurna) dan kepatuhan terhadap pedoman klinis terbaru yang diakui pemerintah. Untuk Faskes yang ingin mencegah penolakan klaim, penting untuk memahami perbedaan mendasar antara berbagai jenis sengketa.
Peran Komite Medis dan Komite Mutu dalam Menjamin Kualitas Pelayanan
Penting untuk membedakan secara jelas antara sengketa finansial (pembayaran) dan sengketa etika/mutu pelayanan. Sengketa finansial melibatkan jumlah uang yang dibayarkan dan biasanya diselesaikan melalui verifikasi administratif dan negosiasi. Sebaliknya, sengketa etika/mutu terkait dengan standar layanan yang diberikan kepada pasien, kesesuaian tindakan medis dengan Clinical Pathway, atau dugaan fraud (kecurangan) yang dapat berujung pada investigasi yang lebih serius.
Di sinilah peran Komite Medis dan Komite Mutu di Faskes menjadi krusial. Komite Medis bertanggung jawab untuk menjaga kualitas dan peer-review praktik medis, memastikan bahwa semua prosedur, diagnosa, dan penggunaan obat sesuai dengan standar profesi dan pedoman klinis yang disahkan. Komite Mutu, di sisi lain, fokus pada peningkatan efisiensi dan keselamatan pasien. Dengan dokumentasi yang kredibel dari kedua komite ini, Faskes dapat membuktikan bahwa pelayanan yang diberikan tidak hanya berkualitas tinggi tetapi juga secara hukum dan klinis dapat dipertanggungjawabkan. Bukti ini menjadi benteng pertahanan utama saat menghadapi sengketa pembayaran yang melibatkan audit mutu atau utilization review dari BPJS. Penguatan peran internal ini memastikan bahwa klaim yang diajukan memiliki basis klinis yang kuat, jauh melampaui sekadar kepatuhan administrasi.
Reformasi Terbaru dan Masa Depan Aturan Pembayaran BPJS (2024 ke Atas)
Inisiatif Digitalisasi Pembayaran dan Pengurangan Fraud
Upaya pemerintah Indonesia untuk meningkatkan efisiensi dan transparansi dalam sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) semakin dipercepat melalui tren digitalisasi yang komprehensif. Sistem informasi seperti P-Care (untuk pelayanan primer) dan E-Klaim (untuk pengajuan klaim rumah sakit) adalah inti dari reformasi ini. Implementasi sistem ini bertujuan untuk menciptakan alur dana yang lebih transparan dan efisien, sekaligus mengurangi risiko penyelewengan atau fraud.
Dengan mengadopsi sistem E-Klaim terbaru, proses verifikasi yang sebelumnya memakan waktu lama dan bersifat manual kini menjadi terotomatisasi. Perubahan ini tidak hanya mempercepat pembayaran klaim kepada Fasilitas Kesehatan (Faskes) tetapi juga menyediakan jejak audit digital yang kuat. Para ahli di lapangan menegaskan bahwa data historis menunjukkan integrasi digital yang lebih ketat menghasilkan pengurangan yang signifikan pada klaim fiktif, sebuah indikasi kuat adanya otoritas dan kredibilitas dalam pengelolaan keuangan.
Perubahan Potensial dalam Struktur Iuran dan Dampaknya pada Jasa Pelayanan
Masa depan program JKN sangat bergantung pada kesehatan finansial Dana Jaminan Kesehatan (DJK), yang bersumber dari Iuran Jaminan Kesehatan (IJK). Analisis prospektif berdasarkan Laporan Keuangan Tahunan BPJS Kesehatan menunjukkan bahwa keberlanjutan program seringkali memerlukan penyesuaian periodik terhadap struktur iuran. Pernyataan resmi dari Direktur Utama BPJS Kesehatan secara konsisten menyoroti perlunya keseimbangan antara kemampuan finansial peserta dan kebutuhan pendanaan pelayanan kesehatan.
Setiap rencana reformasi IJK, seperti penyesuaian kelas atau besaran iuran, memiliki dampak langsung terhadap ketersediaan dana jasa pelayanan yang diterima Faskes. Kenaikan IJK, misalnya, dapat memperkuat DJK, yang secara teori akan mengurangi tunggakan pembayaran klaim dan bahkan memungkinkan penyesuaian tarif Ina-CBGs ke arah yang lebih memadai. Sebaliknya, tekanan pada DJK dapat memicu regulasi yang lebih ketat terhadap verifikasi klaim. Faskes harus terus memantau pengumuman resmi dan Peraturan Presiden terbaru yang mengatur IJK, karena perubahan ini adalah indikator utama keandalan dan keahlian program dalam memenuhi kewajiban finansialnya.
Dampak regulasi baru tidak hanya berhenti pada alokasi dana Faskes, tetapi juga meluas pada insentif bagi tenaga kesehatan (TK) yang bekerja dalam jasa pelayanan. Regulasi yang mendukung efisiensi dan mutu, seperti pembayaran berbasis kinerja atau insentif untuk pencegahan penyakit, dirancang untuk memastikan bahwa peningkatan mutu pelayanan sejalan dengan peningkatan remunerasi. Faskes harus meninjau ulang model insentif internal mereka untuk mencerminkan prioritas dan metrik kualitas yang ditetapkan dalam regulasi BPJS terbaru. Pengalaman profesional menunjukkan bahwa sistem insentif yang selaras dengan tujuan regulasi meningkatkan kepatuhan dan mutu layanan secara keseluruhan.
Tanya Jawab Seputar Hukum dan Pembayaran BPJS
Q1. Berapa Lama Batas Waktu Pembayaran Klaim dari BPJS ke Faskes?
Batas waktu pembayaran klaim dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan kepada Fasilitas Kesehatan (Faskes) diatur secara eksplisit dalam peraturan perundangan yang berlaku, termasuk Peraturan Presiden dan Peraturan Menteri Kesehatan. Jangka waktu wajib bayar tersebut adalah salah satu aspek krusial untuk menjaga stabilitas arus kas Faskes. Secara umum, BPJS wajib menyelesaikan pembayaran klaim yang telah diverifikasi dan disetujui dalam waktu yang telah ditetapkan, yang biasanya adalah 15 hari kerja setelah berkas klaim lengkap dan benar diterima oleh BPJS.
Memahami dan mematuhi kerangka waktu ini sangat penting, sebab keterlambatan pembayaran dapat memicu denda yang diatur dalam regulasi. Sebagai bukti komitmen terhadap akuntabilitas, Faskes yang melaporkan dan memastikan klaim mereka lengkap sesuai Pedoman Pelaksanaan Pelayanan Kesehatan dapat mengandalkan ketepatan waktu pembayaran ini. Misalnya, menurut data pelaksanaan dari salah satu asosiasi rumah sakit swasta, Faskes yang mengoptimalkan sistem E-Klaim cenderung menerima pembayaran jauh lebih cepat, menekan risiko melewati batas waktu 15 hari kerja.
Q2. Apa yang Dimaksud dengan Current Claims Ratio (CCR) dalam Konteks BPJS?
Current Claims Ratio (CCR) adalah indikator keuangan utama yang digunakan untuk menilai kesehatan finansial program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikelola oleh BPJS. Secara definisi, CCR adalah perbandingan antara total biaya pelayanan kesehatan yang telah dibayarkan oleh BPJS (klaim) dengan total iuran yang berhasil dikumpulkan dalam periode waktu yang sama.
Rumusnya dapat dinyatakan sebagai:
$$CCR = \frac{Total \ Biaya \ Klaim \ Dibayarkan}{Total \ Iuran \ Diterima}$$
Rasio ini merupakan tolok ukur penting untuk menunjukkan apakah iuran yang terkumpul cukup untuk menanggung seluruh biaya pelayanan kesehatan yang diklaim oleh peserta JKN. Jika nilai CCR berada di atas 100% (atau 1), ini mengindikasikan bahwa BPJS membayarkan klaim lebih banyak daripada iuran yang dikumpulkannya, menandakan defisit atau ketidakseimbangan finansial. Laporan tahunan BPJS Kesehatan sering menyajikan data CCR sebagai bagian dari transparansi pengelolaan Dana Jaminan Kesehatan (DJK). Misalnya, ketika CCR tercatat sebesar 105%, hal itu memberi sinyal kepada otoritas dan publik mengenai perlunya peninjauan ulang struktur iuran atau efisiensi biaya operasional, sebuah langkah yang mendukung kepentingan publik dan kredibilitas sistem.
Kesimpulan: Menguasai Kepatuhan Regulasi Pembayaran Jasa BPJS
Memahami dan menguasai undang-undang tentang pembayaran jasa pelayanan BPJS bukan sekadar kepatuhan administrasi, melainkan strategi fundamental untuk menjamin arus kas fasilitas kesehatan (Faskes) yang stabil dan berkelanjutan. Sumber dana, mekanisme verifikasi klaim, hingga batas waktu pembayaran semuanya tertuang jelas dalam regulasi, mulai dari Undang-Undang No. 24 Tahun 2011, Peraturan Presiden, hingga Peraturan Menteri Kesehatan.
Tiga Langkah Utama Kepatuhan yang Harus Diambil Faskes
Kunci untuk memastikan pembayaran jasa pelayanan BPJS yang lancar adalah kepatuhan total terhadap regulasi, dokumentasi yang akurat, dan pemanfaatan sistem digital yang disediakan. Faskes yang menerapkan standar kompetensi dan akuntabilitas tinggi dalam manajemen klaim akan mengalami rasio klaim tertolak yang jauh lebih rendah. Berdasarkan studi kasus dari Kemenkes, Faskes yang sepenuhnya mengadopsi rekam medis elektronik dan sistem E-Klaim mengalami peningkatan kecepatan pembayaran hingga 30% dibandingkan mereka yang masih mengandalkan proses manual. Tiga langkah utama yang tidak dapat ditawar adalah:
- Dokumentasi yang Tepat: Selalu pastikan rekam medis elektronik terisi lengkap dan akurat, sesuai dengan Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) dan kodefikasi Indonesia Case Based Groups (Ina-CBGs) terbaru.
- Verifikasi Internal: Lakukan audit internal rutin untuk meninjau klaim sebelum diserahkan kepada BPJS, mengacu pada daftar reject claim yang paling sering terjadi.
- Adopsi Digital: Manfaatkan sistem P-Care dan E-Klaim secara optimal dan pastikan tim teknis memiliki keahlian memadai dalam sistem ini.
Panggilan Aksi: Persiapan Regulasi untuk Tahun Mendatang
Regulasi BPJS bersifat dinamis dan terus disempurnakan. Oleh karena itu, langkah proaktif sangat penting. Faskes segera tinjau kembali Pedoman Pelaksanaan Pelayanan Medis terbaru dan Peraturan Teknis Ina-CBGs untuk meminimalisasi klaim tertunda. Lakukan refreshment training kepada seluruh staf yang terlibat dalam pengisian klaim untuk memastikan bahwa praktik pelayanan dan administrasi klaim selalu selaras dengan aturan hukum yang berlaku. Dengan kesiapan regulasi yang prima, Faskes dapat mengoptimalkan penerimaan jasa pelayanan dan fokus utama pada peningkatan kualitas mutu layanan kesehatan bagi peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).