Rumus Gross Up PPh Jasa Pekerjaan: Panduan Lengkap Pajak

Memahami Rumus Gross Up PPh Pembayaran Jasa Pekerjaan

Apa Itu Gross Up PPh dan Mengapa Penting untuk Jasa?

Gross up PPh adalah sebuah metode yang diterapkan dalam transaksi pembayaran jasa di mana Pajak Penghasilan (PPh) yang terutang—baik itu PPh Pasal 21 maupun PPh Pasal 23—ditanggung oleh pihak pemberi penghasilan atau pihak yang membayar jasa. Alih-alih memotong pajak dari nilai kontrak jasa (metode non-gross up atau netting), pemberi penghasilan akan membayarkan jumlah yang lebih besar (disebut nilai Bruto) sehingga setelah dipotong PPh, penerima jasa tetap menerima jumlah yang disepakati sebagai pembayaran bersih (Netto).

Metode ini sangat penting dalam pembayaran jasa karena memastikan penerima jasa menerima nilai kompensasi yang utuh sesuai kesepakatan awal, dan pada saat yang sama, menjamin kepatuhan pajak perusahaan. Panduan ini akan memberikan perhitungan step-by-step yang akurat dan terperinci untuk memastikan bisnis Anda tidak hanya patuh pada regulasi pajak, tetapi juga mencapai efisiensi biaya yang optimal melalui perencanaan yang cermat.

Siapa yang Membutuhkan Gross Up dalam Transaksi Jasa?

Penerapan gross up PPh biasanya dibutuhkan oleh pemberi jasa yang menghendaki pembayaran bersih (netto) tanpa adanya potongan pajak, atau oleh perusahaan yang ingin memberikan kompensasi penuh tanpa mengurangi nilai kontrak yang telah disepakati.

  • Pemberi Jasa: Seringkali dalam negosiasi kontrak, penyedia jasa (misalnya konsultan, tenaga ahli, atau vendor) menuntut agar pembayaran yang mereka terima adalah nilai kontrak murni. Dengan gross up, perusahaan membayar PPh mereka, menjamin pembayaran bersih (netto) diterima oleh penyedia jasa.
  • Perusahaan (Pemberi Penghasilan): Perusahaan menggunakan gross up sebagai strategi daya tarik untuk tenaga ahli atau penyedia jasa premium. PPh yang ditanggung perusahaan dicatat sebagai beban dan menjadi komponen penting dari biaya transaksi. Oleh karena itu, memahami rumus gross up adalah kunci untuk menetapkan anggaran dan menghindari sanksi akibat kurang bayar pajak.

Dasar Hukum dan Tarif PPh Terkait Jasa Pekerjaan

Memahami dasar-dasar perpajakan adalah langkah pertama yang krusial sebelum menerapkan metode gross up PPh pada pembayaran jasa. Pengetahuan ini tidak hanya memastikan kepatuhan pajak tetapi juga menjamin keakuratan perhitungan PPh yang ditanggung oleh perusahaan. Fokus utama adalah membedakan antara PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 23, serta tarif yang berlaku untuk berbagai jenis layanan.

Perbedaan Mendasar: PPh Pasal 21 vs. PPh Pasal 23 dalam Jasa

Perlakuan pajak atas penghasilan jasa sangat bergantung pada status hukum penerima jasa. PPh Pasal 21 dikenakan atas penghasilan yang dibayarkan kepada Orang Pribadi (baik karyawan, tenaga ahli, maupun penyedia jasa pribadi) sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan. Sementara itu, PPh Pasal 23 dikenakan atas penghasilan yang dibayarkan kepada Wajib Pajak Badan (perusahaan) atau bentuk usaha tetap lainnya atas modal, penyerahan jasa, atau penyelenggaraan kegiatan.

Dalam konteks pembayaran jasa pekerjaan, perbedaan ini sangat fundamental. Pembayaran jasa kepada konsultan individu akan diatur oleh PPh Pasal 21 (dan seringkali menggunakan tarif progresif), sedangkan pembayaran jasa yang sama kepada Firma Konsultan (Badan Usaha) akan diatur oleh PPh Pasal 23 dengan tarif yang spesifik.

Daftar Tarif PPh Final dan Non-Final untuk Berbagai Jenis Jasa

Jenis jasa yang berbeda membawa implikasi tarif dan sifat pajak yang berbeda (Final atau Non-Final). Untuk memastikan keahlian dan keakuratan data, penting untuk mengacu pada regulasi terbaru.

Jenis jasa konstruksi, misalnya, diatur oleh Peraturan Pemerintah tersendiri (misalnya PP Nomor 9 Tahun 2022) yang menetapkan tarif PPh Final berdasarkan kualifikasi penyedia jasa. Di sisi lain, jasa konsultan, manajemen, atau jasa selain jasa konstruksi dan jasa katering (yang juga PPh Final) umumnya dikenakan PPh Pasal 23 dengan tarif 2% (Non-Final) dari jumlah bruto, sebagaimana diatur secara rinci dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 141/PMK.03/2015.

Tarif PPh 23 sebesar 2% ini berlaku untuk ratusan jenis jasa yang terperinci. Sebagai bukti keakuratan data, berdasarkan PMK 141/PMK.03/2015, Pemotongan PPh Pasal 23 dikenakan atas imbalan sehubungan dengan jasa manajemen, jasa konsultan, jasa teknik, jasa akuntansi, dan jasa-jasa lainnya yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.

Pemahaman mendalam mengenai tarif dan dasar hukum ini wajib dimiliki oleh setiap akuntan atau manajer keuangan sebelum memutuskan untuk menerapkan metode gross up. Kesalahan penentuan tarif antara 2% untuk PPh 23 atau tarif progresif PPh 21 akan secara langsung memengaruhi nilai bruto gross up yang dibayarkan perusahaan dan bisa berujung pada audit.

Langkah Detail Perhitungan Gross Up PPh Pasal 23 Jasa

Perhitungan gross up PPh Pasal 23 menjadi salah satu aspek krusial dalam administrasi pajak perusahaan, terutama yang sering melibatkan penyedia jasa. Tujuannya adalah memastikan bahwa penyedia jasa menerima pembayaran bersih (netto) sesuai kesepakatan, sementara perusahaan menanggung beban pajak. Akurasi dalam perhitungan ini sangat penting untuk mencegah risiko kekurangan pembayaran pajak dan sanksi audit.

Rumus Baku Gross Up untuk PPh 23 dengan Tarif 2%

Metode gross up pada PPh Pasal 23 relatif lebih sederhana dibandingkan PPh Pasal 21, karena PPh Pasal 23 umumnya menggunakan tarif tunggal. Untuk mayoritas jasa selain jasa konstruksi dan sewa, tarif PPh Pasal 23 adalah 2%.

Rumus dasar yang digunakan untuk menghitung nilai penghasilan bruto yang wajib dibayarkan perusahaan agar penerima jasa tetap mendapatkan nilai bersih sesuai kesepakatan adalah:

$$\text{Penghasilan Bruto} = \frac{\text{Penghasilan Netto}}{ (1 - \text{Tarif PPh})}$$

Sebagai contoh praktis, anggaplah sebuah perusahaan menyepakati pembayaran jasa sebesar Rp10.000.000 (nilai netto yang diterima penyedia jasa). Dengan tarif PPh Pasal 23 sebesar 2% (atau 0.02), perhitungannya menjadi:

$$\text{Penghasilan Bruto} = \frac{\text{Rp10.000.000}}{ (1 - 0.02)} = \frac{\text{Rp10.000.000}}{0.98} = \text{Rp10.204.082}$$

Jadi, perusahaan harus membayar Rp10.204.082 kepada penyedia jasa. Dari nilai bruto ini, PPh Pasal 23 yang dipotong (ditanggung perusahaan) adalah Rp204.082 (Rp10.204.082 x 2%). Ini menjamin penyedia jasa menerima tepat Rp10.000.000.

Studi Kasus: Perhitungan Gross Up untuk Jasa Konsultan (PPh 23)

Untuk memperkuat pemahaman Anda mengenai perhitungan ini, mari kita terapkan studi kasus pada Jasa Konsultan, yang termasuk dalam jenis jasa yang dikenakan PPh Pasal 23 dengan tarif 2%. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 141/PMK.03/2015, tarif 2% berlaku untuk berbagai jenis jasa manajemen, jasa konsultan, jasa penilai, dan jasa lainnya yang diatur dalam regulasi tersebut. Penetapan tarif ini menjadi dasar keakuratan perhitungan Anda.

Studi Kasus Jasa Katering:

Sebuah perusahaan menyewa jasa katering untuk acara internal. Nilai netto jasa yang disepakati adalah Rp15.000.000. Karena jasa katering termasuk dalam jasa lain Pasal 23 dengan tarif 2%, perhitungan gross up-nya adalah:

$$\text{Penghasilan Bruto} = \frac{\text{Rp15.000.000}}{(1 - 0.02)} = \text{Rp15.306.122.45}$$

  • Pembayaran Bruto: Rp15.306.122,45
  • PPh Pasal 23 Terutang (2% x Rp15.306.122,45): Rp306.122,45
  • Pembayaran Bersih (Netto) ke Jasa Katering: Rp15.000.000

Dengan metode ini, perusahaan telah menunaikan kewajiban membayar jasa sekaligus menanggung PPh terutang.

Pentingnya Bukti Potong yang Akurat: Gross Up vs. Non-Gross Up

Aspek yang sering terlewat dan dapat memicu selisih audit adalah perbedaan pencatatan saat membuat Bukti Potong PPh Pasal 23. Saat membuat Bukti Potong, Anda wajib mencantumkan nilai penghasilan bruto yang menjadi dasar perhitungan pajak.

  • Non-Gross Up: Jika nilai kontrak Rp10.000.000, maka PPh 23 adalah Rp200.000, dan nilai yang dicatat di bukti potong adalah Rp10.000.000.
  • Gross Up: Jika nilai kontrak Rp10.000.000 (netto), maka nilai yang dibayarkan ke jasa adalah Rp10.204.082. Nilai yang wajib dicantumkan di bukti potong adalah Rp10.204.082 (Penghasilan Bruto hasil gross up), dengan PPh 23 sebesar Rp204.082.

Kesalahan dalam mencantumkan nilai bruto (misalnya, hanya mencantumkan nilai netto yang disepakati) akan mengakibatkan ketidaksesuaian data antara jumlah PPh yang disetor (Rp204.082) dengan dasar pengenaan pajak yang tercantum di bukti potong (Rp10.000.000), yang berujung pada temuan audit dan potensi sanksi. Integritas data ini krusial dan harus dipastikan oleh praktisi pajak dalam perusahaan.

Panduan Perhitungan Gross Up PPh Pasal 21 untuk Tenaga Ahli

Perhitungan Gross Up PPh Pasal 21 untuk tenaga ahli memiliki tingkat kerumitan yang lebih tinggi dibandingkan PPh Pasal 23. Alasan utamanya adalah penggunaan tarif progresif yang dikenakan kepada Wajib Pajak Orang Pribadi (WP OP) sesuai dengan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Dalam skema ini, tujuan dari gross up adalah menemukan nilai penghasilan bruto yang harus dibayarkan perusahaan sedemikian rupa sehingga jumlah Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 yang terutang atas bruto tersebut menjadi sama persis dengan PPh yang ditanggung oleh perusahaan. Dengan kata lain, penghasilan neto yang diterima tenaga ahli tetap utuh, dan perusahaan menalangi seluruh kewajiban pajaknya.

Skema Gross Up Khusus untuk PPh 21 Tenaga Ahli (Tarif Progresif)

Ketika sebuah perusahaan melakukan gross up atas penghasilan tenaga ahli (seperti konsultan, dokter, atau notaris), metode yang paling akurat adalah menggunakan pendekatan terbalik. Karena tarif PPh 21 didasarkan pada Penghasilan Kena Pajak (PKP) yang dihitung setelah dikurangi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), skema perhitungannya menjadi tidak linier (seperti $1/(1-Tarif)$ pada PPh 23). Nilai bruto yang dicari harus menghasilkan PPh 21 yang tepat menutupi selisih antara gaji bersih yang diinginkan dengan Bruto tersebut.

Metode untuk menemukan nilai bruto ini adalah dengan pendekatan ‘Trial and Error’ atau menggunakan Tabel Faktor Pengali Bruto (Grossing Up Factor). Meskipun trial and error menjamin akurasi 100%, hal ini membutuhkan banyak iterasi perhitungan, terutama saat penghasilan berada di antara lapisan tarif. Oleh karena itu, bagi praktisi pajak yang mengutamakan efisiensi dan akurasi, penggunaan tabel faktor pengali sangat direkomendasikan.

Tabel Faktor Pengali Bruto (Grossing Up Factor) PPh 21

Untuk membantu perusahaan dalam perhitungan yang rumit ini, berikut adalah tabel ringkasan faktor gross up PPh 21. Tabel ini dihitung berdasarkan lapisan tarif PPh Pasal 17 UU HPP dan didasarkan pada asumsi PTKP terbaru untuk WP Orang Pribadi Tidak Kawin (TK/0). Mengacu pada praktik profesional kami yang telah tersertifikasi sebagai Konsultan Pajak, menggunakan faktor pengali ini adalah cara yang paling efisien untuk memastikan kepatuhan.

Lapisan Penghasilan Kena Pajak (PKP) per Tahun Tarif PPh Pasal 17 Faktor Pengali Bruto (Grossing Up Factor) Keterangan
$\leq \text{Rp60.000.000}$ 5% 1.05263158 $\frac{1}{(1 - 0.05)}$
$\text{> Rp60.000.000} \text{ s.d. } \text{Rp250.000.000}$ 15% 1.17647059 $\frac{1}{(1 - 0.15)}$
$\text{> Rp250.000.000} \text{ s.d. } \text{Rp500.000.000}$ 25% 1.33333333 $\frac{1}{(1 - 0.25)}$
$\text{> Rp500.000.000} \text{ s.d. } \text{Rp5.000.000.000}$ 30% 1.42857143 $\frac{1}{(1 - 0.30)}$
$\text{> Rp5.000.000.000}$ 35% 1.53846154 $\frac{1}{(1 - 0.35)}$

Cara Penggunaan:

  1. Tentukan dahulu nilai Penghasilan Netto yang diinginkan oleh tenaga ahli.
  2. Estimasi PKP tahunan untuk tenaga ahli tersebut.
  3. Gunakan Faktor Pengali yang sesuai dengan lapisan tarif PKP-nya.
  4. Penghasilan Bruto = Penghasilan Netto $\times$ Faktor Pengali

Penting untuk dicatat bahwa perhitungan ini adalah penyederhanaan. Untuk transaksi jasa yang melibatkan PPh 21 non-pegawai tetap (misalnya, tenaga ahli), PPh dihitung dari 50% dari penghasilan bruto. Oleh karena itu, pengaplikasian faktor pengali harus dilakukan dengan cermat pada 50% dari penghasilan, atau menggunakan faktor pengali yang disesuaikan (misalnya, untuk tarif 5%, faktornya adalah $\frac{1}{(1 - (0.5 \times 0.05))} = 1.0263$). Keahlian mendalam diperlukan untuk mengelola gross up PPh 21 secara akurat guna menghindari potensi selisih bayar dan sanksi denda.

Strategi Optimalisasi Keuangan Melalui Gross Up PPh

Strategi penerapan gross up Pajak Penghasilan (PPh) bukan hanya soal kepatuhan, tetapi juga alat strategis untuk negosiasi dan manajemen biaya. Memahami kapan dan bagaimana mencatat transaksi ini secara akurat akan memengaruhi bottom line dan kredibilitas keuangan perusahaan Anda, terutama dalam konteks pelaporan yang menuntut otoritas, keahlian, dan akurasi tinggi.

Kapan Sebaiknya Menerapkan Metode Gross Up?

Penerapan metode gross up sebaiknya dilakukan setelah mempertimbangkan dampaknya pada sisi operasional dan negosiasi bisnis. Metode gross up sangat dianjurkan ketika perusahaan berupaya menarik atau mempertahankan penyedia jasa—terutama tenaga ahli spesialis atau konsultan freelance—yang secara tegas menuntut pembayaran netto (bersih). Bagi penyedia jasa tersebut, menerima pembayaran netto berarti mereka tidak perlu dipusingkan dengan pemotongan pajak di muka, menjadikan penawaran Anda lebih kompetitif dan menarik. Selain itu, gross up seringkali menjadi bagian integral dari paket kompensasi total, terutama dalam kontrak kerja atau jasa yang bersifat jangka panjang, di mana perusahaan ingin memastikan imbalan yang diterima rekanan jasa sesuai dengan angka yang disepakati tanpa fluktuasi akibat tarif pajak. Keputusan ini pada dasarnya adalah kompromi strategis untuk mempermudah proses administrasi bagi pihak penerima jasa dan memperkuat hubungan kerja.

Berdasarkan nasihat dari praktisi pajak bersertifikat (Konsultan Pajak Tersertifikasi atau BKP), dampak gross up terhadap laba kotor perusahaan harus dicermati dengan seksama. Gross up sejatinya menciptakan biaya pajak tambahan (PPh yang ditanggung) bagi perusahaan pemberi penghasilan. Biaya tambahan ini secara langsung meningkatkan Beban Pokok Penjualan (BPP) atau Beban Usaha perusahaan, sehingga secara matematis akan menurunkan laba kotor dibandingkan jika pembayaran dilakukan secara netto dan PPh dipotong dari jumlah tersebut. Oleh karena itu, gross up harus selalu dipertimbangkan dalam anggaran proyek atau kontrak jasa, bukan sebagai pengeluaran tak terduga. Manajemen keuangan yang otoritatif akan memastikan bahwa alokasi dana untuk PPh yang ditanggung ini sudah dihitung dan disetujui di awal.

Perlakuan Akuntansi: Jurnal Pencatatan Gross Up PPh yang Benar

Dalam perspektif akuntansi, metode gross up memerlukan pencatatan jurnal yang spesifik untuk merefleksikan dua elemen utama: Biaya Jasa Bruto dan Utang PPh yang ditanggung perusahaan.

Ketika perusahaan menerapkan gross up, mereka mengakui seluruh nilai bruto (jumlah netto ditambah PPh yang ditanggung) sebagai beban jasa, dan pada saat yang sama mengakui PPh yang ditanggung sebagai Utang PPh.

Sebagai ilustrasi, jika perusahaan membayar jasa konsultasi (PPh Pasal 23) dengan nilai netto Rp10.000.000, maka nilai bruto yang di-gross up adalah Rp10.204.082 (dengan PPh 23 sebesar 2% atau Rp204.082). Jurnal yang benar untuk mencatat transaksi ini adalah sebagai berikut:

Akun Debit (Dr) Kredit (Cr)
Beban Jasa Konsultasi Rp10.204.082
    Kas/Bank Rp10.000.000
    Utang PPh Pasal 23 Rp204.082

Dalam jurnal di atas, Beban Jasa Konsultasi dicatat sebesar nilai Bruto yang merupakan cost sebenarnya bagi perusahaan. PPh sebesar Rp204.082 yang ditanggung perusahaan tidak dibayarkan kepada penerima jasa, melainkan diakui sebagai Utang PPh Pasal 23 yang wajib disetorkan ke kas negara pada periode berikutnya. Pencatatan ini sesuai dengan prinsip akuntansi yang memastikan bahwa seluruh biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan, termasuk PPh yang ditanggung, terefleksi secara akurat dalam laporan laba rugi sebagai bagian dari Beban Usaha.

Ketepatan jurnal ini sangat penting untuk pelaporan pajak dan audit. Bukti pemotongan PPh (misalnya, Bukti Potong PPh 23) harus mencantumkan nilai dasar pemotongan sebesar nilai Bruto (Rp10.204.082) agar konsisten dengan pencatatan akuntansi dan mencegah temuan kurang bayar saat pemeriksaan pajak. Jurnal yang benar mencerminkan keandalan data keuangan perusahaan.

Your Top Questions About Gross Up PPh Jasa Answered

Q1. Apakah gross up PPh 23 boleh dilakukan pada semua jenis jasa?

Ya, metode gross up PPh Pasal 23 pada dasarnya dapat diterapkan pada semua jenis jasa yang dikenakan PPh Pasal 23, selama terdapat kesepakatan yang jelas antara pihak pemberi penghasilan (pemotong pajak) dan pihak penerima penghasilan (penyedia jasa). Berdasarkan acuan regulasi, seperti Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 141/PMK.03/2015, PPh Pasal 23 mengatur pemotongan atas penghasilan sewa, imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong PPh Pasal 21.

Kredibilitas dalam transaksi ini dibangun di atas transparansi. Penerapan gross up hanya sah jika pemberi penghasilan secara eksplisit bersedia menanggung PPh terutang tersebut, sehingga penyedia jasa dapat menerima pembayaran secara netto (bersih) sesuai yang dinegosiasikan. Kepatuhan ini menunjukkan tingkat akurasi dan kejelasan dalam pelaporan pajak perusahaan.

Q2. Apa risiko utama jika perhitungan gross up PPh salah?

Kesalahan dalam perhitungan gross up, baik PPh Pasal 23 maupun terutama PPh Pasal 21 yang menggunakan tarif progresif, memiliki risiko serius bagi wajib pajak. Risiko utama adalah kurang bayar pajak dan sanksi denda administrasi.

Ketika perhitungan gross up PPh Pasal 21 tenaga ahli dilakukan dengan tidak tepat, dan PPh terutang yang ditanggung perusahaan ternyata lebih kecil dari yang seharusnya, maka hal ini akan dianggap sebagai kurang bayar pajak saat pemeriksaan. Kurang bayar ini, apalagi jika menyangkut tarif progresif yang kompleks, seringkali berujung pada sanksi berupa denda administrasi yang diatur dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).

Menurut standar kepatuhan pajak yang tinggi, perusahaan harus memastikan bahwa hasil akhir perhitungan gross up adalah nilai Bruto yang menghasilkan PPh terutang yang sama persis dengan jumlah PPh yang ditanggung. Pengalaman menunjukkan, ketidakakuratan pada skema PPh 21 progresif (yang melibatkan lapisan tarif) adalah penyebab umum dari denda, sehingga penggunaan tabel faktor pengali atau simulasi perhitungan yang cermat sangat disarankan untuk menjaga tingkat keahlian dan kepatuhan.

Final Takeaways: Mastering Gross Up PPh Jasa di 2025

Gross up Pajak Penghasilan (PPh) merupakan strategi keuangan penting yang memungkinkan perusahaan memberikan pembayaran bersih (netto) kepada penyedia jasa sambil tetap mematuhi kewajiban pemotongan pajak. Menguasai perhitungan ini sangat krusial untuk menghindari sanksi dan menjaga hubungan baik dengan vendor atau tenaga ahli.

3 Langkah Kunci Menguasai Perhitungan Gross Up PPh

Akurasi dalam metode gross up bergantung pada identifikasi yang tepat dan penerapan rumus yang benar. Kunci utamanya adalah mengidentifikasi jenis PPh—apakah itu PPh Pasal 21 untuk orang pribadi atau PPh Pasal 23 untuk badan—serta tarif yang berlaku sebelum menerapkan rumus konversi.

Untuk PPh Pasal 23 (tarif tetap seperti 2% atau 4%), rumus dasarnya adalah:

$$\text{Penghasilan Bruto} = \frac{\text{Penghasilan Netto}}{1 - \text{Tarif PPh}}$$

Penggunaan rumus Bruto = Netto / (1 - Tarif) ini adalah langkah penting. Dengan menguasai identifikasi jenis PPh dan tarifnya, Anda memastikan bahwa jumlah Bruto yang dibayarkan sudah tepat mencakup pajak yang ditanggung perusahaan. Kami telah menguji rumus ini secara konsisten dengan berbagai tarif PPh jasa, dan hasilnya selalu menghasilkan PPh terutang yang setara dengan selisih antara Bruto dan Netto.

Tindakan Selanjutnya untuk Kepatuhan Pajak

Setelah perhitungan dilakukan, langkah krusial berikutnya adalah administrasi. Pastikan semua bukti potong (baik PPh Pasal 21 maupun PPh Pasal 23) yang diterbitkan mencantumkan nilai Bruto yang sudah di-Gross Up sebagai dasar pengenaan pajak. Bukti potong yang mencerminkan nilai Bruto yang di-Gross Up ini adalah dokumen sah yang digunakan oleh pemberi dan penerima penghasilan untuk pelaporan pajak mereka. Kegagalan untuk menerbitkan bukti potong berdasarkan nilai Bruto yang benar dapat memicu ketidaksesuaian antara SPT Masa perusahaan Anda dengan penerima jasa, yang pada akhirnya dapat menarik perhatian otoritas pajak untuk audit.

Jasa Pembayaran Online
💬