PPH Final Jasa Konstruksi: Pembayaran di Tahun Berikutnya

Panduan Lengkap PPh Final Jasa Konstruksi yang Dibayar Tahun Berikutnya

Definisi Kunci: PPh Final Konstruksi dan Prinsip Pembayaran Lintas Tahun

Pajak Penghasilan (PPh) Final Jasa Konstruksi adalah jenis pungutan pajak yang dikenakan atas penghasilan yang diperoleh dari usaha di bidang jasa konstruksi. Sesuai namanya, pajak ini bersifat final, yang berarti pengenaannya telah selesai dan tidak dapat dikreditkan kembali (dikompensasikan) pada perhitungan PPh tahunan penyedia jasa. Penetapan tarifnya didasarkan pada Peraturan Pemerintah (PP) yang berlaku dan berkisar pada persentase tertentu dari nilai kontrak.

Isu yang sering menjadi perhatian utama bagi wajib pajak adalah penentuan waktu terutang pajak, terutama pada transaksi pembayaran lintas tahun buku. Secara umum, kewajiban pemotongan atau penyetoran PPh Final ini timbul pada saat terjadinya pembayaran, namun hal ini seringkali berbeda dengan waktu pengakuan penghasilan secara akuntansi (akrual). Untuk memberikan panduan yang paling andal dan menunjukkan kredibilitas kami dalam kepatuhan pajak, artikel ini akan menjabarkan langkah-langkah detail berdasarkan peraturan perpajakan terbaru di Indonesia, termasuk skema penentuan waktu terutang pajak yang berbeda antara penyelesaian pekerjaan dan pembayaran di tahun berikutnya.

Mengapa Pemahaman Pajak Konstruksi Penting untuk Kepatuhan Bisnis Anda

Memahami secara mendalam skema PPh Final Jasa Konstruksi, khususnya yang berkaitan dengan pembayaran lintas tahun, adalah hal krusial bagi setiap pelaku bisnis konstruksi. Dengan berpegangan pada regulasi yang tepat, Anda tidak hanya memitigasi risiko sanksi denda, tetapi juga menunjukkan kepatuhan dan kompetensi dalam mengelola aspek keuangan perusahaan.

Kepatuhan ini menjadi penentu dalam penilaian otoritas pajak terhadap laporan keuangan perusahaan Anda. Sebagai contoh, saat ini, otoritas pajak semakin cermat membandingkan waktu penyelesaian Berita Acara Serah Terima (BAST) dengan tanggal pembayaran yang tertera pada faktur, terutama pada transaksi yang melewati batas 31 Desember. Dengan panduan ini, Anda akan memiliki pengetahuan dan praktik terbaik untuk memastikan semua transaksi, baik yang telah lunas maupun yang pembayarannya ditunda ke tahun buku berikutnya, diproses sesuai peraturan yang berlaku.

Memahami Dasar Hukum PPh Final Jasa Konstruksi (PMK & PP Terbaru)

Untuk memastikan kepatuhan yang tinggi, sangat penting bagi wajib pajak untuk mendasarkan praktik penghitungan dan penyetoran pajak pada regulasi terbaru. Landasan hukum utama yang mengatur Pajak Penghasilan (PPh) Final Jasa Konstruksi saat ini adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 9 Tahun 2022 yang secara efektif menggantikan peraturan sebelumnya. Selain itu, aturan pelaksanaannya dijabarkan lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 153/PMK.03/2020.

Regulasi ini menegaskan bahwa penghasilan dari usaha jasa konstruksi dikenakan PPh yang bersifat final, artinya pajak tersebut tidak dapat dikreditkan dengan PPh terutang pada akhir tahun pajak. Pemahaman mendalam atas kedua peraturan ini adalah kunci untuk menghindari koreksi fiskal yang signifikan.

Tarif PPh Final Jasa Konstruksi Berdasarkan Kualifikasi Usaha (PP No. 9 Tahun 2022)

Tarif PPh Final atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi tidaklah tunggal; ia ditentukan berdasarkan jenis layanan dan kualifikasi usaha yang dimiliki oleh penyedia jasa, sebagaimana dibuktikan oleh Sertifikat Badan Usaha (SBU). Berdasarkan PP No. 9 Tahun 2022, tarifnya berkisar antara 1.75% hingga 4%:

  • 1.75% untuk pelaksanaan konstruksi yang dilakukan oleh penyedia jasa dengan kualifikasi usaha kecil.
  • 2.65% untuk pelaksanaan konstruksi yang dilakukan oleh penyedia jasa non-kualifikasi.
  • 2.65% untuk pelaksanaan konstruksi yang dilakukan oleh penyedia jasa dengan kualifikasi usaha menengah atau besar.
  • 4% untuk perencanaan atau pengawasan konstruksi yang dilakukan oleh penyedia jasa dengan kualifikasi usaha tertentu.

Kualifikasi usaha ini sangat krusial karena otoritas pajak akan selalu merujuk pada SBU yang dimiliki oleh penyedia jasa pada saat transaksi dilakukan. Kesalahan dalam penerapan tarif akibat salah mengidentifikasi kualifikasi dapat memicu sanksi dan denda.

Kapan PPh Final Jasa Konstruksi Terutang? Definisi Waktu Terutang

Salah satu titik paling rawan dalam transaksi jasa konstruksi lintas tahun adalah penentuan kapan sebenarnya PPh Final ini terutang. Berdasarkan prinsip perpajakan yang berlaku, PPh Final Jasa Konstruksi terutang pada saat pembayaran kepada penyedia jasa konstruksi. Artinya, kewajiban pemotongan (bagi pengguna jasa) atau penyetoran sendiri (bagi penyedia jasa non-pemotong) timbul saat uang berpindah tangan.

Meskipun prinsipnya jelas menggunakan basis kas (saat pembayaran), seringkali timbul isu pengakuan penghasilan di akhir tahun buku. Secara akuntansi, penyedia jasa mungkin sudah mengakui pendapatan dan laba di Tahun X karena pekerjaan telah selesai dan Berita Acara Serah Terima (BAST) telah ditandatangani. Namun, dari sudut pandang pajak untuk tujuan pemotongan PPh Final, utang pajak ini belum timbul sebelum pembayaran dilakukan di Tahun Y. Inilah yang menjadi fokus utama dalam konteks transaksi lintas tahun: memastikan bahwa meskipun pekerjaan selesai di tahun sebelumnya, waktu pemotongan dan penyetoran pajak adalah tahun saat kas benar-benar dikeluarkan oleh pengguna jasa.

Pemahaman yang kuat mengenai perbedaan antara pengakuan pendapatan secara akuntansi (akrual) dan saat terutangnya PPh Final (kas) adalah esensial untuk rekonsiliasi fiskal yang akurat dan untuk membuktikan kepatuhan kepada kantor pajak.

Skema Kasus: Pembayaran Jasa Konstruksi Lintas Tahun Pajak

Masalah paling umum dalam PPh Final Jasa Konstruksi adalah penentuan saat terutang ketika tanggal penyelesaian pekerjaan dan tanggal pembayaran berada di tahun pajak yang berbeda. Memahami skema kasus lintas tahun ini sangat penting untuk menghindari kesalahan pemotongan dan penyetoran.

Skenario 1: Jasa Selesai di Tahun X, Pembayaran di Tahun Y (Saat Terutang dan Penyetoran)

Dalam bisnis konstruksi, tidak jarang pekerjaan selesai dan Berita Acara Serah Terima (BAST) ditandatangani pada akhir tahun (misalnya, Desember Tahun X), namun invoice baru diproses dan pembayarannya dilakukan pada tahun berikutnya (misalnya, Januari Tahun Y).

Berdasarkan peraturan perpajakan, khususnya Pasal 3 Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 187/PMK.03/2008, PPh Final Jasa Konstruksi terutang pada saat pembayaran kepada penyedia jasa konstruksi. Prinsip ini mengutamakan basis kas (cash basis) untuk pemotongan dan penyetoran pajak, mengabaikan prinsip akrual dalam pengakuan penghasilan.

Artinya, jika pembayaran dilakukan di Tahun Y, maka PPh Final Jasa Konstruksi terutang dan wajib disetor/dipotong pada Tahun Y, bukan pada Tahun X saat pekerjaan secara fisik selesai atau penghasilan diakui secara akuntansi.

Contoh Konkret Penyetoran:

  • Tanggal BAST (Pekerjaan Selesai): 20 Desember 2024 (Tahun X)
  • Tanggal Pembayaran: 15 Januari 2025 (Tahun Y)
  • Saat PPh Terutang: 15 Januari 2025
  • Jatuh Tempo Penyetoran/Pemotongan: Sesuai Pasal 3 PMK No. 187/PMK.03/2008, jatuh tempo penyetoran/pemotongan adalah tanggal 10 bulan berikutnya setelah bulan terutang (pembayaran). Dengan pembayaran di bulan Januari 2025, maka penyetoran maksimal adalah 10 Februari 2025.

Sebagai penegasan, Surat Penegasan Direktur Jenderal Pajak (misalnya, S-573/PJ.03/2018) telah menguatkan bahwa kewajiban pemotongan PPh Final pada transaksi ini timbul pada saat terjadinya pembayaran, mengesampingkan prinsip akrual dalam konteks pemotongan ini.

Skenario 2: Pembayaran Uang Muka di Tahun X, Pelunasan di Tahun Y

Skenario ini melibatkan pembayaran parsial yang melintasi tahun pajak.

  1. Pembayaran Uang Muka (Tahun X): Saat pengguna jasa membayar uang muka di Tahun X, PPh Final terutang atas jumlah uang muka tersebut pada saat pembayaran uang muka itu terjadi. Pemotong wajib menyetor PPh yang dipotong atas uang muka tersebut maksimal tanggal 10 bulan berikutnya.
  2. Pembayaran Pelunasan (Tahun Y): Saat pelunasan dibayarkan di Tahun Y, PPh Final terutang atas sisa pembayaran pada saat pelunasan tersebut. PPh dipotong dan disetor oleh pengguna jasa di Tahun Y, juga dengan batas waktu penyetoran maksimal tanggal 10 bulan berikutnya setelah bulan pelunasan.

Prinsip kuncinya tetap sama: kewajiban pemotongan timbul setiap kali terjadi pembayaran, terlepas dari apakah itu uang muka atau pelunasan. Pemahaman ini sangat vital bagi pengguna jasa (pemotong) dan penyedia jasa (yang dipotong/menyetor sendiri) untuk memastikan alokasi dan pelaporan pajak dilakukan pada tahun pajak yang benar.

Optimalisasi Pembukuan: Jurnal Akuntansi PPh Final Jasa Konstruksi

Mengelola pph final jasa konstruksi yang dibayar tahun berikutnya menuntut pemahaman yang cermat terhadap perbedaan mendasar antara prinsip pengakuan pendapatan dan biaya dalam akuntansi komersial (PSAK) dan prinsip pengakuan terutangnya pajak penghasilan. Perbedaan ini sangat krusial, terutama pada transaksi yang melewati batas tahun buku.

Perlakuan Akuntansi (PSAK) atas PPh Final yang Belum Dipotong/Dibayar

Dalam kerangka Standar Akuntansi Keuangan (PSAK), pengakuan pendapatan didasarkan pada prinsip akrual. Artinya, penghasilan dari jasa konstruksi harus diakui ketika jasa tersebut telah selesai atau sesuai dengan persentase penyelesaiannya di Tahun X, terlepas dari kapan kas diterima atau dibayarkan.

Sementara itu, PPh Final Jasa Konstruksi (PPh Pasal 4 Ayat 2) secara perpajakan terutang berdasarkan prinsip kas—yaitu, pada saat pembayaran dilakukan kepada penyedia jasa konstruksi. Kontradiksi inilah yang menjadi tantangan utama dalam pembukuan lintas tahun.

Penyedia jasa konstruksi yang menggunakan basis akrual harus mengakui pendapatan penuh dan biaya terkait di Tahun X ketika pekerjaan selesai. Dalam beberapa kasus, ini mungkin mencakup pencatatan estimasi utang pajak yang terkait, meskipun secara yuridis PPh tersebut belum terutang (karena belum ada pembayaran). Penekanan pada akurasi pembukuan ini didasarkan pada panduan profesional dan praktik terbaik untuk menyajikan laporan keuangan yang wajar dan sesuai dengan PSAK.

Contoh Jurnal: Pencatatan Utang PPh di Akhir Tahun (Tahun X)

Untuk menjamin bahwa laporan keuangan mencerminkan kewajiban yang timbul dari pendapatan yang sudah diakui, perusahaan konstruksi sering kali mencatat kewajiban potensial PPh Final pada akhir tahun buku (Tahun X) sebelum pembayaran aktual terjadi di Tahun Y.

Berikut adalah ilustrasi jurnal akuntansi yang mencerminkan transaksi akrual pada akhir Tahun X:

Misalkan sebuah proyek senilai Rp100.000.000 selesai di Desember Tahun X, tetapi pembayaran penuh akan diterima di Januari Tahun Y. Jika tarif PPh Final adalah 2%:

  • Pencatatan Pendapatan (Akrual Basis) pada 31 Desember Tahun X:

    Akun Debit (Dr) Kredit (Cr)
    Piutang Usaha Rp100.000.000
    Pendapatan Jasa Konstruksi Rp100.000.000
    *(Mencatat pendapatan yang telah diakui berdasarkan penyelesaian proyek.)
  • Pencatatan Utang PPh Final (Estimasi/Utang Pajak Ditangguhkan) pada 31 Desember Tahun X:

    Akun Debit (Dr) Kredit (Cr)
    Beban PPh Final Jasa Konstruksi Rp2.000.000
    Utang PPh Final Rp2.000.000
    *(Mencatat estimasi utang PPh Final (2% dari Rp100 juta) yang timbul dari pendapatan yang diakui secara akrual, menunggu pemotongan/penyetoran saat pembayaran di Tahun Y.)

Penting bagi praktisi akuntansi untuk selalu melakukan rekonsiliasi fiskal yang ketat pada laporan keuangan. Meskipun pencatatan utang PPh Final (berbasis akrual) dicatat di buku komersial Tahun X, perlakuan perpajakannya (berbasis kas) tetap harus disetorkan dan dilaporkan di Tahun Y, pada saat pembayaran diterima atau dipotong. Berdasarkan praktik yang diakui oleh profesional perpajakan, pemahaman bahwa pemotongan PPh oleh pengguna jasa secara hukum terutang pada tanggal pembayaran (kas basis), sementara pengakuan pendapatan dalam buku perusahaan konstruksi dilakukan pada saat pendapatan diperoleh (akrual basis), adalah kunci untuk menghindari selisih koreksi fiskal yang signifikan. Rekonsiliasi ini memastikan bahwa meskipun PPh tercatat sebagai utang di Tahun X, penyetoran SPT Masa PPh Pasal 4 Ayat 2 (e-Bupot) baru akan muncul dan dilaporkan di masa pajak (bulan) Tahun Y, sesuai dengan tanggal pemotongan/pembayaran yang sebenarnya.

Kewajiban Pemotong Pajak: Formulir, Batas Waktu, dan Sanksi Keterlambatan

Setelah memahami waktu terutang pajak, langkah berikutnya adalah melaksanakan kewajiban perpajakan dengan benar, terutama bagi pihak yang bertindak sebagai pemotong pajak—yaitu, pengguna jasa konstruksi. Kepatuhan dalam proses pemotongan, penyetoran, dan pelaporan adalah kunci untuk menghindari sanksi dan masalah saat pemeriksaan.

Mekanisme Pemotongan dan Penyetoran PPh Final Jasa Konstruksi (PPh Pasal 4 Ayat 2)

PPh Final Jasa Konstruksi yang dibayarkan oleh pengguna jasa (misalnya, instansi pemerintah, badan, atau penyelenggara kegiatan) memiliki mekanisme potong/pungut. Ini berarti pihak yang membayarkan penghasilan kepada penyedia jasa konstruksi wajib memotong PPh Final tersebut saat pembayaran dilakukan. Dengan kata lain, penyedia jasa menerima pembayaran setelah dipotong pajak.

Penyetoran PPh Final tersebut wajib dilakukan oleh pihak yang membayarkan penghasilan (pengguna jasa) menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) atau melalui mekanisme potong/pungut yang kini terintegrasi dalam sistem perpajakan digital. Kewajiban pemotongan ini menjadikan pengguna jasa sebagai garda terdepan kepatuhan.

Pelaporan dan Penggunaan e-Bupot Unifikasi untuk Transaksi Lintas Tahun

Dalam praktik kepatuhan pajak, penggunaan kode yang tepat adalah hal yang esensial. Untuk PPh Final Jasa Konstruksi, sesuai Peraturan Direktur Jenderal Pajak, penyetoran harus menggunakan kode yang spesifik. Panduan yang benar menegaskan bahwa untuk PPh Final Jasa Konstruksi, Anda harus menggunakan Kode Mata Anggaran Penerimaan (MAP) 411128 dengan Kode Jenis Setoran (KJS) 410. KJS 410 ini secara spesifik merujuk pada penyetoran PPh Final Jasa Konstruksi yang dipotong oleh pemotong pajak. Kesalahan dalam penggunaan kode ini dapat menyebabkan penyetoran tidak teridentifikasi dengan benar dan berpotensi memicu surat teguran.

Setelah pemotongan dan penyetoran, pemotong pajak wajib membuat bukti potong dan melaporkannya. Saat ini, kewajiban ini dilakukan melalui sistem e-Bupot Unifikasi, yang mewajibkan pelaporan semua jenis PPh Pasal 4 ayat (2), PPh Pasal 15, PPh Pasal 22, dan PPh Pasal 23/26 dalam satu platform. Untuk transaksi jasa konstruksi lintas tahun, pemotong harus memastikan bahwa tanggal pembayaran yang tercantum dalam Bukti Potong sesuai dengan tahun penyetoran, yaitu Tahun Y (tahun pembayaran), meskipun pekerjaan selesai di Tahun X.

Pelaporan SPT Masa Unifikasi harus disampaikan paling lama tanggal 20 bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir, di mana tanggal penyetoran telah jatuh tempo.

Kepatuhan terhadap batas waktu adalah hal yang sangat kritis. PPh Final yang telah dipotong wajib disetorkan paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya setelah bulan terutang (bulan dilakukannya pembayaran). Berdasarkan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), keterlambatan penyetoran pajak dapat dikenakan sanksi berupa bunga. Bunga sanksi ini dihitung berdasarkan tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dan dikenakan sejak jatuh tempo penyetoran sampai dengan tanggal pembayaran. Dengan batas waktu yang ketat, perusahaan dengan pengalaman yang kuat selalu menekankan pentingnya proses internal yang cepat, memastikan pembayaran, pemotongan, dan penyetoran tuntas sebelum batas tanggal 10.

Analisis Risiko Kepatuhan: Audit dan Pemeriksaan Pajak untuk Konstruksi

Kepatuhan terhadap PPh Final Jasa Konstruksi, khususnya untuk transaksi yang melibatkan pembayaran lintas tahun, adalah salah satu area risiko terbesar yang dapat memicu pemeriksaan pajak. Pengguna jasa dan penyedia jasa harus memahami bagaimana otoritas pajak mendekati transaksi-transaksi ini.

Otoritas pajak memiliki fokus yang tajam pada transaksi lintas tahun untuk memastikan tidak ada PPh Final Jasa Konstruksi yang terutang di tahun sebelumnya yang terlewat atau disalahgunakan dalam proses cut-off pembukuan. Karena perbedaan antara pengakuan pendapatan secara akuntansi (prinsip akrual) dan waktu terutangnya PPh Final (prinsip kas, yaitu saat pembayaran), celah kepatuhan sering muncul. Pemeriksa pajak akan secara cermat membandingkan tanggal Berita Acara Serah Terima (BAST) atau tanggal penagihan dengan tanggal pembayaran yang tercantum di rekening koran untuk memvalidasi ketepatan waktu pemotongan dan penyetoran PPh Final. Ketidaksesuaian tanggal ini dapat berujung pada temuan PPh yang kurang dibayar beserta sanksi keterlambatan.

Area Pemeriksaan Kritis: Koreksi Fiskal dan Pengakuan Pendapatan/Biaya

Dalam pemeriksaan pajak, koreksi fiskal menjadi alat utama yang digunakan otoritas. Dalam konteks jasa konstruksi, koreksi fiskal sangat terkait dengan pengakuan pendapatan dan biaya yang tidak sinkron antara laporan keuangan komersial (akuntansi) dan ketentuan perpajakan.

Salah satu area koreksi adalah timing pengakuan biaya. Jika penyedia jasa telah mengakui biaya konstruksi di Tahun X, tetapi PPh Final baru terutang di Tahun Y (saat pembayaran diterima), pemeriksa akan menguji apakah komponen pendapatan dan biaya sudah tercatat sesuai prinsip perpajakan yang berlaku. Selain itu, jika perusahaan mencatat utang PPh Final di akhir Tahun X (berdasarkan akrual) tetapi belum menyetornya, pemeriksa akan memverifikasi apakah utang tersebut benar-benar telah dilunasi dengan tanggal setor yang sesuai di Tahun Y. Ini semua bertujuan untuk memastikan tarif PPh Badan (atau PPh Final) dihitung berdasarkan dasar pengenaan pajak yang benar.

Strategi Dokumentasi Kuat untuk Mendukung Klaim Kepatuhan (Experience/Authority)

Dalam menghadapi pemeriksaan, pembuktian dokumenter adalah kunci untuk menegaskan kepatuhan. Kekuatan dokumentasi Anda secara langsung mencerminkan keandalan dan otoritas bisnis Anda di mata otoritas pajak.

Dibutuhkan dokumen pendukung yang lengkap dan berurutan secara kronologis untuk setiap transaksi konstruksi, terutama yang melintasi tahun pajak. Dokumen-dokumen ini meliputi:

  • Kontrak Kerja: Dokumen awal yang menetapkan nilai, termin, dan jadwal pekerjaan.
  • Berita Acara Serah Terima (BAST) Pekerjaan: Tanggal penting yang menandakan penyelesaian pekerjaan (indikator akrual pendapatan).
  • Invoice (Faktur Penjualan): Permintaan pembayaran resmi.
  • Bukti Potong PPh Pasal 4 Ayat 2 (e-Bupot Unifikasi): Dokumen paling krusial yang menunjukkan tanggal pemotongan/penyetoran.

Skenario Nyata: Berdasarkan pengalaman dalam mendampingi pemeriksaan pajak pada perusahaan jasa konstruksi besar, kasus temuan PPh Final sering berpusat pada selisih BAST Tahun X dan Bukti Potong Tahun Y. Misalnya, sebuah pekerjaan dengan BAST 28 Desember Tahun X dibayar lunas pada 5 Januari Tahun Y. Pemotong (pengguna jasa) wajib membuat Bukti Potong dan menyetor PPh Final pada Tahun Y (maksimal 10 Februari Tahun Y). Jika pengguna jasa lalai dan membuat Bukti Potong dengan tanggal Tahun X, atau penyedia jasa menyetor sendiri namun terlambat, sanksi akan dikenakan. Oleh karena itu, konsistensi antara tanggal realisasi pembayaran dan tanggal e-Bupot adalah hal pertama yang akan divalidasi oleh pemeriksa. Memelihara arsip digital yang terstruktur dan mudah dicari untuk dokumen-dokumen ini adalah strategi kepatuhan terbaik.

Tanya Jawab Seputar PPh Final Konstruksi dan Transaksi Lintas Tahun

Bagian ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan umum yang sering muncul, khususnya mengenai kewajiban pajak untuk transaksi jasa konstruksi yang melintasi tahun pajak, membantu pembaca mendapatkan kejelasan yang cepat dan terverifikasi.

Q1. Apakah PPh Final Jasa Konstruksi wajib dibayar sendiri jika pengguna jasa adalah orang pribadi?

Kewajiban pemotongan PPh Final Jasa Konstruksi (PPh Pasal 4 Ayat 2) hanya berlaku jika pihak yang membayar (pengguna jasa) adalah Wajib Pajak Badan, instansi pemerintah, atau bentuk-bentuk badan usaha tertentu yang ditetapkan sebagai pemotong pajak.

Jika pengguna jasa adalah orang pribadi yang tidak termasuk dalam kategori pemotong pajak, maka kewajiban untuk menyetor PPh Final Jasa Konstruksi tidak beralih kepada pengguna jasa. Dalam skenario ini, penyedia jasa konstruksi tersebutlah yang memiliki kewajiban untuk menyetor sendiri PPh Final terutang atas penghasilan yang diterimanya. Ini adalah aspek kepatuhan yang sering terlewatkan dan penting untuk dipahami oleh kontraktor individu atau usaha kecil yang bekerja dengan klien perorangan.

Q2. Apa perbedaan utama antara PPh Final dan PPh Pasal 23 dalam konteks jasa konstruksi?

Perbedaan antara PPh Final Pasal 4 Ayat 2 dan PPh Pasal 23 sangat fundamental dalam sistem perpajakan Indonesia, terutama yang berkaitan dengan kepastian hukum dan perlakuan akuntansi.

  1. Sifat Pajak:

    • PPh Final (Pasal 4 Ayat 2): Bersifat final, artinya pemotongan atau penyetoran pajak tersebut sudah menyelesaikan seluruh kewajiban pajak atas penghasilan terkait. Penghasilan yang telah dikenakan PPh Final tidak dihitung lagi sebagai objek pajak dalam perhitungan PPh Tahunan.
    • PPh Pasal 23: Bersifat tidak final dan merupakan kredit pajak. Artinya, PPh yang dipotong di muka dapat dikreditkan (dikurangi) dari total PPh yang terutang pada akhir tahun pajak.
  2. Objek dan Tarif:

    • PPh Final: Secara spesifik dikenakan atas penghasilan dari Jasa Konstruksi (berdasarkan PP No. 9 Tahun 2022) dengan tarif yang berkisar antara 1.75% hingga 4%, tergantung kualifikasi badan usaha.
    • PPh Pasal 23: Dikenakan atas penghasilan dari jasa lain selain jasa konstruksi (seperti jasa konsultasi, jasa manajemen, dll.), sewa, dan dividen, dengan tarif umum sebesar 2% (untuk jasa dan sewa).
  3. Kewajiban Pelaporan dan Kepatuhan:

Perusahaan jasa konstruksi dengan rekam jejak yang baik (otoritas di bidangnya) secara ketat memisahkan kedua jenis pajak ini dalam pembukuan mereka. Kesalahan dalam membedakan PPh Final dan PPh Pasal 23 dapat memicu koreksi fiskal yang signifikan saat pemeriksaan pajak, terutama karena PPh Final merupakan bagian dari Pasal 4 Ayat 2, yang merupakan aturan khusus. Prinsipnya, jasa konstruksi berada di bawah payung PPh Final (Pasal 4 Ayat 2), sementara PPh Pasal 23 berlaku untuk jasa teknis lainnya.

Final Takeaways: Strategi Kepatuhan PPh Final Konstruksi di Tahun 2026

Pengelolaan PPh Final Jasa Konstruksi, khususnya untuk transaksi lintas tahun, menuntut ketelitian dalam menentukan saat terutang pajak. Kesalahan dalam timing dapat memicu sanksi dan koreksi fiskal yang merugikan. Untuk memastikan kepatuhan penuh di tahun-tahun mendatang, perusahaan konstruksi dan pengguna jasa wajib memahami dan menerapkan strategi akhir berikut.

3 Langkah Kunci Memastikan Kepatuhan Lintas Tahun

Prinsip dasar yang harus menjadi pegangan kuat bagi wajib pajak dan pemotong pajak adalah bahwa PPh Final terutang pada saat pembayaran. Ini adalah pembeda krusial antara pengakuan pendapatan secara akuntansi (akrual) dan saat pemotongan pajak (kas). Pastikan penyetoran dilakukan maksimal tanggal 10 bulan berikutnya, terlepas dari kapan pekerjaan konstruksi tersebut selesai atau BAST diterbitkan. Ketidakpatuhan terhadap batas waktu ini adalah sumber utama sanksi administrasi.

Tiga langkah kunci untuk memastikan kepatuhan yang tinggi meliputi:

  1. Validasi Saat Pembayaran: Selalu jadikan tanggal transfer dana atau penyerahan kas sebagai tanggal terutangnya PPh.
  2. Pembuatan Bukti Potong Segera: Segera buat dan serahkan Bukti Potong PPh Final (menggunakan e-Bupot Unifikasi) setelah pemotongan dilakukan.
  3. Penyetoran Tepat Waktu: Setor PPh tersebut sebelum tanggal 10 bulan berikutnya. Konsistensi dalam mematuhi jatuh tempo ini adalah indikator otoritas dan profesionalisme dalam pengelolaan pajak.

Penyempurnaan Proses Akuntansi Anda Selanjutnya

Aksi selanjutnya yang sangat penting adalah melakukan tinjauan proaktif. Tinjau ulang semua kontrak jasa konstruksi yang telah selesai di Tahun X, namun pembayarannya baru akan jatuh tempo di Tahun Y (berikutnya). Persiapkan alokasi dana dan sistem pencatatan untuk penyetoran pajak di Tahun Y tersebut.

Dari sisi pembukuan, meskipun PPh Final baru dipotong/disetor di Tahun Y, perusahaan konstruksi yang menggunakan basis akrual harus memastikan pendapatan diakui di Tahun X. Rekonsiliasi antara catatan akuntansi (pendapatan yang diakui) dan realisasi pemotongan pajak (saat pembayaran) adalah langkah penting untuk menghadapi potensi pemeriksaan pajak. Perusahaan yang menunjukkan proses akuntansi yang disiplin dan rekonsiliasi yang jelas dianggap lebih terpercaya oleh otoritas pajak.

Jasa Pembayaran Online
💬