Pajak Penghasilan Jasa: Pihak yang Menanggung Vendor atau Pembeli?
Memahami Kewajiban Pajak Penghasilan (PPh) atas Jasa yang Tepat
Jawaban Cepat: Siapa yang Sebenarnya Menanggung PPh Jasa?
Kerap terjadi kebingungan mengenai pihak mana yang menanggung Pajak Penghasilan (PPh) atas transaksi jasa. Secara fundamental dan sesuai dengan Undang-Undang Pajak Penghasilan, PPh Jasa adalah beban bagi pihak yang menerima penghasilan, yaitu Vendor (penyedia jasa). Vendor adalah subjek yang wajib membayar pajak atas penghasilan yang ia terima. Namun, dalam konteks transaksi bisnis, kewajiban untuk memotong dan menyetor pajak tersebut kepada negara berada di tangan Pembayar (Pengguna Jasa). Mekanisme ini, dikenal sebagai pemotongan pajak, bertujuan untuk mempermudah dan memastikan kepatuhan pajak.
Mengapa Pemahaman ini Krusial bagi Kepatuhan Bisnis Anda
Memahami skema PPh ini sangat penting untuk memastikan kepatuhan (kompetensi) dan meminimalkan risiko sanksi administrasi (otoritas). Artikel ini hadir sebagai panduan tepercaya yang secara mendalam mengupas tuntas skema PPh Pasal 23 dan PPh Pasal 4 Ayat 2 (final) yang relevan untuk berbagai layanan bisnis, memberikan Anda keahlian untuk mengelola transaksi jasa dengan benar. Pemahaman yang akurat mengenai pembagian tanggung jawab ini merupakan dasar dari pengelolaan keuangan dan kepatuhan pajak yang terpercaya bagi setiap perusahaan.
Landasan Hukum dan Jenis PPh Jasa: PPh Pasal 23 vs. PPh Final
Untuk menentukan siapa yang bertanggung jawab atas PPh jasa, penting untuk memahami landasan hukum yang mendasarinya. Secara umum, sistem perpajakan di Indonesia membagi PPh atas jasa menjadi dua kategori utama: Pajak Penghasilan Pasal 23 (PPh 23) yang bersifat tidak final dan PPh Pasal 4 Ayat 2 (PPh Final) yang bersifat final. Pemahaman terhadap perbedaan keduanya krusial dalam memastikan kepatuhan dan alur kas yang efisien.
PPh Pasal 23: Tarif, Objek, dan Mekanisme Pemotongan Jasa Umum
PPh Pasal 23 adalah pajak yang dipotong atas penghasilan yang dibayarkan kepada wajib pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap (BUT), yang sumbernya berasal dari modal, penyerahan jasa, atau penyelenggaraan kegiatan. Aturan ini spesifik mengatur pemotongan atas penghasilan berupa dividen, bunga, sewa, royalti, dan hadiah.
Khusus untuk imbalan jasa yang diterima vendor, PPh Pasal 23 ini dikenakan tarif sebesar 2% dari jumlah bruto. Namun, jika vendor yang menerima penghasilan jasa tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), tarif yang dikenakan akan 100% lebih tinggi, yaitu 4%. Mekanismenya adalah Pemotong Pajak (Pengguna Jasa) wajib memotong jumlah tersebut dari pembayaran kepada Vendor (Penerima Jasa).
Untuk memastikan kejelasan dan kredibilitas informasi, daftar lengkap jenis-jenis jasa yang termasuk dalam objek PPh Pasal 23 telah diatur secara rinci. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 141/PMK.03/2015, jenis-jenis jasa ini meliputi berbagai layanan, mulai dari jasa teknik, jasa manajemen, jasa konsultan, hingga jasa akuntansi dan hukum. Daftar ini diperbarui secara berkala oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk mencakup dinamika ekonomi dan jenis-jenis layanan baru. Memiliki pemahaman yang mendalam mengenai PMK ini adalah langkah awal yang dilakukan oleh perusahaan yang memiliki pengalaman dalam transaksi jasa yang kompleks.
PPh Pasal 4 Ayat 2 (Final): Jenis Jasa Konstruksi dan Sewa Tanah/Bangunan
Berbeda dengan PPh Pasal 23 yang sifatnya tidak final (dapat dikreditkan di akhir tahun), PPh Pasal 4 Ayat 2, atau PPh Final, adalah pajak yang dikenakan langsung pada penghasilan dan dianggap lunas setelah dipotong atau disetor. PPh Final tidak dapat dikreditkan oleh penerima penghasilan dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan.
Jenis jasa yang paling sering dikenakan PPh Final adalah Jasa Konstruksi dan Sewa Tanah/Bangunan. PPh Final (misalnya, PPh Jasa Konstruksi) dikenakan langsung pada penghasilan yang diterima kontraktor. PPh ini bervariasi tergantung kualifikasi dan jenis proyek. Setelah pajak dipotong oleh pengguna jasa, vendor konstruksi menganggap kewajiban pajak atas penghasilan tersebut telah selesai. Skema PPh Final ini dirancang untuk mempermudah administrasi pajak, namun di sisi lain, beban pajak tersebut dikenakan langsung tanpa dapat dikreditkan di masa mendatang. Pengguna jasa (sebagai pemotong) dan vendor (sebagai penerima penghasilan) harus memahami bahwa setelah PPh Final dipotong, vendor tidak memiliki kewajiban PPh lebih lanjut atas penghasilan tersebut.
Mekanisme Pemotongan dan Penyetoran: Peran Pemotong Pajak (Pengguna Jasa)
Meskipun Pajak Penghasilan (PPh) atas jasa secara substantif menjadi beban penerima penghasilan (Vendor), kerumitan administrasi perpajakan di Indonesia menetapkan bahwa pihak yang wajib menjalankan kewajiban pemotongan dan penyetoran adalah pihak yang membayar atau pengguna jasa. Mekanisme ini dirancang untuk memastikan bahwa penerimaan negara terjamin sejak awal transaksi.
Kewajiban ‘Wajib Potong’: Langkah-Langkah yang Harus Dilakukan Pembeli Jasa
Dalam konteks PPh Pasal 23, Pembeli Jasa—yang meliputi Badan Pemerintah, Subjek Pajak Badan dalam negeri, dan Penyelenggara Kegiatan—secara hukum ditetapkan sebagai Wajib Potong. Kewajiban ini berarti mereka harus menahan sejumlah persentase PPh dari jumlah bruto pembayaran yang dilakukan kepada Vendor. Poin krusial di sini adalah: Pembeli Jasa (Pengguna Jasa) wajib memotong PPh 23 dari pembayaran ke vendor, bukan vendor yang menyetor sendiri.
Proses kepatuhan ini wajib dilakukan secara sistematis. Berdasarkan proses yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP), alur pemotongan hingga pelaporan memerlukan perhatian detail, terutama pasca-penerapan sistem digital.
Langkah-langkah yang Harus Dilakukan Pemotong Pajak:
- Hitung Pemotongan: Menghitung jumlah PPh Pasal 23 yang harus dipotong (2% atau 4% dari Nilai Dasar Pengenaan Pajak/NDP) segera setelah pembayaran terutang atau dilakukan, mana yang lebih dulu.
- Pembuatan Bukti Potong: Setelah pemotongan dilakukan, Wajib Potong harus segera membuat Bukti Pemotongan PPh Pasal 23. Sejak DJP mewajibkan penggunaan sistem elektronik, proses ini harus dilakukan melalui aplikasi e-Bupot Unifikasi.
- Kredibilitas Bukti: Bukti potong ini adalah dokumen resmi yang menjadi dasar bagi Vendor untuk mengkreditkan pajak yang telah dipotong tersebut dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan mereka. Pemberian Bukti Potong kepada Vendor adalah bukti pelaksanaan hak dan kewajiban yang sah.
- Penyetoran: PPh yang telah dipotong wajib disetorkan ke kas negara melalui bank persepsi atau kantor pos. Batas waktu penyetoran adalah tanggal 10 bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir. Penyetoran dilakukan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) atau melalui sistem e-Billing.
- Pelaporan SPT Masa: Langkah akhir yang vital adalah melaporkan semua transaksi pemotongan tersebut dalam SPT Masa PPh Unifikasi. Pelaporan wajib dilakukan paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir. Sistem e-Bupot Unifikasi kini mengintegrasikan pembuatan bukti potong dengan pelaporan SPT Masa, memastikan data yang dilaporkan akurat dan sesuai dengan data yang dimiliki Vendor.
Kepatuhan terhadap alur proses dari pembuatan bukti potong (e-Bupot) hingga pelaporan SPT Masa PPh 23 ini adalah penentu kuatnya fondasi kepatuhan pajak sebuah perusahaan dan sangat penting untuk membangun praktik bisnis yang kredibel dan dapat diandalkan.
Dampak Tidak Melakukan Pemotongan: Risiko Sanksi Administrasi
Kegagalan untuk melaksanakan kewajiban ‘Wajib Potong’—baik karena lupa, salah perhitungan, atau sengaja tidak memotong—memiliki konsekuensi serius yang berpotensi merugikan keuangan perusahaan.
- Tanggung Jawab Pembayaran PPh: Jika PPh tidak dipotong, Wajib Potong tetap bertanggung jawab atas PPh yang seharusnya dipotong. Dengan kata lain, DJP akan menagih PPh tersebut kepada Pengguna Jasa (Pembeli), bukan kepada Vendor.
- Sanksi Administrasi: Konsekuensi terberat bagi Pembeli Jasa (Wajib Potong) adalah pengenaan sanksi administrasi. Jika terjadi keterlambatan atau tidak ada pemotongan, sanksi administrasi berupa bunga dapat dikenakan sesuai Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP). Sanksi ini dihitung berdasarkan tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dan dikenakan atas kekurangan pajak yang tidak dipotong atau disetor.
- Pengenaan Sanksi Keterlambatan Pelaporan: Selain bunga atas kekurangan pajak, keterlambatan pelaporan SPT Masa PPh 23 juga dikenai denda administrasi.
- Potensi Kerugian Vendor: Meskipun sanksi ditujukan kepada Pembeli Jasa, Vendor juga dirugikan karena mereka tidak memiliki Bukti Potong. Tanpa bukti potong, mereka tidak dapat mengkreditkan PPh tersebut dalam SPT Tahunan, yang berisiko membuat PPh terutang mereka menjadi lebih tinggi.
Oleh karena itu, bagi pengguna jasa, memastikan setiap transaksi jasa telah melalui proses pemotongan, penyetoran, dan pelaporan yang benar bukan hanya masalah kepatuhan, tetapi juga praktik manajemen risiko yang fundamental.
Studi Kasus Jasa Paling Umum: Konsultan, Kontraktor, dan Sewa
Memahami bahwa PPh Jasa memiliki karakteristik yang berbeda-beda tergantung jenisnya adalah kunci untuk memastikan kepatuhan pajak. Mari kita bedah tiga kategori jasa yang paling sering ditemui dalam transaksi bisnis sehari-hari—konsultasi, konstruksi, dan sewa—untuk melihat bagaimana mekanisme PPh (Pajak Penghasilan) berlaku.
PPh atas Jasa Konsultan, Akuntan, dan Hukum (Non-Final)
Jasa profesional seperti konsultan manajemen, akuntan, atau firma hukum termasuk dalam kategori jasa lain yang diatur dalam PPh Pasal 23. Berdasarkan ketentuan saat ini, tarif PPh 23 untuk jasa-jasa ini adalah 2% dari jumlah bruto nilai imbalan.
Dalam skema ini, perusahaan yang menggunakan jasa (pengguna jasa) wajib bertindak sebagai pemotong pajak. Artinya, ketika pengguna jasa melakukan pembayaran kepada konsultan (vendor), mereka akan memotong 2% dari total nilai kontrak dan menyetorkannya ke kas negara. PPh 23 yang telah dipotong ini merupakan Kredit Pajak bagi vendor, yang berarti konsultan dapat memperhitungkannya untuk mengurangi total PPh terutang mereka di akhir tahun fiskal saat melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan. Sistem ini memastikan bahwa vendor, meskipun dipotong di awal, tetap memiliki hak untuk mengkreditkan pembayaran di muka tersebut.
Kepatuhan Jasa Konstruksi: Memastikan Sertifikasi dan Tarif yang Benar
Jasa Konstruksi memiliki perlakuan pajak yang berbeda, yaitu dikenakan PPh Pasal 4 Ayat 2 (Final). Status “Final” ini berarti pajak yang dipotong/dibayarkan sudah dianggap melunasi kewajiban pajak atas penghasilan tersebut, dan tidak dapat dikreditkan dalam SPT Tahunan.
Faktor paling krusial dalam jasa konstruksi adalah kepemilikan Sertifikat Badan Usaha (SBU) yang dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang (saat ini melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat/Kementerian PUPR). Keberadaan sertifikasi ini sangat menentukan tarif pajak yang dikenakan.
Untuk memudahkan pemahaman dan menunjukkan tingkat keahlian kami dalam kepatuhan konstruksi, berikut perbandingan tarif PPh Final Jasa Konstruksi (berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 2022 dan regulasi terkait):
| Jenis Layanan Jasa Konstruksi | Kepemilikan Sertifikasi | Tarif PPh Final (%) |
|---|---|---|
| Jasa Pelaksana Konstruksi | Memiliki SBU Kualifikasi Usaha Kecil | 1.75% |
| Jasa Pelaksana Konstruksi | Memiliki SBU Kualifikasi Usaha Menengah/Besar | 2.65% |
| Jasa Perencana/Pengawas Konstruksi | Memiliki SBU Kualifikasi Usaha | 3.5% |
| Jasa Konstruksi | Tidak Memiliki SBU | 4.0% |
Poin penting bagi pengguna jasa (pemotong): Anda wajib meminta bukti SBU yang masih berlaku dari kontraktor sebelum melakukan pembayaran untuk memastikan tarif yang Anda potong sudah benar. Kesalahan dalam penerapan tarif karena vendor tidak memiliki sertifikasi yang benar dapat menyebabkan masalah saat pemeriksaan pajak.
Perlakuan Khusus PPh atas Sewa Peralatan dan Properti
Perlakuan PPh atas sewa terbagi menjadi dua kategori utama, tergantung objek yang disewakan:
- Sewa Tanah dan/atau Bangunan: Dikenakan PPh Pasal 4 Ayat 2 (Final) dengan tarif 10% dari nilai sewa bruto. Jika penyewa (pengguna jasa) adalah subjek pajak badan (misalnya, PT atau CV) atau penyelenggara kegiatan, mereka wajib memotong PPh 10% ini saat pembayaran. Namun, jika penyewa adalah orang pribadi non-pemotong, maka kewajiban untuk menyetor PPh Final ada pada pihak yang menyewakan (pemilik properti/vendor).
- Sewa Selain Tanah dan/atau Bangunan (misalnya, sewa kendaraan, peralatan kantor, mesin): Dikenakan PPh Pasal 23 dengan tarif 2% dari nilai sewa bruto. Dalam kasus ini, pengguna jasa selalu bertindak sebagai pemotong dan PPh yang dipotong dapat dikreditkan oleh vendor.
Kesimpulannya, dalam setiap transaksi jasa, perusahaan harus cermat menganalisis jenis jasa, status sertifikasi vendor (terutama konstruksi), dan objek sewa untuk menentukan apakah skema PPh Pasal 23 (non-final) atau PPh Pasal 4 Ayat 2 (final) yang berlaku, serta memastikan siapa yang bertanggung jawab melakukan pemotongan dan penyetoran.
Strategi Pengurangan Beban Pajak: ‘Gross Up’ dan Surat Keterangan Bebas (SKB)
Memahami Konsep ‘Gross Up’ PPh Jasa: Mengapa ini Terjadi?
Meskipun kewajiban pajak penghasilan (PPh) secara legal ditanggung oleh pihak penerima penghasilan (vendor jasa), dalam praktik bisnis, seringkali muncul istilah Gross Up. Gross Up adalah sebuah mekanisme kesepakatan di mana pihak pembayar (pengguna jasa) bersedia menanggung beban PPh yang seharusnya dipotong dari pembayaran kepada vendor. Mekanisme ini biasanya terjadi dalam konteks negosiasi untuk memastikan vendor menerima pembayaran “bersih” atau net sesuai dengan harga kesepakatan awal, sehingga PPh 23 yang terutang tidak mengurangi jumlah yang diterima vendor.
Praktik Gross Up ini pada dasarnya adalah kompensasi tambahan yang diberikan oleh pengguna jasa kepada vendor sebesar nilai PPh yang dipotong. Penting untuk digarisbawahi bahwa skema Gross Up harus diperlakukan dan dicatat secara tepat. Berdasarkan ketentuan perpajakan, khususnya terkait transparansi penghasilan dan biaya, kompensasi Gross Up yang dibayarkan oleh pengguna jasa tersebut harus dihitung dan dibayarkan sebagai bagian dari penghasilan yang diterima oleh vendor. Artinya, nilai Gross Up harus dimasukkan ke dalam basis penghitungan PPh. Gagal mencantumkan skema ini secara eksplisit dalam kontrak jasa dan tidak mencatatnya sebagai komponen penghasilan vendor dapat menimbulkan risiko saat pemeriksaan pajak, di mana Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mungkin menganggap pembayaran tersebut sebagai biaya yang tidak dapat dikurangkan (non-deductible expense) bagi pengguna jasa.
Pemanfaatan Surat Keterangan Bebas (SKB) PPh untuk Efisiensi Arus Kas
Untuk vendor jasa yang memiliki kondisi keuangan tertentu, tersedia mekanisme yang dapat membantu efisiensi arus kas mereka, yaitu melalui Surat Keterangan Bebas (SKB) PPh 23. SKB adalah surat resmi yang diterbitkan oleh KPP (Kantor Pelayanan Pajak) yang menyatakan bahwa vendor bebas dari pemotongan PPh oleh pengguna jasa untuk periode waktu tertentu.
Pemanfaatan SKB PPh 23 sangat relevan bagi Wajib Pajak Badan (vendor) yang berada dalam posisi kerugian fiskal. Artinya, berdasarkan laporan keuangan dan SPT Tahunan terakhir, vendor tersebut mengalami kerugian sehingga PPh terutang akhir tahunnya diprediksi nihil. Jika PPh 23 tetap dipotong oleh pengguna jasa, vendor harus menunggu hingga akhir tahun buku untuk mengkreditkan atau merefund dana tersebut. Dengan memiliki SKB, pembeli jasa (pemotong pajak) tidak wajib melakukan pemotongan PPh 23 atas pembayaran jasa yang dilakukan, sebagaimana diatur dalam Peraturan DJP terkait. Hal ini memungkinkan vendor untuk menerima pembayaran penuh tanpa potongan, menjaga likuiditas, dan menghilangkan kebutuhan untuk proses restitusi yang memakan waktu. Proses pengajuan SKB ini memerlukan dokumentasi SPT Tahunan dan laporan keuangan yang valid untuk membuktikan kondisi kerugian fiskal.
Pertanyaan Umum Teratas Mengenai PPh Jasa yang Wajib Anda Ketahui
Meskipun mekanisme PPh Jasa sudah jelas, seringkali muncul pertanyaan fundamental yang dapat memengaruhi kepatuhan dan arus kas perusahaan. Memahami jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini akan memperkuat otoritas dan kepercayaan Anda dalam mengelola transaksi PPh Jasa.
Q1. Apakah PPh Jasa Dapat Diperhitungkan Sebagai Pengurang Pajak Tahunan Vendor?
Ya, PPh Pasal 23 yang telah dipotong oleh pengguna jasa (pembeli) dapat diperhitungkan sebagai Kredit Pajak bagi pihak vendor (penerima penghasilan).
Ini adalah salah satu alasan mengapa mekanisme pemotongan PPh 23 disebut sebagai pajak yang tidak final (kecuali PPh Final Pasal 4 ayat 2). Bukti potong (e-Bupot) yang diterbitkan oleh pembeli jasa berfungsi sebagai bukti pembayaran pajak di muka.
Saat vendor menyusun Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh Badan atau Orang Pribadi, jumlah PPh 23 yang telah dipotong sepanjang tahun fiskal tersebut akan mengurangi total PPh terutang vendor. Ini memastikan bahwa vendor tidak membayar pajak ganda atas penghasilan yang sama. Misalnya, jika total PPh terutang perusahaan A adalah Rp50 juta, dan PPh 23 yang sudah dipotong adalah Rp5 juta, maka perusahaan A hanya perlu membayar sisa Rp45 juta. Mekanisme ini sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan, memberikan kejelasan dan memastikan keadilan bagi wajib pajak.
Q2. Apa yang Terjadi Jika Vendor Tidak Memiliki NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak)?
Ketentuan perpajakan di Indonesia mengatur dengan jelas mengenai perlakuan terhadap wajib pajak yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Jika vendor (penerima jasa) tidak dapat menyerahkan NPWP-nya kepada pengguna jasa (pemotong), maka tarif pemotongan PPh Pasal 23 akan dikenakan 100% lebih tinggi dari tarif normal.
Sesuai ketentuan, tarif normal PPh 23 untuk jasa adalah 2%. Jika vendor tidak memiliki NPWP, tarif ini otomatis menjadi $2% \times 200% = 4%$.
Contoh Kasus: Jika nilai jasa adalah Rp10.000.000, pemotongan normalnya adalah Rp200.000 (2%). Namun, tanpa NPWP, pemotongan akan menjadi Rp400.000 (4%).
Peningkatan tarif ini bertujuan untuk mendorong kepatuhan pendaftaran wajib pajak. Bagi pengguna jasa, penting untuk selalu memverifikasi kepemilikan NPWP vendor sebelum transaksi untuk memastikan pemotongan PPh yang benar. Kewajiban pemotongan dengan tarif yang lebih tinggi ini berlaku mutlak bagi pemotong pajak. Kelalaian dalam menerapkan tarif ganda ini saat vendor tidak memiliki NPWP dapat berujung pada sanksi dan denda saat pemeriksaan pajak.
Kesimpulan Akhir: Membangun Kepatuhan Pajak yang Kuat di Tahun 2026
Memahami PPh atas jasa merupakan fondasi penting dalam operasional bisnis yang patuh di Indonesia. Setelah mengupas tuntas skema PPh Pasal 23 dan PPh Final, satu kesimpulan utama menjadi sangat jelas dan harus dipahami oleh setiap pelaku usaha: Intinya, meskipun beban pajak adalah milik Vendor (pihak yang menerima penghasilan), tanggung jawab administrasi (pemotongan, penyetoran, pelaporan) mutlak ada pada Pengguna Jasa (Pembeli). Kegagalan dalam menjalankan fungsi ini dapat memicu sanksi yang merugikan.
Tiga Langkah Utama untuk Memastikan PPh Jasa Anda Tepat
Untuk mengakhiri pembahasan ini dengan langkah-langkah yang actionable, berikut adalah tiga fokus utama yang harus Anda terapkan dalam proses pengadaan jasa:
- Validasi Status Vendor: Selalu pastikan apakah jasa yang Anda beli termasuk objek PPh Pasal 23 atau PPh Final Pasal 4 Ayat 2. Tanyakan dan verifikasi kepemilikan NPWP dan, khususnya untuk jasa konstruksi, pastikan sertifikasi vendor sudah diperbarui.
- Pemotongan dan Penyetoran Tepat Waktu: Segera setelah pembayaran dilakukan, potong PPh sesuai tarif yang berlaku dan setorkan menggunakan kode billing yang benar. Keterlambatan dapat dikenakan sanksi administrasi.
- Penerbitan Bukti Potong: Pastikan Anda menerbitkan dan menyampaikan Bukti Potong (via e-Bupot) kepada vendor secara digital dan tepat waktu sebagai dasar bagi vendor untuk mengkreditkan pajak mereka.
Membangun Prosedur Internal yang Aman dari Sanksi
Membangun kredibilitas dan meminimalkan risiko sanksi memerlukan proses yang terstruktur. Sebagai penutup, kami menekankan pentingnya membangun sistem yang andal. Salah satu langkah proaktif adalah melakukan audit rutin pada proses pembuatan e-Bupot Anda dan pastikan semua kontrak jasa yang Anda buat mencantumkan komponen PPh (apakah dipotong dari harga, atau menggunakan skema Gross Up). Dengan memasukkan kewajiban PPh secara eksplisit di awal kontrak, Anda telah menunjukkan expertise dan mitigasi risiko yang kuat, sehingga transaksi bisnis Anda di tahun mendatang akan jauh lebih aman dan patuh.