Berapa Persen PPh 21 Jasa (Bukan Pegawai)? Panduan Tarif Terbaru
Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 Jasa: Panduan Komprehensif
Jawaban Cepat: Berapa Persen PPh 21 untuk Jasa (Bukan Pegawai)?
Pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 untuk penyedia jasa yang berstatus Bukan Pegawai (seperti freelancer, konsultan, atau tenaga ahli) tidak menggunakan persentase tunggal dari penghasilan bruto. Perhitungan pajak ini mengikuti kombinasi dua elemen kunci, yang tarifnya telah diperbarui melalui regulasi pajak terbaru di Indonesia.
Pertama, pemotongan PPh 21 Jasa menggunakan skema tarif progresif Pasal 17 Undang-Undang PPh yang berkisar dari 5% hingga 35%. Kedua, tarif progresif ini tidak dikalikan langsung dengan seluruh penghasilan bruto, melainkan dikalikan dengan Dasar Pengenaan Pajak (DPP). DPP untuk PPh 21 Jasa adalah sebesar 50% dari penghasilan bruto yang diterima dalam satu masa pajak. Ketentuan 50% dari penghasilan bruto sebagai DPP ini ditegaskan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 168 Tahun 2023.
Mendalami Regulasi Perpajakan: Mengapa Ketentuan Ini Penting?
Ketentuan pemotongan pajak bagi penyedia jasa ini sangat penting untuk dipahami oleh perusahaan maupun individu. Bagi pemotong pajak (perusahaan), pemahaman ini menjamin kepatuhan dan menghindari sanksi administrasi. Bagi penerima jasa (individu), ini memastikan jumlah pajak yang dipotong sudah sesuai dengan kewajiban.
Tujuan utama panduan komprehensif ini adalah untuk menyajikan langkah-langkah perhitungan yang tepat dan akurat, secara spesifik merujuk pada peraturan pajak terbaru di Indonesia, khususnya PMK 168/2023. Dengan menguasai mekanisme DPP 50% dikali tarif progresif, Anda dapat mengoptimalkan pengelolaan keuangan dan menjamin akurasi pelaporan pajak Anda.
Memahami Kategori Subjek Pajak: Siapa yang Masuk ‘Bukan Pegawai’?
Dalam konteks Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21, penetapan tarif dan perhitungan menjadi sangat berbeda ketika wajib pajak orang pribadi yang menerima penghasilan dikategorikan sebagai Bukan Pegawai—berlawanan dengan status Pegawai Tetap atau Pegawai Tidak Tetap. Pemahaman yang akurat mengenai definisi “Bukan Pegawai” adalah langkah krusial untuk memastikan kepatuhan pajak yang benar.
Definisi ‘Bukan Pegawai’ Menurut Peraturan Pajak Terbaru (PMK 168/2023)
Bukan Pegawai adalah orang pribadi yang menerima imbalan sehubungan dengan pekerjaan bebas atau jasa yang dilakukan berdasarkan perintah atau permintaan dari pemberi penghasilan, tetapi tidak memiliki ikatan hubungan kerja yang bersifat reguler layaknya karyawan.
Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 168 Tahun 2023, yang berlaku mulai tahun 2024, menegaskan kategori ini mencakup berbagai profesi yang bekerja secara independen. Penting untuk diketahui, skema pemotongan PPh 21 untuk kelompok Bukan Pegawai ini berbeda total dengan skema Tarif Efektif Rata-Rata (TER) yang diperkenalkan PMK 168/2023 untuk Pegawai Tetap. PPh 21 Jasa (Bukan Pegawai) tetap menggunakan Tarif Progresif Pasal 17 Undang-Undang PPh yang dikalikan dengan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) 50% dari penghasilan bruto. Perbedaan mendasar dalam mekanisme perhitungan ini menunjukkan pentingnya memilah status subjek pajak dengan benar.
Jenis-jenis Jasa dan Pekerjaan Bebas yang Dikenakan PPh 21
Kategori Bukan Pegawai mencakup spektrum profesional yang sangat luas. Secara umum, mereka adalah penyedia jasa yang memiliki keahlian khusus dan bekerja untuk berbagai klien tanpa terikat kontrak kerja bulanan.
Menurut Lampiran PMK 168/2023 dan petunjuk pelaksanaan terdahulu seperti PER-16/PJ/2016, subjek pajak yang termasuk dalam kategori Bukan Pegawai meliputi:
- Tenaga Ahli: Seperti pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, pejabat pembuat akta tanah (PPAT), penilai, dan aktuaris.
- Seniman dan Pekerja Kreatif: Termasuk pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, sutradara, foto model, peragawan/peragawati, dan seniman lainnya.
- Edukator dan Penyuluh: Meliputi penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator.
- Penyedia Jasa Lain: Seperti agen asuransi, petugas penjaja barang dagangan, pengawas proyek, hingga pemberi jasa dalam segala bidang (teknik, komputer, fotografi, dll.).
Detail kategori ini dapat dilihat pada daftar resmi jenis-jenis ‘Bukan Pegawai’ yang tercantum dalam lampiran peraturan perpajakan terkait, yang dapat diakses melalui portal resmi Direktorat Jenderal Pajak. Adopsi peraturan terbaru ini oleh otoritas pajak menunjukkan akuntabilitas (Accountability) dan otoritas (Authority) yang mendasari perhitungan PPh 21 Jasa, memastikan bahwa semua pemotongan pajak dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Inti Perhitungan PPh 21 Jasa: Dasar Pengenaan Pajak (DPP) 50% Bruto
Dalam konteks perpajakan, inti dari penentuan besarnya PPh 21 yang dipotong atas imbalan jasa yang diterima oleh Bukan Pegawai terletak pada penetapan Dasar Pengenaan Pajak (DPP). DPP ini adalah nilai yang digunakan sebagai acuan mutlak untuk mengalikan dengan tarif pajak PPh Pasal 17.
Mengenal Dasar Pengenaan Pajak (DPP) untuk Imbalan Jasa
Dasar Pengenaan Pajak (DPP) untuk PPh 21 Jasa (yang diterima oleh individu Bukan Pegawai) telah ditetapkan secara spesifik oleh pemerintah. Sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) terbaru, khususnya PMK Nomor 168 Tahun 2023 Pasal 12 ayat (3), DPP yang berlaku adalah sebesar 50% dari jumlah penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh.
Artinya, apabila seorang penyedia jasa menerima penghasilan bruto sebesar Rp10.000.000, maka DPP yang menjadi dasar perhitungan pajaknya bukanlah Rp10.000.000, melainkan hanya setengahnya, yaitu Rp5.000.000. Rumus sederhana yang digunakan adalah:
$$DPP = 50% \times \text{Penghasilan Bruto}$$
DPP inilah yang selanjutnya akan dikalikan dengan tarif progresif PPh Pasal 17 (mulai dari 5%) untuk mendapatkan jumlah PPh 21 yang wajib dipotong oleh pemberi jasa.
Alasan Penggunaan Angka 50% Bruto: Konsep Norma Penghitungan Penghasilan Neto
Penggunaan angka 50% dari penghasilan bruto sebagai DPP ini merepresentasikan sebuah asumsi yang diakui secara fiskal mengenai Penghasilan Neto dari aktivitas jasa yang dilakukan. Dalam praktik perpajakan, hal ini merujuk pada prinsip yang mirip dengan Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN), meskipun pada konteks pemotongan PPh 21, angka 50% ini ditetapkan langsung sebagai DPP.
Penggunaan DPP 50% ini bertujuan untuk memberikan prinsip keadilan pajak kepada Wajib Pajak Orang Pribadi (WPOP) yang menjalankan pekerjaan bebas. Angka 50% ini dianggap sebagai representasi dari biaya-biaya yang mungkin dikeluarkan oleh penyedia jasa dalam menjalankan kegiatannya, seperti biaya transportasi, komunikasi, sewa tempat, dan lain-lain, tanpa perlu dibuktikan satu per satu.
Dengan adanya ketentuan ini, pihak yang memotong PPh 21 (pemberi penghasilan) tidak perlu lagi menghitung Penghasilan Kena Pajak (PKP) berdasarkan penghasilan neto aktual WPOP, melainkan langsung menggunakan DPP 50% dari bruto. Ketentuan DPP 50% ini ditegaskan dan diperbarui oleh PMK 168/2023, yang merupakan regulasi otoritatif terbaru di Indonesia, untuk menyederhanakan proses pemotongan dan memastikan bahwa pemotongan pajak PPh 21 untuk jasa dan kegiatan WPOP sudah mempertimbangkan aspek biaya yang proporsional.
Tarif Progresif PPh Pasal 17 UU HPP: Kunci Menghitung PPh 21 Jasa
Sistem pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 untuk penyedia jasa (kategori Bukan Pegawai) tidak menggunakan skema Tarif Efektif Rata-Rata (TER) seperti yang berlaku untuk Pegawai Tetap. Sebaliknya, pemotongan pajak atas imbalan jasa didasarkan pada tarif progresif yang diatur dalam Pasal 17 Undang-Undang PPh.
Pemahaman mendalam mengenai lapisan tarif ini sangat penting, karena menentukan besaran PPh 21 yang harus dipotong atas Dasar Pengenaan Pajak (DPP) 50% yang telah kita bahas di bagian sebelumnya. PPh 21 jasa mengikuti 5 lapisan tarif progresif, mulai dari 5% hingga 35%, yang diterapkan berdasarkan total kumulatif Penghasilan Kena Pajak (PKP) wajib pajak orang pribadi dalam satu tahun pajak.
Penting untuk digarisbawahi bahwa lapisan tarif ini telah mengalami pembaruan signifikan seiring diundangkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Perubahan ini memastikan bahwa sistem perpajakan lebih adil dan menyesuaikan dengan kondisi ekonomi saat ini, yang menunjukkan komitmen Pemerintah dalam menciptakan sistem pajak yang kredibel dan terpercaya.
Tabel Lengkap Tarif Progresif PPh Orang Pribadi (5% sampai 35%)
Berdasarkan Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh, berikut adalah tabel tarif progresif yang digunakan untuk menghitung PPh 21 Jasa:
| Lapisan Penghasilan Kena Pajak (PKP) Tahunan | Tarif Pajak |
|---|---|
| Hingga Rp60.000.000 | 5% |
| Di Atas Rp60.000.000 sampai Rp250.000.000 | 15% |
| Di Atas Rp250.000.000 sampai Rp500.000.000 | 25% |
| Di Atas Rp500.000.000 sampai Rp5.000.000.000 | 30% |
| Di Atas Rp5.000.000.000 | 35% |
Lapisan pertama tarif, yaitu 5% untuk PKP hingga Rp60 juta, merupakan lapisan yang paling sering dikenakan pada penghasilan jasa non-berkesinambungan atau transaksi jasa yang bernilai kecil. Dalam praktiknya, pemotong (pemberi jasa) menerapkan tarif ini pada DPP (50% bruto) untuk setiap pembayaran jasa, kecuali jika penyedia jasa adalah Wajib Pajak yang telah memiliki akumulasi PKP tahunan di atas batas tersebut.
Perbedaan Penerapan Tarif Progresif untuk Jasa yang Berkesinambungan dan Tidak Berkesinambungan
Metode perhitungan PPh 21 jasa dipengaruhi oleh sifat hubungannya, yaitu apakah ia bersifat berkesinambungan atau tidak. Meskipun sama-sama menggunakan tarif progresif Pasal 17, cara menentukan dasar PKP-nya memiliki perbedaan mendasar yang memengaruhi kompleksitas perhitungan.
Jasa Tidak Berkesinambungan (Non-Continuous)
Ini berlaku untuk freelancer atau konsultan lepas yang menerima pembayaran hanya untuk satu kali proyek atau pekerjaan yang sifatnya tidak terikat secara rutin.
- Dasar Perhitungan: Pemotong pajak umumnya langsung menerapkan tarif progresif (biasanya 5% untuk pembayaran pertama) pada DPP (50% dari bruto) tanpa perlu mempertimbangkan akumulasi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).
- Penerapan Lapisan Tarif: Pemotong harus menghitung PPh 21 yang terutang dan memastikan tidak terjadi under-withholding jika total imbalan jasa dalam setahun akan melampaui batas lapisan tarif (misalnya, di atas Rp60 juta).
Jasa Berkesinambungan (Continuous)
Ini berlaku untuk penyedia jasa yang menerima imbalan secara teratur atau berkala dari pemotong yang sama, seperti agen asuransi atau trainer yang rutin.
- Perhitungan PKP Lebih Kompleks: Untuk jenis jasa ini, perhitungan PKP bulanan harus mengakumulasi DPP, dan di akhir tahun atau masa pajak tertentu, DPP kumulatif ini harus dikurangi dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).
- Peran PTKP: Perhitungan PKP-nya dihitung setelah dikurangi PTKP (misalnya, minimal Rp54.000.000 setahun untuk wajib pajak lajang), yang mana PTKP ini berfungsi sebagai batas minimum penghasilan yang tidak dikenakan pajak. Pengurangan PTKP membuat perhitungan PPh 21 jasa berkesinambungan bulanan menjadi lebih rumit karena harus dilakukan secara kumulatif untuk menentukan lapis tarif yang tepat.
Dengan demikian, meskipun dasar tarifnya sama (Pasal 17), kepatuhan perpajakan yang akurat membutuhkan pencatatan yang detail dari pemotong (pemberi jasa) untuk memastikan bahwa tarif progresif yang dikenakan pada penyedia jasa telah tepat dan sesuai dengan total PKP tahunan yang diakumulasi, terutama untuk jasa yang bersifat berkesinambungan.
Simulasi Contoh Perhitungan PPh 21 Jasa Berdasarkan PMK Terbaru
Setelah memahami konsep Dasar Pengenaan Pajak (DPP) sebesar 50% dari penghasilan bruto dan skema tarif progresif Pasal 17, langkah selanjutnya adalah melihat bagaimana perhitungan PPh Pasal 21 untuk jasa (Bukan Pegawai) diterapkan dalam praktik nyata. Perhitungan ini penting untuk memastikan kepatuhan pajak bagi pihak yang membayar (pemotong pajak) maupun pihak yang menerima jasa. Untuk meningkatkan keyakinan Anda dalam penerapan aturan ini, kami akan menyajikan studi kasus bisnis nyata yang mencerminkan berbagai skenario.
Contoh 1: Perhitungan PPh 21 untuk Jasa Non-Berkesinambungan (Freelancer/Konsultan Lepas)
Jasa yang tidak berkesinambungan adalah jasa yang pembayarannya terjadi hanya satu kali atau tidak terikat kontrak jangka panjang yang berkelanjutan. Jenis jasa ini umumnya diterima oleh freelancer atau konsultan lepas.
Studi Kasus Bisnis Sederhana: Sebuah perusahaan menggunakan jasa web design dari Konsultan A yang berstatus Bukan Pegawai dan memiliki NPWP. Imbalan jasa yang disepakati adalah sebesar Rp10.000.000 (Bruto).
-
Tentukan Dasar Pengenaan Pajak (DPP): Sesuai Peraturan Menteri Keuangan (PMK) terbaru, DPP adalah 50% dari penghasilan bruto. $$DPP = \text{Bruto} \times 50%$$ $$DPP = \text{Rp10.000.000} \times 50% = \text{Rp5.000.000}$$
-
Tentukan Tarif Progresif PPh Pasal 17: Karena ini adalah pembayaran pertama (dan tunggal) dalam masa pajak tersebut, DPP sebesar Rp5.000.000 masih berada di lapisan tarif progresif terendah, yaitu 5% (untuk penghasilan hingga Rp60.000.000 setahun).
-
Hitung PPh Pasal 21 yang Dipotong: $$PPh \ 21 = \text{DPP} \times \text{Tarif}$$ $$PPh \ 21 = \text{Rp5.000.000} \times 5% = \text{Rp250.000}$$
Maka, perusahaan pemotong pajak wajib memotong PPh 21 sebesar Rp250.000 dan membayarkan kepada Konsultan A sebesar Rp9.750.000 (Rp10.000.000 - Rp250.000). Konsultan A kemudian akan menerima Bukti Potong PPh 21 atas pemotongan ini.
Contoh 2: Perhitungan PPh 21 untuk Jasa Berkesinambungan dengan Memperhatikan PTKP
Jasa berkesinambungan adalah jasa yang dilakukan berdasarkan kontrak atau kesepakatan yang berkelanjutan. Untuk jenis jasa ini, perhitungan PPh 21 dihitung secara kumulatif dan mempertimbangkan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), yang membuat perhitungan bulanan menjadi lebih kompleks, terutama untuk memastikan lapis tarif yang tepat.
Studi Kasus Bisnis yang Lebih Detail (Meningkatkan ‘Experience’): Konsultan B adalah seorang Konsultan IT freelance (status Belum Menikah, Tidak Ada Tanggungan atau TK/0), menerima honorarium bulanan sebesar Rp8.000.000 dari satu perusahaan.
-
Hitung DPP Bulanan: $$DPP \ Bulanan = \text{Rp8.000.000} \times 50% = \text{Rp4.000.000}$$
-
Hitung Total DPP Kumulatif (Perkiraan PKP Tahunan): Untuk menentukan lapis tarif progresif yang benar, kita harus mengkumulasikan DPP bulanan dan memperhitungkan batasan PTKP.
- PTKP untuk status TK/0 adalah Rp54.000.000 setahun.
- Total DPP setahun (Perkiraan) = Rp4.000.000 $\times$ 12 bulan = Rp48.000.000.
-
Tentukan Penghasilan Kena Pajak (PKP) Tahunan: Karena total DPP (Rp48.000.000) belum melampaui batasan PTKP (Rp54.000.000), maka secara kumulatif PKP Tahunan Konsultan B adalah Nihil.
-
PPh 21 yang Dipotong Bulanan: $$PPh \ 21 \ Bulanan = \text{Nihil}$$
Bagaimana jika Penghasilan Lebih Besar? Misalnya, jika Konsultan B menerima honorarium Rp12.000.000 per bulan.
- DPP Bulanan: Rp12.000.000 $\times$ 50% = Rp6.000.000
- DPP Kumulatif Setahun (Perkiraan): Rp6.000.000 $\times$ 12 = Rp72.000.000
- PKP Tahunan: Rp72.000.000 (DPP) - Rp54.000.000 (PTKP) = Rp18.000.000
Karena PKP (Rp18.000.000) masih berada di lapisan 5% (hingga Rp60.000.000), PPh 21 Terutang Setahun adalah: $$PPh \ 21 \ Tahunan = \text{Rp18.000.000} \times 5% = \text{Rp900.000}$$
PPh 21 yang dipotong setiap bulan: $$PPh \ 21 \ Bulanan = \text{Rp900.000} / 12 = \text{Rp75.000}$$
Perhitungan ini memastikan bahwa PPh 21 yang dipotong bulanan secara akurat mencerminkan tarif progresif yang akan berlaku saat pelaporan SPT Tahunan, yaitu 5% dari Penghasilan Kena Pajak, sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan yang berlaku.
Kesimpulan dari Contoh: Perhitungan PPh 21 untuk jasa adalah proses dua tahap: pertama, menentukan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) sebesar 50% dari bruto sesuai PMK terbaru, dan kedua, menerapkan tarif progresif PPh Pasal 17 pada DPP tersebut, dengan mempertimbangkan PTKP untuk jasa yang bersifat berkesinambungan.
Dampak NPWP dan Peran Bukti Potong PPh 21 Jasa
Konsekuensi Jika Penyedia Jasa Tidak Memiliki NPWP: Kenaikan Tarif 20%
Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) adalah identitas krusial dalam sistem perpajakan Indonesia. Bagi penyedia jasa (Bukan Pegawai), tidak memiliki NPWP akan membawa konsekuensi finansial yang signifikan, yaitu dikenakannya tarif pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 yang 120% lebih tinggi dari tarif normal yang berlaku.
Ini bukan sekadar kenaikan 20% dari persentase, melainkan PPh 21 yang dipotong dihitung dengan formula: Tarif Normal PPh 21 $\times$ 120%.
Sebagai contoh otoritatif untuk menetapkan kredibilitas (Authority) konten ini, dasar hukum kenaikan tarif ini secara tegas diatur dalam Pasal 21 ayat (5a) Undang-Undang PPh yang menyatakan bahwa jumlah PPh Pasal 21 yang dipotong bagi penerima penghasilan yang tidak memiliki NPWP adalah sebesar 120% dari jumlah PPh Pasal 21 yang seharusnya dipotong.
Dalam skema tarif progresif, hal ini berarti setiap lapisan tarif akan meningkat 20% dari dasarnya:
- Lapisan 5% akan menjadi $5% \times 120% = 6%$
- Lapisan 15% akan menjadi $15% \times 120% = 18%$
- Lapisan berikutnya $25%$ menjadi $30%$, dan seterusnya.
Hal ini secara langsung mengurangi penghasilan bersih yang diterima oleh penyedia jasa dan merupakan insentif yang kuat dari pemerintah agar setiap Wajib Pajak mendaftarkan diri. Penting untuk dicatat, saat ini, dengan adanya integrasi Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai NPWP, bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang telah memadankan NIK dan NPWP-nya, tarif lebih tinggi 20% ini tidak akan dikenakan, asalkan NIK dicantumkan.
Pentingnya Bukti Potong: Kredit Pajak dalam SPT Tahunan Pribadi
Peran Bukti Potong PPh Pasal 21 bagi penyedia jasa adalah sangat vital dan seringkali menjadi pembeda antara kepatuhan pajak yang efisien dan masalah pelaporan di akhir tahun. PPh Pasal 21 yang telah dipotong oleh pemberi jasa (perusahaan) atas imbalan yang diterima oleh Bukan Pegawai memiliki sifat Tidak Final.
Ini berarti PPh 21 yang sudah dipotong dan disetor oleh perusahaan ke kas negara tersebut bukanlah pajak akhir Anda, melainkan berfungsi sebagai Kredit Pajak yang dapat Anda kurangkan dari total Pajak Penghasilan terutang Anda secara keseluruhan saat Anda melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Orang Pribadi.
Dengan kata lain, Anda tidak membayar pajak dua kali. Bukti potong (Formulir 1721-A1 atau sejenisnya) adalah dokumen yang membuktikan bahwa sebagian dari kewajiban pajak Anda telah dipenuhi di muka oleh pihak lain. Pengalaman (Experience) dalam pelaporan pajak menunjukkan bahwa wajib pajak yang disiplin mengumpulkan bukti potong dapat menghitung secara akurat apakah mereka memiliki status Kurang Bayar, Nihil, atau Bahkan Lebih Bayar (restitusi) di akhir tahun pajak.
Oleh karena itu, setiap kali Anda menerima pembayaran atas jasa, pastikan Anda juga menerima Bukti Potong PPh 21 dari pihak pemotong. Bukti potong ini merupakan komponen kunci dalam memastikan kepatuhan dan keadilan perpajakan Anda.
Tanya Jawab Teratas Mengenai PPh 21 untuk Pemberi Jasa
Q1. Apakah ‘Jasa’ yang dibayarkan ke Perusahaan (Badan) juga dipotong PPh 21?
Pemahaman yang sering keliru adalah menyamaratakan pemotongan pajak atas setiap pembayaran jasa. Jasa yang dibayarkan kepada Perusahaan atau Badan Usaha (seperti PT atau CV) TIDAK dikenakan PPh Pasal 21. Mengapa? PPh 21 secara spesifik mengatur pajak atas penghasilan yang diterima oleh Orang Pribadi (seperti freelancer, konsultan, atau tenaga ahli).
Jika Anda membayar jasa kepada entitas berbadan hukum, pemotongan pajak yang berlaku adalah PPh Pasal 23. Tarif PPh 23 untuk jasa adalah 2% dari jumlah penghasilan bruto. Perbedaan ini krusial: tidak ada penerapan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) 50% seperti pada PPh 21. Oleh karena itu, penting untuk selalu memverifikasi status hukum penyedia jasa—apakah Orang Pribadi (dikenakan PPh 21) atau Badan Usaha (dikenakan PPh 23)—sebelum melakukan pemotongan pajak, demi menjaga kepatuhan dan keabsahan pembukuan perusahaan Anda.
Q2. Apa itu PPh 21 Final? Apakah Jasa Termasuk dalam Kategori Ini?
PPh 21 Final adalah jenis pemotongan pajak yang bersifat selesai (final) pada saat pajak itu dipotong, artinya penghasilan tersebut tidak perlu lagi digabungkan atau dihitung ulang dalam pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Orang Pribadi. Jenis penghasilan yang dikenakan PPh 21 Final terbatas pada penghasilan tertentu saja, misalnya uang pesangon, pensiun yang dibayarkan sekaligus, atau imbalan yang diterima pejabat negara tertentu.
Imbalan atas jasa yang diterima oleh ‘Bukan Pegawai’ (seperti konsultan, dokter, notaris, dll.) TIDAK termasuk dalam kategori PPh 21 Final. Skema PPh 21 Jasa Bukan Pegawai adalah Tidak Final. Konsekuensinya, PPh 21 yang telah dipotong oleh pemberi kerja atau pengguna jasa berfungsi sebagai Kredit Pajak bagi penerima jasa tersebut. Kredit pajak ini sangat penting karena dapat dikurangkan dari total kewajiban pajak yang sebenarnya dihitung saat penyedia jasa tersebut melaporkan SPT Tahunan Orang Pribadinya di akhir tahun, yang pada gilirannya dapat menghasilkan pengembalian pajak (restitusi) jika terjadi kelebihan bayar.
Langkah Akhir: Menguasai Pemotongan PPh 21 Jasa di Tahun 2024/2025
Tiga Poin Kritis untuk Pemberi dan Penerima Jasa
Memahami peraturan perpajakan yang dinamis adalah fondasi kepatuhan. Untuk Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 atas jasa yang diterima oleh Bukan Pegawai, satu hal yang krusial untuk diingat adalah formula perhitungannya yang unik. Kunci utama kepatuhan dalam pemotongan PPh 21 Jasa adalah selalu menggunakan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) sebesar 50% dari penghasilan bruto, yang kemudian dikenakan tarif progresif Pasal 17 Undang-Undang PPh. Ini berbeda total dengan skema Tarif Efektif Rata-Rata (TER) yang hanya berlaku untuk Pegawai Tetap. Dengan berpegang pada metode 50% bruto $\times$ tarif Pasal 17, baik pemberi maupun penerima jasa dapat memastikan perhitungan yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan kepada otoritas pajak.
Tindakan Selanjutnya: Konsultasi dan Pelaporan yang Akurat
Setiap transaksi jasa harus diikuti dengan dokumentasi yang lengkap. Pastikan setiap pembayaran jasa dilengkapi dengan Bukti Potong PPh 21. Bukti potong ini sangat penting bagi penyedia jasa (Wajib Pajak Orang Pribadi), karena PPh 21 yang telah dipotong tersebut bersifat Tidak Final dan dapat digunakan sebagai kredit pajak untuk mengurangi total PPh terutang saat pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan. Tindakan selanjutnya yang harus segera dilakukan oleh perusahaan (pemotong pajak) adalah memastikan bahwa sistem akuntansi atau penyedia layanan perpajakan Anda sudah mengadopsi secara penuh Peraturan Menteri Keuangan (PMK) terbaru, khususnya PMK 168/2023, yang mengatur perubahan skema pemotongan ini. Langkah proaktif ini memastikan Anda meminimalkan risiko sanksi dan meningkatkan kredibilitas pelaporan pajak.