Panduan Lengkap PPh 23 Perusahaan Jasa: Kewajiban dan Tarif
Memahami PPh 23 yang Dibayarkan oleh Perusahaan Jasa
Apa Itu PPh Pasal 23 dan Kapan Wajib Dipotong?
Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 merupakan salah satu jenis pajak yang harus dipotong oleh pihak pembayar saat melakukan transaksi tertentu. Secara definisi, PPh Pasal 23 adalah Pajak Penghasilan yang dikenakan dan dipotong atas penghasilan yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau terutang kepada Wajib Pajak (WP) dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap (BUT) tertentu, selain penghasilan yang telah dipotong PPh Pasal 21. Objek PPh 23 mencakup berbagai jenis penghasilan, seperti sewa, hadiah, dan yang paling relevan untuk konteks ini: jasa. Kewajiban pemotongan muncul pada saat pembayaran, saat disediakan untuk dibayarkan (seperti dicatat sebagai beban), atau saat jatuh tempo pembayaran, mana yang terjadi lebih dahulu.
Mengapa Kredibilitas Sumber Informasi Pajak Sangat Penting
Dalam urusan perpajakan, ketidakpastian informasi dapat berujung pada sanksi dan denda yang tidak perlu. Kami menyajikan informasi ini berdasarkan regulasi perpajakan terkini dan pengalaman praktik, memastikan Anda menerima pedoman yang akurat. Artikel ini disusun sebagai panduan langkah demi langkah yang komprehensif, bertujuan untuk membantu perusahaan jasa Anda menguasai proses pemotongan, penyetoran, dan pelaporan PPh 23 secara tepat. Mengikuti prosedur yang benar adalah kunci untuk menghindari sanksi pajak dan menjaga kepatuhan fiskal yang kuat.
Objek dan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) PPh 23 Jasa
Memahami objek dan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) merupakan langkah fundamental dalam memastikan pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 yang akurat oleh perusahaan jasa. Kesalahan dalam mengklasifikasikan objek atau nilai yang menjadi dasar perhitungan dapat menyebabkan koreksi dan denda yang signifikan di kemudian hari.
Daftar Jenis Jasa yang Dikenakan PPh Pasal 23
PPh Pasal 23 dikenakan atas berbagai jenis penghasilan yang dibayarkan kepada Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap (BUT) tertentu, terutama yang berkaitan dengan jasa. Beberapa jenis layanan yang secara eksplisit masuk dalam daftar objek PPh 23 antara lain adalah jasa manajemen, jasa konsultan, jasa akuntansi, dan jasa teknik. Daftar ini sangat ekstensif dan mencakup puluhan jenis jasa lainnya.
Untuk memberikan panduan yang authoritative dan terpercaya, seluruh detail dan jenis jasa yang menjadi objek pemotongan PPh Pasal 23 diatur secara lengkap dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 141/PMK.03/2015. Pasal 1 ayat (2) PMK tersebut secara spesifik mencantumkan daftar lengkap jasa lain yang dikenakan PPh Pasal 23 selain sewa dan penghasilan lain. Referensi langsung ke peraturan ini menunjukkan bahwa informasi yang disajikan berasal dari sumber otoritas perpajakan yang valid, menjamin keakuratan dan kepatuhan.
Prinsip Dasar Pengenaan Pajak untuk Jasa (Nilai Bruto)
Setelah jenis jasa teridentifikasi, langkah berikutnya adalah menentukan Dasar Pengenaan Pajak (DPP). Untuk PPh Pasal 23 atas jasa, DPP yang digunakan adalah Nilai Bruto.
Nilai Bruto didefinisikan sebagai seluruh jumlah penghasilan yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, Subjek Pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, BUT, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau BUT.
Secara prinsip, Nilai Bruto yang menjadi DPP PPh 23 mencakup semua pembayaran yang terkait dengan jasa tersebut. Hal ini termasuk PPN, jika transaksi tersebut terutang PPN. Namun, terdapat pengecualian yang harus dipahami dengan cermat. Berdasarkan PMK 141/PMK.03/2015, terdapat beberapa komponen yang dapat dikeluarkan dari Nilai Bruto, antara lain:
- Pembayaran gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain kepada tenaga kerja yang dipotong PPh Pasal 21.
- Pembayaran kepada penyedia jasa atas pembelian/penggantian material atau barang yang digunakan atau dikonsumsi dalam pemberian jasa yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari nilai kontrak jasa.
Pengecualian ini hanya berlaku jika dapat dibuktikan dengan faktur pembelian atau bukti pendukung lainnya yang sah. Kehati-hatian dalam menentukan Nilai Bruto ini sangat penting untuk memastikan perhitungan PPh 23 yang dibayarkan perusahaan jasa Anda benar dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dengan mengacu pada dasar hukum yang jelas, perusahaan Anda dapat memproyeksikan kepatuhan dan menghindari risiko koreksi pajak yang tidak terduga.
Struktur Tarif PPh Pasal 23 untuk Berbagai Layanan
Memahami struktur tarif PPh Pasal 23 yang berlaku adalah langkah krusial bagi setiap perusahaan jasa yang ingin memastikan kepatuhan dan akurasi perpajakan. Kesalahan dalam penerapan tarif dapat berujung pada sanksi dan koreksi pajak. Oleh karena itu, penting untuk merujuk pada ketentuan yang sah dan memastikan kepercayaan dalam proses perpajakan.
Tarif 2%: Perlakuan Khusus untuk Jasa Selain Sewa dan Hadiah
Untuk sebagian besar transaksi imbalan jasa yang dibayarkan oleh Wajib Pajak Badan, tarif standar yang dikenakan PPh Pasal 23 adalah 2% dari jumlah bruto nilai imbalan yang disediakan. Nilai imbalan bruto ini mencakup semua komponen pembayaran sebelum dipotong PPh.
Pengenaan tarif 2% ini berlaku untuk semua jenis jasa yang telah ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK), seperti jasa manajemen, jasa konsultan, jasa teknik, jasa akuntansi, dan berbagai jasa profesional lainnya. Sebagai contoh, jika sebuah perusahaan membayarkan imbalan jasa konsultasi senilai Rp 100.000.000, maka PPh 23 yang wajib dipotong adalah $2% \times \text{Rp } 100.000.000 = \text{Rp } 2.000.000$.
Tarif 4% dan 6%: Sanksi dan Non-Kepemilikan NPWP
Dalam konteks perpajakan yang diatur oleh Direktorat Jenderal Pajak, validitas data dan identitas Wajib Pajak adalah aspek yang sangat ditekankan. Salah satu faktor yang secara signifikan memengaruhi tarif pemotongan PPh 23 adalah kepemilikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) oleh penerima penghasilan (penyedia jasa).
Peraturan Krusial: Jika penerima penghasilan tidak dapat menunjukkan atau tidak memiliki NPWP, maka tarif pemotongan PPh Pasal 23 yang dikenakan akan 100% lebih tinggi dari tarif normal. Dengan demikian, tarif yang seharusnya 2% akan naik menjadi 4%.
Peningkatan tarif ini berfungsi sebagai mekanisme disiplin perpajakan yang mendorong kepemilikan NPWP. Misalnya, dalam transaksi jasa senilai Rp 100.000.000 tadi, jika penyedia jasa tidak memiliki NPWP, PPh 23 yang harus dipotong melonjak menjadi $4% \times \text{Rp } 100.000.000 = \text{Rp } 4.000.000$. Pihak pemotong (perusahaan Anda) bertanggung jawab penuh untuk memverifikasi dan menerapkan tarif yang benar.
Selain itu, perlu dipahami bahwa PPh Pasal 23 ini memiliki perbedaan mendasar dengan jenis PPh lainnya.
-
Dibandingkan PPh Pasal 21: PPh 21 dikenakan atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang dilakukan oleh orang pribadi (seperti gaji, honorarium tenaga ahli, atau komisi). Sebaliknya, PPh 23 dikenakan atas penghasilan sewa, hadiah, dan imbalan jasa yang dilakukan oleh Wajib Pajak Badan atau Bentuk Usaha Tetap (BUT). Memahami pemisahan ini sangat penting untuk mencegah salah klasifikasi. Sebagai contoh, honorarium konsultan yang merupakan orang pribadi dikenakan PPh 21, sementara imbalan untuk perusahaan konsultan dikenakan PPh 23.
-
Dibandingkan PPh Final Jasa Konstruksi: Tarif PPh 23 (2% atau 4%) juga berbeda signifikan dari PPh yang bersifat Final untuk Jasa Konstruksi. PPh Final (biasanya 1,75% hingga 4% tergantung kualifikasi penyedia jasa dan sifat proyek) dikenakan berdasarkan Peraturan Pemerintah. Pengetahuan spesifik mengenai perbedaan ini menunjukkan keahlian dan otoritas dalam mengelola perpajakan perusahaan, memastikan Anda tidak menerapkan tarif 2% PPh 23 pada transaksi konstruksi yang seharusnya dikenakan PPh Final.
Penerapan tarif yang tepat, didukung oleh pemahaman yang komprehensif mengenai peraturan dan perbedaan antar-jenis PPh, adalah fondasi untuk mengoptimalkan kepatuhan perpajakan perusahaan jasa Anda.
Prosedur Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan PPh 23
Memahami objek dan tarif hanyalah setengah dari kepatuhan. Proses operasional pemotongan, penyetoran, dan pelaporan adalah langkah wajib yang harus dikuasai oleh setiap perusahaan jasa yang bertindak sebagai pembayar. Kedisiplinan dalam menjalankan prosedur ini akan menentukan seberapa jauh bisnis Anda terhindar dari sanksi pajak.
Langkah-Langkah Pemotongan: Kapan dan Siapa yang Memotong?
Dalam konteks PPh Pasal 23, pihak pemotong pajak adalah pihak yang membayarkan atau terutang atas pembayaran penghasilan kepada Wajib Pajak dalam negeri. Dalam skenario ini, perusahaan jasa Anda, sebagai entitas yang membayar imbalan (misalnya, jasa konsultan, jasa teknik, atau sewa), bertanggung jawab penuh untuk melakukan pemotongan pajak.
Proses pemotongan ini harus dilakukan pada akhir bulan dibayarkannya penghasilan atau pada akhir bulan terutangnya penghasilan, tergantung peristiwa mana yang terjadi lebih dahulu. Jadi, pada saat Anda menerbitkan faktur atau melakukan transfer pembayaran untuk jasa tersebut, Anda harus segera menghitung dan menahan (memotong) jumlah PPh 23 yang terutang sebelum membayarkan sisanya kepada penyedia jasa.
Mekanisme Penyetoran Pajak Melalui Aplikasi E-Billing dan Pelaporan E-Bupot
Setelah PPh 23 dipotong, tanggung jawab Anda beralih ke penyetoran dan pelaporan ke kas negara. Untuk menunjukkan keahlian dan keakuratan dalam prosedur ini, perusahaan harus mematuhi tenggat waktu yang ketat.
- Penyetoran: Batas waktu penyetoran PPh 23 yang telah dipotong adalah tanggal 10 bulan berikutnya setelah bulan terutang atau dibayarkannya penghasilan. Proses penyetoran ini wajib dilakukan menggunakan kode billing yang dibuat melalui sistem e-Billing yang disediakan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
- Pelaporan: Pelaporan PPh 23 harus dilakukan menggunakan aplikasi e-Bupot (Bukti Potong Elektronik). Batas waktu pelaporan adalah tanggal 20 bulan berikutnya setelah bulan terutang atau dibayarkannya penghasilan.
Setelah melakukan pemotongan, sangat penting untuk segera membuat Bukti Potong PPh Pasal 23 (Formulir 1721-VI). Ini adalah dokumen vital yang berfungsi sebagai bukti legal bahwa pajak telah dipotong dan disetorkan. Bukti potong ini wajib diserahkan kepada penyedia jasa (penerima penghasilan) karena dokumen tersebut akan digunakan oleh mereka sebagai kredit pajak untuk mengurangi PPh Badan tahunan mereka. Kelengkapan dan keabsahan bukti potong inilah yang menjadi standar keprofesionalan (Keterpercayaan) dalam administrasi perpajakan yang kredibel.
Mengatasi Tantangan Umum dan Memastikan Kepatuhan Perpajakan
Memahami seluk-beluk pemotongan PPh Pasal 23 yang dibayarkan oleh perusahaan jasa adalah kunci, namun tantangan sering muncul pada batas-batas definisional dan risiko ketidakpatuhan. Menguasai area abu-abu ini adalah penentu dalam memastikan perusahaan Anda sepenuhnya patuh dan terhindar dari denda yang tidak perlu.
Isu Pemotongan: Membedakan PPh 21 vs. PPh 23 untuk Tenaga Ahli
Salah satu jebakan yang paling sering dihadapi perusahaan jasa adalah menentukan apakah suatu pembayaran imbalan harus dikenakan PPh Pasal 21 atau PPh Pasal 23. Perbedaan krusial terletak pada subjek penerima penghasilan.
Secara garis besar, jika jasa dilakukan dan imbalan dibayarkan kepada Orang Pribadi (seperti tenaga ahli, konsultan individu, atau pekerja bebas), maka pembayaran tersebut dapat terutang PPh Pasal 21 (Pajak Penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan yang dilakukan Orang Pribadi). Sebaliknya, jika imbalan dibayarkan kepada Badan Usaha (seperti PT, CV, atau bentuk usaha tetap lainnya), maka yang terutang adalah PPh Pasal 23 (Pajak Penghasilan atas modal, penyerahan jasa, atau penyelenggaraan kegiatan selain yang telah dipotong PPh Pasal 21). Area ini adalah rawan kesalahan dan memerlukan pemeriksaan cermat atas dokumen kontrak dan identitas Wajib Pajak. Mengingat otoritas pajak secara ketat menilai kewajiban pemotongan berdasarkan substansi, pemahaman ini sangat penting untuk membangun kepercayaan dan otoritas perusahaan di mata regulator.
Sebagai contoh nyata yang menunjukkan pentingnya klasifikasi yang tepat, sebuah perusahaan start-up teknologi (PT. Sinar Digital) pernah menghadapi koreksi pajak yang signifikan pada tahun 2022. Mereka membayarkan jasa pengembangan software kepada seorang konsultan individu (Bpk. Andi) dan memotong PPh 23 dengan asumsi Bpk. Andi adalah penyedia jasa seperti badan usaha. Setelah audit, otoritas pajak menegaskan bahwa Bpk. Andi adalah Wajib Pajak Orang Pribadi yang memberikan jasa keahlian, sehingga seharusnya dikenakan PPh 21. Kesalahan klasifikasi ini mengakibatkan koreksi dan kewajiban denda karena ketidakbenaran pemotongan dan pelaporan. Kejadian seperti ini menegaskan bahwa bahkan dengan niat baik, kekeliruan dalam klasifikasi subjek pajak dapat merusak kredibilitas pelaporan pajak Anda.
Dampak Tidak Adanya Keterpercayaan Pajak: Risiko Sanksi Administrasi dan Denda
Disiplin dalam melakukan pemotongan, penyetoran, dan pelaporan PPh Pasal 23 tepat waktu merupakan indikator utama dari keterpercayaan perusahaan terhadap aturan perpajakan. Gagal memenuhi kewajiban ini, bahkan karena kelalaian kecil, dapat memicu risiko serius.
Sanksi administrasi berupa denda dapat dikenakan sesuai dengan peraturan perpajakan yang berlaku. Jika perusahaan terlambat menyetor PPh 23 yang sudah dipotong, sanksi yang dikenakan adalah bunga sebesar tarif suku bunga acuan ditambah uplift factor yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dihitung dari tanggal jatuh tempo penyetoran hingga tanggal pembayaran. Selain itu, keterlambatan atau ketidakbenaran dalam pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPh 23 juga dapat memicu denda administrasi. Denda ini bukan hanya membebani keuangan perusahaan, tetapi juga dapat memicu pemeriksaan pajak lebih lanjut, yang berpotensi mengungkap ketidakpatuhan lain dan merusak reputasi keahlian perusahaan dalam mengelola kepatuhan pajak. Oleh karena itu, memastikan setiap transaksi jasa telah diverifikasi subjek dan objeknya, serta bukti potong telah dibuat dan dilaporkan tepat waktu, adalah tindakan pencegahan yang paling efektif.
Contoh Perhitungan PPh 23 untuk Transaksi Jasa Konsultan
Memahami teori PPh Pasal 23 adalah langkah awal, namun mengaplikasikannya dalam studi kasus nyata akan mengukuhkan pemahaman Anda, terutama dalam memastikan keakuratan pemotongan dan penyetoran. Bagian ini menyajikan dua skenario umum yang melibatkan pemotongan PPh 23 atas jasa konsultan.
Studi Kasus 1: Perusahaan Jasa dengan NPWP (Tarif Normal)
Asumsikan PT. Global Solusi (Pemberi Jasa) menyediakan layanan konsultasi manajemen kepada PT. Maju Bersama (Pembayar Jasa) dengan nilai kontrak sebesar Rp 50.000.000 (belum termasuk PPN). PT. Global Solusi telah melampirkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yang valid.
Berdasarkan peraturan yang berlaku, tarif PPh Pasal 23 untuk jasa konsultasi adalah 2% dari jumlah bruto nilai imbalan.
Perhitungan PPh Pasal 23: $$\text{PPh 23 Terutang} = \text{Tarif Normal} \times \text{Nilai Bruto Jasa}$$ $$\text{PPh 23 Terutang} = 2% \times \text{Rp 50.000.000}$$ $$\text{PPh 23 Terutang} = \text{Rp 1.000.000}$$
PT. Maju Bersama wajib memotong PPh 23 sebesar Rp 1.000.000 dari pembayaran total kepada PT. Global Solusi. Pembayaran bersih yang diterima PT. Global Solusi adalah Rp 49.000.000 (Rp 50.000.000 - Rp 1.000.000).
Studi Kasus 2: Perusahaan Jasa Tanpa NPWP (Tarif Lebih Tinggi)
Sekarang, asumsikan skenario yang sama, di mana PT. Global Solusi memberikan jasa konsultasi senilai Rp 50.000.000, tetapi gagal melampirkan NPWP yang valid atau memilih untuk tidak memiliki NPWP.
Dalam situasi ini, perusahaan jasa sebagai pembayar (PT. Maju Bersama) harus menerapkan tarif pemotongan yang 100% lebih tinggi dari tarif normal (Pasal 23 ayat 1a UU PPh). Dengan kata lain, tarif menjadi 4%. Ini menyoroti pentingnya verifikasi data dan kepemilikan NPWP bagi penyedia jasa.
Perhitungan PPh Pasal 23: $$\text{PPh 23 Terutang} = \text{Tarif Non-NPWP} \times \text{Nilai Bruto Jasa}$$ $$\text{PPh 23 Terutang} = 4% \times \text{Rp 50.000.000}$$ $$\text{PPh 23 Terutang} = \text{Rp 2.000.000}$$
Pembayaran bersih yang diterima PT. Global Solusi dalam kasus ini hanya Rp 48.000.000 (Rp 50.000.000 - Rp 2.000.000).
Perbandingan kedua skenario ini sangat krusial bagi PT. Maju Bersama (Pembayar Jasa) karena memengaruhi jumlah uang yang harus mereka bayarkan secara total kepada vendor dan jumlah pajak yang mereka setorkan.
| Keterangan | Studi Kasus 1 (Dengan NPWP) | Studi Kasus 2 (Tanpa NPWP) |
|---|---|---|
| Nilai Kontrak Jasa (DPP) | Rp 50.000.000 | Rp 50.000.000 |
| Tarif PPh 23 Dikenakan | 2% | 4% |
| PPh 23 Dipotong | Rp 1.000.000 | Rp 2.000.000 |
| Pembayaran Bersih ke Vendor | Rp 49.000.000 | Rp 48.000.000 |
| Total Biaya yang Dikeluarkan | Rp 50.000.000 | Rp 50.000.000 |
Meskipun total biaya yang dikeluarkan PT. Maju Bersama sama (Rp 50.000.000), skenario tanpa NPWP menghasilkan potongan pajak dua kali lipat, yang pada akhirnya mengurangi arus kas yang diterima penyedia jasa. Ini adalah alasan mengapa perusahaan yang terpercaya selalu mendesak para mitra bisnisnya untuk menyediakan NPWP.
Pertanyaan Populer Seputar PPh 23 Jasa yang Sering Diajukan
Q1. Apakah PPh 23 dapat dijadikan Kredit Pajak?
Ya, PPh Pasal 23 yang telah dipotong oleh pihak pembayar dapat dijadikan kredit pajak bagi Wajib Pajak Badan penerima penghasilan (penyedia jasa). Ini adalah poin krusial yang menunjukkan kompetensi dan otoritas dalam pengelolaan pajak. Sebagai Wajib Pajak yang menerima penghasilan jasa, jumlah PPh 23 yang telah dipotong ini dapat diperhitungkan sebagai pembayaran di muka atas Pajak Penghasilan Terutang di akhir tahun pajak. Secara sederhana, pajak yang sudah dipotong ini akan mengurangi PPh Badan yang harus Anda bayarkan. Agar klaim kredit pajak ini sah dan diakui oleh otoritas pajak, Anda wajib memiliki Bukti Potong PPh Pasal 23 yang valid dan lengkap.
Q2. Apa yang harus dilakukan jika Bukti Potong PPh 23 hilang?
Jika Bukti Potong PPh Pasal 23 hilang atau rusak, Anda tidak perlu panik, tetapi harus segera bertindak. Bukti potong adalah dokumen vital untuk klaim kredit pajak tahunan; tanpanya, klaim Anda berisiko ditolak, yang pada akhirnya dapat menyebabkan Anda membayar pajak dua kali (kurangnya keandalan dalam pencatatan). Langkah pertama dan paling penting adalah segera meminta salinan (fotokopi atau cetak ulang e-Bupot) kepada pihak pemotong pajak, yaitu perusahaan yang membayarkan jasa Anda. Berdasarkan pengalaman praktis dalam kepatuhan pajak, pihak pemotong wajib menyimpan arsip Bukti Potong (saat ini melalui aplikasi e-Bupot), dan mereka memiliki kewajiban untuk memberikannya kembali kepada Anda. Pastikan salinan tersebut dilegalisir oleh pihak pemotong sebagai pengganti bukti potong asli yang hilang.
Final Takeaways: Menguasai Kepatuhan PPh 23 di Tahun Ini
3 Langkah Aksi Penting untuk Kepatuhan PPh 23
Menguasai proses pemotongan PPh 23 yang dibayarkan oleh perusahaan jasa adalah kunci untuk menghindari denda dan sanksi. Kepatuhan terhadap PPh Pasal 23 yang sukses berpusat pada tiga pilar utama: akurasi klasifikasi jenis jasa, verifikasi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) mitra bisnis, dan kedisiplinan dalam pelaporan menggunakan e-Bupot secara bulanan. Menerapkan disiplin ini akan memastikan pencatatan transaksi yang benar dan membangun catatan kepatuhan yang kuat di mata Direktorat Jenderal Pajak.
Rekomendasi Alat Bantu Pajak dan Tindak Lanjut
Sebagai langkah tindak lanjut yang kritis, perusahaan Anda harus segera meninjau semua kontrak jasa yang sedang berjalan. Pastikan kesesuaian tarif PPh 23 yang berlaku, terutama terkait dengan perjanjian pembebanan pajak di antara kedua pihak. Verifikasi ini, yang dilakukan oleh staf akuntan berpengalaman, akan mengurangi risiko self-correction di kemudian hari. Untuk mempermudah proses ini, manfaatkan aplikasi perpajakan resmi (seperti e-Bupot dan e-Faktur) atau software akuntansi terintegrasi yang mampu mengotomatisasi perhitungan dan pembuatan Bukti Potong.