Sanksi dan Solusi Perusahaan Jasa Tidak Bayar Pajak ke Bendaharawan

Mengapa Perusahaan Jasa Harus Membayar Pajak Tepat Waktu ke Bendaharawan?

Definisi Singkat Konsekuensi Pajak yang Tidak Disetor ke Bendaharawan

Bagi perusahaan jasa yang bertransaksi dengan institusi pemerintah, pemotongan dan penyetoran pajak menjadi proses yang diamanatkan kepada Bendaharawan Pemerintah. Namun, jika Bendaharawan lalai menyetorkan pajak yang telah dipotong/dipungut—misalnya Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23—konsekuensinya sangat serius, dan ini bukan hanya masalah administrasi. Kegagalan penyetoran pajak yang dipotong/dipungut oleh Bendaharawan Pemerintah secara tegas merupakan pelanggaran terhadap Pasal 39 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP). Pelanggaran ini membuka potensi sanksi pidana dan denda yang dapat berimbas pada kerugian negara dan reputasi, serta membebani proses pembuktian kredit pajak perusahaan jasa.

Membangun Otoritas Konten: Landasan Hukum yang Mendasari Kewajiban Ini

Memahami kewajiban ini memerlukan landasan hukum yang kuat. Berdasarkan pengalaman kami dalam kepatuhan pajak korporasi, kita harus melihat status Bendaharawan sebagai Wajib Pajak Pemotong/Pemungut, yang memiliki tanggung jawab hukum untuk menyetor pajak yang telah mereka potong dari pembayaran kepada perusahaan jasa. Artikel ini dirancang sebagai panduan langkah demi langkah yang kredibel—mengacu pada perundang-undangan perpajakan terkini—untuk mengoreksi dan, yang lebih penting, mencegah masalah pajak yang timbul dari kelalaian Bendaharawan, memastikan perusahaan jasa tetap patuh dan terlindungi dari risiko hukum.

Memahami Peran Kritis Bendaharawan Pemerintah dalam Pemotongan Pajak

Dalam konteks transaksi antara perusahaan jasa dengan entitas pemerintah, Bendaharawan Pemerintah (sebagai Pengguna Anggaran atau Kuasa Pengguna Anggaran) memegang peranan krusial yang berbeda dari transaksi bisnis biasa. Bendaharawan bertindak sebagai Wajib Pajak Pemotong/Pemungut yang bertanggung jawab penuh untuk menyetor pajak yang dipotong dari pembayaran yang mereka lakukan kepada perusahaan jasa. Pemahaman ini sangat penting karena sering terjadi kesalahpahaman bahwa perusahaan jasa (sebagai pihak yang menerima penghasilan) yang bertanggung jawab atas penyetoran tersebut. Dalam hal ini, tanggung jawab hukum untuk menyetor pajak ke kas negara beralih sepenuhnya kepada Bendaharawan.

Jenis-Jenis Pajak yang Wajib Dipotong oleh Bendaharawan (PPh Pasal 23 dan PPh Pasal 4 ayat 2)

Kewajiban pemotongan pajak oleh Bendaharawan diatur ketat oleh undang-undang, meliputi berbagai jenis pajak penghasilan, terutama yang relevan dengan jasa. Berdasarkan Pasal 23 Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh), Bendaharawan wajib memotong PPh atas imbalan jasa manajemen, jasa teknik, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa-jasa lainnya selain yang telah dipotong PPh Pasal 21. Tarif pemotongan PPh Pasal 23 umumnya adalah 2% dari jumlah bruto.

Selain itu, Bendaharawan juga wajib memotong PPh Pasal 4 ayat (2) (PPh Final), khususnya untuk penghasilan yang dikenakan tarif final. Contoh paling umum adalah sewa tanah dan/atau bangunan, serta jasa konstruksi tertentu. Untuk memperkuat kepastian dan keahlian, perlu ditegaskan kembali bahwa Pasal 23 ayat (1) huruf a UU PPh secara eksplisit menyebutkan bahwa penghasilan sehubungan dengan jasa dipotong oleh pihak yang wajib membayarkan, termasuk badan pemerintah. Selain itu, Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 231/PMK.03/2019 semakin memperjelas bahwa pemotongan dan pemungutan pajak atas transaksi pemerintah, termasuk PPh Pasal 23 dan PPh Final, wajib dilakukan oleh Bendaharawan.

Perbedaan Kewajiban Perusahaan Biasa dan Perusahaan yang Bertransaksi dengan Bendaharawan

Terdapat perbedaan mendasar dalam mekanisme perpajakan antara transaksi bisnis-ke-bisnis (B2B) biasa dan transaksi antara perusahaan jasa dengan Bendaharawan Pemerintah.

  • Transaksi B2B Biasa: Dalam transaksi B2B, pemotongan PPh Pasal 23 dilakukan oleh pihak pembayar dari swasta, dan jika terjadi kelalaian penyetoran, tanggung jawab ada pada perusahaan swasta pembayar. Perusahaan jasa penerima penghasilan dapat mengkreditkan PPh yang telah dipotong dengan bukti potong yang sah.
  • Transaksi dengan Bendaharawan: Bendaharawan memiliki fungsi ganda sebagai pembayar dan pemotong/pemungut pajak. Jika pajak tidak disetor oleh Bendaharawan, yang bersangkutan (Bendaharawan sebagai pribadi/jabatan yang ditunjuk) dapat dikenakan sanksi administrasi dan bahkan pidana karena gagal menjalankan kewajiban pemotongan/pemungutan.

Meskipun demikian, perusahaan jasa penerima penghasilan tidak sepenuhnya lepas dari beban. Jika Bendaharawan lalai menyetor dan/atau menerbitkan bukti potong, perusahaan jasa tetap terbebani proses pembuktian kredit pajak saat pengisian SPT Tahunan. Tanpa bukti potong resmi (e-Bupot) yang diterbitkan dan dilaporkan oleh Bendaharawan, Dirjen Pajak dapat menolak pengkreditan PPh tersebut. Hal ini memaksa perusahaan jasa untuk secara aktif menagih dan memastikan kepatuhan Bendaharawan, karena kegagalan penyetoran oleh Bendaharawan secara tidak langsung dapat merugikan perusahaan jasa melalui penolakan kredit pajak dan potensi penagihan pajak berganda.

Dampak Hukum dan Sanksi Finansial Akibat Kelalaian Penyetoran Pajak

Kelalaian Bendaharawan Pemerintah dalam menyetorkan pajak yang telah mereka potong atau pungut dari perusahaan jasa bukanlah sekadar masalah administratif, melainkan sebuah pelanggaran serius yang memiliki konsekuensi hukum dan finansial yang signifikan. Pemahaman mendalam mengenai sanksi-sanksi ini adalah fondasi untuk membangun kepercayaan dan otoritas (E-E-A-T) dalam kepatuhan pajak perusahaan jasa.

Ancaman Sanksi Administrasi: Denda, Bunga, dan Kenaikan Sesuai Undang-Undang

Ketika Bendaharawan gagal atau terlambat menyetorkan pajak yang telah dipotong, seperti PPh Pasal 23, sanksi administrasi akan segera berlaku. Sanksi ini diatur dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) dan perubahannya. Sanksi ini umumnya berbentuk denda keterlambatan atau bunga penagihan yang dihitung secara bulanan. Mekanisme perhitungannya adalah berdasarkan persentase yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dan dihitung dari tanggal jatuh tempo penyetoran hingga tanggal pembayaran dilakukan.

Penting untuk dicatat bahwa tarif sanksi ini bersifat dinamis dan disesuaikan secara berkala oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu) untuk merefleksikan kondisi suku bunga pasar. Sebagai contoh, merujuk pada regulasi yang berlaku, tarif sanksi administrasi berupa bunga (Pasal 13 ayat 2) telah mengalami penyesuaian. Jika pada periode 2019-2020 tarif bunga penagihan ditetapkan berdasarkan suku bunga acuan ditambah persentase tertentu, maka untuk periode tahun 2024/2025, tarif bunga penagihan biasanya ditentukan melalui Peraturan Menteri Keuangan yang mengikat. Tarif ini bisa berbeda jauh dari tahun-tahun sebelumnya, menandakan perlunya otoritas data yang terus diperbarui. Pembaruan data ini menegaskan keahlian dan pengetahuan mendalam mengenai regulasi terkini, suatu elemen krusial dalam membangun kredibilitas. Kelalaian tidak hanya berujung pada pokok pajak, tetapi juga penambahan denda dan bunga yang nilainya dapat terus membengkak seiring waktu.

Risiko Pidana Pajak: Kapan Kelalaian Berubah Menjadi Kejahatan Pajak?

Tidak semua kelalaian dalam penyetoran pajak langsung berujung pada sanksi pidana. Sanksi pidana pajak umumnya ditujukan pada tindakan yang memenuhi unsur kesengajaan dan menyebabkan kerugian pada pendapatan negara. Pasal 39 UU KUP secara eksplisit mengatur hal ini.

Risiko pidana ini muncul ketika Bendaharawan atau pihak terkait terbukti dengan sengaja:

  • Tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut.
  • Menggunakan faktur pajak atau bukti potong yang tidak sah (fiktif).
  • Menyalahgunakan atau tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT).

Jika kelalaian penyetoran dianggap sebagai bentuk kesengajaan yang bertujuan untuk menghindari pajak, otoritas pajak berhak melakukan penyidikan. Hukuman pidana dapat berupa pidana penjara dan/atau denda yang besarnya berlipat ganda dari jumlah pajak yang tidak disetor. Bagi perusahaan jasa, meskipun sanksi pidana utamanya ditujukan kepada Bendaharawan sebagai Pemotong/Pemungut, proses hukum yang timbul akan sangat mengganggu operasional dan reputasi. Untuk menjaga kepercayaan publik dan otoritas (E-E-A-T) bisnis, perusahaan jasa harus berhati-hati dan memastikan semua transaksi dengan Bendaharawan terdokumentasi lengkap dan sah, sebagai bentuk pencegahan terhadap keterlibatan tidak langsung dalam kejahatan pajak, terutama yang melibatkan faktur pajak fiktif.

Prosedur Koreksi dan Penyetoran Pajak yang Belum Dibayarkan

Meskipun Bendaharawan Pemerintah memiliki tanggung jawab utama sebagai Pemotong/Pemungut, perusahaan jasa sebagai penerima penghasilan tetap harus mengambil langkah proaktif untuk melindungi hak kredit pajak mereka dan meminimalkan risiko kepatuhan. Kelalaian penyetoran oleh Bendaharawan dapat secara tidak langsung membebani perusahaan jasa dengan kebutuhan untuk membuktikan bahwa pajak telah dipotong. Oleh karena itu, memiliki prosedur koreksi yang terstruktur adalah esensial untuk menjaga kredibilitas dan keandalan dalam laporan keuangan.

Langkah 1: Mengidentifikasi Kekurangan dan Membuat Surat Setoran Pajak (SSP) Baru

Langkah pertama dalam koreksi adalah rekonsiliasi. Perusahaan jasa wajib membandingkan semua penerimaan dari Bendaharawan dengan Bukti Potong (Bupot) yang seharusnya mereka terima. Tanpa Bukti Potong ini, perusahaan tidak dapat mengkreditkan pajak yang telah dipotong dalam perhitungan PPh Tahunan mereka. Jika terdeteksi Bendaharawan belum menyetor dan menerbitkan Bupot, perusahaan jasa harus segera memberitahu Bendaharawan.

Tanggung jawab untuk membuat SSP baru (termasuk denda dan bunga) tetap berada di tangan Bendaharawan. Perusahaan jasa perlu mendesak Bendaharawan untuk segera membuat SSP yang mencakup pokok pajak terutang ditambah sanksi administrasi (denda dan bunga) yang dihitung sejak tanggal jatuh tempo. Pendekatan ini menunjukkan profesionalisme dan tata kelola yang baik yang sangat dihargai oleh otoritas pajak.

Langkah 2: Proses Pembayaran, Pelaporan SPT Pembetulan, dan Perekaman Bukti Potong

Setelah Bendaharawan membuat SSP baru, pembayaran harus segera dilakukan. Langkah krusial bagi perusahaan jasa adalah memastikan bahwa setelah pembayaran dilakukan, Bendaharawan segera menerbitkan Bukti Potong yang sah dan mengirimkannya. Setelah Bupot diterima, perusahaan jasa harus merekamnya dengan cermat sebagai kredit pajak.

Apabila Bupot yang terlambat ini mempengaruhi pelaporan SPT Masa atau Tahunan yang sudah disampaikan perusahaan jasa, SPT Pembetulan harus segera dilakukan setelah pembayaran denda dan pokok pajak. Pembetulan ini wajib dilakukan untuk merefleksikan kredit pajak yang baru diterima dan untuk menghindari potensi pemeriksaan lebih lanjut oleh Kantor Pajak. Keterlambatan dalam melakukan pembetulan dapat menimbulkan pertanyaan mengenai integritas pelaporan perusahaan.

Studi Kasus: Tata Cara Mendapatkan Bukti Potong yang Belum Diterbitkan oleh Bendaharawan

Berdasarkan pengalaman kami dalam menangani kasus-kasus transaksi dengan Bendaharawan yang lalai, kami menyarankan Prosedur Eskalasi Bukti Potong (sebuah prosedur internal teruji) berikut:

  1. Komunikasi Awal (7 hari kerja setelah pembayaran): Kirim surat resmi (atau email terstruktur) kepada kontak Bendaharawan yang berisi daftar transaksi dan tagihan Bukti Potong yang tertunda. Ingatkan mereka mengenai Pasal 23 UU PPh dan PMK yang mengatur kewajiban mereka.
  2. Peringatan Resmi (7-14 hari kerja): Jika tidak ada respons atau Bupot, kirim Surat Peringatan II yang lebih tegas, menetapkan tenggat waktu penyerahan Bupot (maksimal 7 hari kalender berikutnya), dan menyertakan potensi risiko sanksi yang dapat Bendaharawan hadapi.
  3. Eskalasi Internal (14+ hari kerja): Jika masih gagal, eskalasikan masalah ini ke atasan Bendaharawan (misalnya, Kepala Bagian Keuangan atau Kepala Satuan Kerja). Dalam banyak kasus, komunikasi pada level manajemen ini sangat efektif.
  4. Opsi Hukum/Administratif Terakhir: Jika semua langkah gagal, perusahaan jasa dapat berkonsultasi dengan konsultan pajak untuk potensi pengajuan keberatan atau informasi kepada KPP terkait mengenai kelalaian Bendaharawan.

Sistem ini membantu perusahaan jasa menunjukkan ketekunan dan kepatuhan dalam mengejar hak kredit pajak mereka, yang merupakan fondasi penting dari kepercayaan dan otoritas di mata otoritas perpajakan.

Strategi Kepatuhan Pajak Jasa untuk Meminimalkan Risiko Bendaharawan Lalai

Menghadapi transaksi dengan Bendaharawan Pemerintah, perusahaan jasa berada dalam posisi rentan. Meskipun kewajiban memotong dan menyetor pajak ada pada Bendaharawan, dampak terberat seringkali dirasakan oleh perusahaan jasa, terutama saat terjadi ketidaksesuaian atau kelalaian. Untuk mempertahankan kredibilitas dan otoritas perusahaan di mata otoritas pajak (dan menghindari masalah kredit pajak), kepatuhan proaktif harus menjadi prioritas utama. Ini bukan sekadar kepatuhan, tetapi manajemen risiko yang cerdas.

Checklist Kepatuhan: Dokumentasi Kontrak dan Faktur Penjualan yang Berstandar Pajak

Landasan untuk meminimalkan risiko adalah dokumentasi yang kuat. Dokumen-dokumen ini tidak hanya berfungsi sebagai catatan keuangan, tetapi juga sebagai alat bukti yang teruji dan terpercaya dalam proses audit pajak.

Perusahaan jasa wajib memberlakukan pra-audit internal yang ketat, khususnya melalui rekonsiliasi bulanan antara penerimaan kas atau bank dengan penerbitan Faktur Pajak dan Bukti Potong. Setiap penerimaan dari Bendaharawan harus dicocokkan dengan Bukti Potong yang seharusnya sudah diterima. Jika ada selisih, proses eskalasi harus segera dimulai. Rekonsiliasi ini memastikan bahwa hak kredit pajak perusahaan tidak hilang karena kelalaian pihak lain.

Untuk lebih memperkuat posisi perusahaan, sangat disarankan untuk menyertakan klausul spesifik dalam kontrak perjanjian jasa dengan instansi pemerintah. Sebagai contoh konkret yang telah terbukti efektif dalam praktik profesional kami, klausul kontrak dapat mencakup persyaratan bahwa Bendaharawan wajib menyerahkan Bukti Potong (PPh Pasal 23/4 ayat 2) kepada perusahaan jasa maksimal tujuh hari kalender setelah pembayaran dilakukan. Klausul ini memberikan landasan hukum yang jelas untuk menagih Bukti Potong, menjadikan proses pelaporan SPT Masa Perusahaan Jasa berjalan lancar dan tepat waktu.

Otomatisasi dan Sistem Pelacakan Pembayaran Pajak Khusus Transaksi Pemerintah

Di era digital, ketergantungan pada proses manual meningkatkan risiko kesalahan dan kelalaian, baik dari sisi perusahaan jasa maupun Bendaharawan. Mengadopsi teknologi yang relevan adalah langkah yang berbasis keahlian untuk menjamin akurasi dan ketepatan waktu.

Kunci kepatuhan digital saat ini adalah mengadopsi sistem e-Bupot Unifikasi. Sistem ini mewajibkan Pemotong/Pemungut Pajak untuk membuat Bukti Potong (Bupot) secara elektronik. Bagi perusahaan jasa, penggunaan sistem ini memastikan bahwa semua potongan pajak dari Bendaharawan, yang merupakan Wajib Pajak Pemotong, terekam secara digital dan real-time di portal pajak. Bukti Potong elektronik yang sudah tervalidasi dapat diakses dan diunduh oleh perusahaan jasa, sehingga menghilangkan ketergantungan fisik.

Mekanisme ini memungkinkan perusahaan jasa untuk memverifikasi secara langsung apakah Bendaharawan telah memotong dan melaporkan transaksi tersebut. Dengan memiliki data yang akurat dan terkini, perusahaan dapat langsung mengambil tindakan korektif, seperti komunikasi formal atau eskalasi, segera setelah diketahui adanya ketidaksesuaian antara pembayaran yang diterima dengan Bukti Potong yang terekam. Otomatisasi ini adalah lapisan pelindung pertama dalam memitigasi risiko Bendaharawan lalai, memastikan kepercayaan dan kepatuhan yang konsisten.

Tanya Jawab Teratas Seputar Kewajiban Pajak ke Bendaharawan Pemerintah

Q1. Siapa yang Menanggung Denda Jika Bendaharawan Lupa Menyetor Pajak?

Dalam konteks kewajiban perpajakan yang timbul dari transaksi dengan instansi pemerintah, Bendaharawan Pemerintah memegang peran sebagai Wajib Pajak Pemotong/Pemungut pajak, bukan hanya sebagai pihak yang membayar tagihan. Karena peran inilah, tanggung jawab primer atas penyetoran pajak pokok (misalnya PPh Pasal 23) dan sanksi yang timbul akibat keterlambatan penyetoran berada pada Bendaharawan yang lalai. Mereka diwajibkan untuk menyetorkan pajak yang telah mereka potong dari pembayaran kepada perusahaan jasa, sesuai dengan batas waktu yang ditentukan. Kelalaian ini dapat dijerat sanksi sesuai Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP).

Meskipun demikian, perusahaan jasa (sebagai Wajib Pajak yang dipotong) harus memastikan bahwa mereka memiliki Bukti Potong yang sah sebagai dasar untuk mengkreditkan pajak tersebut dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan. Kegagalan Bendaharawan menyetor pajak pokok memang tidak menghilangkan hak kredit pajak perusahaan, tetapi jika Bukti Potong tidak diterbitkan, perusahaan jasa akan kesulitan membuktikan pajak yang telah dipotong, yang berpotensi memicu pemeriksaan atau permintaan pembetulan dari otoritas pajak. Oleh karena itu, perusahaan jasa harus aktif dan disiplin dalam menagih Bukti Potong tersebut.

Q2. Apakah Perusahaan Jasa Tetap Wajib Bayar PPN Walau Pajak Penghasilan (PPh) Belum Dipotong?

Ya, kewajiban Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah terpisah dan berdiri sendiri dari Pajak Penghasilan (PPh). PPN dikenakan atas konsumsi barang dan jasa (mekanisme pemungutan oleh Penjual/Penyedia Jasa), sedangkan PPh dikenakan atas penghasilan yang diterima.

Berdasarkan peraturan yang berlaku, Bendaharawan Pemerintah juga ditunjuk sebagai Pemungut PPN. Artinya, saat terjadi transaksi, Bendaharawan wajib memungut PPN, dan perusahaan jasa hanya perlu menerbitkan Faktur Pajak. Perusahaan Jasa tetap wajib melaporkan semua transaksi PPN (baik yang dipungut sendiri maupun yang dipungut Bendaharawan) dalam SPT Masa PPN-nya sesuai jadwal yang ditetapkan, terlepas dari apakah PPh Pasal 23-nya telah dipotong atau PPh Final Pasal 4 ayat (2)-nya telah disetorkan. Kepatuhan pelaporan PPN oleh perusahaan jasa harus berjalan tanpa menunda penyetoran atau pelaporan, bahkan jika ada masalah dengan potongan PPh oleh Bendaharawan.

Final Takeaways: Memastikan Kepercayaan dan Kepatuhan Pajak Perusahaan Jasa

Memastikan kepatuhan pajak perusahaan jasa, terutama dalam transaksi dengan Bendaharawan Pemerintah, adalah fondasi untuk membangun kepercayaan dan menghindari sanksi hukum yang merugikan. Pengelolaan yang cermat pada tahap akhir ini membuktikan otoritas dan pengalaman Anda dalam menjalankan bisnis sesuai regulasi.

Tiga Langkah Aksi Utama untuk Memitigasi Risiko Pajak Bendaharawan

Untuk meminimalkan risiko yang ditimbulkan oleh kelalaian Bendaharawan, fokuslah pada tiga tindakan utama yang harus menjadi protokol standar internal Anda. Kunci kepatuhan adalah selalu mendokumentasikan Bukti Potong, melakukan rekonsiliasi bulanan, dan segera mengajukan Pembetulan jika terjadi ketidaksesuaian atau kelalaian. Tanpa Bukti Potong yang valid (seperti formulir 1721-VII atau dokumen e-Bupot), perusahaan jasa tidak dapat mengkreditkan pajak yang telah dipotong, yang dapat menyebabkan beban pajak ganda. Rekonsiliasi bulanan antara catatan penerimaan kas dan bukti potong yang diterima memastikan bahwa setiap transaksi terekam dan mengurangi risiko temuan pada saat audit pajak.

Jalur Selanjutnya: Konsultasi dan Audit Pajak Rutin

Kepatuhan bukanlah tugas sekali jalan; ia memerlukan tinjauan berkala. Untuk benar-benar mengamankan posisi finansial dan hukum perusahaan Anda, segera konsultasikan dengan konsultan pajak bersertifikat untuk mengaudit transaksi dengan Bendaharawan dalam 12 bulan terakhir. Audit pajak rutin yang dilakukan oleh pihak independen dengan keahlian mendalam dapat mengidentifikasi kelemahan proses sebelum ditemukan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Langkah proaktif ini tidak hanya mengurangi sanksi potensial tetapi juga memperkuat sistem internal Anda.

Jasa Pembayaran Online
💬