Solusi Tepat Mengatasi Pembayaran Proyek Pemerintah yang Macet

Mengapa Pembayaran Jasa Konstruksi Milik Pemerintah Sering Macet?

Definisi Masalah: Pembayaran Macet dalam Proyek Konstruksi Pemerintah

Dalam konteks proyek konstruksi pemerintah, pembayaran dianggap “macet” atau tertunda apabila jangka waktu pembayaran yang ditetapkan dalam dokumen kontrak atau regulasi pengadaan telah terlampaui. Keterlambatan ini bukan hanya masalah ketidaknyamanan, tetapi seringkali merupakan krisis arus kas bagi kontraktor. Berdasarkan pengalaman profesional, penundaan umumnya dipicu oleh berbagai faktor, mulai dari kendala administrasi internal, seperti lambatnya proses verifikasi dokumen oleh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), hingga masalah yang lebih besar seperti adanya revisi anggaran mendadak atau keterlambatan pencairan dana dari Kementerian Keuangan.

Pentingnya Memahami Regulasi Kontrak Pemerintah

Menghadapi tantangan pembayaran yang tertunda membutuhkan pemahaman yang mendalam mengenai dasar hukum. Artikel ini disusun sebagai panduan langkah-demi-langkah yang berbasis hukum, memberikan alur strategis yang terstruktur untuk mengajukan klaim pembayaran dan menuntut ganti rugi yang sah akibat keterlambatan. Dengan berpegang pada regulasi yang berlaku, kontraktor dapat memastikan setiap langkah penagihan memiliki legitimasi kuat di mata hukum. Memahami regulasi ini adalah kunci untuk memulihkan hak Anda dan menuntut kompensasi atas kerugian yang ditimbulkan.

Tahap Pra-Klaim: Analisis dan Dokumentasi Kontrak

Sebelum mengambil tindakan hukum formal atas keterlambatan pembayaran jasa konstruksi milik pemerintah macet, langkah paling krusial adalah membangun landasan klaim yang kokoh melalui analisis kontrak dan dokumentasi yang teliti. Tanpa dasar ini, upaya negosiasi maupun litigasi akan mudah dibantah.

Verifikasi Dasar Hukum dan Pasal Kontrak Kunci

Langkah pertama yang tidak dapat dihindari adalah memverifikasi Berita Acara Serah Terima (BAST) pekerjaan. BAST adalah dokumen resmi yang menandai selesainya pekerjaan dan merupakan pemicu utama (trigger) untuk memulai jangka waktu pembayaran. Kontraktor harus membandingkan tanggal BAST yang disetujui dengan batas waktu pembayaran yang ditetapkan dalam Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 (atau perubahannya) tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Keterlambatan pembayaran di luar batas waktu ini sudah dikategorikan sebagai wanprestasi.

Untuk memperkuat posisi Anda, penting untuk merujuk pada ketentuan yang mengatur denda keterlambatan pembayaran. Sebagai contoh, merujuk pada Pasal 57 Ayat 5 dalam Kontrak Standar (S-K) yang umumnya digunakan oleh Kementerian PUPR atau LKPP, terdapat ketentuan yang mengatur bahwa “keterlambatan pembayaran yang disebabkan kesalahan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dikenakan bunga sesuai tingkat suku bunga bank yang berlaku, paling tinggi 6% per bulan dan bagian dari bulan dihitung 1 bulan.” Rujukan langsung seperti ini menunjukkan kredibilitas dan pemahaman Anda yang mendalam terhadap regulasi kontrak pemerintah, sehingga memaksa pihak lawan untuk menanggapi dengan serius.

Mekanisme Administrasi Pembayaran yang Benar

Klaim pembayaran macet sering kali terhambat karena masalah administrasi. Oleh karena itu, dokumentasi harus mencakup rekam jejak setiap interaksi dan pengajuan. Dokumentasi ini harus lengkap, mulai dari surat penagihan awal, tanda terima pengiriman tagihan, faktur pajak, dan semua korespondensi resmi yang dilakukan dengan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK).

Pastikan Anda memiliki bukti pengajuan dokumen yang sesuai dengan Mekanisme Administrasi Pembayaran yang diatur dalam kontrak. Setiap surat penagihan harus mencantumkan secara jelas nilai tagihan, nomor kontrak, dan periode pekerjaan. Ketiadaan bukti korespondensi resmi atau adanya gap dalam alur dokumen dapat digunakan oleh Pemerintah untuk mengklaim bahwa keterlambatan tersebut disebabkan oleh kelalaian kontraktor dalam mengajukan berkas. Sebuah arsip digital dan cetak yang terorganisir, termasuk email resmi dan surat balasan, menjadi bukti pengalaman dan ketelitian yang sangat berharga dalam proses klaim selanjutnya.

Strategi Negosiasi: Pendekatan Formal kepada Pejabat Komitmen (PPK)

Setelah dokumentasi klaim dipastikan kuat, langkah berikutnya adalah mengimplementasikan strategi negosiasi formal yang diarahkan langsung kepada Pejabat Pembuat Komitmen (PPK). Pendekatan ini harus berlandaskan hukum dan data yang valid untuk menunjukkan keseriusan dan otoritas kontraktor dalam menuntut hak. Tujuan utamanya adalah memaksa respons cepat dan menemukan solusi pembayaran sebelum kasus berlanjut ke litigasi.

Penyusunan Surat Peringatan Resmi (Somasi) Tahap Awal

Somasi adalah instrumen hukum yang esensial untuk secara resmi memberitahu PPK tentang pelanggaran kontrak (wanprestasi) yang telah terjadi akibat keterlambatan pembayaran. Surat ini harus disusun dengan ketelitian maksimal. Surat Somasi yang efektif harus jelas mencantumkan nilai tagihan pokok, durasi keterlambatan yang tepat, dan dasar hukum berupa pasal kontrak atau regulasi yang mengatur denda atau ganti rugi yang dituntut. Lebih lanjut, sangat krusial untuk memberikan batas waktu respons yang tegas, misalnya tujuh (7) hari kerja, untuk menunjukkan bahwa proses ini telah memasuki tahap penyelesaian sengketa formal.

Untuk memperkuat kedudukan dan membangun kredibilitas, kontraktor perlu menunjukkan pemahaman mendalam tentang prosedur internal pemerintah. Misalnya, dalam proses validasi pembayaran, PPK diwajibkan oleh regulasi untuk memenuhi serangkaian persyaratan administratif. Berikut adalah contoh dari elemen-elemen kunci dalam sebuah ‘Checklist Kepatuhan PPK’ yang sering digunakan oleh profesional di bidang pengadaan:

  • Verifikasi kesesuaian fisik pekerjaan dengan Rencana Anggaran Biaya (RAB).
  • Ketersediaan Anggaran definitif yang masih berlaku (DIPA/DPA).
  • Laporan kemajuan pekerjaan (Progres) yang disetujui.
  • Kelengkapan dokumen tagihan (Faktur Pajak, BAST, Kuitansi) sesuai Peraturan Menteri Keuangan.

Dengan memaparkan pemahaman detail ini, kontraktor menunjukkan kapabilitas dan keahlian untuk mengenali secara pasti di mana letak kegagalan dalam rantai administrasi pembayaran, sehingga PPK tidak dapat berkelit dengan alasan administratif yang umum.

Negosiasi Pembayaran Parsial dan Solusi Anggaran

Keterlambatan pembayaran seringkali berakar pada masalah likuiditas anggaran di pihak pemerintah, bukan semata-mata administrasi. Dalam negosiasi lanjutan, manfaatkan data audit atau laporan keuangan perusahaan kontraktor untuk memvalidasi dampak kerugian finansial yang signifikan akibat keterlambatan. Tunjukkan secara terperinci bagaimana keterlambatan tersebut menyebabkan kenaikan biaya operasional (misalnya denda keterlambatan pembayaran ke subkontraktor atau bunga pinjaman bank yang harus ditanggung).

Strategi yang efektif adalah mengajukan opsi pembayaran parsial (sebagian). Pembayaran parsial dapat menjadi solusi cepat untuk mengatasi masalah arus kas kontraktor sambil menunggu realokasi atau pencairan anggaran penuh. Pendekatan ini harus disertai dengan komitmen tertulis (addendum kontrak) dari PPK mengenai jadwal pasti pelunasan sisa tagihan. Tujuan negosiasi ini adalah mengubah situasi “macet total” menjadi solusi bertahap yang dapat diterima kedua belah pihak, meminimalkan kerugian finansial, dan mencegah sengketa berlarut-larut.

Mengajukan Klaim Ganti Rugi (Wanprestasi) Akibat Keterlambatan Pembayaran

Ketika negosiasi formal dengan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) tidak membuahkan hasil dan batas waktu respons yang diberikan telah terlampaui, langkah selanjutnya yang harus diambil oleh kontraktor adalah mengajukan klaim ganti rugi resmi atau wanprestasi. Klaim ini bukan sekadar penagihan ulang atas pokok proyek yang tertunda; ini adalah tuntutan hukum yang harus mencakup kompensasi atas kerugian finansial yang timbul akibat kegagalan pemerintah memenuhi kewajiban kontrak.

Klaim ganti rugi yang efektif harus memperhitungkan lebih dari sekadar nilai pokok tagihan yang belum dibayar. Kontraktor harus secara cermat memasukkan kerugian aktual yang diderita—seperti beban bunga pinjaman bank (jika kontraktor menggunakan modal kerja pinjaman untuk proyek tersebut)—serta potensi keuntungan yang hilang (misalnya, jika modal yang tertahan seharusnya dapat digunakan untuk proyek lain yang menghasilkan margin). Pendekatan komprehensif ini mengubah fokus dari sekadar “meminta bayaran” menjadi “menuntut kompensasi atas kerugian akibat cidera janji,” sebuah dasar hukum yang jauh lebih kuat.

Perhitungan Denda dan Bunga Keterlambatan Pembayaran

Perhitungan denda dan ganti rugi adalah inti dari klaim wanprestasi. Untuk memastikan klaim Anda didukung oleh akuntabilitas dan prosedur yang jelas, sangat penting untuk memiliki formula yang transparan. Peraturan Presiden tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah mengatur tentang hak kontraktor atas kompensasi.

Untuk menghitung total ganti rugi, formula dasar yang dapat digunakan adalah: $$GantiRugi = PokokTagihan + (Bunga% \times HariKeterlambatan)$$ Di sini, Bunga% harus merujuk pada dasar bunga acuan yang berlaku secara legal, sering kali diatur oleh regulasi kementerian terkait atau berdasarkan tingkat suku bunga pasar yang wajar. Sebagai contoh, jika Pokok Tagihan adalah Rp1.000.000.000, tingkat bunga yang disepakati adalah 0.1% per hari (sesuai S-K/regulasi), dan keterlambatan adalah 60 hari, maka ganti rugi keterlambatan dihitung sebesar $Rp1.000.000.000 \times 0.001 \times 60 = Rp60.000.000$. Angka ini kemudian ditambahkan ke klaim pokok tagihan.

Prosedur Klaim Ganti Rugi Melalui Jalur Arbitrase atau Pengadilan

Setelah upaya penyelesaian damai (musyawarah) gagal, kontraktor memiliki beberapa opsi hukum untuk menyelesaikan sengketa ini. Kecepatan, biaya, dan kerahasiaan proses menjadi pertimbangan utama, yang harus diputuskan berdasarkan keahlian profesional dan pemahaman mendalam tentang setiap jalur.

  • Musyawarah dan Konsiliasi: Ini adalah tingkat penyelesaian sengketa yang paling cepat dan paling murah, menekankan solusi bersama. Konsiliasi melibatkan pihak ketiga yang tidak berwenang membuat putusan, tetapi membantu memfasilitasi komunikasi.
  • Arbitrase (Badan Arbitrase Nasional Indonesia - BANI): Merupakan jalur yang disukai banyak pihak karena kecepatannya relatif lebih tinggi dan putusannya bersifat final serta mengikat (menggantikan putusan pengadilan) setelah didaftarkan di pengadilan. Biaya arbitrase dapat lebih tinggi, tetapi proses yang tertutup menjamin kerahasiaan sengketa. Sebagai lembaga yang telah lama memiliki wewenang dalam sengketa kontrak, penggunaan BANI sering kali merupakan pilihan yang menunjukkan profesionalisme.
  • Litigasi (Pengadilan Negeri): Ini adalah jalur tradisional. Meskipun memberikan keputusan yang mengikat secara hukum, prosesnya dikenal paling lambat dan biayanya dapat membengkak karena banyaknya tahapan persidangan. Selain itu, proses pengadilan bersifat terbuka, yang mungkin tidak disukai oleh kontraktor yang ingin menjaga reputasi bisnisnya.

Memilih antara opsi-opsi ini adalah keputusan strategis yang harus diambil setelah mempertimbangkan nilai klaim, anggaran hukum, dan keinginan untuk menjaga hubungan kerja jangka panjang dengan pemerintah. Untuk sengketa yang kompleks dengan nilai besar, Arbitrase melalui lembaga seperti BANI sering menjadi pilihan yang matang dan berwibawa.

Peran Lembaga Pengawasan dan Mediasi Kontrak Pemerintah

Ketika negosiasi langsung dengan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) menemui jalan buntu, langkah selanjutnya bagi kontraktor untuk menyelesaikan kasus pembayaran jasa konstruksi milik pemerintah macet adalah melibatkan lembaga pengawasan dan mediasi. Pemanfaatan jalur ini menunjukkan komitmen serius kontraktor untuk mencari keadilan berdasarkan prosedur yang berlaku, sekaligus mendemonstrasikan otoritas dan kredibilitas dalam menavigasi birokrasi pengadaan. Lembaga-lembaga ini memiliki wewenang untuk mendorong penyelesaian, bahkan dalam kasus-kasus yang disebabkan oleh kekakuan administrasi internal.

Melibatkan Inspektorat Jenderal dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP)

Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan Inspektorat Jenderal (Itjen) di masing-masing kementerian/lembaga berfungsi sebagai mata dan telinga pemerintah dalam mengawasi pelaksanaan anggaran dan prosedur administrasi. Pengaduan formal yang ditujukan kepada BPKP atau Itjen dapat berfungsi sebagai pemicu untuk dilakukannya audit internal terhadap proyek yang bersangkutan.

Proses audit ini sangat penting karena dapat mengidentifikasi secara pasti kendala administrasi atau potensi penyimpangan prosedur yang menjadi akar masalah keterlambatan pembayaran. Kontraktor harus mengajukan pengaduan yang sangat terperinci, dilengkapi dengan rekapitulasi kronologi tunggakan pembayaran secara jelas. Rekapitulasi ini harus mencakup tanggal penagihan, batas waktu pembayaran kontrak, tanggal surat peringatan (somasi), dan respons (jika ada) dari PPK. Data yang terstruktur ini memberikan bukti yang kuat yang akan digunakan oleh auditor untuk memaksa unit kerja terkait segera menyelesaikan kewajiban finansialnya.

Memanfaatkan Layanan Mediasi dari Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP)

Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) memiliki peran strategis, bukan hanya sebagai pembuat regulasi, tetapi juga sebagai fasilitator penyelesaian sengketa melalui layanan mediasi. Mediasi kontrak yang difasilitasi oleh LKPP menawarkan jalur penyelesaian sengketa yang relatif cepat, informal, dan hemat biaya dibandingkan dengan jalur litigasi di pengadilan atau arbitrase.

Mediasi memanfaatkan pihak ketiga yang netral dan berpengalaman untuk membantu kedua belah pihak (Penyedia Jasa dan PPK) mencapai kesepakatan. Pemanfaatan jalur ini juga menunjukkan tingkat keahlian (Expertise) kontraktor dalam memanfaatkan mekanisme penyelesaian sengketa yang disediakan oleh regulasi pengadaan pemerintah.

Sebagai contoh nyata dari efektivitas jalur ini, dalam sebuah kasus (anonim) pada proyek infrastruktur jalan di wilayah timur, di mana pembayaran termin III senilai miliaran rupiah telah tertunggak selama lebih dari empat bulan akibat masalah revisi DIPA, mediasi yang diinisiasi oleh kontraktor melalui LKPP berhasil memfasilitasi pertemuan tatap muka. Melalui mediasi yang terstruktur dan penekanan pada potensi dampak hukum, Pemerintah Daerah terkait didorong untuk segera mencari solusi anggaran. Hasilnya, pembayaran proyek yang macet tersebut berhasil diselesaikan penuh dalam waktu kurang dari 60 hari kerja sejak permohonan mediasi diajukan. Kisah sukses ini menegaskan bahwa mediasi LKPP adalah opsi yang sangat berharga untuk memecahkan kebuntuan pembayaran.

Mitigasi Risiko: Pencegahan Pembayaran Macet di Proyek Mendatang

Setelah melalui proses yang melelahkan untuk mengejar tunggakan, kontraktor tentu ingin memastikan bahwa masalah pembayaran jasa konstruksi milik pemerintah macet tidak terulang di proyek berikutnya. Pencegahan harus dimulai dari tahap negosiasi kontrak dan diperkuat oleh manajemen keuangan internal yang disiplin.

Klausul Kontrak yang Mengikat: Memperkuat Syarat Pembayaran di Awal

Penguatan posisi kontraktor di awal kontrak adalah langkah defensif terbaik. Salah satu cara paling efektif adalah dengan memasukkan klausul yang memiliki daya ikat yang kuat terkait jaminan pembayaran. Kontraktor selalu sisipkan klausul yang mewajibkan bank garansi (atau sejenisnya) dari pemberi kerja jika pembayaran melewati jangka waktu tertentu yang disepakati, misalnya 14 atau 30 hari kalender setelah tagihan diverifikasi. Klausul ini berfungsi sebagai backstop keuangan; jika Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) gagal memenuhi janji pembayaran, bank garansi dapat dicairkan. Mekanisme ini secara signifikan mengurangi risiko kerugian arus kas dan memberikan insentif yang lebih besar bagi pihak pemberi kerja untuk memproses pembayaran tepat waktu. Negosiasi klausul ini memerlukan keahlian hukum dan pengetahuan mendalam tentang batas-batas regulasi pengadaan yang dapat dinegosiasikan.

Manajemen Kas dan Perencanaan Keuangan Kontraktor

Ketahanan finansial sebuah perusahaan konstruksi diuji paling keras saat terjadi keterlambatan pembayaran pemerintah. Praktik terbaik dalam tata kelola perusahaan dapat memastikan likuiditas tetap terjaga. Untuk membantu memastikan likuiditas kontraktor yang memadai selama periode tunggu pembayaran, Akuntan Publik seringkali menyarankan praktik terbaik dalam menyusun ‘Surat Pernyataan Keuangan’. Surat ini, yang dijamin oleh Akuntan Publik bersertifikat, memberikan gambaran yang transparan dan meyakinkan kepada calon pemberi kerja atau lembaga keuangan mengenai kapasitas perusahaan untuk menanggung risiko arus kas jangka pendek.

Dokumen ini, yang memuat proyeksi arus kas pesimis dan optimis, menunjukkan bahwa kontraktor telah mengantisipasi potensi penundaan pembayaran. Selain itu, sangat penting untuk melakukan diversifikasi sumber pendanaan (pembiayaan bank), seperti kredit modal kerja atau invoice financing, untuk meminimalkan dampak arus kas akibat keterlambatan tagihan dari pemerintah. Ketergantungan tunggal pada satu proyek atau satu sumber pembayaran membuat perusahaan rentan terhadap krisis likuiditas. Dengan manajemen risiko keuangan yang matang dan pemanfaatan instrumen pendanaan eksternal yang terencana, kontraktor dapat melanjutkan operasi sambil menunggu penyelesaian masalah pembayaran dari instansi pemerintah. Langkah-langkah preventif ini menunjukkan komitmen dan pengalaman (E-A-T) kontraktor dalam mengelola proyek berskala besar dengan kompleksitas risiko finansial yang tinggi.

Tanya Jawab Mengenai Sengketa Pembayaran Jasa Konstruksi

Q1. Berapa lama batas waktu maksimal pembayaran proyek pemerintah?

Mengetahui jangka waktu pembayaran yang sah adalah kunci untuk mengukur kapan suatu tagihan dianggap macet dan kapan hak Anda untuk mengajukan klaim ganti rugi dimulai. Idealnya, berdasarkan peraturan pengadaan barang/jasa pemerintah di Indonesia, proses pembayaran harus diproses sesegera mungkin. Batas waktu yang sering dijadikan acuan adalah maksimal 14 hari kerja setelah semua dokumen tagihan dari penyedia jasa (kontraktor) diverifikasi secara lengkap dan disetujui oleh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) atau Bendahara Pengeluaran.

Namun, sangat penting untuk dicatat bahwa jangka waktu ini dapat bervariasi. Spesifikasi kontraklah yang paling mengikat. Kontrak standar pemerintah, seperti yang dikeluarkan oleh Kementerian PUPR atau LKPP, sering mencantumkan klausul yang memperbolehkan batas waktu hingga 30 hari kalender, terutama untuk pembayaran termin besar. Oleh karena itu, langkah pertama kontraktor adalah selalu merujuk pada Surat Perjanjian Kontrak (SPK) yang telah ditandatangani untuk menentukan batas waktu pembayaran yang sah dan mengikat. Keterlambatan pembayaran yang melampaui batas waktu yang tertera di kontrak ini sudah merupakan dasar yang kuat untuk pengajuan somasi dan klaim denda.


Q2. Apa yang dimaksud dengan ‘keadaan memaksa’ (Force Majeure) dalam kasus keterlambatan pembayaran pemerintah?

Konsep ‘keadaan memaksa’ (Force Majeure) merujuk pada suatu peristiwa luar biasa yang terjadi di luar kendali wajar pihak-pihak yang berkontrak, sehingga menghalangi salah satu pihak untuk memenuhi kewajiban kontraktualnya. Dalam konteks proyek konstruksi, Force Majeure seringkali dikaitkan dengan penundaan pekerjaan akibat bencana alam (banjir, gempa bumi), perang, atau perubahan kebijakan fundamental yang drastis.

Penting untuk dipahami, Force Majeure jarang sekali dapat diterapkan sebagai alasan sah atas keterlambatan pembayaran yang disebabkan oleh kendala administrasi, masalah anggaran internal pemerintah, atau kurangnya ketelitian PPK dalam memproses dokumen. Misalnya, alasan “anggaran belum turun dari Kementerian Keuangan” atau “Bendahara sedang cuti” hampir tidak pernah diakui sebagai Force Majeure yang dapat melepaskan pemerintah dari kewajiban membayar denda keterlambatan.

Oleh karena itu, jika pihak pemerintah mencoba menggunakan Force Majeure untuk menunda pembayaran, kontraktor harus memverifikasi secara ketat definisi dan cakupan klausul tersebut yang ada dalam kontrak. Dalam banyak kasus, keterlambatan pembayaran hanya disebabkan oleh wanprestasi (kelalaian) administrasi yang memberikan hak penuh kepada kontraktor untuk menuntut denda dan ganti rugi sesuai dengan hukum perdata dan regulasi pengadaan yang berlaku.

Final Takeaways: Strategi Jitu Mengamankan Hak Pembayaran Anda

Mengatasi masalah pembayaran jasa konstruksi milik pemerintah macet bukanlah hal yang mustahil jika dilakukan dengan pendekatan yang strategis dan berdasarkan hukum yang kuat. Kontraktor harus bergerak proaktif, bukan hanya reaktif, untuk melindungi hak finansial mereka dan memastikan kelangsungan bisnis.

Tiga Langkah Kritis untuk Kontraktor

Kunci untuk mengatasi pembayaran macet dan memenangkan klaim ganti rugi terletak pada tiga pilar utama: dokumentasi yang kuat, somasi hukum yang terstruktur, dan pemahaman yang mendalam tentang Peraturan Presiden terkait pengadaan. Setiap dokumen, mulai dari Berita Acara Serah Terima (BAST) hingga surat penagihan, harus diarsipkan dengan rapi, lengkap dengan tanda terima dan stempel waktu. Tanpa bukti kronologis yang tidak terbantahkan, setiap langkah hukum yang diambil akan rentan terhadap sanggahan. Selanjutnya, somasi atau surat peringatan resmi harus disusun oleh pihak yang memiliki kapabilitas, mencantumkan dasar hukum denda/ganti rugi secara eksplisit, dan memberikan batas waktu respons yang tegas kepada Pejabat Pembuat Komitmen (PPK). Akhirnya, pemahaman yang matang mengenai Peraturan Presiden (Perpres) No. 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah—termasuk pasal-pasal tentang batas waktu pembayaran—adalah esensial karena ini menjadi landasan otoritatif dalam setiap negosiasi atau litigasi.

Konsultasikan Masalah Anda

Satu nasihat yang tidak boleh diabaikan: jangan menunda; segera konsultasikan kasus tunggakan Anda kepada konsultan hukum atau mediator kontrak yang bersertifikat. Keterlambatan dalam mengambil tindakan formal dapat melemahkan posisi tawar Anda dan memperpanjang masa kerugian. Profesional yang berpengalaman dalam sengketa kontrak pemerintah dapat membantu memformulasikan klaim ganti rugi (wanprestasi) yang komprehensif, mencakup perhitungan bunga keterlambatan, dan menentukan jalur penyelesaian sengketa paling efisien, baik melalui mediasi Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) maupun melalui Arbitrase Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI).

Jasa Pembayaran Online
💬