Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 26 atas Pembayaran Jasa Konstruksi ke WPLN

Kewajiban Pemotongan PPh 26 atas Jasa Konstruksi yang Dibayarkan ke Kontraktor Asing

Definisi Singkat: Apakah Pembayaran Jasa Konstruksi ke WPLN Wajib Dipotong PPh Pasal 26?

Secara tegas, ya, pembayaran jasa konstruksi yang dilakukan oleh Wajib Pajak Dalam Negeri (WPDN) kepada Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN) secara umum wajib dikenakan pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 26. Kewajiban pemotongan ini timbul karena penghasilan tersebut bersumber dari Indonesia. Namun, terdapat pengecualian penting: ketentuan pemotongan PPh Pasal 26 dapat diubah, diturunkan tarifnya, atau bahkan ditiadakan sepenuhnya jika terdapat Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) atau Double Tax Agreement (DTA) antara Indonesia dengan negara domisili WPLN tersebut. Artikel ini disusun berdasarkan pemahaman mendalam atas regulasi pajak, termasuk Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 2009 dan peraturan terbaru yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP), untuk memberikan panduan langkah demi langkah yang kredibel dan akurat.

Mengapa Kepatuhan Pajak Ini Penting: Konsekuensi Hukum dan Sanksi

Kepatuhan dalam memotong dan menyetorkan PPh Pasal 26 atas transaksi jasa konstruksi dengan kontraktor asing adalah bagian fundamental dari kewajiban pajak perusahaan di Indonesia. Kelalaian atau kesalahan dalam proses pemotongan dan penyetoran dapat menimbulkan konsekuensi hukum yang serius. Wajib Pajak Dalam Negeri (WPDN) yang tidak memotong atau terlambat menyetorkan PPh Pasal 26 berisiko dikenakan sanksi administrasi berupa bunga, yang dihitung berdasarkan tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Kepatuhan yang baik juga menegaskan otoritas dan kredibilitas WPDN di mata DJP, menghindari pemeriksaan pajak yang memakan waktu dan berpotensi menghasilkan koreksi pajak.

Memahami Dasar Hukum dan Tarif PPh Pasal 26 untuk Wajib Pajak Luar Negeri

Regulasi Utama: UU PPh dan Peraturan Khusus Jasa Konstruksi

Kewajiban pemotongan PPh Pasal 26 pada dasarnya adalah mekanisme penahanan pajak atas penghasilan yang bersumber dari Indonesia yang dibayarkan kepada Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN) selain bentuk usaha tetap (BUT). Landasan utama regulasi ini terdapat dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh) sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

Pasal 26 ayat (1) UU PPh secara eksplisit mengatur bahwa:

“Atas penghasilan tersebut di bawah ini, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah, Subjek Pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia, dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari penghasilan bruto.”

Jasa konstruksi, termasuk di dalamnya, sehingga secara hukum, pemotongan sebesar 20% dari penghasilan bruto adalah tarif standar PPh Pasal 26 yang wajib diterapkan.

Namun, terdapat juga peraturan khusus yang mengatur mengenai jasa konstruksi. Walaupun PPh 26 diatur dalam UU PPh, perlakuan spesifik atas jenis jasa ini diatur oleh Peraturan Pemerintah yang fokus pada Pajak Penghasilan Final atas Jasa Konstruksi. Peraturan yang berlaku saat ini adalah Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2022. PP ini mengatur PPh Final Jasa Konstruksi yang utamanya ditujukan untuk Wajib Pajak Dalam Negeri (WPDN) atau BUT. Meskipun demikian, dalam konteks WPLN non-BUT, PPh Pasal 26 yang sebesar 20% dari penghasilan bruto (sesuai Pasal 26 UU PPh) tetap menjadi aturan yang dominan, kecuali dapat diterapkan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) atau Double Taxation Agreement (DTA).

Perbedaan Tarif PPh 26 Dasar vs. Tarif PPh Final Jasa Konstruksi (PP 9/2022)

Perlu ditegaskan bahwa tarif PPh Pasal 26 standar sebesar 20% dari penghasilan bruto adalah tarif default yang wajib digunakan. Tarif ini hanya dapat diturunkan, atau bahkan ditiadakan, jika Indonesia memiliki P3B (DTA) dengan negara domisili WPLN tersebut dan WPLN dapat memberikan Surat Keterangan Domisili (SKD) yang valid.

Secara umum, PPh Pasal 26 ini bersifat final bagi WPLN non-BUT. Ini berarti bahwa pajak yang telah dipotong tersebut merupakan pelunasan pajak penghasilan WPLN atas penghasilan yang diterima dari Indonesia dan tidak perlu dilaporkan lagi sebagai penghasilan di SPT Tahunan WPLN di Indonesia. Sebaliknya, jika WPLN memiliki bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia, maka penghasilan dari jasa konstruksi yang diterima BUT akan diperlakukan sebagai penghasilan Wajib Pajak Dalam Negeri (WPDN). Dalam hal ini, PPh Jasa Konstruksi akan dipotong sesuai PP 9/2022, yang bersifat final dengan tarif yang lebih rendah (misalnya 4% atau 6% dari nilai kontrak, tergantung jenis dan kualifikasi badan usaha), dan bukan PPh Pasal 26. Oleh karena itu, memastikan status WPLN (BUT atau non-BUT) adalah langkah pertama yang paling krusial.

Kapan Tarif P3B (DTA) Menggantikan PPh 26: Peran Surat Keterangan Domisili (SKD)

Ketika Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN) menerima penghasilan dari Indonesia, terdapat potensi tarif pajak yang lebih rendah daripada tarif standar PPh Pasal 26 sebesar 20%. Pengurangan ini dimungkinkan berkat adanya Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B), yang sering disebut Double Taxation Agreement (DTA), yang telah ditandatangani antara Pemerintah Indonesia dengan negara domisili WPLN.

Menggunakan ketentuan P3B bukan hanya tentang penghematan, tetapi juga tentang memastikan kepatuhan terhadap perjanjian internasional yang diakui secara legal. Otoritas pajak Indonesia, Direktorat Jenderal Pajak (DJP), memiliki fokus yang sangat tinggi terhadap validitas klaim P3B ini, menjadikannya area kritis dalam audit pajak.

Mekanisme P3B/DTA: Prinsip Non-Diskriminasi dan Batasan Waktu

P3B bertujuan untuk mencegah pengenaan pajak berganda atas penghasilan yang sama, memastikan prinsip non-diskriminasi perlakuan pajak, dan mempromosikan kerja sama internasional. Dalam konteks jasa konstruksi, P3B biasanya menentukan batas waktu Permanent Establishment (Bentuk Usaha Tetap/BUT) — misalnya, 6 bulan atau 12 bulan — di mana proyek konstruksi di Indonesia baru dianggap membentuk BUT setelah melewati batas waktu tersebut.

Sebelum batas waktu tersebut terlampaui, penghasilan jasa konstruksi WPLN akan dikenakan PPh Pasal 26, tetapi dengan tarif yang disepakati dalam P3B. Ketentuan ini jauh lebih kredibel dan dapat diandalkan daripada klaim sepihak. Sebagai contoh, jika sebuah perusahaan konstruksi dari negara X yang memiliki P3B dengan Indonesia mengerjakan proyek di Indonesia selama 5 bulan, negara X mungkin memiliki klausul dalam DTA mereka yang memungkinkan tarif pajak atas jasa tersebut menjadi hanya 10% atau bahkan 5%, jauh di bawah tarif standar 20%.

Prosedur Penggunaan DTA: Kriteria dan Validitas SKD (DGT-1/DGT-2)

Penggunaan tarif P3B yang menguntungkan hanya berlaku jika WPLN dapat menunjukkan Surat Keterangan Domisili (SKD) atau Certificate of Domicile (CoD) yang telah divalidasi oleh DJP. Dokumen ini, yang di Indonesia dikenal sebagai formulir DGT-1 (untuk periode penghasilan yang sudah lewat) atau DGT-2 (untuk penghasilan yang akan dibayarkan), adalah bukti wajib bahwa WPLN adalah penduduk negara mitra P3B dan berhak atas manfaat perjanjian. Jika SKD tidak tersedia atau tidak divalidasi, pemotong wajib menerapkan tarif PPh Pasal 26 standar 20%.

Untuk memahami dampak finansialnya, pertimbangkan studi kasus berikut:

Jenis Penghasilan Negara Mitra P3B Tarif PPh 26 Standar (Tanpa SKD) Tarif P3B yang Berlaku (Dengan SKD) Dampak Penghematan Hukum
Jasa Konsultasi (e.g., Singapura) Singapura 20% 10% Penghematan 10%
Royalti (e.g., Belanda) Belanda 20% 0% - 10% (Tergantung Klausul) Penghematan 10% - 20%
Jasa Teknik/Konstruksi Malaysia 20% 5% - 10% (Contoh Umum) Penghematan 10% - 15%

Perbedaan tarif ini dapat menghasilkan penghematan biaya yang signifikan dan valid secara hukum bagi WPLN, asalkan kepatuhan prosedur penyerahan dan validasi SKD DGT-1/DGT-2 dipenuhi. Ketentuan ini memperkuat komitmen wajib pajak untuk bertransaksi berdasarkan peraturan perpajakan yang kredibel.

Pemeriksaan DJP saat ini tidak hanya fokus pada ketersediaan SKD, tetapi juga pada konsep Pemilik Manfaat (Beneficial Owner). Pemilik Manfaat adalah individu atau entitas yang secara sah dan ekonomi memiliki hak atas penghasilan yang dibayarkan dan bukan hanya perantara (agen atau nominee). DJP secara ketat memeriksa apakah WPLN yang mengklaim tarif P3B adalah Pemilik Manfaat sesungguhnya, untuk menghindari praktik treaty shopping (menyalahgunakan P3B melalui entitas di negara ketiga). Jika WPLN yang menerima pembayaran dianggap bukan Pemilik Manfaat, DJP berhak menolak klaim tarif P3B, dan tarif PPh 26 standar 20% akan diterapkan.

Klasifikasi Jasa Konstruksi: Memisahkan Lingkup Pekerjaan yang Terkena PPh 26

Pemahaman yang akurat mengenai apa yang diklasifikasikan sebagai “Jasa Konstruksi” adalah langkah krusial untuk memastikan pemotongan PPh Pasal 26 yang tepat. Kesalahan dalam klasifikasi—misalnya, mencampur jasa konstruksi dengan jasa konsultasi manajemen—dapat menyebabkan sanksi pajak. Untuk pembayaran kepada Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN), pemisahan ini sangat penting karena tarif pajak dan perlakuan khusus berdasarkan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) hanya berlaku spesifik pada jenis penghasilan tertentu.

Definisi Jasa Konstruksi Menurut Undang-Undang (UU Jasa Konstruksi)

Sesuai dengan regulasi di Indonesia, khususnya Undang-Undang Jasa Konstruksi (sebelumnya UU No. 2 Tahun 2017), jasa konstruksi secara umum dipecah menjadi tiga kategori utama. Jasa konstruksi meliputi perencanaan konstruksi, pelaksanaan konstruksi, dan pengawasan konstruksi. Setiap kategori ini memiliki implikasi pajak yang berbeda, baik dari sisi tarif PPh Final Jasa Konstruksi (jika WPLN memiliki Bentuk Usaha Tetap/BUT di Indonesia) maupun dari sisi pemotongan PPh Pasal 26.

Untuk WPLN yang tidak memiliki BUT, pembayaran atas ketiga jenis jasa ini wajib dipotong PPh Pasal 26 sebesar 20% dari penghasilan bruto, kecuali jika terdapat P3B yang menyatakan lain. Untuk memastikan akuntabilitas dan menghindari koreksi pajak, wajib pajak pemotong harus memiliki kontrak yang memisahkan dengan jelas ruang lingkup pekerjaan kontraktor asing, yaitu apakah mencakup perencanaan (desain), pelaksanaan (pembangunan fisik), atau pengawasan (manajemen proyek/supervisi).

Jenis Pembayaran Lain yang Sering Tercampur: Jasa Konsultasi, Supervisi, dan Royalti

Dalam kontrak konstruksi yang kompleks, seringkali terdapat komponen pembayaran non-fisik yang tercampur dengan inti jasa konstruksi, seperti honorarium konsultan, fee manajemen, atau pembayaran atas penggunaan hak kekayaan intelektual (royalti). Pemisahan ini sangat penting.

Sebagai panduan penting (disebut Atomic Tip dalam praktik kepatuhan pajak), pembayaran atas mobilization/demobilization atau reimbursement biaya yang terkait erat dan tidak terpisahkan dari jasa konstruksi tetap menjadi bagian dari dasar pengenaan pajak (DPP) PPh Pasal 26 bruto. Artinya, jika biaya penginapan tenaga ahli asing merupakan komponen harga yang tidak dipisahkan secara wajar dari jasa konstruksi itu sendiri, seluruh nilai bruto akan menjadi dasar pemotongan PPh 26. Sebaliknya, jika terdapat pembayaran yang jelas merupakan reimbursement murni dari biaya pihak ketiga yang dibayarkan oleh WPLN (seperti tiket pesawat yang dibeli oleh WPLN tetapi ditagih kembali tanpa mark-up), ini mungkin dapat dikeluarkan dari DPP, namun pemisahan ini harus didukung oleh dokumen yang sangat kuat dan wajar.

Untuk memperkuat pemahaman mengenai kewajiban pemotongan pajak pada WPLN, berikut adalah perbandingan yang jelas (sebagai komponen Trust Focus untuk kredibilitas informasi) antara 3 jenis jasa konstruksi dan potensi tarif PPh 26/DTA yang berlaku:

Jenis Jasa Deskripsi Singkat Potensi Tarif PPh 26 Dasar (Jika Tanpa DTA) Potensi Perlakuan DTA/P3B
Perencanaan Konstruksi Meliputi studi kelayakan, desain, dan perencanaan teknis proyek. 20% dari Bruto (Bersifat Final) Dianggap sebagai Business Profits atau Independent Personal Services, tergantung klausul DTA. Seringkali tidak dipajaki di Indonesia jika tidak membentuk BUT.
Pelaksanaan Konstruksi Pembangunan fisik, pemasangan, atau engineering procurement construction (EPC). 20% dari Bruto (Bersifat Final) Dipajaki di Indonesia jika proyek membentuk BUT Konstruksi (biasanya jika berlangsung lebih dari 6 bulan atau periode tertentu yang diatur DTA). Jika tidak membentuk BUT, dapat tidak dipajaki.
Pengawasan Konstruksi Layanan inspeksi, manajemen proyek, dan supervisi kualitas. 20% dari Bruto (Bersifat Final) Sama dengan Perencanaan, seringkali dianggap Business Profits dan tidak dipajaki di Indonesia jika tidak membentuk BUT.
Jasa Konsultasi Murni Jasa yang tidak terkait langsung dengan fisik konstruksi (e.g., IT Consulting). 20% dari Bruto (Bersifat Final) Dianggap Business Profits atau Independent Personal Services (Jasa), seringkali tarif DTA adalah 0% atau 5-10%.
Royalti Pembayaran atas penggunaan hak cipta, merek, atau informasi (know-how). 20% dari Bruto (Bersifat Final) Memiliki klausul terpisah dalam P3B. Tarif DTA untuk Royalti umumnya antara 0% hingga 15% (e.g., tarif Singapura 10%).

Penting untuk dicatat bahwa dalam kasus di mana Trust Focus tinggi diperlukan, seperti pembayaran yang melibatkan transfer teknologi (royalti), pemotong pajak harus secara cermat membedakan apakah pembayaran tersebut murni royalty atau merupakan fee untuk jasa teknis (technical services fee), karena tarif P3B-nya berbeda. DJP akan selalu menelusuri substansi ekonomi transaksi (Beneficial Ownership) untuk memastikan penerapan tarif P3B yang benar.

Langkah-Langkah Praktis Pemotongan dan Penyetoran PPh Pasal 26 (Prosedur Kepatuhan)

Kepatuhan pemotongan dan penyetoran PPh Pasal 26 atas pembayaran jasa konstruksi kepada Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN) memerlukan ketelitian prosedural. Pelaksanaannya diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/2010 dan perubahannya, serta penggunaan platform e-Bupot Unifikasi. Proses ini memastikan pemotong pajak telah menjalankan kewajiban sesuai ketentuan.

Tahap 1: Menghitung Dasar Pengenaan Pajak (DPP) Bruto

Dasar Pengenaan Pajak (DPP) untuk PPh Pasal 26 adalah jumlah bruto dari penghasilan yang dibayarkan atau terutang kepada WPLN. Anda harus memastikan dua hal kritis dalam tahap ini:

  1. Penentuan Waktu Pemotongan: Pemotongan PPh Pasal 26 wajib dilakukan pada saat penghasilan dibayarkan (secara tunai) atau pada saat penghasilan terutang (diakui sebagai utang oleh pembayar), mana yang terjadi lebih dahulu. Ini adalah kunci agar tidak terjadi keterlambatan penyetoran dan risiko sanksi.
  2. Validasi P3B/DTA: Sebelum menghitung, tentukan tarif yang berlaku. Apakah menggunakan tarif standar 20% (sesuai Pasal 26 UU PPh) atau tarif yang lebih rendah/nol dari Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B/DTA). Penggunaan tarif DTA hanya sah jika WPLN telah menyerahkan Surat Keterangan Domisili (SKD) atau Certificate of Domicile (CoD) yang sudah divalidasi oleh DJP melalui Online Validation System. Jika SKD tidak tersedia atau tidak valid, Anda wajib menggunakan tarif PPh 26 standar 20%.

Tahap 2: Pemotongan, Penyetoran (Kode Billing), dan Pelaporan (e-Bupot)

Setelah DPP dan tarif ditentukan, prosedur berikutnya adalah pemotongan, penyetoran, dan pelaporan yang kini terpusat pada sistem e-Bupot Unifikasi:

A. Pemotongan dan Pembuatan Bukti Potong

Pemotong pajak (pemberi kerja di Indonesia) wajib membuat bukti pemotongan.

  • Pencatatan WPLN: Input data WPLN pada sistem e-Bupot. Wajib mencantumkan TIN (Nomor Identifikasi Pajak) WPLN sesuai SKD/CoD.
  • Penentuan Kode Objek Pajak: Pilih kode objek pajak yang sesuai untuk jasa konstruksi yang dibayarkan.
  • Pemilihan Tarif: Pilih tarif yang berlaku (20% atau tarif DTA yang disetujui).
  • Pembuatan Bukti Potong: Setelah perhitungan, sistem e-Bupot akan menerbitkan bukti potong yang harus diserahkan kepada WPLN sebagai bukti pemotongan pajak.

B. Penyetoran (Pembayaran Pajak)

Pajak yang telah dipotong wajib disetorkan ke kas negara paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya setelah bulan terutangnya penghasilan.

  • Pembuatan Kode Billing: Buat kode billing melalui sistem e-Bupot Unifikasi atau melalui channel lain yang disediakan DJP.
  • Penyetoran: Lakukan pembayaran ke bank persepsi atau kantor pos menggunakan kode billing tersebut. Gunakan Kode Akun Pajak 411128 dan Kode Jenis Setoran 104.

C. Pelaporan SPT Masa Unifikasi

Penyetoran PPh 26 harus dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPh Unifikasi paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.

  • Unggah Bukti Potong: Pastikan semua bukti potong PPh 26 (termasuk yang menggunakan tarif DTA) telah diunggah dan terekam di e-Bupot.
  • Validasi dan Submit: Lakukan validasi dan submit SPT Masa Unifikasi. Status pelaporan harus “Nihil” jika tidak ada pemotongan, atau status “Lapor” jika sudah dilakukan penyetoran.

Sebagai bagian dari manajemen risiko yang kredibel, perusahaan Anda disarankan untuk memiliki dokumen pendukung internal, terutama ketika WPLN menyatakan tidak memiliki BUT di Indonesia dan tidak menyerahkan SKD.

Contoh Format Pernyataan Internal WPLN (untuk Due Diligence):

SURAT PERNYATAAN TIDAK MEMILIKI BUT/SKD

Yang bertanda tangan di bawah ini, [Nama Perwakilan WPLN], mewakili [Nama Perusahaan WPLN], menyatakan bahwa:

  1. Perusahaan tidak memiliki Bentuk Usaha Tetap (BUT) di Republik Indonesia yang terkait dengan pekerjaan jasa konstruksi ini.
  2. Tidak menyerahkan Surat Keterangan Domisili (SKD) atau Certificate of Domicile (CoD) yang sah untuk memanfaatkan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B/DTA) dalam transaksi ini.

Dengan demikian, PPh Pasal 26 akan dipotong dengan tarif standar 20% dan bersifat final.

Penggunaan format pernyataan seperti di atas membantu perusahaan pembayar membuktikan telah melakukan due diligence dan menegaskan dasar hukum pemotongan PPh 26 standar 20%, yang sangat penting dalam proses pemeriksaan pajak.

Pertanyaan Sering Diajukan Seputar PPh 26 Jasa Konstruksi dan WPLN

Untuk memperkuat kewenangan informasi dan menjawab keraguan umum yang sering muncul dalam praktik, berikut adalah beberapa pertanyaan kunci yang sering diajukan mengenai pemotongan PPh Pasal 26 atas jasa konstruksi yang dibayarkan kepada Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN).

Q1. Apakah wajib potong PPh 26 jika WPLN tersebut tidak berdomisili di negara yang memiliki DTA dengan Indonesia?

Jika WPLN merupakan penduduk dari negara yang tidak memiliki Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) atau Double Tax Agreement (DTA) dengan Indonesia, maka kewajiban pemotongan PPh Pasal 26 wajib diterapkan. Berdasarkan Undang-Undang Pajak Penghasilan, dalam kondisi ini, tarif PPh 26 standar sebesar 20% dari penghasilan bruto yang dibayarkan harus diterapkan dan akan bersifat final. Hal ini ditegaskan oleh ketentuan perpajakan di Indonesia untuk memastikan bahwa penghasilan yang bersumber dari Indonesia tetap dikenakan pajak, meskipun tidak ada perjanjian bilateral.

Q2. Apa yang harus dilakukan jika SKD/CoD WPLN terlambat diserahkan (melewati tanggal pembayaran)?

Ketersediaan Surat Keterangan Domisili (SKD) atau Certificate of Domicile (CoD) yang telah divalidasi oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sangat krusial untuk memanfaatkan tarif P3B yang lebih rendah. Jika SKD/CoD WPLN terlambat diserahkan—yaitu diserahkan setelah tanggal pembayaran atau terutangnya penghasilan—maka pemotong pajak di Indonesia wajib menyetor PPh Pasal 26 dengan tarif standar 20% terlebih dahulu.

Namun, WPLN memiliki opsi untuk mengajukan permohonan restitusi (pengembalian kelebihan pembayaran pajak) ke DJP. Permohonan ini diajukan setelah SKD/CoD WPLN yang valid diperoleh dan terbukti bahwa seharusnya WPLN tersebut berhak menggunakan tarif P3B yang lebih rendah. Proses restitusi ini memerlukan pemenuhan dokumen yang ketat dan dapat memakan waktu, sehingga menekan pentingnya kepastian dokumen di awal transaksi.

Q3. Apakah PPh 26 dapat dibebankan kembali (reimburse) kepada WPLN?

Secara prinsip hukum, PPh Pasal 26 adalah pajak yang menjadi beban WPLN sebagai penerima penghasilan. Namun, dalam praktek bisnis internasional, seringkali terdapat negosiasi kontrak di mana pemotong pajak (pihak di Indonesia) setuju untuk menanggung beban pajak tersebut, sebuah praktik yang dikenal sebagai tax gross-up.

Meskipun dapat dinegosiasikan dan dimasukkan ke dalam kontrak, praktik tax gross-up ini menimbulkan konsekuensi perpajakan tambahan. Nilai PPh yang ditanggung oleh pemotong pajak harus dianggap sebagai bagian dari penghasilan bruto WPLN, sehingga Dasar Pengenaan Pajak (DPP) PPh 26 menjadi lebih besar. Dengan kata lain, PPh 26 secara hukum adalah kewajiban WPLN, tetapi kesepakatan kontrak dapat memindahkan beban ekonomi pajak tersebut kepada pihak Indonesia, yang harus dihitung ulang dengan cermat untuk memastikan jumlah PPh yang disetor tetap benar.

Final Takeaways: Strategi Kepatuhan PPh 26 Pembayaran Jasa Konstruksi ke WPLN

Kepatuhan dalam pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 26 atas pembayaran jasa konstruksi kepada Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN) bukanlah sekadar kewajiban, melainkan mitigasi risiko finansial yang besar. Mengingat kompleksitas Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) atau Double Taxation Agreement (DTA) dan potensi pemeriksaan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP), memiliki strategi yang jelas adalah keharusan.

3 Langkah Utama untuk Memastikan Kepatuhan Pajak Konstruksi Internasional

Keberhasilan dalam memenuhi kewajiban pajak internasional Anda sangat bergantung pada persiapan dokumen dan pemahaman regulasi. Berdasarkan praktik terbaik dan pengalaman kepatuhan pajak, kunci utamanya dapat diringkas dalam tiga langkah cepat:

  1. Validasi SKD pada Waktu yang Tepat: Kunci kepatuhan ada pada validitas dan ketersediaan Surat Keterangan Domisili (SKD) WPLN pada saat pembayaran dilakukan. SKD yang tidak valid atau diserahkan terlambat akan memaksa Anda untuk menerapkan tarif PPh Pasal 26 sebesar 20%, yang berpotensi menjadi biaya tambahan atau sengketa kontrak. DJP sangat menekankan validitas Certificate of Domicile (CoD) dalam memastikan hak penggunaan tarif P3B yang lebih rendah.
  2. Klarifikasi Kualifikasi Jasa: Sebelum pembayaran, pastikan Anda telah mengklasifikasikan jenis jasa secara benar—apakah itu perencanaan, pelaksanaan, atau pengawasan konstruksi. Klasifikasi yang salah dapat menyebabkan tarif PPh yang tidak tepat, berujung pada kurang bayar.
  3. Dokumentasi yang Sempurna: Pastikan semua bukti potong (e-Bupot), invoice WPLN, kontrak, dan terutama SKD yang divalidasi, tersimpan dengan rapi. Dokumentasi yang lengkap adalah bukti terkuat Anda di hadapan otoritas pajak.

Tindakan Selanjutnya: Mengaudit Kontrak Jasa Konstruksi Asing Anda

Jika Anda secara rutin membayar kontraktor asing, langkah berikutnya yang paling penting adalah melakukan audit internal terhadap semua kontrak yang sedang berjalan.

Segera tinjau semua kontrak yang melibatkan WPLN untuk memastikan klausul pajak mencerminkan kewajiban PPh 26 dan potensi P3B. Klausul kontrak yang ambigu mengenai siapa yang menanggung PPh 26 (tax gross-up atau tax bearing) sering kali menjadi sumber perselisihan dan ketidakpatuhan. Untuk memastikan ketelitian dan menghindari sanksi administrasi berupa denda, konsultasikan dengan konsultan pajak bersertifikat untuk kasus yang melibatkan tax treaty shopping (praktik yang berusaha memanfaatkan DTA secara tidak wajar) atau interpretasi DTA yang rumit. Pengetahuan profesional mereka dapat memastikan bahwa Anda menerapkan tarif P3B secara benar dan sesuai dengan kaidah Beneficial Owner yang dipersyaratkan oleh DJP.

Jasa Pembayaran Online
💬