2 Skema Pembayaran Jasa Layanan Kesehatan pada Program JKN

Memahami Mekanisme Pembayaran Jasa Kesehatan di Program JKN-KIS

Jawaban Cepat: Inti Pembayaran Jasa Pelayanan Kesehatan JKN

Pembayaran jasa layanan kesehatan dalam Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikelola oleh BPJS Kesehatan dibagi menjadi dua mekanisme utama yang berbeda, tergantung pada tingkat fasilitas kesehatan yang memberikan layanan. Untuk layanan yang diberikan di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP), seperti Puskesmas dan Klinik Pratama, digunakan sistem Kapitasi. Sementara itu, untuk layanan spesialistik yang diberikan di Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan (FKRTL), yaitu rumah sakit, digunakan sistem pembayaran paket kasus yang dikenal sebagai INA-CBGs (Indonesia Case-Based Groups).

Secara sederhana, sistem Kapitasi adalah pembayaran tetap per peserta per bulan berdasarkan jumlah peserta terdaftar, sementara INA-CBGs adalah pembayaran paket layanan berdasarkan diagnosis penyakit dan prosedur medis yang telah diberikan.

Meningkatkan Kepercayaan: Mengapa Mekanisme Pembayaran Ini Penting?

Memahami mekanisme pembayaran ini sangat penting karena hal ini menunjukkan bagaimana dana JKN dikelola secara transparan dan akuntabel untuk menjamin mutu layanan. Skema pembayaran yang terstruktur ini adalah fondasi program JKN, memastikan bahwa dana yang terkumpul dari iuran peserta dan pemerintah dialokasikan secara tepat sasaran, baik untuk pelayanan preventif di layanan primer maupun kuratif di layanan lanjutan. Artikel ini disusun oleh ahli dan profesional yang memahami regulasi JKN, dan akan mengupas tuntas kedua skema pembayaran ini agar Anda mendapatkan pemahaman komprehensif mengenai pengelolaan dana JKN.

Skema Pembayaran Kapitasi: Dana Pelayanan Kesehatan Primer (FKTP)

Sistem pembayaran Kapitasi adalah pilar utama dalam pembiayaan Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) seperti Puskesmas, Klinik Pratama, dan Dokter Praktik Perorangan yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan. Mekanisme ini dirancang untuk memastikan FKTP memiliki insentif untuk fokus pada upaya pencegahan dan pemeliharaan kesehatan.

Prinsip Dasar dan Definisi Pembayaran Kapitasi JKN

Kapitasi merupakan metode pembayaran prospektif. Ini berarti FKTP menerima pembayaran tetap di awal setiap bulan, dihitung berdasarkan jumlah total peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang terdaftar di fasilitas tersebut. Pembayaran ini dilakukan di muka per peserta per bulan, tanpa memperhitungkan berapa kali atau jenis layanan apa yang diterima oleh masing-masing peserta dalam bulan berjalan.

Pendekatan ini sangat berbeda dengan sistem pembayaran berbasis jasa atau fee-for-service, karena Kapitasi memindahkan fokus dari pengobatan penyakit menjadi pemeliharaan kesehatan peserta secara holistik. Dengan menerima dana tetap per peserta, FKTP didorong untuk menjaga peserta tetap sehat, karena semakin banyak pasien yang sakit dan membutuhkan layanan, beban biaya operasional FKTP akan semakin tinggi tanpa peningkatan pendapatan.

Komponen Alokasi Dana Kapitasi: Jasa Medis vs. Biaya Operasional

Kejelasan mengenai alokasi dana Kapitasi sangat penting untuk membangun akuntabilitas dan transparansi dalam penggunaan anggaran JKN. Berdasarkan regulasi yang ditetapkan, termasuk Peraturan Menteri Kesehatan, terdapat ketentuan ketat mengenai pembagian dana yang diterima FKTP.

Dana Kapitasi yang diterima wajib dialokasikan minimal 60% untuk jasa pelayanan kesehatan dan sisanya (maksimal 40%) untuk biaya operasional fasilitas. Alokasi untuk jasa pelayanan ini mencakup remunerasi bagi seluruh tenaga medis (dokter, perawat, bidan) dan tenaga non-medis yang terlibat langsung dalam pemberian layanan. Sementara itu, alokasi biaya operasional digunakan untuk pengadaan obat, alat kesehatan, Bahan Medis Habis Pakai (BMHP), serta pemeliharaan sarana dan prasarana.

Tujuan utama dari alokasi minimal 60% untuk jasa pelayanan adalah untuk memastikan bahwa tenaga kesehatan yang bekerja di garda terdepan sistem JKN menerima imbalan yang memadai, yang pada akhirnya akan berdampak langsung pada motivasi dan kualitas layanan yang diberikan kepada peserta.

Indikator Kinerja yang Memengaruhi Besaran Dana Kapitasi (KBK)

Besaran tarif Kapitasi yang diterima oleh FKTP tidak selalu bersifat statis; ia dipengaruhi oleh penilaian kinerja yang disebut Komitmen Pelayanan Berbasis Kualitas (KBK). KBK adalah serangkaian indikator yang dirancang untuk mengukur sejauh mana FKTP telah berhasil menjalankan fungsi promotif dan preventif serta memastikan akses dan mutu layanan.

Indikator kinerja yang diukur antara lain meliputi:

  1. Rasio Peserta terhadap Dokter: Memastikan rasio ideal untuk pelayanan optimal.
  2. Capaian Program Prioritas: Keberhasilan dalam pelaksanaan program promotif dan preventif (misalnya, deteksi dini penyakit kronis atau program kehamilan).
  3. Angka Kontak: Frekuensi interaksi peserta dengan FKTP untuk upaya preventif.

Jika suatu FKTP menunjukkan capaian KBK yang tinggi—artinya, mereka berhasil menjaga kesehatan peserta dengan baik dan memenuhi standar mutu layanan—mereka dapat menerima Kapitasi Berbasis Kualitas (KBK) yang lebih tinggi. Sebaliknya, kinerja yang rendah dapat mengakibatkan penyesuaian tarif Kapitasi ke tingkat dasar. Dengan demikian, sistem KBK berfungsi sebagai mekanisme peningkatan mutu berkelanjutan dan akuntabilitas fasilitas kesehatan, sejalan dengan komitmen JKN untuk pelayanan yang berkualitas.

INA-CBGs: Mekanisme Pembayaran Layanan Spesialistik di Rumah Sakit (FKRTL)

Sistem pembayaran INA-CBGs (Indonesia Case Based Groups) adalah pilar kedua dalam mekanisme pembayaran JKN, secara khusus diterapkan untuk Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan (FKRTL) seperti rumah sakit. Berbeda total dari Kapitasi yang bersifat prospektif, INA-CBGs menggunakan pendekatan retrospektif, yang berarti rumah sakit dibayar setelah layanan diberikan, berdasarkan diagnosis dan prosedur yang telah dilakukan. Sistem ini dirancang untuk menangani kompleksitas layanan spesialistik dan rawat inap.

Pengertian dan Dasar Penetapan Tarif INA-CBGs

INA-CBGs adalah suatu sistem klasifikasi penyakit yang mengelompokkan berbagai jenis kasus pasien yang memiliki kesamaan klinis dan penggunaan sumber daya yang relatif sama. Secara teknis, sistem ini adalah metode pembayaran paket kasus. Rumah sakit yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan menerima pembayaran paket layanan kesehatan terkait diagnosis dan prosedur medis pasien. Metode ini disebut sebagai sistem pembayaran retrospektif karena tagihan dibayarkan setelah perawatan selesai.

Penting untuk dicatat bahwa berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) terbaru, tarif INA-CBGs dirancang untuk mencakup seluruh biaya yang timbul selama perawatan. Ini termasuk komponen mulai dari obat-obatan yang diresepkan, penggunaan alat kesehatan, hingga jasa profesional medis. Standar akuntabilitas yang tinggi ini memastikan bahwa kualitas layanan yang diterima pasien sudah dihitung dalam satu kesatuan pembayaran.

Keunggulan Sistem Paket Kasus (Case-Based Groups) Dibanding Fee-for-Service

Sistem INA-CBGs muncul sebagai respons terhadap kelemahan model pembayaran lama, yaitu Fee-for-Service (FFS). Dalam FFS, setiap tindakan medis dibayar secara terpisah, yang berpotensi mendorong penyedia layanan untuk melakukan tindakan yang tidak perlu (moral hazard) hanya demi meningkatkan pendapatan.

Sebaliknya, pengelompokan kasus dalam INA-CBGs didasarkan pada kesamaan klinis dan intensitas penggunaan sumber daya. Tujuannya adalah mendorong efisiensi biaya tanpa mengorbankan kualitas layanan. Ketika rumah sakit mengetahui bahwa mereka akan menerima tarif tetap untuk kasus tertentu (misalnya, Apendisitis Akut), mereka terdorong untuk menggunakan sumber daya secara bijak dan memilih prosedur yang paling efektif, karena selisih antara biaya riil dan tarif INA-CBGs akan menjadi keuntungan atau kerugian mereka. Hal ini meningkatkan efektivitas dalam pengelolaan sumber daya medis dan non-medis.

Struktur Tarif INA-CBGs: Biaya Medis, Non-Medis, dan Perbedaan Kelas Perawatan

Struktur tarif INA-CBGs terdiri dari beberapa komponen yang memastikan keseluruhan layanan terbayar lunas. Secara umum, paket tarif ini meliputi:

  • Biaya Medis: Termasuk jasa profesional dokter dan tenaga kesehatan, biaya obat-obatan, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai (BMHP).
  • Biaya Non-Medis: Meliputi biaya operasional rumah sakit, seperti biaya administrasi klaim, laundry, makanan pasien, dan pemeliharaan gedung.

Salah satu dampak signifikan dari sistem ini adalah terciptanya standarisasi biaya untuk penyakit yang sama di seluruh rumah sakit yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan. Standarisasi ini merupakan fondasi penting dalam menjaga kewajaran biaya dan mencegah markup yang berlebihan. Meskipun demikian, terdapat penyesuaian tarif berdasarkan kategori rumah sakit (Kelas A, B, C, D) dan juga berdasarkan kelas perawatan (Kelas 1, 2, 3) yang dipilih pasien. Penyesuaian ini mencerminkan perbedaan dalam kenyamanan fasilitas rawat inap, namun tarif inti layanan medis tetap didasarkan pada kesamaan klinis kasus yang ditangani.

Dengan adanya sistem paket ini, fokus BPJS Kesehatan beralih dari pengawasan setiap tindakan individu ke pengawasan luaran klinis dan efisiensi total perawatan per kasus, menjamin akuntabilitas bagi seluruh pihak.

Alokasi Dana Jasa Pelayanan: Siapa Saja yang Menerima Pembayaran?

Setelah memahami skema pembayaran Kapitasi dan INA-CBGs, penting untuk mengupas tuntas bagaimana dana yang disalurkan oleh BPJS Kesehatan tersebut kemudian dialokasikan sebagai jasa pelayanan (remunerasi) di dalam fasilitas kesehatan. Ini adalah titik fokus utama yang sering memicu pertanyaan mengenai keadilan dan transparansi.

Pembagian Jasa Pelayanan Medis di FKTP: Untuk Tenaga Kesehatan dan Non-Kesehatan

Pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP), dana kapitasi yang diterima memiliki komponen wajib yang harus dialokasikan untuk jasa pelayanan. Pembayaran jasa pelayanan (remunerasi) ini disalurkan kepada seluruh tenaga yang terlibat dalam rantai pelayanan di FKTP. Ini mencakup tenaga kesehatan utama seperti dokter, perawat, dan bidan, serta tidak luput pula melibatkan tenaga penunjang penting lainnya, termasuk tenaga administrasi dan kebersihan yang berperan vital dalam menjaga kualitas dan keberlangsungan layanan.

Dana ini adalah bentuk penghargaan atas kinerja tenaga medis dan non-medis dalam upaya promotif, preventif, dan kuratif di layanan primer. Kejelasan ini memperkuat otoritas dan akuntabilitas pengelolaan dana kapitasi di tingkat FKTP. Untuk menjamin kredibilitas sistem ini, penentuan persentase pembagian jasa layanan sepenuhnya menjadi kewenangan manajemen FKTP/FKRTL, bukan ditentukan langsung oleh BPJS Kesehatan, sesuai regulasi yang berlaku. Fasilitas kesehatan memiliki pengalaman dan keahlian dalam mengatur struktur penggajian yang adil berdasarkan beban kerja dan tanggung jawab masing-masing personel.

Jasa Profesional dalam Tarif INA-CBGs di FKRTL

Berbeda dengan Kapitasi yang merupakan dana prospektif, pembayaran jasa profesional di Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan (FKRTL) atau rumah sakit, sudah terintegrasi ke dalam sistem Indonesia Case-Based Groups (INA-CBGs). Dalam sistem ini, jasa profesional dokter dan tenaga kesehatan lainnya sudah termasuk dalam ‘paket’ tarif yang dibayarkan BPJS Kesehatan kepada rumah sakit untuk penanganan satu kasus diagnosis.

Ketika rumah sakit menerima pembayaran INA-CBGs untuk suatu kasus, dana tersebut adalah paket yang mencakup semua kebutuhan, mulai dari obat, alat kesehatan, biaya operasional, hingga jasa profesional tenaga medis. Dengan sistem ini, rumah sakit sebagai badan hukum yang mandiri bertanggung jawab atas alokasi internal dana tersebut. Tujuan dari metode ini adalah mendorong efisiensi dan tata kelola yang baik dari manajemen rumah sakit, memastikan bahwa setiap kasus ditangani secara profesional dan komprehensif tanpa harus mengklaim biaya satu per satu (fee-for-service) ke BPJS Kesehatan.

Miskonsepsi Umum: Meluruskan Isu ‘Bayaran Dokter Rendah’

Isu mengenai ‘bayaran dokter rendah’ sering muncul karena adanya kesalahpahaman antara biaya pelayanan per tindakan dan total remunerasi yang diterima. Fokus JKN bukan pada biaya individu per tindakan, melainkan pada total biaya perawatan per kasus (INA-CBGs) atau per kapita (Kapitasi) yang merupakan bagian dari mekanisme akuntabilitas dan mutu layanan.

Dalam sistem Kapitasi, insentif tidak didasarkan pada jumlah pasien yang diobati, melainkan pada upaya menjaga peserta tetap sehat. Apabila FKTP berhasil mempertahankan tingkat kesehatan peserta yang terdaftar (mencapai target Indikator Kinerja), mereka akan menerima dana yang lebih besar. Sementara di Rumah Sakit, jasa profesional yang diterima dokter tidak dibayarkan per tindakan operasi atau konsultasi, melainkan diambil dari keseluruhan paket INA-CBGs.

Ini berarti bahwa pendapatan seorang profesional kesehatan di fasilitas JKN sangat bergantung pada kebijakan remunerasi internal manajemen fasilitas kesehatan dan tingkat efisiensi serta volume layanan yang ditangani. Memahami konteks ini adalah kunci untuk memberikan pandangan yang komprehensif tentang bagaimana sistem JKN menjamin kualitas layanan sekaligus menjaga keberlangsungan finansial fasilitas kesehatan.

Komponen Biaya Operasional Penunjang JKN yang Dibayarkan

Selain alokasi untuk jasa profesional tenaga kesehatan, dana Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) juga secara signifikan dialokasikan untuk Biaya Operasional atau Dukungan Biaya Pelayanan. Alokasi ini sangat krusial karena menjamin keberlangsungan dan optimalitas fungsi Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) maupun Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan (FKRTL). Tanpa dukungan operasional ini, pelayanan medis tidak akan dapat berjalan efektif.

Fungsi Dana Kapitasi untuk Biaya Operasional Pelayanan Kesehatan Dasar

Pada skema pembayaran Kapitasi di FKTP, dana yang diterima oleh fasilitas kesehatan dibagi menjadi dua komponen utama: jasa pelayanan kesehatan dan biaya operasional. Biaya operasional ini adalah tulang punggung pelayanan kesehatan dasar.

Seperti yang ditegaskan dalam regulasi resmi, khususnya Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 21 Tahun 2016 tentang Penggunaan Dana Kapitasi JKN untuk Jasa Pelayanan Kesehatan dan Dukungan Biaya Operasional pada FKTP, porsi dana ini wajib digunakan untuk pengeluaran non-medis dan penunjang. Penggunaan ini mencakup, namun tidak terbatas pada, pengadaan kebutuhan logistik, belanja barang operasional, dan pemeliharaan sarana prasarana. Alokasi ini membantu memastikan bahwa FKTP dapat memberikan pelayanan optimal secara berkelanjutan, bukan hanya fokus pada pengobatan, tetapi juga pada upaya promotif dan preventif.

Dukungan Biaya Obat, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai (BMHP)

Ketersediaan logistik medis merupakan hal yang esensial dalam menentukan kualitas pelayanan. Pembayaran dari BPJS Kesehatan, baik melalui Kapitasi (di FKTP) maupun INA-CBGs (di FKRTL), secara inheren mencakup dukungan untuk pengadaan kebutuhan vital ini.

Secara spesifik, Permenkes menggarisbawahi bahwa biaya operasional di FKTP digunakan untuk pengadaan obat-obatan, alat kesehatan (alkes), dan Bahan Medis Habis Pakai (BMHP). Sementara di FKRTL, seluruh biaya ini sudah terintegrasi dalam paket tarif INA-CBGs yang dibayarkan. Dukungan biaya ini menjamin bahwa pasien JKN memiliki akses terhadap sarana dan prasarana medis yang memadai tanpa perlu khawatir akan kekurangan logistik dasar saat berobat. Keseluruhan sistem ini dirancang untuk menciptakan akuntabilitas yang tinggi dan fokus pada patient outcome yang optimal.

Peran Biaya Non-Medis: Administrasi, Pemeliharaan, dan Peningkatan Mutu Fasilitas

Pembayaran JKN juga mencakup komponen biaya non-medis yang sangat penting untuk mendukung fungsi administratif dan fisik fasilitas kesehatan. Biaya ini meliputi segala sesuatu yang menopang operasional harian di luar aktivitas medis langsung.

Biaya non-medis seperti administrasi klaim, pengelolaan sistem informasi kesehatan, pembayaran tagihan utilitas (listrik, air, internet), dan yang terpenting, pemeliharaan gedung dan alat-alat kesehatan, menjadi bagian dari komponen pembayaran untuk mendukung keberlangsungan layanan. Pemeliharaan fasilitas yang baik dan sistem administrasi yang efisien adalah indikator penting dari sebuah fasilitas kesehatan yang kredibel. Alokasi dana untuk fungsi-fungsi penunjang ini menunjukkan bahwa skema pembayaran JKN adalah sebuah mekanisme pembiayaan kesehatan yang komprehensif, tidak hanya berfokus pada individu tenaga kesehatan, tetapi pada keseluruhan ekosistem pelayanan demi memastikan peningkatan mutu fasilitas secara berkala.

Pertanyaan Umum (FAQ) Tentang Pembayaran Jasa Kesehatan JKN yang Sering Ditanyakan

Q1. Apakah BPJS Kesehatan membayar langsung ke dokter per pasien?

Tidak, BPJS Kesehatan tidak menyalurkan pembayaran jasa pelayanan kesehatan secara langsung kepada dokter per individu pasien. Berdasarkan sistem yang berlaku, BPJS Kesehatan melakukan pembayaran secara kolektif kepada Fasilitas Kesehatan (Faskes) yang bekerjasama. Pembayaran ini disalurkan melalui mekanisme Kapitasi untuk Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) dan INA-CBGs untuk Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan (FKRTL/Rumah Sakit). Pembagian dana tersebut kepada individu tenaga medis dan non-medis, yang dikenal sebagai remunerasi atau jasa pelayanan, sepenuhnya menjadi kewenangan manajemen internal Faskes tersebut. Dengan mekanisme ini, BPJS Kesehatan memastikan akuntabilitas pembayaran terpusat pada lembaga pemberi layanan.

Q2. Apa perbedaan utama antara Kapitasi dan INA-CBGs?

Perbedaan antara Kapitasi dan INA-CBGs terletak pada dasar, waktu, dan cakupan pembayarannya.

  • Kapitasi adalah sistem pembayaran prospektif (di muka), di mana FKTP menerima sejumlah dana tetap per bulan untuk setiap peserta JKN yang terdaftar di dalamnya, terlepas dari apakah peserta tersebut sakit atau tidak. Fokusnya adalah pada upaya pencegahan dan pemeliharaan kesehatan.
  • INA-CBGs (Indonesia Case Based Groups) adalah sistem pembayaran retrospektif (setelah layanan diberikan), di mana FKRTL (Rumah Sakit) dibayar berdasarkan paket kasus yang terkait dengan diagnosis dan prosedur medis yang telah diberikan kepada pasien. Penetapan tarif INA-CBGs didasarkan pada kesamaan klinis dan penggunaan sumber daya, mendorong efisiensi dalam layanan spesialistik.

Q3. Bagaimana sistem Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) memengaruhi pembayaran?

Sistem Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) merupakan kebijakan yang bertujuan untuk menghapus perbedaan kelas perawatan di rumah sakit JKN, yang diharapkan diberlakukan secara bertahap dengan target implementasi penuh di tahun 2025. Pemberlakuan KRIS akan menciptakan satu standar fasilitas perawatan yang sama untuk semua peserta JKN, berbeda dengan sistem kelas I, II, dan III sebelumnya. Meskipun demikian, mekanisme penetapan tarif tunggal sebagai dampak dari penyesuaian KRIS masih dalam proses evaluasi dan penyesuaian regulasi oleh pemerintah dan BPJS Kesehatan. Tujuannya adalah memastikan mutu layanan yang setara dan berkelanjutan dengan mekanisme pembayaran yang tetap adil bagi fasilitas kesehatan.

Final Takeaways: Menguasai Sistem Pembayaran JKN yang Akuntabel

3 Kunci Utama Memahami Pembayaran Jasa JKN

Memahami seluk-beluk mekanisme pembayaran Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikelola oleh BPJS Kesehatan adalah kunci untuk memiliki pemahaman yang mendalam mengenai akuntabilitas sistem kesehatan nasional. Penting untuk diingat bahwa pembayaran jasa kesehatan JKN adalah sistem terstruktur yang dirancang untuk menjaga mutu, efisiensi, dan akuntabilitas fasilitas kesehatan (faskes). Sistem ini berpegang pada dua pilar utama: Kapitasi di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) dan INA-CBGs di Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan (FKRTL). Fokus utama dari kedua mekanisme ini adalah menjaga kesehatan peserta secara menyeluruh dan memberikan layanan yang terukur.

Selanjutnya, sering terjadi kesalahpahaman bahwa pembayaran JKN hanyalah mengenai gaji individu dokter. Padahal, sistem pembayaran ini mencakup keseluruhan komponen layanan, mulai dari jasa profesional tenaga kesehatan (dokter, perawat, bidan) hingga biaya operasional fasilitas kesehatan seperti pengadaan obat, alat kesehatan, dan biaya administrasi. Oleh karena itu, sistem ini berupaya memastikan semua aspek pelayanan terlindungi.

Langkah Berikutnya: Memantau Kualitas Layanan Berbasis Regulasi

Sebagai peserta atau pihak yang berkepentingan, langkah terbaik untuk menjaga kualitas dan akuntabilitas layanan adalah dengan aktif mencari informasi dari sumber resmi. Untuk memahami setiap perkembangan regulasi, seperti penyesuaian tarif, perubahan sistem Kelas Rawat Inap Standar (KRIS), atau indikator mutu layanan, selalu merujuk pada regulasi terbaru dari BPJS Kesehatan dan Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Keaktifan dalam memahami dan memantau regulasi adalah wujud partisipasi dalam peningkatan sistem jaminan kesehatan di Indonesia.

Jasa Pembayaran Online
💬