Pajak Jasa Konstruksi Dibayar Sendiri: Panduan Lengkap PPh Final

Mengupas Tuntas PPh Final Jasa Konstruksi yang Dibayar Sendiri

Apa Itu PPh Final Jasa Konstruksi yang Wajib Dibayar Sendiri?

PPh Final Jasa Konstruksi adalah Pajak Penghasilan yang dikenakan atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi yang bersifat final, artinya pajak ini sudah dianggap selesai dan tidak dapat dikreditkan lagi dengan PPh terutang akhir tahun. Sifat final ini menjadikannya perlakuan pajak yang khusus dalam sektor konstruksi. Dalam konteks “dibayar sendiri,” ini merujuk pada kewajiban penyedia jasa (kontraktor) untuk menyetor pajak tersebut langsung ke kas negara, bukan melalui pemotongan oleh pengguna jasa. Kewajiban self-assessment ini muncul dalam kondisi-kondisi tertentu yang akan dibahas lebih lanjut, menjadikannya aspek krusial yang wajib dipahami oleh setiap pelaku usaha di industri ini.

Mengapa Memahami Regulasi Ini Penting untuk Kredibilitas Usaha Anda

Bagi penyedia jasa konstruksi, pemahaman mendalam tentang mekanisme PPh Final yang dibayar sendiri ini bukan hanya soal kepatuhan, tetapi juga merupakan pilar utama dari profesionalisme dan kepercayaan. Kepatuhan pajak yang sempurna mencerminkan otoritas dan rekam jejak yang terpercaya di mata mitra bisnis dan regulator. Panduan ini dirancang untuk memberikan langkah-langkah detail, memastikan Anda dapat melaksanakan kewajiban perpajakan dengan tepat waktu dan akurat. Dengan menguasai prosedur ini, Anda tidak hanya menghindari sanksi dan denda dari otoritas pajak, tetapi juga secara efektif membangun citra profesional yang kokoh dan dapat dipercaya di pasar konstruksi yang kompetitif.

Dasar Hukum dan Peraturan Terbaru: Landasan Otoritatif PPh Konstruksi

Regulasi Kunci PPh Final Jasa Konstruksi (PP terbaru)

Ketentuan mengenai Pajak Penghasilan (PPh) Final atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi telah mengalami pembaruan signifikan untuk memastikan kepastian hukum dan transparansi. Secara spesifik, tarif PPh Final Jasa Konstruksi yang berlaku saat ini secara resmi diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 9 Tahun 2022. Regulasi ini secara eksplisit menggantikan dan mencabut peraturan sebelumnya, yakni PP Nomor 51 Tahun 2008 sebagaimana telah diubah terakhir dengan PP Nomor 40 Tahun 2009. Memahami landasan hukum ini sangat krusial, sebab mengacu pada sumber otoritatif seperti undang-undang dan peraturan pemerintah adalah inti dari membangun kepercayaan dan profesionalisme dalam laporan keuangan Anda.

Untuk menetapkan tarif yang tepat, penting untuk merujuk pada ketentuan inti dalam regulasi tersebut. Pasal 3 Ayat (1) PP Nomor 9 Tahun 2022 secara tegas menguraikan tarif PPh Final berdasarkan jenis layanan dan kualifikasi sertifikasi badan usaha (SBU) yang dimiliki kontraktor. Misalnya, tarif PPh Final untuk pekerjaan konstruksi yang dilakukan oleh penyedia jasa dengan sertifikasi kualifikasi usaha kecil adalah 1,75% dari nilai kontrak. Kutipan ini adalah bukti nyata dari standar yang harus dipenuhi oleh setiap pelaku usaha jasa konstruksi di Indonesia.

Kriteria dan Klasifikasi Usaha Jasa Konstruksi yang Tunduk pada PPh Final

Penerapan tarif PPh Final tidak seragam, melainkan sangat bergantung pada kualifikasi dan jenis layanan yang disediakan. Salah satu penentu utama tarif PPh yang berlaku adalah status Sertifikasi Badan Usaha (SBU) yang dimiliki oleh penyedia jasa atau kontraktor. SBU ini menjadi acuan klasifikasi, yang membagi penyedia jasa ke dalam beberapa kategori, yaitu SBU Non-Kualifikasi, SBU Kualifikasi Kecil, SBU Kualifikasi Menengah, dan SBU Kualifikasi Besar.

Kriteria klasifikasi ini mencerminkan tingkat keahlian dan pengalaman badan usaha di mata regulator dan klien. Tarif PPh Final yang harus dibayar sendiri oleh kontraktor akan berbeda antara penyedia jasa yang memiliki SBU Kualifikasi Kecil dan yang tidak memiliki sertifikasi (Non-Kualifikasi). PP No. 9 Tahun 2022 juga membedakan tarif berdasarkan jenis layanannya, yakni: Jasa Pelaksanaan Konstruksi, Jasa Perencanaan Konstruksi, dan Jasa Pengawasan Konstruksi. Setiap kontraktor wajib mengidentifikasi kualifikasi SBU mereka saat ini untuk memastikan mereka menerapkan tarif PPh Final yang sesuai saat melakukan self-assessment dan pelaporan.

  • SBU Non-Kualifikasi: Umumnya dikenakan tarif tertinggi karena tidak memiliki sertifikasi resmi.
  • SBU Kualifikasi Kecil: Diberikan tarif yang relatif rendah (contoh: 1,75% untuk Pelaksanaan Konstruksi) sebagai insentif untuk pelaku usaha kecil.
  • SBU Kualifikasi Menengah/Besar: Menerapkan tarif yang berbeda dan spesifik sesuai ketentuan PP terbaru.

Memahami klasifikasi ini adalah langkah awal yang otoritatif dalam menghitung PPh Final yang wajib Anda setorkan.

Perbedaan Krusial: PPh yang Dipotong vs. PPh yang Dibayar Sendiri

Memahami kapan PPh Final Jasa Konstruksi harus dipotong oleh pemberi kerja (pengguna jasa) dan kapan harus dibayar sendiri (self-assessment) oleh kontraktor adalah inti dari kepatuhan pajak dalam bisnis konstruksi. Kesalahan dalam penentuan mekanisme ini dapat berujuk pada sanksi administratif dan masalah kepatuhan di kemudian hari.

Kapan PPh Jasa Konstruksi Wajib Dipotong oleh Pengguna Jasa?

Mekanisme pemotongan PPh Final Jasa Konstruksi oleh pengguna jasa terjadi ketika pengguna jasa tersebut memenuhi kriteria sebagai pemotong pajak. Ini biasanya berlaku untuk:

  • Badan Pemerintah
  • Subjek Pajak Badan Dalam Negeri (Perusahaan PT, CV, dll.)
  • Bentuk Usaha Tetap (BUT)
  • Perwakilan Perusahaan Luar Negeri lainnya
  • Wajib Pajak Orang Pribadi tertentu yang ditunjuk sebagai Pemotong PPh.

Apabila pengguna jasa termasuk dalam kategori ini, mereka bertanggung jawab untuk memotong PPh Final dari nilai kontrak, menyetorkannya ke kas negara, dan memberikan Bukti Pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) Final kepada penyedia jasa (kontraktor). Bukti potong ini sangat penting sebagai dokumen otoritatif yang menunjukkan kewajiban pajak Anda telah selesai dipenuhi.

Kondisi-Kondisi yang Mengharuskan Kontraktor Melakukan Pembayaran Sendiri (Self-Assessment)

Sebaliknya, pembayaran sendiri (self-assessment) oleh kontraktor adalah mekanisme yang umumnya terjadi jika pengguna jasa bukan merupakan pemotong pajak berdasarkan regulasi yang berlaku. Contoh paling umum dari kondisi ini adalah ketika pemberi kerja adalah Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak ditunjuk sebagai pemotong pajak, atau badan non-WAPU (Wajib Pajak yang tidak ditunjuk sebagai Pemotong).

Dalam skenario self-assessment, penyedia jasa (kontraktor) bertanggung jawab penuh untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan PPh Final tersebut. Prosedur ini dilakukan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) atas nama kontraktor sendiri. Kontraktor harus memastikan pembayaran ini telah dilakukan paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya setelah penerimaan pembayaran dari pengguna jasa.

Pembayaran PPh Final oleh kontraktor sendiri dilakukan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP). SSP ini wajib mencantumkan kode akun pajak 411128 (PPh Final) dan kode jenis setoran 410 (untuk PPh Final Jasa Konstruksi yang dibayar sendiri). Selanjutnya, pembayaran ini wajib dilaporkan dalam SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2) Final.

Perbedaan krusial juga terletak pada pelaporan:

  • Jika PPh dipotong oleh pengguna jasa, pelaporan dilakukan dengan melampirkan Bukti Pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) yang diberikan oleh pengguna jasa.
  • Jika PPh dibayar sendiri oleh kontraktor, pelaporan dilakukan dengan melampirkan SSP yang telah divalidasi dengan Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN) sebagai bukti pembayaran yang sah dan otoritatif. Kepatuhan pada prosedur ini sangat vital untuk menghindari denda dan menunjukkan profesionalisme yang tinggi.

Panduan Praktis: Menghitung dan Menentukan Tarif PPh Final Konstruksi

Menghitung Pajak Penghasilan (PPh) Final Jasa Konstruksi yang harus dibayar sendiri memerlukan ketelitian dalam mengidentifikasi dua variabel kunci: kualifikasi usaha dan jenis jasa yang diberikan. Pengenaan tarif yang tepat adalah fondasi dari praktik akuntansi yang dapat dipercaya dan profesionalisme tinggi dalam bisnis konstruksi. Dengan menggunakan panduan praktis ini, Anda dapat memastikan setiap transaksi mematuhi ketentuan perpajakan terbaru.

Langkah 1: Mengidentifikasi Kualifikasi Sertifikasi Badan Usaha (SBU)

Langkah pertama yang paling krusial dalam menentukan tarif PPh Final adalah mengidentifikasi status Sertifikasi Badan Usaha (SBU) yang dimiliki kontraktor. Sertifikasi ini diterbitkan oleh lembaga yang berwenang dan secara langsung menentukan besaran persentase pajak yang harus dikenakan. Tarif pajak ini didasarkan pada kualifikasi SBU Anda—yaitu Non-Kualifikasi, Kecil, Menengah, atau Besar—yang mencerminkan pengalaman dan kemampuan teknis perusahaan Anda. Memiliki SBU yang valid dan terdaftar secara resmi adalah prasyarat yang tidak hanya mengatur tarif pajak Anda, tetapi juga meningkatkan kredibilitas dan otorisasi Anda di mata klien dan otoritas pajak.

Langkah 2: Aplikasi Tarif PPh Final Terbaru Berdasarkan Jenis Layanan

Setelah kualifikasi SBU diidentifikasi, selanjutnya adalah menerapkan tarif PPh Final yang sesuai berdasarkan jenis jasa konstruksi yang Anda berikan. Jenis jasa ini umumnya terbagi menjadi Pelaksanaan Konstruksi (Kontraktor) dan Perencanaan/Pengawasan Konstruksi (Konsultan).

Berikut adalah ringkasan tarif PPh Final Jasa Konstruksi sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) No. 9 Tahun 2022:

Kualifikasi SBU Jenis Jasa Tarif PPh Final (%)
Non-Kualifikasi Pelaksanaan Konstruksi 4,0%
SBU Kecil Pelaksanaan Konstruksi 2,65%
SBU Menengah/Besar Pelaksanaan Konstruksi 3,30%
Tidak Memiliki SBU Perencanaan/Pengawasan 6,0%
Memiliki SBU Perencanaan/Pengawasan 3,30%

Contoh Kasus 1: Perhitungan PPh Final untuk Kontraktor SBU Kecil

Misalnya, sebuah perusahaan kontraktor dengan SBU Kualifikasi Kecil memperoleh nilai kontrak jasa pelaksanaan konstruksi sebesar Rp 500.000.000. Perusahaan ini wajib melakukan pembayaran sendiri (self-assessment) atas PPh Final yang terutang.

Langkah Perhitungan:

  1. Dasar Pengenaan Pajak (DPP): PPh Final dihitung dari Dasar Pengenaan Pajak (DPP), yaitu total nilai kontrak jasa konstruksi sebelum PPN (jika ada). Dalam kasus ini, DPP adalah Rp 500.000.000.
  2. Identifikasi Tarif: Berdasarkan tabel di atas, tarif untuk SBU Kecil pada Pelaksanaan Konstruksi adalah 2,65%.
  3. Perhitungan PPh Final: $$PPh \ Final = DPP \times Tarif \ PPh$$ $$PPh \ Final = Rp 500.000.000 \times 2,65%$$ $$PPh \ Final = Rp 13.250.000$$

Dalam contoh kasus ini, PPh Final yang wajib disetor sendiri oleh kontraktor tersebut adalah Rp 13.250.000. Memastikan perhitungan ini akurat dan terekam dengan baik dalam pembukuan Anda merupakan praktik keahlian yang sangat diperlukan untuk menghadapi pemeriksaan pajak di masa depan.

Kepatuhan dan Administrasi: Prosedur Pembayaran PPh Final yang Benar

Memahami tarif dan perhitungan PPh Final Jasa Konstruksi hanyalah setengah dari perjuangan. Kunci profesionalisme dan kredibilitas di mata Direktorat Jenderal Pajak (DJP) terletak pada kepatuhan administrasi, yakni pembayaran dan pelaporan yang tepat waktu serta prosedural. Kontraktor yang melakukan pembayaran sendiri (self-assessment) harus memastikan setiap langkah dilakukan sesuai ketentuan untuk mendapatkan validasi yang sah.

Pembuatan Kode Billing dan Pembayaran Melalui Bank Persepsi

Proses pembayaran PPh Final Jasa Konstruksi yang dibayar sendiri (Pasal 4 ayat 2) wajib diawali dengan pembuatan Kode Billing. Kode ini berfungsi sebagai identitas pembayaran pajak yang dikeluarkan secara elektronik.

Berdasarkan pengalaman praktik kami dalam menangani kepatuhan pajak bagi klien kontraktor, platform DJP Online, khususnya fitur e-billing, adalah alat yang sangat efisien untuk memproses Surat Setoran Pajak (SSP) PPh Final Pasal 4 ayat (2). Kontraktor harus memilih jenis pajak yang sesuai (PPh Pasal 4 Ayat 2), jenis setoran “Jasa Konstruksi yang Dibayar Sendiri” (kode 411128/423), dan memastikan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) serta tarif yang dimasukkan sudah benar sesuai kualifikasi SBU Anda.

Setelah Kode Billing terbit, pembayaran dapat dilakukan melalui berbagai saluran Bank Persepsi (teller bank, ATM, internet banking, atau mobile banking). Pembayaran secara sah dianggap selesai dan diakui negara setelah Anda menerima bukti berupa Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN). NTPN ini adalah kunci validasi mutlak yang harus disimpan sebagai bukti penyetoran pajak yang sah, menggantikan peranan stempel bank pada SSP konvensional.

Jadwal Kritis: Batas Waktu Pembayaran dan Pelaporan SPT Masa PPh Final

Dalam sistem perpajakan, waktu adalah faktor kritis yang menentukan kepatuhan. Untuk PPh Final Jasa Konstruksi yang wajib dibayar sendiri oleh penyedia jasa, batas waktu pembayaran telah diatur secara tegas.

Pembayaran PPh Final yang dibayar sendiri harus dilakukan paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya setelah penghasilan dari jasa konstruksi diterima. Contohnya, jika Anda menerima pembayaran termin pada tanggal 20 November, maka PPh Finalnya wajib disetorkan paling lambat tanggal 10 Desember.

Sedangkan untuk pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPh Final Pasal 4 Ayat (2), batas waktu pelaporannya adalah paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir. Walaupun pembayaran PPh Final bersifat self-assessment, pelaporan SPT Masa tetap wajib dilakukan sebagai bentuk pertanggungjawaban pajak. Keterlambatan atau kelalaian dalam kedua tenggat waktu ini, baik pembayaran maupun pelaporan, akan memicu sanksi administratif yang berpotensi merugikan arus kas dan citra usaha.

Risiko Ketidakpatuhan: Sanksi Administratif dan Dampak pada Reputasi Usaha

Kepatuhan dalam membayar dan melaporkan PPh Final Jasa Konstruksi yang dibayar sendiri (self-assessment) bukanlah sekadar kewajiban, melainkan fondasi bagi keberlanjutan dan kredibilitas bisnis jasa konstruksi Anda. Ketidakpatuhan, sekecil apapun itu, dapat memicu sanksi administratif yang signifikan, bahkan merusak citra profesional yang telah dibangun dengan susah payah. Untuk memastikan Anda dapat beroperasi dengan otoritas yang terpercaya di mata klien dan otoritas pajak, sangat penting untuk memahami risiko ini secara mendalam.

Sanksi Keterlambatan Pembayaran PPh Final Jasa Konstruksi

Keterlambatan dalam menyetorkan PPh Final Jasa Konstruksi yang telah dihitung sendiri akan memicu sanksi bunga yang diatur dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) yang diperbarui. Berdasarkan regulasi terbaru, sanksi keterlambatan pembayaran ini dikenakan bunga yang dihitung berdasarkan suku bunga acuan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

Rumus perhitungan sanksi bunga ini adalah: Suku Bunga Acuan ditambah Uplift Rate (persentase tertentu, tergantung jenis pelanggarannya), yang kemudian dibagi 12 dan dikalikan dengan jumlah bulan keterlambatan. Bunga ini dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran (tanggal 10 bulan berikutnya) sampai tanggal pembayaran dilakukan, dengan memperhitungkan bagian dari bulan sebagai satu bulan penuh.

Sebagai contoh, jika Anda seharusnya membayar pada tanggal 10 Maret dan baru membayar pada 15 April, Anda akan dikenakan bunga untuk dua bulan penuh. Beban bunga ini dapat menggerus margin keuntungan proyek secara tidak terduga, sehingga disiplin waktu pembayaran adalah kunci.

Dampak Tidak Melaporkan SPT Masa pada Kredibilitas Kontraktor

Selain sanksi keterlambatan penyetoran, kontraktor juga harus menghadapi sanksi jika terlambat atau tidak melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPh Final Pasal 4 ayat (2). Keterlambatan pelaporan SPT Masa dikenakan sanksi administratif berupa denda tetap sesuai ketentuan UU KUP. Meskipun nilainya mungkin tetap, denda ini merupakan indikator merah bagi Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

Tidak melaporkan SPT Masa secara konsisten dapat memicu proses audit yang lebih intensif dari DJP. Ketika sebuah entitas diindikasikan tidak patuh dalam hal pelaporan, ini dapat berujung pada pemeriksaan lapangan. Pemeriksaan pajak adalah proses yang memakan waktu, sumber daya, dan berpotensi menghasilkan koreksi pajak yang lebih besar, termasuk sanksi atas kekurangan pembayaran yang ditemukan.

Penting untuk diingat bahwa kepatuhan pajak yang baik adalah bukti otoritas dan profesionalisme yang sangat dicari oleh pengguna jasa, terutama untuk proyek-proyek pemerintah (melalui sistem procurement) maupun swasta kelas kakap. Klien besar sering melakukan due diligence (uji tuntas) terhadap kepatuhan pajak calon kontraktor mereka sebagai bagian dari penilaian risiko. Kontraktor yang memiliki rekam jejak kepatuhan yang buruk atau sering terkena sanksi akan dianggap berisiko tinggi. Sebaliknya, kontraktor yang mampu menunjukkan track record bersih dalam pelaporan dan pembayaran pajak menunjukkan pengalaman dan keandalan dalam menjalankan operasi bisnis yang taat aturan. Ini membangun kredibilitas yang tidak ternilai harganya dan menjadi keunggulan kompetitif utama di industri konstruksi.

Pertanyaan Sering Diajukan Seputar PPh Final Jasa Konstruksi Dibayar Sendiri

Bagian ini membahas pertanyaan-pertanyaan umum yang sering diajukan oleh penyedia jasa konstruksi, memberikan jawaban yang ringkas dan berdasarkan otoritas yang ada untuk memastikan pemahaman yang menyeluruh tentang PPh Final Jasa Konstruksi yang dibayar sendiri.

Q1. Apakah PPh Final Jasa Konstruksi bisa dikreditkan?

Jawab: PPh Final tidak dapat dikreditkan.

Berdasarkan peraturan perpajakan, PPh Final adalah jenis pajak yang dikenakan di akhir, atau bersifat tuntas. Ini berarti bahwa penghasilan dari jasa konstruksi yang telah dikenai PPh Final dianggap sudah selesai dikenai pajak dan tidak lagi digabungkan atau dihitung ulang dalam perhitungan Pajak Penghasilan (PPh) Terutang pada akhir tahun pajak.

Implikasinya, jumlah PPh Final yang telah Anda setorkan sendiri tidak dapat digunakan sebagai kredit pajak untuk mengurangi PPh Badan atau PPh Orang Pribadi yang terutang pada Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Anda. Pemahaman ini sangat penting untuk perencanaan kas dan kewajiban perpajakan akhir tahun. Konsultan pajak berpengalaman akan selalu menekankan bahwa karakteristik “final” ini membedakannya dari PPh Pasal 23 atau PPh Pasal 25 yang bersifat tidak final dan dapat dikreditkan.

Q2. Bagaimana perlakuan PPh Final jika kontrak jasa konstruksi dibatalkan atau diputus di tengah jalan?

Perlakuan PPh Final dalam kasus pembatalan atau pemutusan kontrak di tengah jalan bergantung pada kondisi pembayaran yang telah diterima kontraktor dan status penyetoran PPh.

  • PPh Final yang Sudah Disetor (Tidak Dapat Diminta Kembali): Jika Anda telah menerima pembayaran termin dari pengguna jasa dan telah menyetorkan PPh Final atas termin tersebut ke kas negara (mendapatkan NTPN), PPh yang telah disetor tersebut tidak dapat diminta kembali meskipun kontrak akhirnya dibatalkan. PPh dihitung atas penghasilan yang telah diterima.

  • Pengecualian (Kelebihan Pembayaran yang Sah): Satu-satunya skenario di mana pengembalian (restitusi) dapat dilakukan adalah jika terdapat kelebihan pembayaran yang sah. Contohnya, terjadi kesalahan hitung tarif PPh atau nilai kontrak yang lebih rendah dari yang dilaporkan. Dalam situasi ini, kontraktor harus mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran PPh kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sesuai dengan prosedur formal yang berlaku. Proses ini memerlukan pembuktian yang kuat dan akan ditinjau secara mendalam oleh otoritas pajak.

Penting untuk mencatat bahwa prinsip otoritatif dalam perpajakan (meningkatkan otoritas dan kepercayaan) menekankan bahwa kewajiban perpajakan timbul saat penghasilan diterima atau diakui. Oleh karena itu, dokumentasi (berita acara terminasi kontrak, bukti penerimaan pembayaran, dan SSP) harus disimpan dengan rapi untuk membuktikan dasar penghitungan PPh yang telah dibayar.

Final Takeaways: Strategi Kepatuhan PPh Final Konstruksi di Tahun 2025

Tiga Langkah Aksi Wajib untuk Kontraktor

Kepatuhan terhadap kewajiban perpajakan PPh Final Jasa Konstruksi yang dibayar sendiri (self-assessment) adalah fondasi utama untuk menjaga kelancaran operasional bisnis Anda. Untuk memastikan Anda tetap berada di jalur yang benar dan memenuhi semua persyaratan perpajakan, penyedia jasa konstruksi wajib melakukan tiga langkah aksi kritis. Pertama, Anda harus secara aktif memonitor dan memastikan status Sertifikasi Badan Usaha (SBU) Anda selalu valid dan sesuai dengan jenis pekerjaan yang dilakukan. Klasifikasi SBU adalah penentu tunggal tarif PPh Final yang berlaku. Kedua, Anda harus secara proaktif mengikuti dan menerapkan regulasi PPh Final terbaru, khususnya Peraturan Pemerintah (PP) No. 9 Tahun 2022. Regulasi ini secara eksplisit mengatur tarif dan kriteria, sehingga memahami setiap pasalnya adalah kunci untuk menghindari salah hitung dan sanksi.

Jadikan Kepatuhan Pajak sebagai Keunggulan Kompetitif

Dalam dunia jasa konstruksi yang semakin kompetitif, kepatuhan pajak yang teruji bukan hanya kewajiban hukum, tetapi juga bukti profesionalisme, otoritas, dan keandalan perusahaan Anda. Pengguna jasa, baik dari pihak pemerintah maupun swasta, cenderung mencari kontraktor yang memiliki rekam jejak administrasi yang bersih. Oleh karena itu, jadikan ketaatan pajak sebagai keunggulan kompetitif. Segera tinjau semua kontrak berjalan Anda dan pastikan proses penghitungan, penyetoran, dan pelaporan PPh Final telah disetor tepat waktu, yaitu paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya. Jika Anda ragu atau membutuhkan klarifikasi lebih lanjut mengenai penerapan tarif atau prosedur pelaporan, jangan tunda untuk berkonsultasi dengan konsultan pajak bersertifikat untuk memastikan bisnis Anda berjalan sesuai koridor hukum.

Jasa Pembayaran Online
💬