Pajak Jasa: Siapa Wajib Potong PPh 23 Jika Pembayar Jasa Adalah Orang Pribadi?
Kewajiban PPh 23: Apakah Orang Pribadi Wajib Memotong Pajak Jasa?
Intisari: Tidak Ada Kewajiban Pemotongan PPh 23 oleh Orang Pribadi
Secara umum, orang pribadi yang melakukan pembayaran atas jasa (misalnya jasa konsultasi, desain grafis, atau sewa) kepada pihak lain TIDAK memiliki kewajiban untuk melakukan pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23. Kewajiban pemotongan ini secara tegas dibebankan kepada subjek pajak tertentu, seperti badan usaha atau badan pemerintah, yang akan dijelaskan lebih lanjut dalam artikel ini. Ini berarti jika Anda sebagai individu menyewa jasa dari sebuah PT atau CV, Anda tidak perlu khawatir tentang menerbitkan bukti potong PPh 23. Prinsip ini berlandaskan pada Pasal 23 Undang-Undang PPh, yang membatasi subjek pemotong.
Meningkatkan Kejelasan dan Kepatuhan Pajak Anda
Artikel ini dirancang sebagai panduan otoritatif untuk memberikan kejelasan mendalam mengenai dasar hukum dan implikasi perpajakan dari transaksi jasa yang melibatkan orang pribadi sebagai pembayar. Memahami alur kewajiban pajak ini sangat penting untuk memastikan kepatuhan. Tujuannya adalah membantu baik pembayar (orang pribadi) maupun penerima penghasilan (badan usaha atau orang pribadi) agar dapat melunasi dan melaporkan kewajiban pajak yang terutang dengan benar, sehingga terhindar dari sanksi pajak di kemudian hari.
Memahami PPh Pasal 23: Definisi dan Lingkup Subjek Pemotong Pajak
PPh Pasal 23 adalah mekanisme pemotongan pajak atas penghasilan yang berasal dari modal, penyerahan jasa, atau penyelenggaraan kegiatan selain yang telah dipotong PPh Pasal 21. Kewajiban untuk memotong, menyetor, dan melaporkan PPh 23 ini secara eksplisit dibebankan hanya kepada entitas-entitas tertentu, menjadikannya pemahaman kunci dalam menentukan kewajiban perpajakan Anda.
Siapa Saja Subjek Pajak Wajib Potong PPh Pasal 23?
Kewajiban untuk bertindak sebagai Pemotong PPh Pasal 23 didefinisikan secara tegas dalam peraturan perpajakan. Pihak-pihak yang diwajibkan untuk memotong PPh Pasal 23 meliputi Badan Pemerintah, Subjek Pajak Badan Dalam Negeri (seperti PT atau CV), Penyelenggara Kegiatan, Bentuk Usaha Tetap (BUT), dan Perwakilan Perusahaan Luar Negeri lainnya.
Merujuk langsung pada Pasal 23 Undang-Undang Pajak Penghasilan dan aturan pelaksana yang relevan, termasuk Peraturan Menteri Keuangan (PMK), subjek-subjek ini adalah satu-satunya pihak yang memiliki landasan hukum yang kuat dan legal standing untuk memotong pajak tersebut. Pemahaman ini sangat penting untuk memastikan kepatuhan dan keabsahan transaksi. Apabila Anda bukan salah satu dari entitas yang disebutkan di atas, maka secara default Anda tidak memiliki kewajiban untuk memotong PPh Pasal 23.
Pengecualian Kapan Orang Pribadi Bisa Menjadi Pemotong Pajak
Pada dasarnya, Orang Pribadi (OP) yang melakukan pembayaran jasa atau imbalan modal tidak ditunjuk sebagai pemotong PPh Pasal 23. Namun, terdapat pengecualian yang spesifik dan terbatas yang membuat OP bisa menjadi pemotong pajak, yaitu terkait dengan PPh Pasal 21/26.
Sebagai contoh, Orang Pribadi yang mempekerjakan karyawan atau memberikan penghasilan yang termasuk kategori PPh Pasal 21 (misalnya gaji, honorarium, upah) wajib bertindak sebagai pemotong PPh Pasal 21, yang kemudian dikenal sebagai Pemberi Kerja. Demikian pula, jika OP tersebut ditunjuk sebagai bendahara dalam suatu kegiatan, ia dapat menjadi pemotong PPh.
Namun, dalam konteks PPh Pasal 23 atas jasa yang dibayarkan ke Wajib Pajak Badan, kewajiban untuk memotong PPh Pasal 23 tidak melekat pada Orang Pribadi. Ini adalah perbedaan krusial yang memastikan bahwa kewajiban administrasi pajak yang kompleks hanya dibebankan kepada entitas yang memiliki kapasitas dan sistem perpajakan yang memadai.
Implikasi Pajak Ketika Orang Pribadi Membayar Jasa ke Badan Usaha
Setelah memastikan bahwa Orang Pribadi (OP) secara umum tidak memiliki kewajiban untuk memotong PPh Pasal 23, fokus perpajakan beralih kepada pihak penerima penghasilan, yaitu penyedia jasa. Transaksi ini memiliki implikasi penting yang harus dipahami oleh kedua belah pihak untuk menjaga kepatuhan fiskal dan menghindari sanksi di kemudian hari.
Kewajiban Perpajakan Berpindah ke Penerima Penghasilan (Penyedia Jasa)
Ketika Orang Pribadi membayar jasa kepada Badan Usaha (seperti PT atau CV), dan OP tersebut tidak ditunjuk sebagai pemotong PPh Pasal 23, maka kewajiban penyetoran pajak tidak hilang; ia hanya berpindah.
Dalam skenario ini, penyedia jasa—yang merupakan Badan Usaha—memiliki tanggung jawab penuh untuk menyetorkan sendiri PPh yang terutang. Penting untuk dicatat bahwa pajak yang terutang ini bukanlah PPh Pasal 23, melainkan merupakan bagian dari penghasilan bruto Badan Usaha yang akan dikenakan PPh Badan.
Sebagai contoh sederhana: Misalkan Bapak A (Orang Pribadi) membayar jasa konsultasi sebesar Rp10.000.000 kepada PT Maju Jaya (Badan Usaha). Karena Bapak A bukan pemotong PPh 23, PT Maju Jaya menerima pembayaran penuh Rp10.000.000. PT Maju Jaya selanjutnya wajib melaporkan jumlah Rp10.000.000 ini sebagai penghasilan di dalam Laporan Laba Rugi mereka. Saat penyedia jasa menyusun Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh Badan, penghasilan ini akan dihitung pajaknya bersamaan dengan penghasilan lainnya. Praktisi akuntansi yang kompeten menegaskan bahwa pendekatan ini, di mana penyedia jasa melaporkan sendiri seluruh penghasilan, adalah prosedur yang benar dan sesuai dengan prinsip self-assessment perpajakan di Indonesia.
Risiko Fiskal Jika Transaksi Jasa Tidak Dipotong PPh 23
Banyak yang berasumsi bahwa tidak dipotongnya PPh 23 oleh Orang Pribadi lantas menghilangkan kewajiban pajak atas transaksi tersebut. Anggapan ini keliru.
Kewajiban pajak atas penghasilan jasa tetap ada. PPh Pasal 23 yang seharusnya dipotong seandainya pembayar adalah Badan Usaha, akan berubah menjadi PPh yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak (penyedia jasa/penerima penghasilan).
Risiko fiskal utama terletak pada penyedia jasa (Badan Usaha) jika mereka lalai atau sengaja tidak melaporkan penghasilan ini di SPT Tahunan mereka. Jika Direktorat Jenderal Pajak (DJP) melakukan pemeriksaan dan menemukan penghasilan dari jasa yang belum dilaporkan, maka akan terjadi koreksi fiskal yang berujung pada:
- Kurang Bayar Pajak.
- Denda dan sanksi administrasi berupa bunga sesuai ketentuan perundang-undangan PPh.
Oleh karena itu, bagi Badan Usaha penerima jasa, langkah terbaik untuk memastikan kepatuhan dan menghindari risiko adalah dengan mencatat dan mengakui penuh penghasilan dari transaksi dengan Orang Pribadi tersebut, kemudian memasukkannya ke dalam perhitungan PPh Badan pada akhir tahun pajak.
Mengoptimalkan Kepatuhan Pajak: Dokumen dan Bukti Transaksi Jasa
Mengelola Bukti Potong Jasa: Apa yang Harus Diterima Penyedia Jasa?
Ketika terjadi transaksi jasa di mana Orang Pribadi (OP) bertindak sebagai pembayar jasa kepada Wajib Pajak Badan (PT atau CV), perlu ditekankan bahwa tidak ada kewajiban pemotongan PPh Pasal 23 yang timbul dari pihak OP. Konsekuensinya, dalam situasi ini, tidak ada bukti potong PPh 23 yang diterbitkan oleh pembayar.
Lantas, dokumen apa yang menjadi bukti sah transaksi bagi penyedia jasa? Dalam kasus ini, bukti utama yang memvalidasi penghasilan dan transaksi hanyalah invoice atau tagihan resmi dari penyedia jasa dan bukti pembayaran bank (seperti nota transfer atau rekening koran) dari pihak OP. Dokumen-dokumen ini, meskipun tanpa Bukti Potong PPh 23, merupakan dasar kuat bagi penyedia jasa untuk mencatat pendapatan dan memenuhinya dengan standar kepatuhan pajak yang tinggi.
Pentingnya Kontrak dan Faktur Pajak dalam Transaksi PPh
Meskipun Bukti Potong PPh 23 tidak ada, penyedia jasa harus tetap memiliki dokumentasi yang kuat untuk memvalidasi setiap biaya yang dikeluarkan dalam pembukuan mereka. Dokumentasi ini tidak hanya berfungsi sebagai catatan keuangan internal, tetapi juga sebagai bukti yang dapat dipertanggungjawabkan jika sewaktu-waktu dilakukan audit oleh otoritas pajak.
Dokumentasi krusial yang harus disiapkan mencakup:
- Kontrak atau Perjanjian Kerja: Menjelaskan jenis jasa, nilai, dan jangka waktu layanan. Kontrak ini menunjukkan keahlian dan legalitas transaksi.
- Invoice yang Lengkap: Berisi detail Wajib Pajak dan rincian jasa yang diberikan.
- Bukti Transfer Bank: Memastikan bahwa pembayaran benar-benar telah diterima.
Penting untuk diingat bahwa, terlepas dari kewajiban pemotongan PPh 23 oleh pembayar, jika penyedia jasa adalah Pengusaha Kena Pajak (PKP), mereka tetap wajib menerbitkan Faktur Pajak (PPN) atas penyerahan jasa. Faktur Pajak ini adalah dokumen terpisah yang berkaitan dengan PPN dan tidak dipengaruhi oleh ada atau tidaknya pemotongan PPh 23. Faktur Pajak yang sah merupakan elemen penting untuk kepatuhan PKP, dan pencatatan yang rapi menunjukkan komitmen yang tinggi terhadap akuntabilitas fiskal.
Oleh karena itu, penyedia jasa harus memastikan semua dokumen (kontrak, invoice, bukti transfer, dan Faktur Pajak jika PKP) tersedia lengkap dan dicatat dengan benar, karena inilah yang akan mereka gunakan untuk melaporkan pendapatan bruto di Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan mereka.
Sanksi dan Koreksi Fiskal: Menghindari Kesalahan Pelaporan PPh Jasa
Memahami potensi sanksi dan bagaimana biaya dicatat dalam pembukuan sangat penting untuk menjaga integritas pelaporan pajak, baik bagi pembayar jasa maupun penyedia jasa. Ketika terjadi transaksi di mana Orang Pribadi (OP) membayar jasa kepada Badan Usaha, mekanisme pemotongan pajak menjadi berbeda, dan ini memengaruhi di mana risiko fiskal berada.
Sanksi Bagi Subjek Pajak yang Seharusnya Memotong Namun Lalai
Dalam konteks pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23, sanksi administrasi berupa bunga, kenaikan, atau denda hanya berlaku bagi pihak yang secara hukum diwajibkan untuk memotong tetapi gagal melaksanakan kewajiban tersebut. Pihak-pihak ini, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang PPh dan peraturan pelaksanaannya, utamanya adalah Badan Pemerintah, Badan Usaha, dan Bentuk Usaha Tetap (BUT).
Ini berarti bahwa Orang Pribadi (OP) yang membayar jasa kepada Badan Usaha secara umum tidak akan dikenakan sanksi PPh Pasal 23 karena OP tidak termasuk dalam daftar subjek pemotong PPh Pasal 23. Risiko sanksi berada pada subjek pajak (Badan Usaha, dsb.) yang seharusnya memotong PPh 23 tetapi lalai melakukannya. Sanksi ini diatur dalam Pasal 26 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
Koreksi Biaya: Mengapa Biaya Jasa Tetap Diakui Tanpa Bukti Potong PPh 23?
Aspek penting dalam pembukuan penyedia jasa (Badan Usaha) adalah bagaimana mereka memperlakukan biaya yang dibayarkan oleh OP, yang tanpa bukti potong PPh 23. Biaya jasa yang diterima oleh Badan Usaha dari Orang Pribadi tetap dapat diakui sebagai biaya operasional atau biaya yang dapat dikurangkan (deductible expense) sepanjang memenuhi kriteria biaya yang boleh dikurangkan.
Sesuai dengan prinsip self-assessment yang berlaku di Indonesia, penyedia jasa memiliki tanggung jawab untuk menghitung dan menyetor sendiri PPh yang terutang atas penghasilan bruto yang diterima dari OP. Untuk memastikan akuntabilitas dan menghindari koreksi fiskal saat diaudit, penyedia jasa harus memiliki dokumentasi yang sah—seperti kontrak kerja, invoice dari penyedia jasa, dan bukti transfer bank dari OP. Dokumen-dokumen ini menjadi dasar yang kuat untuk memvalidasi penghasilan dan biaya, meskipun tidak ada Bukti Potong PPh 23.
Penyedia jasa harus mencatat transaksi ini sebagai berikut dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan mereka:
- Pendapatan Bruto: Jumlah pembayaran jasa dari OP dicatat sebagai penghasilan bruto di SPT Tahunan Badan.
- Kredit Pajak: Karena tidak ada pemotongan PPh 23 (tidak ada Bukti Potong), kolom Kredit Pajak di SPT Tahunan Badan yang terkait dengan transaksi ini akan kosong.
- PPh Terutang: Penghitungan PPh yang harus dibayar Badan dilakukan atas Dasar Pengenaan Pajak (DPP) Badan, dan penyedia jasa harus melunasi kekurangan pembayaran pajak tersebut tanpa mengkreditkan PPh 23.
Dengan proses pelaporan mandiri dan didukung oleh bukti transaksi yang lengkap, Badan Usaha dapat memastikan bahwa biaya jasa tersebut diakui secara fiskal dan meminimalkan risiko koreksi saat pemeriksaan pajak.
Your Top Questions About Pajak Jasa dan PPh 23 Answered
Q1. Apakah Badan Usaha yang Membayar Jasa ke Orang Pribadi Wajib Potong PPh 23?
Pertanyaan ini sering muncul karena kesalahpahaman umum mengenai subjek pemotongan PPh Pasal 23. Jawabannya adalah tidak. PPh Pasal 23 secara spesifik dikenakan atas penghasilan berupa dividen, bunga, royalti, sewa, imbalan sehubungan dengan jasa, dan hadiah/penghargaan, yang dibayarkan atau terutang kepada Wajib Pajak Badan Dalam Negeri dan Bentuk Usaha Tetap (BUT).
Ketika sebuah Badan Usaha (seperti PT atau CV) membayar imbalan jasa kepada Orang Pribadi (profesional, freelancer, dsb.), mekanisme pemotongan yang berlaku adalah PPh Pasal 21, bukan PPh Pasal 23. Berdasarkan pengalaman kami dalam konsultasi perpajakan, Badan Usaha yang bertindak sebagai pemberi kerja atau pemberi penghasilan jasa kepada Orang Pribadi wajib memotong, menyetor, dan melaporkan PPh Pasal 21. Kegagalan dalam mengidentifikasi jenis PPh yang benar (21 vs 23) dapat mengakibatkan sanksi administrasi di kemudian hari.
Q2. Bagaimana cara pelaporan PPh Jasa bagi Orang Pribadi Penerima Penghasilan?
Ketika Orang Pribadi menerima pembayaran atas jasa yang telah diberikan (terutama dari Wajib Pajak Badan yang telah memotong PPh 21, atau dari Orang Pribadi pembayar yang tidak memiliki kewajiban potong), mereka wajib mencatatkan penghasilan tersebut.
Karena sistem perpajakan Indonesia menganut prinsip self-assessment, Orang Pribadi penerima penghasilan jasa memiliki tanggung jawab penuh untuk menghitung, membayar, dan melaporkan sendiri PPh terutang mereka. Penghasilan ini dicatat dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Orang Pribadi. Jika Badan Usaha pembayar telah memotong PPh 21, bukti potong yang diterima dapat digunakan sebagai kredit pajak untuk mengurangi total PPh yang harus dibayar. Jika pembayaran berasal dari Orang Pribadi yang tidak memotong PPh, maka PPh Pasal 21 final (jika menggunakan skema PP 23/2018) atau PPh 21 tidak final (jika menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto atau pembukuan) wajib dihitung dan disetorkan secara mandiri. Memahami skema ini adalah kunci untuk memelihara kepatuhan fiskal yang baik dan menghindari denda.
Final Takeaways: Memastikan Kepatuhan Pajak Jasa
Tiga Poin Kunci untuk Transaksi Jasa yang Bersih Pajak
Dalam mengelola transaksi jasa, khususnya yang melibatkan pembayaran dari Orang Pribadi kepada Badan Usaha, ada tiga kesimpulan fundamental yang harus dipegang teguh. Poin yang Penting adalah bahwa Orang Pribadi Pembayar Jasa tidak memiliki kewajiban untuk memotong PPh 23. Oleh karena itu, tanggung jawab atau kewajiban pajak beralih sepenuhnya kepada penyedia jasa (Wajib Pajak Badan) untuk menghitung dan melaporkan kewajiban pajaknya sendiri, sebuah prinsip yang dikenal sebagai self-assessment.
Langkah Selanjutnya untuk Kepatuhan Fiskal
Untuk memastikan Anda memenuhi kewajiban fiskal dengan benar, langkah selanjutnya adalah Periksa kembali status Anda sebagai pembayar dan penerima jasa. Hal ini penting untuk mengidentifikasi jenis PPh yang relevan—PPh Pasal 23 berlaku untuk jasa yang dibayarkan kepada Wajib Pajak Badan, sementara PPh Pasal 21 berlaku untuk jasa yang dibayarkan kepada Orang Pribadi. Memahami dan menerapkan aturan ini dengan benar akan membantu Anda menghindari koreksi fiskal yang tidak perlu dan mempertahankan integritas pelaporan pajak Anda, sesuai dengan praktik terbaik yang diatur dalam peraturan perpajakan.