Pajak Penghasilan Jasa Salon Perorangan: Tarif dan Aturan

Memahami Tarif Pemotongan PPh Jasa Salon Perorangan

Definisi dan Tarif PPh 21 Atas Jasa Salon Perorangan

Jasa salon kecantikan perorangan seringkali melibatkan tenaga ahli yang tidak berstatus karyawan tetap, sehingga mekanisme pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 yang berlaku adalah kategori bukan pegawai. Memahami tarif ini adalah langkah awal untuk kepatuhan pajak yang benar. Secara umum, tarif pemotongan PPh 21 atas jasa salon kecantikan perorangan yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) adalah 50% dari penghasilan bruto dikalikan dengan tarif progresif PPh Pasal 17, asalkan pembayaran tersebut bersifat berkesinambungan. Jika pembayaran tidak berkesinambungan, bisa jadi dikenakan tarif final.

Dasar Keahlian dan Kredibilitas dalam Pemotongan Pajak Jasa

Mengelola aspek perpajakan jasa salon membutuhkan pemahaman yang mendalam mengenai peraturan yang terus diperbarui oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Melalui artikel ini, kami menyajikan panduan langkah demi langkah yang terstruktur dan didukung oleh rujukan regulasi terkini. Pendekatan ini bertujuan untuk membantu Anda memastikan bahwa pemotongan PPh 21 atas jasa salon sudah sesuai dengan regulasi terbaru DJP, sehingga Anda dapat menghindari risiko sanksi administratif dan denda pajak yang dapat timbul dari kesalahan perhitungan atau pelaporan.

Dasar Hukum dan Ketentuan Pemotongan PPh 21 Jasa Tenaga Ahli

Memahami dasar hukum yang mengatur pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 atas jasa salon perorangan adalah langkah kritis untuk memastikan kepatuhan pajak yang akurat. Kesalahan dalam penentuan status Wajib Pajak atau dasar pemotongan dapat memicu sanksi dan denda. Sesuai dengan praktik kepatuhan terbaik, pemotongan pajak harus selalu berlandaskan pada regulasi terbaru dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

Perbedaan Status Wajib Pajak: Karyawan Tetap vs. Tenaga Ahli Non-Karyawan

Salah satu penentuan terpenting dalam pemotongan PPh 21 adalah membedakan status Wajib Pajak yang memberikan jasa. Dalam konteks industri kecantikan, perlu dibedakan secara tegas antara:

  1. Jasa Salon sebagai Wajib Pajak Badan (Badan Usaha): Jika bisnis salon dijalankan oleh entitas berbadan hukum (PT, CV, Yayasan), pemotongan pajaknya diatur di bawah PPh Pasal 23 (jika jasa) atau PPh Final PP 55 Tahun 2022 (jika omzet di bawah Rp4,8 Miliar).
  2. Jasa Salon sebagai Wajib Pajak Orang Pribadi/Tenaga Ahli (Perorangan): Ini adalah freelancer, tenaga stylist lepas, atau penyedia jasa kecantikan mandiri yang menerima penghasilan dari satu atau lebih pemberi kerja tanpa status karyawan tetap. Dasar pemotongan PPh 21 untuk kategori ini sangat berbeda dengan Wajib Pajak Badan.

Pemotong pajak (perusahaan atau instansi yang membayar jasa) harus memahami perbedaan ini karena dasar pengenaan pajak (DPP) dan tarif yang digunakan akan mengikuti status Wajib Pajak penerima jasa.

Aturan Khusus PPh 21 untuk Pemberi Jasa Kecantikan dan Perawatan

Pemotongan PPh Pasal 21 atas jasa perorangan yang tidak memiliki status karyawan tetap—seperti freelance stylist atau teknisi kecantikan—secara spesifik diatur dalam peraturan perpajakan.

Berdasarkan peraturan yang relevan saat ini, termasuk Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ/2016, jasa perorangan yang tergolong “Tenaga Ahli yang melakukan pekerjaan bebas” atau “Bukan Pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan” dikenakan pemotongan PPh 21 dengan mekanisme khusus.

Dalam rangka meningkatkan kepatuhan dan kejelasan, ketentuan menegaskan bahwa untuk jenis jasa perorangan yang tidak terikat oleh hubungan kerja layaknya karyawan, Dasar Pengenaan Pajak (DPP) yang digunakan adalah 50% dari penghasilan bruto. Artinya, hanya setengah dari total pembayaran yang diterima (penghasilan bruto) yang akan dijadikan basis untuk dikalikan dengan tarif pajak progresif PPh Pasal 17. Ketentuan ini mencerminkan pengakuan bahwa tenaga ahli/perorangan memiliki biaya yang terkait dengan jasa yang mereka berikan. Adanya dasar hukum yang jelas ini penting untuk dipegang teguh oleh pemotong pajak agar dapat menghindari kesalahan pemotongan yang dapat dikoreksi oleh otoritas pajak.

Oleh karena itu, keakuratan data dan status perjanjian dengan penyedia jasa kecantikan perorangan harus diverifikasi di awal transaksi.

Langkah Menghitung Pajak Penghasilan Jasa Salon Perorangan

Menghitung Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 atas jasa salon yang diberikan oleh individu (bukan pegawai) memerlukan pemahaman yang cermat mengenai Dasar Pengenaan Pajak (DPP) dan penerapan tarif progresif. Kesalahan dalam identifikasi atau perhitungan dapat berujung pada sanksi administrasi, sehingga panduan langkah demi langkah ini sangat penting untuk memastikan kewajiban pajak Anda terpenuhi secara akurat dan dapat dipercaya oleh otoritas pajak.

Identifikasi Penghasilan Bruto dan Dasar Pengenaan Pajak (DPP)

Langkah pertama dalam pemotongan PPh Pasal 21 untuk jasa tenaga ahli perorangan seperti jasa salon adalah mengidentifikasi Penghasilan Bruto. Penghasilan bruto adalah seluruh jumlah penghasilan yang diterima atau diperoleh dari pemberi jasa tanpa adanya pengurangan. Untuk jasa salon perorangan yang statusnya adalah Bukan Pegawai, perhitungan PPh 21 tidak menggunakan skema Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).

Dasar Pengenaan Pajak (DPP) untuk penghasilan yang diterima atau diperoleh Bukan Pegawai yang bersifat berkesinambungan dan tidak berkesinambungan adalah 50% dari Penghasilan Bruto. Persentase 50% ini ditetapkan sebagai asumsi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan.

Rumus utama pemotongan PPh 21 Bukan Pegawai (Jasa Salon Perorangan) adalah:

$$\text{Pajak Terutang} = 50% \times \text{Penghasilan Bruto} \times \text{Tarif Progresif PPh Pasal 17}$$

Penghasilan Kena Pajak (PKP) bagi jasa salon perorangan (Bukan Pegawai) dihitung setelah Penghasilan Bruto dikurangi 50% dari penghasilan bruto itu sendiri. Penting untuk diingat bahwa skema ini tidak memperhitungkan PTKP, karena PTKP hanya berlaku untuk Wajib Pajak Orang Pribadi yang berstatus sebagai pegawai, bukan untuk jasa tenaga ahli perorangan.

Penerapan Tarif Progresif PPh Pasal 17 pada Penghasilan Kena Pajak

Setelah mendapatkan DPP (50% dari Penghasilan Bruto), langkah selanjutnya adalah menerapkan Tarif Progresif PPh Pasal 17. Tarif ini bersifat berjenjang, artinya persentase pajak akan meningkat seiring dengan peningkatan Penghasilan Kena Pajak (PKP) Wajib Pajak Orang Pribadi.

Sebagai contoh nyata untuk meningkatkan kredibilitas perhitungan Anda, mari kita asumsikan seorang penyedia jasa salon perorangan mendapatkan total Penghasilan Bruto sebesar Rp100.000.000 dalam satu tahun kalender.

  1. Hitung Dasar Pengenaan Pajak (DPP): $$DPP = 50% \times \text{Rp100.000.000} = \text{Rp50.000.000}$$

  2. Terapkan Tarif Progresif PPh Pasal 17:

    • Lapisan Pertama: Penghasilan sampai dengan Rp60.000.000 dikenakan tarif 5%.
    • Lapisan Kedua: Penghasilan di atas Rp60.000.000 sampai dengan Rp250.000.000 dikenakan tarif 15%.

    Dalam kasus ini, seluruh DPP (Rp50.000.000) masih berada dalam lapisan pertama tarif PPh Pasal 17 (sampai dengan Rp60.000.000).

  3. Hitung PPh 21 yang Terutang: $$\text{PPh Terutang} = 5% \times \text{Rp50.000.000} = \text{Rp2.500.000}$$

Jika Penghasilan Bruto setahun mencapai Rp250.000.000, maka:

  1. Hitung DPP: $$DPP = 50% \times \text{Rp250.000.000} = \text{Rp125.000.000}$$

  2. Terapkan Tarif Berlapis:

    • Lapisan 1 (5%): $5% \times \text{Rp60.000.000} = \text{Rp3.000.000}$
    • Lapisan 2 (15%): $15% \times (\text{Rp125.000.000} - \text{Rp60.000.000}) = 15% \times \text{Rp65.000.000} = \text{Rp9.750.000}$
  3. Hitung PPh 21 yang Terutang: $$\text{PPh Terutang Total} = \text{Rp3.000.000} + \text{Rp9.750.000} = \text{Rp12.750.000}$$

Contoh perhitungan ini menunjukkan bagaimana penerapan tarif berlapis dilakukan pada DPP, bukan pada total penghasilan bruto, yang merupakan keahlian mendasar dalam pemotongan PPh 21 Bukan Pegawai.

Faktor yang Memengaruhi Tarif Pemotongan Jasa Kecantikan

Pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 atas jasa salon perorangan (sebagai bukan pegawai/tenaga ahli) memiliki beberapa variabel kunci yang secara langsung memengaruhi besaran pajak yang harus dipotong oleh pemberi penghasilan. Memahami faktor-faktor ini adalah krusial untuk memastikan kepatuhan pajak yang tepat dan akurat. Dua faktor utama yang paling signifikan adalah kepemilikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan status pembayaran, apakah bersifat berkesinambungan atau tidak berkesinambungan.

Dampak Kepemilikan NPWP terhadap Besaran Pajak yang Dipotong

Kepemilikan NPWP oleh penyedia jasa salon perorangan (Wajib Pajak Orang Pribadi) adalah faktor penentu penting dalam menghitung tarif pemotongan PPh Pasal 21. Berdasarkan regulasi pajak yang berlaku, khususnya pada PPh Pasal 21 ayat (5), jika penerima penghasilan (dalam hal ini, jasa salon perorangan) tidak memiliki NPWP, maka tarif pemotongan PPh 21 yang berlaku akan lebih tinggi 20% dari tarif normal yang seharusnya dipotong.

Penambahan 20% ini berfungsi sebagai sanksi administratif dan juga sebagai insentif bagi Wajib Pajak untuk mendaftarkan diri. Penting bagi pemotong pajak (perusahaan atau instansi yang membayar jasa) untuk secara tegas mengidentifikasi status NPWP rekanan jasa mereka sebelum melakukan pembayaran. Kesalahan dalam penerapan tarif akibat tidak adanya NPWP dapat menyebabkan koreksi pajak di kemudian hari.

Sebagai contoh untuk menunjukan kredibilitas dalam pemotongan pajak, mari kita bandingkan perhitungan PPh 21 untuk penghasilan bruto yang sama antara WP yang memiliki NPWP dan yang tidak.

Keterangan WP dengan NPWP WP Tanpa NPWP
Penghasilan Bruto Rp 10.000.000 Rp 10.000.000
Dasar Pengenaan Pajak (DPP) (50% $\times$ P. Bruto) Rp 5.000.000 Rp 5.000.000
Tarif PPh Pasal 17 (terendah 5%) 5% 5%
PPh 21 Normal (DPP $\times$ Tarif) Rp 250.000 Rp 250.000
Tarif Tambahan (20%) 0% 20%
Tambahan PPh 21 (20% $\times$ PPh 21 Normal) Rp 0 Rp 50.000
Total PPh 21 yang Dipotong Rp 250.000 Rp 300.000

Perbandingan ini jelas menunjukkan bahwa Wajib Pajak tanpa NPWP akan dipotong PPh 21 sebesar Rp 300.000, yang merupakan penambahan 20% dari PPh 21 normal (Rp 250.000 + Rp 50.000), sesuai dengan ketentuan yang diatur.

Status Berkesinambungan vs. Tidak Berkesinambungan dalam Jasa Perorangan

Faktor kedua yang memengaruhi perhitungan dan pelaporan PPh 21 adalah apakah pembayaran jasa tersebut termasuk kategori berkesinambungan atau tidak berkesinambungan.

Pembayaran dianggap berkesinambungan apabila pembayaran diterima atau diperoleh lebih dari satu kali dalam satu tahun kalender dari pemotong pajak yang sama. Misalnya, sebuah salon kecantikan menggunakan jasa makeup artist perorangan setiap bulan atau setiap ada acara khusus. Jika pembayaran jasa ini sudah terjadi lebih dari sekali dalam tahun yang sama, maka statusnya adalah berkesinambungan.

Apabila pembayaran bersifat berkesinambungan, maka Dasar Pengenaan Pajak (DPP) yang 50% dari penghasilan bruto tersebut harus diakumulasikan dan dikenakan Tarif Progresif PPh Pasal 17 secara kumulatif. Perhitungan ini penting karena dapat menyebabkan PPh 21 yang dipotong di periode-periode berikutnya menggunakan lapisan tarif yang lebih tinggi (misalnya dari 5% menjadi 15%) setelah total akumulasi PKP melampaui batas lapisan tarif sebelumnya.

Sebaliknya, pembayaran tidak berkesinambungan adalah pembayaran yang hanya terjadi satu kali dalam satu tahun kalender. Dalam kasus ini, pemotongan PPh 21 dilakukan pada saat pembayaran tunggal tersebut, tanpa perlu adanya akumulasi penghasilan untuk penentuan tarif progresif berikutnya.

Pemotong pajak harus mencatat dan memonitor seluruh pembayaran jasa kepada setiap penyedia jasa perorangan sepanjang tahun untuk menentukan status berkesinambungan atau tidak berkesinambungan ini, guna menjamin ketepatan penerapan tarif progresif PPh Pasal 17.

Dokumentasi dan Kewajiban Pemotong Pajak (Perusahaan atau Instansi)

Kewajiban pemotongan PPh Pasal 21 atas tarif pemotongan pembayaran jasa salon perorangan tidak berhenti pada perhitungan semata. Kepatuhan pajak yang menyeluruh mengharuskan pemotong (perusahaan atau instansi) untuk melakukan dokumentasi dan pelaporan yang akurat. Proses ini krusial karena memengaruhi kredibilitas pajak kedua belah pihak.

Penerbitan Bukti Potong PPh 21 untuk Jasa Salon Perorangan

Setiap kali perusahaan atau instansi melakukan pembayaran dan pemotongan PPh 21 kepada penyedia jasa salon perorangan (sebagai Bukan Pegawai), pihak pemotong pajak wajib menerbitkan Bukti Potong PPh Pasal 21. Dokumen ini memiliki peranan vital. Bagi penerima jasa (pemilik salon), Bukti Potong ini berfungsi sebagai bukti pembayaran pajak di muka dan merupakan dasar untuk melakukan kredit pajak dalam pelaporan SPT Tahunan Orang Pribadi.

Oleh karena itu, akurasi data dalam Bukti Potong menjadi prioritas. Pemotong pajak harus memastikan seluruh elemen data sudah benar, termasuk detail penghasilan bruto, Dasar Pengenaan Pajak (DPP), dan jumlah PPh 21 yang dipotong. Tanpa Bukti Potong yang sah, penerima jasa dapat kesulitan membuktikan bahwa pajaknya telah dipotong dan disetorkan, yang berpotensi menimbulkan masalah kepatuhan di kemudian hari.

Pelaporan Pajak (SPT Masa PPh 21) oleh Pemotong

Setelah pemotongan dilakukan, pemotong pajak memiliki dua kewajiban utama: penyetoran dan pelaporan.

Pertama, pemotong wajib menyetor pajak yang telah dipotong ke kas negara. Penyetoran ini harus dilakukan paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir. Keterlambatan penyetoran dapat memicu sanksi administrasi berupa bunga.

Kedua, pemotong wajib melaporkan seluruh transaksi pemotongan tersebut melalui Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPh 21/26. Pelaporan ini harus dilakukan paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.

Dalam pengalaman praktis sebagai profesional pajak, sistem pelaporan kini telah diseragamkan dan ditingkatkan akurasinya melalui penggunaan e-Bupot Unifikasi. Sesuai dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak (PER) yang berlaku, pemotong pajak wajib menggunakan sistem e-Bupot Unifikasi untuk membuat Bukti Potong dan sekaligus melaporkannya dalam SPT Masa PPh Unifikasi. Sistem digital ini memastikan bahwa data Bukti Potong yang diberikan kepada penerima jasa dan data yang dilaporkan ke Direktorat Jenderal Pajak (DJP) adalah identik, sehingga meningkatkan transparansi dan keandalan data. Untuk panduan teknis dan informasi terbaru terkait aplikasi e-Bupot Unifikasi, pemotong pajak dapat mengakses laman resmi DJP.

Dengan mematuhi kewajiban dokumentasi dan pelaporan tepat waktu, pemotong pajak tidak hanya memenuhi regulasi, tetapi juga menunjukkan kompetensi dan tanggung jawab yang tinggi dalam pengelolaan pajak perusahaan.

Pertanyaan Umum Seputar Pemotongan Pajak Jasa Salon Perorangan

Mengelola pemotongan pajak atas jasa perorangan, seperti jasa salon atau make-up artist, sering kali menimbulkan keraguan praktis. Bagian ini menjawab pertanyaan paling umum untuk memberikan kejelasan operasional yang didukung oleh pemahaman mendalam atas regulasi perpajakan yang berlaku di Indonesia.

Q1. Apakah jasa salon yang omzetnya di bawah PTKP wajib dipotong PPh 21?

Banyak pihak yang salah mengerti bahwa jika penyedia jasa (Penerima Penghasilan) memiliki omzet atau penghasilan tahunan di bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), maka kewajiban memotong PPh 21 menjadi gugur. Namun, berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak (PER) yang mengatur tata cara pemotongan PPh 21 atas penghasilan bukan pegawai, Pemotong Pajak (perusahaan atau instansi yang membayar jasa) tetap wajib melakukan pemotongan PPh 21.

Kewajiban pemotongan ini didasarkan pada besarnya Penghasilan Bruto yang dibayarkan kepada penerima jasa, bukan status kepemilikan PTKP Penerima Penghasilan. Pemotong wajib memotong PPh 21 sesuai ketentuan (50% dari penghasilan bruto dikali tarif progresif PPh Pasal 17) tanpa mempertimbangkan apakah penerima jasa sudah melebihi PTKP atau belum. Penerima jasa yang merasa penghasilan totalnya dalam setahun di bawah PTKP dan telah dipotong PPh 21 dapat mengajukan restitusi (pengembalian kelebihan pembayaran pajak) atau kompensasi saat pelaporan SPT Tahunan Orang Pribadi. Oleh karena itu, ketaatan Pemotong Pajak pada aturan ini sangat penting untuk akuntabilitas dan audit.

Q2. Bagaimana jika Jasa Salon Perorangan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN)?

Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN) adalah metode khusus yang dapat digunakan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi (termasuk jasa salon perorangan) yang memiliki peredaran bruto kurang dari Rp4,8 miliar setahun, dengan syarat telah mengajukan pemberitahuan penggunaan NPPN kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dalam tiga bulan pertama tahun pajak.

Jika jasa salon perorangan telah menggunakan dan memenuhi syarat NPPN, maka perhitungan PPh 21 atas jasa tersebut akan mengalami perbedaan signifikan:

  • Dasar Pengenaan Pajak (DPP) yang digunakan bukan lagi 50% dari penghasilan bruto, melainkan Penghasilan Bruto dikali persentase NPPN yang berlaku untuk jenis usaha tersebut (Jasa Kecantikan).
  • Misalnya, jika persentase NPPN untuk usaha jasa salon di wilayah tertentu adalah 35%, maka DPP-nya menjadi: $$\text{DPP} = \text{Penghasilan Bruto} \times 35%$$
  • Baru kemudian DPP ini dikalikan dengan tarif progresif PPh Pasal 17. Penggunaan NPPN sering kali menghasilkan DPP yang lebih rendah, sehingga secara otomatis mengurangi jumlah PPh 21 yang dipotong. Penting bagi Pemotong Pajak untuk memverifikasi status penggunaan NPPN ini kepada penyedia jasa untuk memastikan perhitungan yang akurat dan legal.

Final Takeaways: Strategi Kepatuhan Pajak Jasa Kecantikan di Tahun 2026

Mengelola aspek perpajakan atas jasa salon perorangan memerlukan ketelitian agar terhindar dari sanksi dan denda pajak. Dengan memahami ketentuan dan menerapkan praktik terbaik, Anda dapat memastikan kepatuhan yang optimal.

Tiga Kunci untuk Pemotongan PPh Jasa Salon yang Akurat

Kepatuhan dalam pemotongan PPh Pasal 21 atas jasa salon perorangan sangat bergantung pada tiga pilar utama. Pertama, validitas data Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) penyedia jasa harus diverifikasi secara cermat; data yang valid akan menentukan penerapan tarif normal PPh Pasal 17, sementara ketidakvalidan atau ketidaktersediaan NPWP akan memicu kenaikan tarif 20%.

Kedua, akurasi perhitungan 50% Dasar Pengenaan Pajak (DPP) harus dijaga. Berdasarkan ketentuan yang berlaku, termasuk Peraturan Direktur Jenderal Pajak (PER) yang mengatur PPh 21 bukan pegawai, DPP untuk tenaga ahli perorangan adalah 50% dari penghasilan bruto. Kesalahan dalam persentase ini adalah sumber koreksi pajak yang umum.

Ketiga, pelaporan yang tepat waktu menggunakan e-Bupot adalah kunci. Seluruh pemotongan harus disetor dan dilaporkan melalui Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPh 21/26 menggunakan e-Bupot Unifikasi sebelum batas waktu yang ditentukan. Proses digital ini membantu meminimalkan kesalahan administratif dan memastikan setiap pemotongan tercatat dengan benar sebagai kredit pajak bagi penerima jasa.

Langkah Lanjutan untuk Mengelola Pajak Bisnis Anda

Untuk menghindari koreksi pajak di masa mendatang, disarankan untuk segera melakukan peninjauan menyeluruh terhadap kontrak atau perjanjian dengan penyedia jasa salon perorangan. Periksa kembali status NPWP mereka secara berkala, terutama sebelum melakukan pembayaran. Selain itu, pastikan penggunaan tarif PPh Pasal 17 yang benar (berlapis mulai dari 5% dan seterusnya) sudah sesuai dengan jumlah penghasilan bruto kumulatif yang telah diterima penyedia jasa dalam tahun kalender berjalan. Dengan langkah proaktif ini, bisnis Anda menunjukkan kepatuhan dan menjaga integritas laporan keuangan Anda di hadapan Direktorat Jenderal Pajak.

Jasa Pembayaran Online
💬