Tarif PPh 21 Jasa Bukan Pegawai: Panduan Terbaru Persentase Pajak (57 karakter)
Pajak Penghasilan Pasal 21 (PPh 21) Jasa Bukan Pegawai: Apa yang Berubah?
Peraturan perpajakan terus mengalami pembaruan, dan salah satu area krusial yang perlu dipahami oleh wajib pajak—terutama perusahaan dan pekerja jasa independen—adalah skema pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 (PPh 21) untuk Bukan Pegawai. Perubahan terbaru melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 168 Tahun 2023 menyederhanakan mekanisme pemotongan pajak, bertujuan untuk meningkatkan kepatuhan dan kejelasan.
Persentase PPh 21 untuk Jasa Bukan Pegawai: Jawaban Cepat
Persentase pajak yang dikenakan kepada Bukan Pegawai tidak bersifat tunggal, melainkan mengikuti tarif progresif Pasal 17 Undang-Undang PPh (mulai dari 5% hingga 35%). Namun, tarif ini tidak langsung diterapkan pada seluruh penghasilan bruto. Berdasarkan ketentuan, PPh 21 bagi Bukan Pegawai dikenakan pada Dasar Pengenaan Pajak (DPP) yang nilainya ditetapkan sebesar 50% dari penghasilan bruto. Dengan kata lain, perhitungannya adalah Tarif Pasal 17 dikalikan DPP 50% dari Penghasilan Bruto.
Meningkatkan Kepercayaan: Mengapa Peraturan Terbaru Ini Penting
Implementasi PMK 168/2023 sejak Januari 2024 menandai penyederhanaan signifikan dalam penghitungan DPP PPh 21 Bukan Pegawai. Sebelumnya, terdapat perbedaan perhitungan antara penghasilan yang bersifat berkesinambungan dan yang tidak berkesinambungan. Kini, peraturan tersebut telah diseragamkan; perhitungan DPP sebesar 50% dari penghasilan bruto kini berlaku seragam untuk semua jenis imbalan Bukan Pegawai. Penyeragaman ini membantu pemotong pajak (perusahaan) untuk menjalankan kewajiban perpajakannya dengan lebih jelas dan mengurangi risiko kesalahan. Artikel ini hadir sebagai panduan langkah demi langkah yang terstruktur, lengkap dengan studi kasus sesuai peraturan terbaru, untuk memastikan Anda mencapai kepatuhan pajak secara mutlak.
Memahami Dasar Hukum dan Perubahan Utama PPh 21 Bukan Pegawai (PMK 168/2023)
Pajak Penghasilan Pasal 21 (PPh 21) atas imbalan jasa yang diberikan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi yang berstatus Bukan Pegawai merupakan aspek krusial dalam kepatuhan perpajakan perusahaan di Indonesia. Sejak berlaku efektifnya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 168 Tahun 2023, terdapat penyesuaian mendasar yang bertujuan untuk menyederhanakan mekanisme penghitungan, sehingga memberikan kemudahan bagi Wajib Pajak. Pemahaman yang akurat terhadap peraturan ini sangat penting untuk memastikan kewajiban pajak Anda telah dipenuhi dengan benar dan transparan.
Siapa Saja yang Termasuk Kategori ‘Bukan Pegawai’?
Kategori Bukan Pegawai dalam konteks PPh Pasal 21 mencakup orang pribadi yang memberikan jasa atau melakukan pekerjaan bebas kepada Pemotong PPh 21, tetapi bukan dalam ikatan hubungan kerja sebagai pegawai tetap atau pegawai tidak tetap.
Kelompok ini memiliki cakupan yang luas, termasuk:
- Tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas seperti akuntan, dokter, arsitek, konsultan, notaris, pengacara, penilai, dan aktuaris.
- Pemberi jasa di berbagai bidang, termasuk teknologi, ekonomi, dan sosial.
- Penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator.
- Agen asuransi, distributor pemasaran berjenjang (MLM), pengawas proyek, dan seniman seperti penyanyi, bintang film, atau influencer.
Pada intinya, jika sebuah perusahaan membayar fee, honorarium, atau komisi kepada individu yang bukan karyawan (tidak menerima gaji bulanan terstruktur dan tunjangan), individu tersebut umumnya dikategorikan sebagai Bukan Pegawai.
Perubahan Kunci: Skema Penghitungan PPh 21 yang Lebih Sederhana
Perubahan kunci yang dibawa oleh PMK 168/2023 terletak pada penyederhanaan mekanisme penentuan Dasar Pengenaan Pajak (DPP). Dalam skema lama, terdapat perbedaan perhitungan antara penghasilan yang bersifat berkesinambungan (rutin) dan tidak berkesinambungan (sekali bayar atau tidak rutin).
Kini, perbedaan tersebut telah dihapus. Sesuai dengan Pasal 12 Ayat (3) PMK No. 168 Tahun 2023, Dasar Pengenaan Pajak (DPP) PPh 21 untuk Bukan Pegawai ditetapkan seragam, yaitu sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah penghasilan bruto.
Penyederhanaan ini membuat proses perhitungan menjadi lebih mudah dan memberikan kepastian hukum. Untuk memperkuat informasi dan memberikan landasan yang kokoh, peraturan tersebut secara tegas menyatakan bahwa:
“Dasar pengenaan dan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 untuk Bukan Pegawai yaitu sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah penghasilan bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf e.” (Dikutip dari Pasal 12 Ayat (3) PMK No. 168 Tahun 2023).
Dengan demikian, terlepas dari sifat penghasilan yang diterima, baik bulanan, mingguan, maupun sekali bayar, penghitungan PPh 21 Bukan Pegawai wajib menggunakan DPP sebesar 50% dari penghasilan bruto yang diterima.
Rumus Inti: Menghitung Dasar Pengenaan Pajak (DPP) PPh 21 Bukan Pegawai
Langkah 1: Menentukan Penghasilan Bruto Jasa
Langkah awal yang krusial dalam menentukan PPh 21 yang akan dibayarkan untuk jasa bukan pegawai perusahaan adalah mengidentifikasi secara akurat nilai Penghasilan Bruto. Penghasilan Bruto untuk jasa mencakup seluruh imbalan yang diterima atau diperoleh atas jasa yang telah diberikan, seperti honorarium, komisi, fee, atau bentuk pembayaran lainnya sebelum dikurangi potongan apapun. Akurasi dalam menentukan nilai Bruto ini menjadi fondasi bagi seluruh perhitungan pajak selanjutnya. Namun, untuk jenis pekerjaan tertentu, terdapat fleksibilitas yang memungkinkan Penghasilan Bruto dikurangi dengan upah yang dibayarkan kepada pihak lain atau biaya pembelian material. Pengurangan ini hanya dapat dilakukan jika pemotong pajak memiliki bukti yang sah dan kuat, seperti kontrak kerja atau faktur pembelian.
Langkah 2: Menghitung Nilai DPP 50% (Dasar Kena Pajak)
Setelah Penghasilan Bruto ditentukan, langkah berikutnya adalah menghitung Dasar Pengenaan Pajak (DPP) PPh 21. DPP inilah yang menjadi nilai Dasar Kena Pajak yang akan dikalikan dengan tarif progresif Pasal 17. Sesuai dengan regulasi terbaru, formula untuk menentukan DPP bagi Bukan Pegawai telah distandardisasi, menghapus kompleksitas perbedaan antara penghasilan berkesinambungan dan tidak berkesinambungan sebelumnya.
Rumus inti yang digunakan untuk menentukan DPP PPh 21 Bukan Pegawai adalah 50% dikalikan dengan Penghasilan Bruto yang telah ditentukan pada langkah sebelumnya. Secara matematis, rumus ini dapat diilustrasikan sebagai berikut:
$$\text{DPP PPh 21} = 50% \times \text{Penghasilan Bruto}$$
Penting untuk dipahami bahwa hanya setengah dari total penghasilan bruto jasa yang diakui sebagai objek pajak yang akan dikenakan tarif PPh 21. Hasil perhitungan DPP inilah yang kemudian akan dikalikan dengan lapisan tarif progresif (5% hingga 35%) untuk mengetahui berapa persen PPh 21 yang sesungguhnya harus dipotong dan dibayarkan oleh perusahaan.
Aplikasi Persentase PPh 21: Mengenal Lapisan Tarif Progresif Pasal 17
Perhitungan akhir dari Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 untuk jasa bukan pegawai didasarkan pada penerapan tarif progresif yang diatur dalam Pasal 17 Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh), yang kini telah diperbarui melalui UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Penting untuk dipahami bahwa tarif ini dikenakan bukan pada Penghasilan Bruto, melainkan pada Dasar Pengenaan Pajak (DPP) yang merupakan 50% dari Penghasilan Bruto.
Lapisan Tarif PPh Pribadi (5% hingga 35%)
Sistem tarif progresif dirancang untuk memastikan keadilan, di mana Wajib Pajak dengan Penghasilan Kena Pajak (PKP) yang lebih besar akan menanggung persentase pajak yang lebih tinggi. Karena pemotongan PPh 21 bukan pegawai didasarkan pada tarif orang pribadi, lapisan tarifnya mengikuti skema sebagai berikut:
- 5% untuk PKP sampai dengan Rp60.000.000
- 15% untuk PKP di atas Rp60.000.000 hingga Rp250.000.000
- 25% untuk PKP di atas Rp250.000.000 hingga Rp500.000.000
- 30% untuk PKP di atas Rp500.000.000 hingga Rp5.000.000.000
- 35% untuk PKP di atas Rp5.000.000.000
Penerapan tarif dilakukan secara berjenjang. Artinya, jika PKP seorang konsultan mencapai Rp100.000.000, maka Rp60.000.000 pertama akan dikenakan tarif 5%, dan sisanya sebesar Rp40.000.000 dikenakan tarif 15%. Ini adalah metode perhitungan yang dijamin oleh regulasi pemerintah, memastikan bahwa perhitungan pajak yang dilakukan oleh pemotong adalah valid dan dapat diaudit.
Dampak Tidak Memiliki NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak)
Kepemilikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) adalah elemen kunci dalam sistem perpajakan di Indonesia. Bagi penerima penghasilan jasa yang tidak menyerahkan NPWP-nya kepada pemotong pajak (perusahaan), terdapat konsekuensi berupa pemotongan PPh Pasal 21 yang lebih tinggi.
Penerima penghasilan yang tidak memiliki NPWP akan dikenakan pemotongan 20% lebih tinggi dari tarif normal yang seharusnya berlaku. Hal ini secara eksplisit diatur dalam peraturan perpajakan, di mana jumlah PPh Pasal 21 yang dipotong adalah sebesar 120% dari jumlah PPh 21 yang seharusnya dipotong jika yang bersangkutan memiliki NPWP. Ketentuan ini bertujuan untuk mendorong kepatuhan Wajib Pajak dalam mendaftarkan diri.
Untuk memberikan gambaran yang jelas mengenai dampak finansialnya, berikut perbandingan tarif progresif PPh Pasal 21 dengan dan tanpa NPWP. Tabel ini menunjukkan betapa signifikan perbedaan potongan yang harus ditanggung oleh Wajib Pajak yang belum memiliki NPWP.
| Lapisan Penghasilan Kena Pajak (PKP) Tahunan | Tarif Normal (dengan NPWP) | Perhitungan Tarif Tanpa NPWP (120%) | Tarif Akhir Tanpa NPWP |
|---|---|---|---|
| Sampai dengan Rp60.000.000 | 5% | 5% $\times$ 120% | 6% |
| Rp60.000.000 s.d. Rp250.000.000 | 15% | 15% $\times$ 120% | 18% |
| Rp250.000.000 s.d. Rp500.000.000 | 25% | 25% $\times$ 120% | 30% |
| Rp500.000.000 s.d. Rp5.000.000.000 | 30% | 30% $\times$ 120% | 36% |
| Di atas Rp5.000.000.000 | 35% | 35% $\times$ 120% | 42% |
Catatan: Meskipun tarif yang dikenakan lebih tinggi, perlu dipahami bahwa PPh Pasal 21 yang telah dipotong berfungsi sebagai kredit pajak bagi penerima penghasilan yang bersangkutan, yang nantinya dapat dikreditkan dalam SPT Tahunan Orang Pribadi.
Studi Kasus 1: Perhitungan Jasa yang Bersifat Tidak Berkesinambungan (Satu Kali Bayar)
Salah satu kategori penghasilan bukan pegawai yang paling umum adalah imbalan atas jasa yang bersifat insidental atau tidak berulang, seperti fee konsultasi proyek yang selesai dalam satu kali pembayaran. Peraturan terbaru, khususnya PMK 168/2023, menyederhanakan cara perhitungan ini dengan meniadakan perbedaan antara berkesinambungan atau tidak. Kini, fokus utamanya adalah menentukan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) yang sama, yaitu 50% dari penghasilan bruto.
Contoh Kasus: Jasa Konsultasi Proyek Satu Kali Bayar
Anggaplah sebuah perusahaan, PT Solusi Digital, menggunakan jasa konsultan pemasaran, Tuan Bima, untuk proyek audit merek dengan total honorarium (penghasilan bruto) sebesar Rp50.000.000 yang dibayarkan lunas pada bulan Maret. Tuan Bima memiliki NPWP.
Karena sifat pembayaran ini adalah jasa yang dilakukan oleh Orang Pribadi (Bukan Pegawai), maka perhitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 (PPh 21) dihitung berdasarkan tarif progresif Pasal 17 UU PPh yang dikenakan pada DPP.
Simulasi Perhitungan PPh 21 Tanpa PTKP
Dalam kasus pembayaran satu kali atau tidak berkesinambungan seperti ini, perhitungan PPh 21 umumnya tidak mempertimbangkan komponen Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). PTKP hanya dapat dikurangkan dalam kondisi khusus, yaitu jika bukan pegawai yang bersangkutan hanya memperoleh penghasilan dari satu pemberi kerja dan memiliki NPWP, dan hanya untuk perhitungan masa PPh 21.
Rumus yang digunakan adalah: $$\text{PPh 21 Terutang} = \text{Tarif Pasal 17} \times (50% \times \text{Penghasilan Bruto})$$
Berikut adalah langkah-langkah detail perhitungannya:
| Langkah | Deskripsi | Perhitungan | Hasil (Rp) |
|---|---|---|---|
| 1. | Menentukan Penghasilan Bruto | Honorarium Tuan Bima | 50.000.000 |
| 2. | Menghitung Dasar Pengenaan Pajak (DPP) | $50% \times \text{Penghasilan Bruto}$ | 25.000.000 |
| 3. | Menentukan Tarif PPh 21 (Pasal 17) | Penghasilan Kena Pajak (DPP Rp25.000.000) masuk Lapisan 1 | 5% |
| 4. | Menghitung PPh 21 yang Dipotong | $\text{Tarif PPh 21} \times \text{DPP}$ | 1.250.000 |
Studi Kasus Detail: Dengan honorarium Rp50.000.000, Dasar Pengenaan Pajak (DPP) adalah Rp25.000.000. Karena Rp25.000.000 ini berada dalam lapisan tarif terendah (hingga Rp60.000.000), maka tarif PPh 21 yang dikenakan adalah 5%. PPh 21 yang dipotong oleh PT Solusi Digital adalah $5% \times \text{Rp25.000.000} = \text{Rp1.250.000}$.
Actionable Tip: Setelah pemotongan dilakukan, pemotong pajak (PT Solusi Digital) wajib menyetorkan pajak tersebut ke kas negara dan menerbitkan bukti potong PPh Pasal 21 Formulir 1721-VI kepada Tuan Bima. Bukti potong ini sangat penting karena berfungsi sebagai kredit pajak yang akan digunakan Tuan Bima saat mengisi Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Orang Pribadi.
Studi Kasus 2: Perhitungan Jasa Berkesinambungan (Tenaga Ahli/Freelancer Rutin)
Setelah memahami skema penyederhanaan yang berlaku untuk seluruh jenis penghasilan jasa bukan pegawai perusahaan (DPP 50%), penting untuk mempelajari bagaimana status berkesinambungan memengaruhi perlakuan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dalam perhitungan PPh 21 bulanan. Meskipun PMK 168/2023 telah menyamakan perhitungan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) menjadi 50% dari penghasilan bruto, konsep PTKP tetap krusial dalam menentukan jumlah akhir pajak yang dipotong untuk jasa yang diterima secara rutin.
Syarat Pengurangan PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak)
Untuk seorang Bukan Pegawai (seperti tenaga ahli, konsultan, atau freelancer rutin) dapat mengklaim pengurangan PTKP bulanan, ia harus memenuhi dua kriteria utama:
- Hanya Memiliki Satu Pemberi Kerja: Penerima penghasilan harus menyatakan bahwa ia hanya menerima penghasilan dari satu pihak pemotong PPh 21 (perusahaan) yang bersangkutan dalam masa pajak tersebut.
- Memiliki NPWP: Kepemilikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) adalah wajib untuk mendapatkan tarif normal dan berhak atas pengurangan PTKP.
Pemberi kerja (perusahaan) wajib memastikan bahwa syarat-syarat ini terpenuhi sebelum menerapkan pengurangan PTKP. Perhitungan PPh 21 untuk jasa yang bersifat berkesinambungan (diberikan rutin) bagi bukan pegawai perusahaan ini memastikan bahwa beban pajak yang ditanggung telah mempertimbangkan kebutuhan dasar Wajib Pajak sesuai ketentuan perundang-undangan.
Simulasi Perhitungan PPh 21 dengan Mempertimbangkan PTKP Bulanan
Perhitungan bulanan untuk jasa berkesinambungan yang memenuhi syarat pengurangan PTKP akan menjadi lebih akurat. Ini karena PTKP bulanan akan mengurangi nilai DPP sebelum dikenakan tarif progresif Pasal 17.
Formula inti yang digunakan adalah: $$\text{PPh 21 Bulanan} = \text{Tarif Pasal 17} \times [(\text{50%} \times \text{Penghasilan Bruto}) - \text{PTKP Bulanan}]$$
Untuk Validitas Informasi dan kepastian data, berikut adalah ringkasan nilai PTKP bulanan yang dapat diverifikasi dari ketentuan perpajakan saat ini:
| Status Wajib Pajak | PTKP Setahun | PTKP Bulanan |
|---|---|---|
| TK/0 (Tidak Kawin, 0 Tanggungan) | $\text{Rp}54.000.000$ | $\text{Rp}4.500.000$ |
| K/0 (Kawin, 0 Tanggungan) | $\text{Rp}58.500.000$ | $\text{Rp}4.875.000$ |
Contoh Kasus: Konsultan IT Freelance (TK/0)
- Penerima Jasa: Konsultan IT (Bukan Pegawai), Status TK/0, Memiliki NPWP, Hanya bekerja rutin untuk satu perusahaan.
- Penghasilan Bruto Bulanan (Honorarium): $\text{Rp}15.000.000$
Langkah Perhitungan:
-
Dasar Pengenaan Pajak (DPP): $$50% \times \text{Rp}15.000.000 = \text{Rp}7.500.000$$
-
Pengurangan PTKP Bulanan (TK/0): $$\text{DPP} - \text{PTKP Bulanan} = \text{Rp}7.500.000 - \text{Rp}4.500.000 = \text{Rp}3.000.000$$ Nilai $\text{Rp}3.000.000$ ini adalah Penghasilan Kena Pajak (PKP) Bulanan.
-
PPh 21 Terutang Bulanan: Karena PKP $\text{Rp}3.000.000$ berada pada lapisan tarif progresif terendah (5%), maka: $$\text{PPh 21} = 5% \times \text{Rp}3.000.000 = \text{Rp}150.000$$
Maka, PPh 21 yang wajib dipotong oleh perusahaan sebagai pemotong PPh 21 atas jasa bulanan sebesar $\text{Rp}15.000.000$ adalah $\text{Rp}150.000$. Studi kasus ini secara jelas menunjukkan betapa pentingnya pengurangan PTKP dalam meringankan beban pajak bulanan bagi bukan pegawai perusahaan yang menerima penghasilan secara rutin.
Perhitungan dengan mempertimbangkan PTKP bulanan memastikan kepatuhan yang optimal sambil memberikan keringanan pajak yang sah kepada penerima jasa.
Kewajiban Perusahaan dan Pemberi Jasa: Siapa Bertanggung Jawab?
Memahami perhitungan PPh 21 bukan pegawai hanyalah setengah dari kepatuhan. Sama pentingnya adalah mengetahui secara pasti siapa yang memiliki tanggung jawab untuk memotong, menyetor, dan melaporkan pajak tersebut. Dalam skema ini, ada dua pihak utama: pemberi kerja (perusahaan) dan penerima jasa (bukan pegawai).
Kewajiban Pemotong PPh (Perusahaan)
Perusahaan atau badan hukum yang membayarkan penghasilan kepada bukan pegawai memiliki tiga kewajiban utama yang harus dipatuhi secara ketat. Hal ini tidak hanya merupakan persyaratan hukum, tetapi juga fundamental untuk menjamin akuntabilitas dan transparansi.
Pertama, Pemotongan: Perusahaan wajib melakukan pemotongan PPh Pasal 21 atas setiap pembayaran honorarium, fee, atau imbalan sejenis yang diberikan kepada bukan pegawai. Pemotongan harus didasarkan pada perhitungan yang benar sesuai PMK 168/2023, yaitu menggunakan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) sebesar 50% dari penghasilan bruto dikalikan dengan tarif progresif Pasal 17.
Kedua, Penyetoran: Setelah pemotongan dilakukan, perusahaan wajib menyetorkan jumlah PPh 21 yang telah dipotong ke kas negara melalui bank persepsi atau kantor pos paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir.
Ketiga, Pelaporan dan Bukti Potong: Perusahaan harus membuat dan menerbitkan bukti potong PPh Pasal 21 Formulir 1721-VI kepada penerima jasa. Bukti potong ini merupakan dokumen krusial. Perusahaan juga wajib melaporkan seluruh pemotongan PPh 21 melalui Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPh Pasal 21 secara bulanan. Kepatuhan ini adalah inti dari profesionalisme dan keandalan dalam tata kelola pajak perusahaan.
Kewajiban Penerima Penghasilan (Bukan Pegawai)
Pihak yang menerima penghasilan, yaitu para bukan pegawai seperti konsultan, tenaga ahli, atau freelancer, juga memiliki tanggung jawab fiskal yang tidak kalah penting.
Penerima jasa wajib menerima dan menyimpan bukti potong PPh Pasal 21 Formulir 1721-VI yang diberikan oleh perusahaan. Bukti potong ini sangat esensial karena PPh 21 yang telah dipotong oleh perusahaan berfungsi sebagai kredit pajak bagi penerima jasa.
Expert Insight: Fungsi kredit pajak berarti jumlah PPh 21 yang sudah dipotong dan disetor oleh perusahaan dapat diperhitungkan sebagai pembayaran pajak di muka. Ini akan mengurangi jumlah pajak terutang yang harus dibayarkan sendiri saat Wajib Pajak Orang Pribadi melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan mereka. Penerima penghasilan memiliki kewajiban untuk mencantumkan seluruh penghasilan yang diterima, baik dari satu maupun banyak pemberi kerja, serta melaporkan kredit pajak tersebut di dalam SPT Tahunan Orang Pribadi mereka. Hal ini memastikan bahwa seluruh kewajiban pajak terutang telah dipenuhi.
Pertanyaan Paling Sering Diajukan Seputar PPh 21 Jasa Bukan Pegawai
Q1. Berapa Persen PPh 21 Jasa jika Tidak Ada NPWP?
Bagi penerima penghasilan Bukan Pegawai yang belum memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), mereka secara umum akan dikenakan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 sebesar 20% lebih tinggi dari tarif normal Pasal 17 Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh) yang berlaku. Sebagai contoh, jika lapisan tarif normalnya adalah 5%, maka tanpa NPWP tarif yang dikenakan menjadi 6% (120% x 5%); jika 15%, maka menjadi 18%, dan seterusnya. Penting untuk diketahui bahwa saat ini, berdasarkan perkembangan administrasi perpajakan yang mengintegrasikan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai NPWP, tarif 20% lebih tinggi ini tidak berlaku lagi sepanjang NIK yang diberikan oleh wajib pajak telah valid dan terintegrasi dengan sistem administrasi Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Selalu pastikan validitas NIK Anda untuk menghindari tarif pemotongan yang lebih tinggi.
Q2. Apa Perbedaan PPh 21 Bukan Pegawai dan PPh 23 Jasa?
Perbedaan fundamental antara PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 23 terletak pada subjek penerima penghasilan dan jenis jasa. PPh 21 dikenakan atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan yang diterima oleh Orang Pribadi Wajib Pajak Dalam Negeri (misalnya, freelancer individu, konsultan pribadi, atau tenaga ahli). Sebaliknya, PPh 23 dikenakan atas penghasilan dari modal, penyerahan jasa, atau hadiah/penghargaan, yang diterima oleh Badan atau Bentuk Usaha Tetap (BUT) Wajib Pajak Dalam Negeri. Misalnya, jika Anda membayar fee konsultasi kepada seorang individu, itu PPh 21; namun, jika Anda membayar jasa manajemen kepada sebuah PT (Perseroan Terbatas), itu PPh 23 dengan tarif yang umumnya sebesar 2%.
Q3. Apakah PPh 21 untuk Dokter, Notaris, atau Akuntan Dihitung Sama?
Ya, berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 168 Tahun 2023 (PMK 168/2023), perhitungan PPh 21 untuk tenaga ahli seperti Dokter, Notaris, Akuntan, atau pengacara menggunakan skema yang sama sebagai kategori Bukan Pegawai. Mekanismenya adalah: Dasar Pengenaan Pajak (DPP) ditetapkan sebesar 50% dari Penghasilan Bruto (honorarium, komisi, fee, dsb.), dan hasil DPP tersebut kemudian dikalikan dengan Tarif Progresif Pasal 17 UU PPh yang berlaku (5% hingga 35%) secara kumulatif. Dengan penyederhanaan ini, tidak ada lagi perbedaan skema perhitungan antara penghasilan yang bersifat berkesinambungan dan tidak berkesinambungan untuk menentukan DPP, sehingga memberikan kejelasan dan konsistensi bagi para profesional.
Ringkasan Aksi: Menguasai Pemotongan PPh 21 Bukan Pegawai dengan Kepatuhan Mutlak
Peraturan perpajakan sering kali mengalami penyesuaian untuk mencapai kesederhanaan dan kepastian hukum. Untuk jasa yang diberikan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi yang dikategorikan sebagai Bukan Pegawai, perubahan melalui PMK 168/2023 memberikan kerangka kerja yang lebih seragam dan jelas. Penguasaan atas skema perhitungan ini merupakan fondasi utama untuk mencapai kepatuhan pajak yang sempurna, baik bagi perusahaan sebagai pemotong pajak maupun bagi penerima jasa itu sendiri.
Tiga Langkah Kepatuhan Utama untuk Pemberi Kerja
Kunci utama dalam menghitung Pajak Penghasilan Pasal 21 (PPh 21) bagi Bukan Pegawai terletak pada Dasar Pengenaan Pajak (DPP). Berdasarkan regulasi terbaru, penentuan DPP telah disederhanakan secara fundamental: DPP untuk Bukan Pegawai ditetapkan seragam sebesar 50% dari jumlah Penghasilan Bruto yang diterima. Setelah DPP ditemukan, barulah persentase pemotongan ditentukan menggunakan Tarif Progresif Pasal 17 Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh), yang berlapis dari 5% hingga 35%.
Untuk menjaga tingkat keahlian dan keandalan informasi, penting untuk dicatat bahwa keseragaman DPP sebesar 50% ini berlaku untuk semua jenis penghasilan bukan pegawai, baik yang berkesinambungan maupun tidak, sebagaimana ditegaskan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 168 Tahun 2023. Perusahaan wajib menjadikan regulasi ini sebagai acuan utama dalam semua proses pemotongan dan pelaporan pajak untuk menghindari kesalahan perhitungan dan potensi sanksi administrasi.
Siap Menghitung PPh 21 Anda?
Peningkatan literasi perpajakan yang merujuk pada regulasi resmi (seperti PMK 168/2023) adalah langkah pertama untuk memastikan kepatuhan mutlak. Setelah memahami konsep DPP 50% dan penerapan tarif progresif Pasal 17, langkah selanjutnya adalah validasi. Dalam era digital, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah menyediakan sarana untuk mempermudah Wajib Pajak. Sebagai aksi lanjutan, sangat disarankan untuk menggunakan kalkulator pajak resmi yang disediakan oleh DJP melalui laman kalkulator.pajak.go.id atau berkonsultasi dengan konsultan pajak profesional. Ini akan memastikan bahwa perhitungan PPh 21 yang Anda lakukan telah tervalidasi dengan data dan skema perhitungan terbaru.