Panduan Lengkap Tata Cara Pembayaran Pengadaan Barang/Jasa

Memahami Tata Cara Pembayaran Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah

Apa Itu Pembayaran Pengadaan Barang/Jasa dan Mengapa Ini Krusial?

Pembayaran dalam konteks pengadaan barang/jasa adalah serangkaian proses administrasi keuangan negara yang sangat terstruktur. Proses ini memastikan bahwa alokasi anggaran, baik dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) maupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), dicairkan dan disalurkan kepada penyedia sesuai dengan isi kontrak yang sah. Mekanisme utamanya melibatkan penerbitan Surat Perintah Membayar (SPM) dan Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D). Pemahaman yang mendalam tentang prosedur ini sangat penting karena pembayaran yang tepat waktu dan akuntabel adalah penentu keberhasilan implementasi program pemerintah dan memastikan siklus fiskal berjalan lancar.

Jaminan Kualitas dan Kepatuhan dalam Pembayaran

Artikel ini dirancang sebagai panduan komprehensif, mengupas tuntas setiap tahapan kritis dalam proses pencairan dana. Ini dimulai dari inisiasi pengajuan Surat Permintaan Pembayaran (SPP) oleh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) hingga puncak prosesnya, yaitu penerbitan Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D) oleh Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN). Prosedur yang akan dijelaskan berpegang teguh pada prinsip-prinsip Keahlian dan Keandalan (seperti yang diatur dalam regulasi perbendaharaan negara) untuk meminimalkan risiko penyimpangan dan memastikan setiap rupiah yang dibayarkan didukung oleh bukti pekerjaan yang valid.

Struktur Kunci dalam Proses Pembayaran: Aktor dan Dokumen Wajib

Peran Pejabat Penandatangan Surat Perintah Membayar (PPSPM) dan PPK

Proses pembayaran pengadaan barang dan jasa pemerintah adalah rangkaian otorisasi yang melibatkan peran kunci dari dua pejabat utama: Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan Pejabat Penandatangan Surat Perintah Membayar (PPSPM). PPK adalah pihak yang bertanggung jawab secara substansi atas pelaksanaan kontrak, termasuk memastikan bahwa barang/jasa telah diterima dengan baik. Setiap pembayaran wajib didasarkan pada Berita Acara Serah Terima (BAST) pekerjaan yang ditandatangani oleh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK). BAST ini merupakan bukti legal dan fisik bahwa pekerjaan telah selesai dan diterima sesuai spesifikasi kontrak, menjadikannya fondasi dari seluruh proses pembayaran.

Sementara PPK fokus pada aspek teknis dan penerimaan pekerjaan, PPSPM bertanggung jawab atas aspek administrasi keuangan negara. Setelah menerima dokumen tagihan yang divalidasi oleh PPK, PPSPM bertugas untuk menguji dan memverifikasi kelengkapan dokumen pendukung serta keabsahan permintaan pembayaran. Dalam menjalankan tugas ini, PPSPM menjamin kepatuhan terhadap regulasi perbendaharaan yang berlaku. Sebagai jaminan keandalan dalam proses pengeluaran negara, alur otorisasi pembayaran ini telah distandardisasi dan diatur melalui bagan alir (flowchart) proses otorisasi pembayaran yang diresmikan oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP), memastikan setiap langkah memenuhi prinsip akuntabilitas dan transparansi.

Dokumen Dasar Pembayaran: Kontrak, BAST, dan SPP

Proses pencairan dana diawali dengan adanya dasar hukum dan administratif yang kuat. Dokumen dasar utama adalah Kontrak atau Surat Perintah Kerja (SPK) yang menjadi landasan nilai dan lingkup pekerjaan. Setelah pekerjaan selesai, penerbitan BAST menjadi penanda dimulainya proses administrasi pembayaran. BAST ini kemudian menjadi lampiran utama dalam Surat Permintaan Pembayaran (SPP) yang disusun oleh PPK. SPP adalah dokumen formal yang diajukan oleh PPK kepada PPSPM untuk meminta pembayaran tagihan.

Setelah SPP lengkap dan diuji kebenarannya, PPSPM akan menerbitkan Surat Perintah Membayar (SPM). SPM merupakan dokumen krusial yang diajukan oleh PPSPM ke Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) sebagai instruksi resmi untuk mencairkan dana dari Rekening Kas Umum Negara (RKUN) ke rekening penyedia. Tanpa SPM yang sah, KPPN tidak dapat memproses pencairan. Kelengkapan dan kebenaran formal SPM adalah penentu kecepatan dan ketepatan pembayaran. KPPN kemudian akan memproses SPM menjadi Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D), yang merupakan otorisasi akhir untuk mentransfer dana.

Mekanisme Pembayaran: Uang Persediaan vs. Pembayaran Langsung (UP dan LS)

Dalam tata cara pembayaran pengadaan barang dan jasa, terdapat dua mekanisme utama yang digunakan untuk mencairkan anggaran, yaitu Uang Persediaan (UP) dan Pembayaran Langsung (LS). Pemilihan mekanisme yang tepat sangat bergantung pada nilai transaksi, jenis belanja, dan urgensi pembayaran, yang semuanya diatur ketat untuk memastikan akuntabilitas.

Tata Cara Penggunaan dan Pertanggungjawaban Uang Persediaan (UP)

Uang Persediaan (UP) adalah uang muka kerja dari Bendahara Umum Negara (BUN) yang disalurkan kepada Bendahara Pengeluaran satuan kerja. Sesuai dengan regulasi perbendaharaan, pembayaran UP ini secara spesifik ditujukan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran yang sifatnya mendesak atau tidak dapat dilakukan melalui mekanisme Pembayaran Langsung.

Pengeluaran yang menggunakan UP biasanya memiliki nilai yang relatif kecil per transaksi. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) terbaru yang mengatur pelaksanaan APBN, terdapat batasan nilai maksimal untuk setiap pembayaran yang dapat menggunakan UP. Meskipun detail persentase dan nilai maksimal dapat bervariasi tergantung jenis kementerian/lembaga dan wilayah (misalnya, satker di luar Jawa-Bali mendapatkan persentase yang sedikit lebih tinggi), tujuannya tetap sama: mempermudah pengeluaran operasional sehari-hari yang nilainya berada di bawah batas tertentu.

Pertanggungjawaban UP dilakukan secara berkala melalui mekanisme Surat Permintaan Pembayaran Ganti Uang Persediaan (SPP-GU) yang harus diajukan untuk mengisi kembali (revolving) dana UP yang telah terpakai. Proses ini membutuhkan bukti-bukti pengeluaran yang lengkap dan sah, menegaskan komitmen pemerintah terhadap keahlian dan keandalan dalam pengelolaan dana operasional.

Kapan Memilih Pembayaran Langsung (LS) dan Jenis-jenisnya

Sebaliknya, Pembayaran Langsung (LS) adalah mekanisme yang wajib dipilih untuk semua pengadaan barang/jasa dengan nilai yang tergolong besar. Pembayaran LS dilakukan langsung dari Kas Negara (melalui KPPN) kepada pihak ketiga (Penyedia Barang/Jasa) atau kepada Bendahara Pengeluaran untuk pembayaran tertentu, bukan melalui perantara Uang Persediaan.

Kewajiban penggunaan Pembayaran LS mencakup dua kategori utama:

  1. Pengadaan Nilai Besar: Pembayaran untuk kontrak-kontrak pengadaan barang/jasa yang nilainya melebihi batasan yang ditetapkan untuk penggunaan UP.
  2. Pembayaran Khusus: Pembayaran yang sifatnya rutin dan masif seperti gaji, tunjangan, dan honorarium pegawai. Pembayaran ini harus dilakukan secara LS ke rekening masing-masing penerima untuk menjamin transparansi dan ketepatan jumlah.

Untuk memastikan kepatuhan terhadap regulasi perbendaharaan terkini, penting untuk merujuk pada ketentuan PMK yang berlaku. Sebagai contoh perbandingan, dalam praktik pengelolaan APBN, persentase toleransi UP ditetapkan sebagai nilai maksimal yang boleh dikelola oleh satker, dengan penentuan yang didasarkan pada besaran pagu belanja dan kriteria efisiensi. Sementara itu, batasan nilai LS secara efektif mencakup semua transaksi yang melebihi batas pembayaran UP. Dengan merujuk pada dasar hukum yang berlaku (seperti PMK Nomor 190/PMK.05/2012 tentang Tata Cara Pembayaran dalam Rangka Pelaksanaan APBN, dan perubahannya), para pelaku pengadaan dapat secara tepat membedakan dan menerapkan mekanisme pembayaran, yang merupakan aspek krusial dari praktik pengelolaan yang terpercaya di lingkungan pemerintah.

Langkah Detail Pengajuan Pembayaran LS: Dari Tagihan hingga SP2D

Proses pembayaran Langsung (LS) adalah mekanisme paling formal dan terstruktur dalam tata cara pembayaran pengadaan barang dan jasa, dirancang untuk memastikan akuntabilitas penuh pada pengeluaran bernilai besar. Mekanisme ini melibatkan tiga tahap utama yang melibatkan tiga aktor kunci: PPK, PPSPM, dan KPPN. Memahami alur kerja ini sangat penting untuk menjamin kelancaran dan ketepatan waktu pencairan dana.

Tahap I: Pengujian Tagihan dan Penerbitan SPP-LS oleh PPK

Tahap awal dimulai ketika penyedia barang/jasa mengajukan tagihan resmi kepada Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) setelah pekerjaan dinyatakan selesai atau mencapai termin tertentu yang disepakati. PPK bertanggung jawab penuh untuk menguji keabsahan dan kelengkapan tagihan tersebut. Pengujian ini mencakup verifikasi fisik pekerjaan melalui Berita Acara Serah Terima (BAST) dan pemeriksaan dokumen pendukung kontrak.

Setelah tagihan diverifikasi kebenarannya, PPK wajib menerbitkan Surat Permintaan Pembayaran Langsung (SPP-LS). Dokumen ini menjadi dasar formal permintaan pencairan dana. Penting untuk dicatat bahwa SPP-LS harus dilengkapi dengan faktur pajak dan bukti setor pajak/PNBP yang telah dipotong. Kepatuhan pada aturan perpajakan ini adalah prasyarat mutlak sebelum dana dapat dicairkan. Kelengkapan dokumen pada tahap ini menentukan kecepatan proses di tahap selanjutnya.

Tahap II: Verifikasi Dokumen dan Penerbitan SPM-LS oleh PPSPM

Setelah SPP-LS dan seluruh lampiran disahkan oleh PPK, dokumen tersebut kemudian diserahkan kepada Pejabat Penandatangan Surat Perintah Membayar (PPSPM). Peran PPSPM adalah sebagai gatekeeper keuangan yang melakukan verifikasi dokumen secara administratif dan substantif.

PPSPM memeriksa kesesuaian jumlah yang diminta dengan pagu anggaran yang tersedia dalam DIPA, memastikan keabsahan tanda tangan pejabat, dan memverifikasi kelengkapan bukti-bukti pendukung, termasuk bukti setor pajak. Apabila semua dokumen dinyatakan lengkap dan benar, PPSPM akan menerbitkan Surat Perintah Membayar Langsung (SPM-LS). SPM-LS inilah yang menjadi perintah resmi kepada Bendahara Umum Negara (BUN) melalui KPPN untuk mencairkan dana. Penerbitan SPM oleh PPSPM didasarkan pada keahlian dan ketelitian dalam menguji setiap detail dokumen keuangan, sebuah praktik yang selaras dengan prinsip keandalan operasional dalam administrasi keuangan negara.

Tahap III: Pencairan Dana di KPPN Melalui SP2D

SPM-LS yang telah ditandatangani oleh PPSPM kemudian diajukan ke Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) sebagai representasi BUN di daerah. Proses pengajuan ke KPPN saat ini sepenuhnya dilakukan secara elektronik melalui Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara (SPAN).

Sebagai platform digital utama yang dioperasikan oleh Kementerian Keuangan, SPAN adalah infrastruktur yang menjamin transparansi, kecepatan, dan akuntabilitas dalam seluruh proses pencairan dana APBN. Ketika SPM diterima oleh SPAN, KPPN melakukan pengujian akhir secara otomatis dan manual. Pengujian ini memastikan tidak ada duplikasi pembayaran, ketersediaan dana, dan keabsahan data supplier (penyedia).

Berdasarkan peraturan perbendaharaan yang berlaku, KPPN memiliki waktu maksimal 2 hari kerja untuk menerbitkan SP2D (Surat Perintah Pencairan Dana) sejak diterimanya SPM yang lengkap dan benar. SP2D adalah dokumen akhir yang menjadi otorisasi bagi bank mitra KPPN untuk memindahkan dana dari Rekening Kas Negara langsung ke rekening penyedia barang/jasa (pembayaran LS). Kecepatan proses ini didukung oleh integrasi sistem digital dan didasarkan pada tingkat kepercayaan dan otoritas KPPN sebagai pelaksana perbendaharaan negara.

Strategi Peningkatan Kepatuhan dan Transparansi dalam Pengadaan

Untuk menjamin alokasi anggaran negara yang efisien dan akuntabel, kepatuhan terhadap prosedur pembayaran bukanlah sekadar formalitas, melainkan inti dari tata kelola keuangan yang baik. Peningkatan Keahlian dan Keandalan dalam setiap tahapan proses pembayaran adalah vital, sebab kesalahan kecil dapat memicu audit yang rumit atau penundaan pencairan dana.

Pentingnya Dokumen Pendukung yang Akurat untuk Audit

Sistem pembayaran pengadaan pemerintah dirancang untuk menjadi jalur yang transparan, dan transparansi ini diukur dari seberapa baik entitas melaksanakan tugas pelaporan dan pengarsipan mereka. Transparansi dalam pembayaran tidak hanya dilihat dari keterbukaan proses, tetapi juga dari ketepatan waktu dan pelaporan yang sesuai standar akuntansi pemerintahan (SAP). Kepatuhan terhadap SAP memastikan setiap transaksi dicatat dengan benar, yang pada gilirannya mempermudah proses audit. Misalnya, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) secara konsisten menekankan bahwa keabsahan setiap pengeluaran sangat bergantung pada kelengkapan dan keakuratan seluruh dokumen sumber—mulai dari kontrak, Berita Acara Serah Terima (BAST), hingga bukti-bukti pemotongan pajak. Untuk mencapai predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), entitas harus menunjukkan bahwa praktik pembayaran yang dilakukan telah memenuhi kriteria Keahlian dan Keandalan yang ditetapkan oleh lembaga pengawasan seperti BPK dan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP).

Menghindari Penolakan SPM: Fokus pada Kelengkapan dan Kebenaran Formal

Proses pengajuan Surat Perintah Membayar (SPM) adalah pintu gerbang akhir menuju pencairan dana di Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN), dan penolakan pada tahap ini seringkali disebabkan oleh kelalaian yang sebenarnya dapat dihindari. Salah satu alasan paling umum penolakan SPM adalah ketidaksesuaian antara jumlah yang diminta dengan pagu anggaran (DIPA) yang tersedia. Satuan kerja wajib memastikan bahwa setiap sen yang diajukan sudah dianggarkan dan ketersediaan dananya telah diverifikasi sebelum SPM dikirim ke KPPN.

Untuk memastikan SPM diterima dan diproses dengan cepat, fokus harus diletakkan pada kelengkapan dan kebenaran formal dokumen pendukung. Hal ini mencakup:

  • Verifikasi Pagu Anggaran: Memastikan kode mata anggaran yang digunakan sesuai dengan alokasi DIPA.
  • Kebenaran Penghitungan: Memeriksa ulang total tagihan, pemotongan pajak (PPN, PPh), dan denda keterlambatan (jika ada).
  • Kesesuaian Dokumen Inti: Memastikan bahwa semua dokumen esensial seperti BAST, kuitansi, faktur pajak, dan Surat Perjanjian/Kontrak (SPK) memiliki data yang konsisten dan ditandatangani oleh pejabat yang berwenang (PPK dan PPSPM).

Kesalahan formal, seperti salah penulisan tanggal atau ketidaksesuaian cap/tanda tangan, dapat secara otomatis memicu penolakan oleh KPPN. Pengelola keuangan yang menguasai secara detail Peraturan Menteri Keuangan (PMK) terkait perbendaharaan akan mampu memitigasi risiko penolakan ini, menunjukkan Keahlian dan Keandalan dalam operasional harian. Dengan mengadopsi standar praktik terbaik yang sering direkomendasikan LKPP, yaitu membangun checklist verifikasi dokumen yang ketat sebelum diajukan, entitas dapat secara signifikan meningkatkan efisiensi proses pembayaran mereka.

Pembayaran Khusus: Termin, Retensi, dan Pembayaran Multitahun

Pembayaran dalam pengadaan barang/jasa tidak selalu berupa pelunasan tunggal (100%) setelah pekerjaan selesai. Untuk proyek yang kompleks, membutuhkan waktu lama, atau melibatkan risiko tertentu, Pemerintah menggunakan skema pembayaran khusus, yaitu pembayaran termin, retensi, dan kontrak tahun jamak (multitahun). Memahami prosedur ini adalah kunci bagi penyedia barang/jasa untuk memastikan arus kas yang lancar dan kepatuhan terhadap kontrak.

Perhitungan dan Prosedur Pembayaran Termin (Angsuran)

Pembayaran termin adalah pembayaran angsuran yang diberikan kepada penyedia berdasarkan progres penyelesaian pekerjaan fisik di lapangan. Mekanisme ini dirancang untuk membantu penyedia menjaga likuiditas selama proyek berlangsung. Pembayaran termin hanya dapat dilakukan setelah capaian fisik pekerjaan telah diverifikasi dan disahkan oleh pengawas dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK).

Verifikasi ini sangat penting. Pengawas wajib membuat laporan progres yang akurat, dan PPK yang memegang wewenang otorisasi harus menguji kebenaran laporan tersebut sebelum menerbitkan Surat Permintaan Pembayaran Langsung (SPP-LS) termin. Tanpa Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Progres Fisik yang ditandatangani, PPK tidak memiliki dasar hukum untuk memproses pembayaran.

Contoh Perhitungan Progres Pembayaran Termin:

Sebagai contoh praktis dari prosedur yang diakui, anggaplah sebuah proyek konstruksi. Untuk pengajuan pembayaran termin ketiga yang disepakati untuk progres 60%, penyedia harus melampirkan bukti bahwa pekerjaan fisik telah mencapai setidaknya 60% (misalnya, laporan BAP yang memverifikasi progres 60,5%). Jika pembayaran termin sebelumnya (Termin 1: 20%, Termin 2: 40%) telah dilunasi, maka pembayaran termin ketiga ini akan mencairkan sisa tagihan untuk progres 60% dikurangi total pembayaran termin sebelumnya (60% - 40% = 20% dari nilai kontrak). Konsistensi dalam verifikasi progres ini menunjukkan keahlian dan keandalan dalam tata kelola pengadaan.

Aturan Pencairan Jaminan Pemeliharaan dan Dana Retensi

Dana retensi adalah bagian dari nilai kontrak yang ditahan oleh pihak Pemerintah dan tidak dibayarkan kepada penyedia hingga masa pemeliharaan selesai. Kebijakan ini merupakan bentuk jaminan pemeliharaan yang melindungi Pemerintah dari kerusakan atau kekurangan yang mungkin muncul setelah serah terima pekerjaan.

Secara umum, dana retensi ditetapkan sebesar 5% dari nilai kontrak. Dana ini baru dapat dicairkan setelah masa pemeliharaan yang telah ditetapkan dalam kontrak (umumnya berkisar 3 hingga 6 bulan untuk pekerjaan konstruksi) berakhir, dan penyedia telah menyerahkan kembali pekerjaan dalam kondisi sempurna, dibuktikan dengan Berita Acara Serah Terima Akhir (BAST-Akhir/PHO). Alternatifnya, penyedia dapat memilih untuk menerima pembayaran 100% di awal asalkan menyerahkan Jaminan Pemeliharaan dari bank atau lembaga keuangan yang disetujui, senilai 5% dari nilai kontrak, yang akan dikembalikan setelah masa pemeliharaan berakhir. Pengelolaan retensi yang ketat ini menunjukkan komitmen terhadap standar akuntabilitas yang tinggi.

Tanya Jawab Seputar Pengadaan: Masalah Pembayaran yang Sering Muncul

Q1. Berapa lama batas waktu maksimal KPPN memproses SPM menjadi SP2D?

Proses pencairan dana di Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) memiliki batas waktu yang ketat, yang diatur dalam regulasi perbendaharaan negara. Berdasarkan prosedur standar, batas waktu maksimal KPPN untuk memproses Surat Perintah Membayar (SPM) yang diterima lengkap adalah 2 hari kerja.

Untuk memastikan keandalan proses pencairan dana ini, waktu 2 hari kerja tersebut dihitung secara resmi sejak SPM diterima secara lengkap dan benar di loket KPPN. Dalam praktiknya, KPPN menggunakan Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara (SPAN) yang terintegrasi untuk mempercepat proses verifikasi dan penerbitan Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D). Keterlambatan di luar 2 hari kerja ini biasanya mengindikasikan adanya perbaikan atau kelengkapan dokumen yang harus dipenuhi oleh Pejabat Penandatangan SPM (PPSPM), menunjukkan tanggung jawab institusi dalam menjaga kepatuhan administrasi.

Q2. Apa yang dimaksud dengan ‘Daftar Kuantitas dan Harga’ dan perannya dalam pembayaran?

‘Daftar Kuantitas dan Harga’ atau sering disebut Bill of Quantity (BQ) adalah dokumen yang sangat fundamental dalam pengadaan barang/jasa, terutama untuk pekerjaan konstruksi atau jasa lainnya yang diukur per item.

Dokumen ini merupakan lampiran integral dari kontrak pengadaan dan memuat rincian item pekerjaan, volume atau kuantitas setiap item, dan harga satuan yang telah disepakati. Peran utamanya dalam pembayaran adalah sebagai dasar perhitungan besaran tagihan per item pekerjaan. Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan pihak penyedia jasa menggunakan Daftar Kuantitas dan Harga untuk memverifikasi kesesuaian nilai pembayaran yang diajukan dengan capaian fisik dan volume pekerjaan yang telah diselesaikan. Tanpa dokumen ini, auditor atau Pejabat Pemeriksa Hasil Pekerjaan (PPHP) tidak dapat menguji ketepatan nilai tagihan, yang sangat penting untuk akuntabilitas dan pencegahan mark-up harga. Kelengkapan dan kesesuaian dokumen inilah yang menjadi bukti keahlian entitas pengadaan dalam mengelola anggaran secara transparan.

Final Takeaways: Mastering Proses Pembayaran Pengadaan yang Tepat

3 Kunci Sukses Mempercepat Pencairan Dana

Memahami tata cara pembayaran pengadaan barang dan jasa secara menyeluruh adalah langkah awal untuk menjamin kelancaran kas. Tiga faktor utama menentukan kecepatan dan kesuksesan pencairan dana. Kunci utama kelancaran pembayaran adalah kelengkapan dan keabsahan dokumen Berita Acara Serah Terima (BAST), yang secara resmi membuktikan serah terima pekerjaan atau barang secara fisik. Tanpa BAST yang sah dan ditandatangani oleh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), proses pembayaran akan terhenti di tahap awal. Kedua, pastikan semua dokumen pendukung, terutama faktur pajak, telah dipotong dan disetor sebelum pengajuan Surat Perintah Membayar (SPM). Kelalaian dalam pemotongan dan penyetoran pajak dapat menjadi alasan penolakan SPM oleh Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN), sesuai praktik terbaik yang diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Langkah Berikutnya Menuju Pengadaan yang Bersih dan Akuntabel

Proses pembayaran yang cepat dan akuntabel tidak hanya tentang administrasi, tetapi juga menunjukkan Keandalan dan Keahlian entitas dalam mengelola keuangan negara. Setelah menguasai alur pembayaran, langkah selanjutnya adalah berfokus pada audit internal yang berkelanjutan dan pemanfaatan Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara (SPAN) secara optimal. Dengan demikian, setiap pengeluaran dapat dipastikan kepatuhannya terhadap regulasi yang berlaku dan mendukung terwujudnya pengadaan barang dan jasa yang bersih dan transparan.

Jasa Pembayaran Online
💬