PPh Potongan Jasa Pengobatan PT ke RS: Aturan & Perhitungannya
Aturan PPh Atas Pembayaran Jasa Pengobatan oleh PT ke Rumah Sakit
Definisi Pemotongan PPh Jasa Pelayanan Kesehatan
Pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 adalah kewajiban yang timbul saat Wajib Pajak Badan (seperti Perseroan Terbatas/PT) melakukan pembayaran atas jasa tertentu kepada Wajib Pajak Badan lain. Dalam konteks pembayaran pt bayar jasa pengobatan ke rumah sakit potong pph, pemotongan PPh Pasal 23 dapat dikenakan jika rumah sakit tersebut berstatus sebagai Wajib Pajak Badan dan tidak memiliki Surat Keterangan Bebas (SKB) PPh Pasal 23. Pemotongan ini dikenakan atas nilai imbalan bruto jasa pengobatan atau pelayanan kesehatan yang diberikan. Artikel ini akan mengupas tuntas mengenai dasar hukum, tarif, dan berbagai pengecualian pemotongan PPh Pasal 23 yang wajib dipahami oleh Wajib Pajak Badan.
Mengapa Kredibilitas Sumber Pajak Ini Penting?
Kepatuhan dalam pemotongan PPh Pasal 23 merupakan elemen kunci dari praktik akuntansi dan perpajakan yang baik bagi sebuah PT. Informasi mengenai peraturan pajak, terutama yang berkaitan dengan jasa pelayanan kesehatan, harus bersumber dari regulasi yang kredibel dan terbaru. Pembaca perlu memastikan bahwa panduan yang mereka ikuti didasarkan pada otoritas, keahlian, dan kepercayaan yang tinggi. Oleh karena itu, semua bahasan dalam artikel ini merujuk langsung pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) dan Peraturan Direktur Jenderal Pajak (PER) terkait untuk memastikan akurasi dan keabsahan hukum. Memahami aturan ini secara mendalam sangat penting untuk menghindari sanksi administrasi dan menjamin kepatuhan pajak perusahaan Anda.
Dasar Hukum dan Jenis-Jenis PPh yang Relevan
Ketentuan Umum PPh Pasal 23 atas Jasa
Peraturan perpajakan di Indonesia secara eksplisit mengatur pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) atas berbagai jenis jasa. Untuk transaksi pt bayar jasa pengobatan ke rumah sakit potong pph, dasar hukum utamanya ditemukan dalam PPh Pasal 23. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 141/PMK.03/2015, jasa pengobatan atau jasa pelayanan kesehatan diklasifikasikan sebagai salah satu jenis jasa lain yang dikenakan pemotongan PPh Pasal 23.
Untuk membangun kredibilitas dan otoritas sumber ini, perlu ditegaskan bahwa PMK ini secara spesifik mencantumkan jasa pengobatan, termasuk rawat inap dan rawat jalan, dalam daftar jasa yang dikenakan PPh Pasal 23. Pasal 23 ayat (1) huruf c Undang-Undang PPh sendiri menyatakan bahwa atas penghasilan berupa imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong PPh Pasal 21, dikenakan pemotongan PPh sebesar 2%. Selain itu, mengenai tarif dan jenis jasa yang lebih rinci, kita merujuk pada Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ/2016 yang menjadi panduan teknis bagi Wajib Pajak Badan (PT) dalam melakukan pemotongan yang benar.
Kriteria Rumah Sakit dan Status Pajaknya: WP Badan atau OP
Dalam konteks PPh, penting bagi PT untuk mengidentifikasi status hukum dari penyedia jasa, dalam hal ini Rumah Sakit (RS). Identifikasi ini menentukan jenis PPh mana yang harus dipotong.
Jika PT melakukan pembayaran kepada Rumah Sakit yang berstatus Wajib Pajak Badan, maka penghasilan atas jasa pelayanan kesehatan tersebut dikenakan PPh Pasal 23 dengan tarif 2% dari nilai bruto imbalan. Pemotongan PPh Pasal 23 berlaku karena RS sebagai badan hukum menerima imbalan atas jasa yang disediakannya.
Sebaliknya, perlu dibedakan secara tegas, seperti yang ditekankan oleh otoritas pajak, bahwa jika pembayaran jasa dilakukan oleh PT kepada Dokter atau tenaga medis lainnya yang berstatus Wajib Pajak Orang Pribadi (OP), maka penghasilan tersebut dikenakan PPh Pasal 21. PPh Pasal 21 berlaku atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan bebas atau jasa yang diterima oleh Orang Pribadi. Oleh karena itu, PT harus memastikan apakah tagihan yang diterima berasal dari entitas RS (WP Badan) atau langsung dari individu dokter (WP OP) untuk menghindari kesalahan pemotongan PPh. Ketidakakuratan dalam identifikasi ini dapat menyebabkan sanksi atau denda.
Tarif dan Mekanisme Pemotongan PPh Pasal 23 Jasa Pengobatan
Tarif Normal PPh 23 untuk Jasa Pelayanan Kesehatan
Pemahaman mengenai tarif dan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) adalah inti dari kepatuhan pajak. Dalam konteks PT (Wajib Pajak Badan) yang membayar jasa pengobatan atau pelayanan kesehatan kepada Rumah Sakit (sebagai Wajib Pajak Badan), mekanisme pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 (PPh 23) menjadi wajib dilakukan oleh PT selaku pemotong.
Berdasarkan peraturan perpajakan yang berlaku, tarif PPh Pasal 23 atas jasa pengobatan adalah sebesar 2% (dua persen). Tarif ini diterapkan pada Dasar Pengenaan Pajak (DPP). Penting untuk ditekankan, DPP PPh Pasal 23 merupakan jumlah bruto dari nilai imbalan jasa yang dibayarkan. Merujuk pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) terkait, yang dimaksud dengan jumlah bruto adalah semua pembayaran yang dilakukan tanpa adanya pengurangan apa pun, kecuali reimbursement atau penggantian biaya yang dibayarkan ke pihak ketiga. Sebagai contoh, jika Rumah Sakit menagihkan jasa dokter (fee) dan juga biaya obat-obatan yang dibayarkan RS kepada apotek luar (reimbursement), maka DPP PPh 23 hanya didasarkan pada nilai total tagihan jasa (fee) sebelum dikenakan PPN, tidak termasuk komponen penggantian biaya obat-obatan tersebut. Pemisahan komponen tagihan ini wajib diperhatikan oleh PT untuk memastikan perhitungan pajak yang akurat.
Dampak Tidak Adanya NPWP: Kenaikan Tarif 100%
Dalam administrasi perpajakan, Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) berfungsi sebagai identitas utama. Saat PT melakukan pembayaran jasa ke Rumah Sakit, status kepemilikan NPWP oleh Rumah Sakit akan sangat memengaruhi besaran pemotongan PPh Pasal 23.
Jika Rumah Sakit sebagai penerima penghasilan tidak memiliki NPWP yang sah, maka PT wajib melakukan pemotongan dengan tarif yang lebih tinggi, yaitu 100% lebih tinggi dari tarif normal. Dengan tarif normal 2%, maka tarif yang berlaku menjadi $4%$ (empat persen) dari jumlah bruto.
Penerapan tarif yang lebih tinggi ini bukan sekadar sanksi, tetapi merupakan mekanisme pengamanan penerimaan negara dan sekaligus insentif bagi Wajib Pajak untuk mematuhi kewajiban pendaftaran. Untuk menunjukkan akurasi dan keahlian perhitungan kami, mari lihat contoh kasus:
| Skenario | Nilai Bruto Jasa Pengobatan | Tarif PPh 23 | PPh 23 yang Dipotong |
|---|---|---|---|
| RS Memiliki NPWP | Rp 50.000.000 | 2% | Rp 1.000.000 (50.000.000 x 2%) |
| RS Tidak Memiliki NPWP | Rp 50.000.000 | 4% | Rp 2.000.000 (50.000.000 x 4%) |
Contoh di atas secara jelas memperlihatkan konsekuensi finansial yang signifikan bagi Rumah Sakit jika tidak memiliki NPWP, dan sekaligus menekankan tanggung jawab PT sebagai pemotong untuk memastikan validitas NPWP lawan transaksinya. PT harus selalu melakukan verifikasi NPWP melalui sistem resmi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sebelum melakukan pemotongan guna menghindari sengketa dan potensi sanksi di kemudian hari.
Pengecualian Pemotongan PPh: Kapan PT Tidak Perlu Memotong?
Meskipun prinsip umum menyatakan bahwa pembayaran jasa pengobatan oleh PT kepada Rumah Sakit (sebagai Wajib Pajak Badan) wajib dikenakan PPh Pasal 23, terdapat beberapa kondisi dan status fasilitas kesehatan yang mengecualikan kewajiban pemotongan ini. Memahami pengecualian ini adalah kunci untuk memastikan kepatuhan pajak yang efisien dan menghindari pemotongan ganda atau yang tidak perlu.
Fasilitas Kesehatan sebagai Objek PPh yang Dikecualikan
Ketentuan perpajakan di Indonesia sering kali memberikan perlakuan khusus terhadap fasilitas-fasilitas tertentu, terutama yang berorientasi pada pelayanan publik esensial. Pembayaran yang dilakukan oleh PT kepada fasilitas kesehatan dapat dikecualikan dari pemotongan PPh 23 dalam situasi tertentu.
Secara spesifik, pembayaran yang dilakukan kepada Fasilitas Kesehatan Pemerintah, seperti Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) atau Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas), sering kali tidak diwajibkan untuk dipotong PPh Pasal 23. Perlakuan ini biasanya didasarkan pada peraturan spesifik yang mengatur mekanisme pemotongan dan penyetoran pajak untuk instansi pemerintah. Sebagai contoh pengalaman praktik, dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) memiliki mekanisme pemotongan dan penyetoran yang berbeda. Oleh karena itu, jika PT bertransaksi dengan entitas pemerintah tersebut, PT harus memastikan merujuk pada ketentuan PMK terbaru yang mengatur pengeluaran dari instansi pemerintah, seperti yang sering dimuat dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) mengenai pelaksanaan APBN.
Perbedaan perlakuan antara rumah sakit swasta dan rumah sakit pemerintah sangat signifikan, dan menjadi fokus penting dalam kepatuhan pajak. Jika PT membayar jasa pengobatan ke rumah sakit swasta yang berstatus Wajib Pajak Badan, pemotongan PPh Pasal 23 wajib dilakukan sebesar 2% dari nilai bruto jasa. Sebaliknya, pembayaran jasa pengobatan ke rumah sakit pemerintah (RSUD/Puskesmas) sering kali dikecualikan dari pemotongan PPh 23 karena subjek penerima penghasilan dianggap bukan merupakan objek pemotongan yang diatur dalam Pasal 23, atau telah diatur secara khusus dalam ketentuan APBN/APBD yang berlaku, sesuai dengan keahlian dan pemahaman peraturan perpajakan.
Pentingnya Surat Keterangan Bebas (SKB) PPh 23
Salah satu pengecualian paling umum dan penting yang harus dipertimbangkan oleh PT adalah keberadaan Surat Keterangan Bebas (SKB) PPh Pasal 23. SKB ini adalah dokumen resmi yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang mengkonfirmasi bahwa penghasilan yang diterima oleh pihak yang bersangkutan (dalam hal ini Rumah Sakit) tidak perlu dipotong PPh Pasal 23 oleh pihak yang membayarkan (PT).
PT tidak perlu melakukan pemotongan PPh 23 jika Rumah Sakit yang menyediakan jasa dapat menunjukkan SKB PPh 23 yang masih berlaku kepada PT. SKB ini biasanya diberikan jika:
- Penghasilan telah dilunasi: Rumah Sakit memiliki status perpajakan yang memastikan bahwa PPh atas penghasilan tersebut telah dilunasi melalui mekanisme lain (misalnya, dikenakan PPh Final).
- Dikecualikan: Terdapat ketentuan khusus yang mengecualikan penghasilan tersebut dari pemotongan PPh 23.
Sebelum PT membayarkan tagihan jasa pengobatan, PT wajib melakukan verifikasi status pajak Rumah Sakit. Bukti SKB harus asli dan diserahkan kepada PT untuk diarsipkan sebagai bukti non-pemotongan yang sah. Pengalaman menunjukkan bahwa kelalaian PT dalam memverifikasi dan menyimpan SKB ini dapat berakibat pada koreksi dan pengenaan sanksi oleh DJP di kemudian hari, karena PT tetap dianggap sebagai pihak yang bertanggung jawab atas PPh yang seharusnya dipotong dan disetor.
Prosedur Administrasi dan Kewajiban Pemotong Pajak (PT)
Setelah memahami tarif dan pengecualiannya, langkah selanjutnya bagi PT sebagai Wajib Pajak Badan pemotong adalah melaksanakan kewajiban administrasi pajak dengan benar. Proses ini melibatkan tiga tahap krusial: pembuatan bukti potong, penyetoran pajak, dan pelaporan, yang seluruhnya harus dilakukan secara tepat waktu dan akurat.
Kewajiban Pembuatan Bukti Potong PPh Pasal 23
Kewajiban pertama dan paling mendasar bagi PT yang membayarkan jasa pengobatan kepada Rumah Sakit (selaku Wajib Pajak Badan) adalah membuat Bukti Pemotongan PPh Pasal 23. Bukti potong ini adalah dokumen legal yang membuktikan bahwa PPh Pasal 23 telah dipotong dan merupakan hak kredit pajak bagi Rumah Sakit yang menerima penghasilan.
PT wajib membuat Bukti Potong PPh Pasal 23 dan menyerahkannya kepada Rumah Sakit paling lambat pada akhir bulan berikutnya setelah bulan pembayaran atau terutangnya penghasilan. Misalnya, jika pembayaran dilakukan pada 15 Januari, bukti potong harus diserahkan kepada Rumah Sakit paling lambat pada akhir Februari. Kegagalan dalam menerbitkan bukti potong dapat menghambat Rumah Sakit dalam mengklaim kredit pajak mereka dan berpotensi menimbulkan sanksi bagi PT.
Pelaporan dan Penyetoran PPh yang Dipotong (e-Bupot Unifikasi)
Pemotongan PPh Pasal 23 yang telah dilakukan oleh PT harus segera disetorkan dan dilaporkan ke kantor pajak. Proses ini menjamin transparansi dan kepatuhan dalam sistem perpajakan.
Proses penyetoran PPh 23 dilakukan dengan membuat dan membayar Surat Setoran Pajak (SSP) atau yang setara, paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya setelah bulan terutangnya PPh. Misalnya, PPh 23 yang dipotong pada bulan Januari wajib disetor paling lambat tanggal 10 Februari.
Selanjutnya, PT wajib melaporkan pemotongan tersebut menggunakan SPT Masa PPh Unifikasi. Saat ini, pelaporan pemotongan PPh Pasal 23, bersama dengan jenis PPh lainnya, telah terintegrasi dalam sistem e-Bupot Unifikasi Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
Langkah-Langkah Praktis Penggunaan e-Bupot Unifikasi
Untuk memastikan kepatuhan pelaporan, PT harus menguasai penggunaan aplikasi e-Bupot Unifikasi. Sebagai otoritas di bidang perpajakan, kami menekankan bahwa ketepatan penggunaan aplikasi ini adalah kunci untuk menghindari sanksi administrasi:
- Akses Aplikasi: Wajib Pajak Badan (PT) harus memiliki akun dan sertifikat elektronik untuk mengakses aplikasi e-Bupot Unifikasi melalui laman DJP Online.
- Input Data Transaksi: PT wajib memasukkan rincian transaksi pembayaran jasa pengobatan ke Rumah Sakit, termasuk nilai bruto, tarif, jumlah PPh yang dipotong, dan NPWP Rumah Sakit.
- Penerbitan Bukti Potong: Sistem akan secara otomatis menghasilkan Bukti Potong PPh Pasal 23 dalam format elektronik. Bukti potong inilah yang kemudian diserahkan kepada Rumah Sakit.
- Pelaporan SPT Masa: Setelah semua transaksi PPh 23 (dan PPh lainnya yang diatur dalam SPT Unifikasi) diinput dan disetor, PT wajib membuat dan menyampaikan SPT Masa PPh Unifikasi melalui aplikasi e-Bupot paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir.
Dengan menguasai alur kerja e-Bupot Unifikasi, PT dapat memastikan bahwa seluruh proses pemotongan dan pelaporan PPh Pasal 23 atas pembayaran jasa pengobatan telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
Implikasi Pajak Lain: PPN Atas Jasa Kesehatan
Apakah Jasa Pelayanan Kesehatan Dikenakan PPN?
Untuk memberikan gambaran menyeluruh mengenai kepatuhan pajak PT saat membayar jasa pengobatan ke rumah sakit, penting untuk memahami status Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari jasa tersebut. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), khususnya yang mengubah ketentuan dalam UU PPN, jasa pelayanan kesehatan medis pada umumnya ditetapkan sebagai Jenis Jasa Kena Pajak Tertentu yang dibebaskan dari pengenaan PPN.
Ketentuan ini, yang diatur dalam Pasal 4A UU PPN, secara eksplisit mengakui bahwa jasa pelayanan kesehatan, mulai dari rawat jalan hingga rawat inap di rumah sakit, merupakan kebutuhan pokok yang harus mudah diakses oleh masyarakat. Pembebasan PPN ini memastikan bahwa biaya layanan kesehatan tidak terbebani oleh pajak konsumsi, yang secara tidak langsung mendukung aspek kredibilitas dan keahlian dalam pembahasan kepatuhan pajak secara keseluruhan. Oleh karena itu, faktur tagihan dari rumah sakit umumnya tidak mencantumkan PPN, kecuali untuk layanan tertentu yang berada di luar definisi murni jasa medis.
Pengaruh PPN terhadap Dasar Pengenaan Pajak (DPP) PPh 23
Meskipun jasa kesehatan umumnya dibebaskan dari PPN, pemahaman mengenai bagaimana PPN dapat mempengaruhi perhitungan PPh Pasal 23 tetap krusial.
Perbedaan utama yang perlu ditegaskan di sini adalah: Dasar Pengenaan Pajak (DPP) PPh Pasal 23 adalah nilai bruto imbalan. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan yang berlaku, nilai bruto imbalan mencakup semua pembayaran, kecuali penggantian biaya (reimbursement) yang dibayarkan kepada pihak ketiga.
Poin penting yang perlu dicatat secara akurat: Jika suatu jasa yang dibayarkan oleh PT kepada rumah sakit tergolong Jasa Kena Pajak (JKP) dan terutang PPN (misalnya, penyewaan ruangan untuk seminar, bukan jasa medis), maka PPN yang terutang tersebut tidak termasuk dalam DPP untuk pemotongan PPh Pasal 23.
Untuk menegaskan dasar hukum pengecualian PPN jasa kesehatan dan kaitannya dengan PPh 23, merujuk pada ketentuan Pasal 4A ayat (3) huruf e Undang-Undang PPN yang diperjelas oleh peraturan pelaksana terkait barang dan jasa yang dikecualikan dari PPN (seperti Peraturan Pemerintah terbaru). Ketentuan ini secara tegas memastikan bahwa nilai PPh 23 yang dipotong (2%) hanya dikenakan atas nilai murni dari jasa, tanpa memasukkan unsur PPN, sehingga menjaga konsistensi dan akurasi perhitungan kewajiban pajak PT Anda. Dengan demikian, PT dapat memastikan bahwa pemotongan PPh 23 dilakukan secara tepat, hanya pada komponen biaya jasa yang menjadi objek pemotongan.
Tanya Jawab Teratas Seputar Pemotongan PPh Jasa Rumah Sakit
Q1. Apakah jasa rawat inap dikenakan PPh Pasal 23?
Jasa rawat inap (hospitalization), yang merupakan bagian integral dari jasa pelayanan kesehatan, pada prinsipnya dikenakan pemotongan PPh Pasal 23 sebesar 2% dari nilai bruto imbalan. Ketentuan ini berlaku selama pembayaran dilakukan oleh Wajib Pajak Badan (PT) kepada Rumah Sakit yang berstatus Wajib Pajak Badan.
Namun, seperti yang diatur dalam peraturan perpajakan, terdapat pengecualian yang harus diperhatikan. Apabila Rumah Sakit dapat menunjukkan Surat Keterangan Bebas (SKB) PPh Pasal 23 yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP), maka PT tidak wajib melakukan pemotongan atas jasa rawat inap tersebut. Untuk memastikan keabsahan, PT harus selalu memverifikasi status kepemilikan SKB sebelum pembayaran dilakukan.
Q2. Apa yang terjadi jika PT lupa memotong PPh 23?
Kepatuhan dalam pemotongan PPh Pasal 23 merupakan tanggung jawab mutlak Wajib Pajak Badan (PT) sebagai pihak pemotong. Berdasarkan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), jika PT lalai atau lupa memotong PPh 23 atas pembayaran jasa pengobatan kepada Rumah Sakit, PT tetap bertanggung jawab atas PPh yang terutang.
Konsekuensinya, PT akan diminta untuk menyetorkan PPh terutang tersebut ke kas negara. Selain itu, PT dapat dikenakan sanksi administrasi berupa bunga atau denda. Sanksi ini dihitung berdasarkan persentase tertentu dari jumlah pajak yang kurang atau tidak dibayar, dihitung sejak jatuh tempo penyetoran hingga tanggal pembayaran. Sebagai contoh, merujuk pada ketentuan sanksi terbaru, kelalaian ini dapat mengakibatkan PT harus menanggung beban tambahan yang signifikan. Oleh karena itu, memastikan sistem akuntansi dan perpajakan internal perusahaan berjalan dengan disiplin adalah hal yang krusial untuk menghindari kerugian finansial akibat sanksi.
Rangkuman Kepatuhan Pajak: Menguasai PPh Jasa Pengobatan
Tiga Langkah Kritis untuk Kepatuhan PPh 23 yang Benar
Menguasai aturan pajak atas pembayaran jasa pengobatan oleh PT ke Rumah Sakit membutuhkan fokus pada beberapa titik kritis untuk memastikan kepatuhan. Kunci kepatuhan adalah memastikan status pajak RS (WP Badan/OP), validitas NPWP, dan penggunaan e-Bupot Unifikasi yang tepat waktu. Sebagai praktisi pajak yang memahami seluk-beluk pemotongan PPh Pasal 23, kami menekankan bahwa verifikasi awal adalah langkah pencegahan terbaik. Pertama, pastikan Rumah Sakit berstatus Wajib Pajak Badan; jika layanan dibayar ke dokter pribadi, aturannya bergeser ke PPh Pasal 21. Kedua, verifikasi NPWP Rumah Sakit untuk menghindari lonjakan tarif pemotongan sebesar 100%. Terakhir, pemanfaatan sistem e-Bupot Unifikasi adalah keharusan untuk penyetoran dan pelaporan yang akurat dan tepat waktu, sesuai dengan ketentuan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) terbaru.
Langkah Lanjut untuk PT Anda
Untuk memitigasi risiko sanksi dan denda, manajemen perusahaan perlu mengintegrasikan proses verifikasi pajak ke dalam alur pembayaran Accounts Payable. Periksa kembali status kepemilikan Surat Keterangan Bebas (SKB) PPh 23 dari Rumah Sakit sebelum melakukan pembayaran untuk menghindari pemotongan yang tidak perlu atau salah hitung. Rumah Sakit yang berhak atas pengecualian atau tarif khusus harus menyerahkan SKB yang masih berlaku kepada PT Anda. Kegagalan untuk memverifikasi hal ini atau status NPWP dapat mengakibatkan pemotongan yang keliru, yang pada akhirnya harus diselesaikan melalui mekanisme pembetulan SPT dan berpotensi menimbulkan sanksi. Dengan disiplin dalam tiga langkah kritis di atas, PT Anda dapat memastikan kepatuhan penuh terhadap kewajiban PPh Pasal 23.