Pajak PPh 23: Hanya Jasa atau Total Biaya Event Organizer?
Memahami PPh 23 Event Organizer: Hanya Jasa atau Total Biaya?
Pertanyaan fundamental bagi setiap perusahaan yang menggunakan jasa Event Organizer (EO) adalah, apakah Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 dikenakan atas total biaya yang dibayarkan atau hanya pada komponen jasanya? Pemahaman yang akurat mengenai Dasar Pengenaan Pajak (DPP) ini sangat krusial untuk memastikan kepatuhan pajak yang optimal.
Definisi Cepat: Dasar Pengenaan PPh Pasal 23 Jasa EO
Berdasarkan peraturan perpajakan, PPh Pasal 23 secara spesifik hanya dikenakan pada nilai imbalan jasa (service fee) yang dibayarkan kepada Event Organizer (EO). Poin ini sangat penting: pemotongan PPh 23 tidak berlaku untuk total nilai kontrak, yang seringkali mencakup komponen penggantian biaya (reimbursement) yang dikeluarkan EO untuk pihak ketiga (misalnya, sewa venue, katering, atau honor artis).
Mengapa Pemotongan PPh 23 Penting untuk Kepatuhan Pajak
Memotong PPh 23 secara akurat bukan hanya masalah kepatuhan, tetapi juga mencerminkan tata kelola keuangan yang baik dan dapat dipercaya. Sebagai contoh, merujuk pada ketentuan yang ada, kepatuhan yang konsisten dalam pemisahan biaya menunjukkan profesionalisme dan mengurangi risiko sengketa saat audit. Artikel ini akan menguraikan dasar hukum dan metodologi praktis untuk memisahkan biaya-biaya tersebut, memastikan perusahaan Anda memotong PPh 23 secara akurat, patuh, dan transparan.
Prinsip Dasar: Batasan Objek PPh Pasal 23 Jasa Event Organizer
Memisahkan Jasa Inti dan Biaya Reimbursement (Out-of-Pocket Expenses)
Kunci utama dalam menentukan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) untuk Pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 atas jasa Event Organizer (EO) terletak pada pemisahan yang jelas antara nilai imbalan yang benar-benar merupakan jasa inti dan biaya penggantian atau reimbursement (out-of-pocket expenses) yang dikeluarkan EO untuk pihak ketiga. Berdasarkan prinsip perpajakan, objek pemotongan PPh 23 untuk EO adalah nilai imbalan yang merupakan fee manajemen, imbalan jasa konsultasi, atau biaya penyelenggaraan acara itu sendiri. Biaya yang dikeluarkan EO untuk disalurkan kepada vendor lain, seperti sewa tempat, katering, atau pembayaran artis, tidak seharusnya menjadi objek PPh 23 karena biaya tersebut sudah dikenakan pajak di tingkat vendor yang bersangkutan (misalnya PPh Final untuk sewa atau PPh 21 untuk honorarium artis).
Ketentuan ini diperkuat untuk membangun otoritas dan kredibilitas informasi, dengan merujuk pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 141/PMK.03/2015 yang secara spesifik mengatur jenis-jenis jasa yang dikenakan PPh Pasal 23. Regulasi ini, serta berbagai Surat Penegasan dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP), secara konsisten menegaskan bahwa DPP PPh 23 hanya dikenakan atas nilai imbalan jasa (komponen fee atau margin) dan bukan atas keseluruhan nilai kontrak, asalkan pemisahan biaya tersebut didukung oleh dokumentasi yang memadai, seperti faktur terperinci.
Kriteria Jasa Event Organizer yang Wajib Dipotong PPh 23
Pemotongan PPh Pasal 23 merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh pihak pembayar (pengguna jasa EO) apabila perusahaan tersebut merupakan Wajib Pajak Badan atau bentuk usaha tetap. Kriteria jasa EO yang wajib dipotong PPh 23 adalah segala bentuk imbalan yang terkait langsung dengan jasa manajemen acara, perencanaan, koordinasi, dan pelaksanaan teknis acara yang dilakukan oleh EO.
Adapun tarif pemotongan PPh 23 adalah sebesar 2% dari jumlah bruto nilai imbalan jasa, asalkan pihak EO memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Jika EO tidak dapat menunjukkan NPWP, tarif yang dikenakan akan lebih tinggi, yaitu 4% (100% lebih tinggi dari tarif normal). Kewajiban pemotongan ini timbul pada saat terjadi pembayaran, saat terutang (dicatat sebagai utang), atau saat disediakannya dana untuk pembayaran, tergantung mana yang terjadi lebih dahulu. Kepatuhan terhadap saat terutang ini penting untuk menghindari sanksi administrasi di kemudian hari.
Tantangan dan Solusi Dokumentasi: Membedakan Invoice Jasa dan Non-Jasa
Salah satu area kepatuhan perpajakan yang paling sering menimbulkan sengketa adalah pada tahap dokumentasi, khususnya format invoice (faktur penagihan) yang diterima dari Event Organizer (EO). Kepatuhan yang baik sangat bergantung pada kejernihan pemisahan antara komponen imbalan jasa dan biaya penggantian (reimbursement).
Format Invoice yang Tepat: Pentingnya Break Down Biaya
Untuk memastikan bahwa perusahaan hanya membayar PPh Pasal 23 atas imbalan jasa EO dan tidak atas total biaya, langkah krusial yang harus dilakukan adalah meminta invoice yang terperinci. Invoice tersebut harus secara eksplisit memisahkan dua komponen utama: ‘Biaya Jasa EO’ atau management fee (yang merupakan Dasar Pengenaan Pajak/DPP PPh 23) dari ‘Biaya Reimbursement’ atau out-of-pocket expenses. Biaya reimbursement ini mencakup pengeluaran yang sebenarnya dibayarkan EO kepada pihak ketiga, seperti biaya sewa tempat, katering, talent atau artis, dan dekorasi. Dengan adanya rincian ini, perusahaan pembayar dapat dengan mudah mengidentifikasi nilai yang tepat untuk dipotong PPh 23.
| Kriteria | Invoice yang Benar (Sesuai Praktik Kepatuhan) | Invoice yang Salah (Berisiko Audit) |
|---|---|---|
| Rincian Biaya | Terpisah dan detail (misalnya, Jasa Manajemen, Sewa Alat, Katering) | Hanya mencantumkan ‘Biaya Penyelenggaraan Acara’ atau ‘Total Kontrak’ |
| DPP PPh 23 | Jelas mengacu hanya pada nilai ‘Jasa Manajemen’ atau ‘Fee EO’ | Berpotensi mengacu pada total nilai kontrak |
| Kepatuhan | Memudahkan pemotongan PPh 23 secara akurat dan membuktikan transparansi biaya | Berisiko dikenakan pemotongan PPh 23 atas keseluruhan nilai oleh Auditor Pajak |
Berdasarkan praktik terbaik yang direkomendasikan oleh akuntan pajak, format invoice yang terperinci tidak hanya membantu perusahaan dalam kepatuhan, tetapi juga memberikan transparansi kepada otoritas pajak, menunjukkan bahwa pemotongan pajak telah dilakukan hanya pada bagian yang seharusnya menjadi objek pemotongan.
Implikasi Jika Biaya Jasa dan Non-Jasa Tidak Dipisahkan
Jika total nilai kontrak dibayar berdasarkan invoice yang tidak mencantumkan rincian yang jelas, perusahaan pembayar berisiko tinggi. Sesuai dengan prinsip kepatuhan perpajakan yang menekankan akuntabilitas dan dokumentasi yang memadai, jika tidak ada pemisahan yang eksplisit, perusahaan dapat diwajibkan untuk memotong PPh Pasal 23 atas seluruh jumlah yang dibayarkan kepada EO. Hal ini terjadi karena, dalam ketiadaan bukti pendukung yang kuat, otoritas pajak dapat menginterpretasikan seluruh pembayaran sebagai imbalan jasa yang diterima oleh EO.
Konsekuensi dari pemotongan atas total nilai kontrak ini adalah terjadinya kelebihan pemotongan PPh 23. Secara praktis, ini berarti perusahaan telah menahan lebih banyak uang dari EO daripada yang seharusnya. Meskipun kelebihan potong ini dapat diklaim kembali oleh EO melalui mekanisme restitusi atau kompensasi pajak, prosesnya rumit dan memakan waktu, sehingga jauh lebih efisien untuk melakukan pemotongan yang benar sejak awal. Kegagalan melakukan pemotongan yang benar, atau kelebihan/kekurangan pemotongan, merupakan celah yang sering ditinjau dalam pemeriksaan pajak (audit), yang berujung pada sanksi administrasi.
Menghindari Risiko Audit: Strategi Kepatuhan untuk Pemotongan PPh 23
Kepatuhan yang ketat dalam pemotongan PPh Pasal 23 adalah garis pertahanan pertama perusahaan Anda melawan potensi sanksi dan audit pajak. Mengingat bahwa otoritas pajak semakin cermat meninjau transaksi jasa, khususnya jasa Event Organizer (EO) yang sering melibatkan komponen biaya reimbursement, memiliki dokumentasi yang kuat dan prosedur yang jelas adalah kunci.
Peran Kontrak Kerja Sama: Menetapkan Definisi ‘Jasa’ di Awal
Untuk memastikan perusahaan hanya membayar PPh 23 atas imbalan jasa dan bukan atas total biaya EO, kejelasan harus dimulai dari tahap kontrak. Kontrak kerja sama yang solid berfungsi sebagai landasan hukum yang mendefinisikan secara eksplisit dan tidak ambigu biaya apa saja yang termasuk dalam “Fee Jasa” yang menjadi objek pemotongan PPh 23 (sebesar 2% untuk yang ber-NPWP) dan biaya apa yang dikategorikan sebagai “Biaya Penggantian” (reimbursement). Biaya penggantian, seperti biaya sewa tempat, katering, atau pembayaran ke artis, adalah biaya yang dikeluarkan EO untuk pihak ketiga dan ditagihkan kembali kepada pengguna jasa. Dengan mengidentifikasi sejak awal dalam kontrak bahwa reimbursement bukanlah imbalan jasa yang diberikan oleh EO, perusahaan dapat memitigasi risiko disalahkannya Dasar Pengenaan Pajak (DPP) pemotongan. Ini adalah praktik terbaik yang selalu ditekankan oleh para ahli kepatuhan pajak.
Bukti Potong PPh 23: Prosedur Penerbitan dan Pelaporan yang Akurat
Setelah pemotongan dilakukan dengan dasar yang benar (hanya atas fee jasa), langkah berikutnya adalah penerbitan Bukti Potong PPh 23 yang akurat. Bukti potong ini harus diterbitkan untuk setiap transaksi di mana perusahaan, sebagai pemotong pajak, wajib melakukan pemotongan. Pelaporan wajib dilakukan melalui sistem e-Bupot, yang merupakan platform elektronik yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk pembuatan, penyerahan, dan pelaporan bukti potong PPh Pasal 23/26. Kegagalan dalam menerbitkan atau melaporkan bukti potong secara tepat waktu dapat dikenakan sanksi administrasi.
Selain itu, jika perusahaan menyadari telah terjadi kesalahan pemotongan PPh 23 di masa lalu—misalnya, terlanjur memotong atas total nilai kontrak alih-alih hanya atas fee jasa—perusahaan memiliki prosedur untuk melakukan ‘Self-Correction’ atau Pembetulan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPh 23. Berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), pembetulan ini dapat menghindari sanksi administrasi berupa denda dan bunga jika dilakukan sebelum DJP melakukan pemeriksaan. Namun, jika kesalahan ditemukan oleh DJP, perusahaan akan dikenakan Surat Tagihan Pajak (STP) yang mencakup kekurangan pajak terutang, sanksi bunga, dan denda. Oleh karena itu, konsistensi antara kontrak, breakdown biaya dalam invoice, dan pelaporan melalui e-Bupot adalah strategi paling efektif untuk menjamin kepatuhan dan menghindari risiko audit yang mahal.
Korelasi dengan PPN dan Implikasi Keberadaan Faktur Pajak
Memahami perbedaan antara Dasar Pengenaan Pajak (DPP) untuk PPh Pasal 23 dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah langkah krusial untuk memastikan perusahaan Anda tidak melakukan pemotongan atau pemungutan pajak secara keliru terhadap Event Organizer (EO). Meskipun kedua pajak ini seringkali muncul dalam satu transaksi, dasar pengenaan dan objeknya memiliki definisi yang berbeda dalam peraturan perpajakan Indonesia.
Apakah DPP PPh 23 Sama dengan DPP PPN? Memahami Perbedaan
Seringkali terjadi kesalahpahaman bahwa Dasar Pengenaan Pajak (DPP) PPh 23—yang dikenakan hanya pada imbalan jasa—secara otomatis sama dengan DPP PPN. Faktanya, DPP PPh 23 belum tentu sama dengan DPP PPN. PPh Pasal 23 dikenakan hanya pada imbalan yang diterima EO sebagai service fee atau imbalan jasa, mengecualikan biaya penggantian (reimbursement).
Sebaliknya, PPN dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP). Dalam konteks kontrak EO, PPN seringkali dikenakan atas total nilai kontrak, terutama jika EO tidak dapat memisahkan secara eksplisit antara jasa inti dan biaya pihak ketiga, atau jika EO melakukan markup atas biaya pihak ketiga. Dengan demikian, sementara PPh 23 fokus pada jasa murni, PPN memiliki cakupan yang lebih luas yang dapat mencakup total biaya kontrak.
Untuk menggarisbawahi kompleksitas kepatuhan simultan, tarif PPh Pasal 23 adalah 2% dari imbalan jasa (berdasarkan UU PPh), sedangkan tarif PPN adalah 11% dari DPP PPN (berdasarkan UU PPN). Perbedaan objek, tarif, dan dasar hukum ini menuntut ketelitian dalam memproses setiap invoice EO agar pemotongan dan pemungutan pajak dapat dilakukan secara benar, membantu perusahaan membangun reputasi kepatuhan pajak yang teruji.
Perlakuan Perpajakan untuk Vendor Pihak Ketiga (Sewa Tempat, Artis)
Dalam penyelenggaraan event, EO sering bertindak sebagai perantara, menalangi pembayaran untuk vendor pihak ketiga, seperti sewa gedung, katering, atau honor artis. Biaya-biaya ini, saat ditagihkan kembali (di-reimburse) kepada perusahaan pengguna jasa, memerlukan perlakuan perpajakan yang cermat.
Biaya yang di-reimburse oleh EO kepada perusahaan (seperti biaya sewa gedung) pada dasarnya adalah biaya yang dikeluarkan EO atas nama perusahaan pengguna jasa. Biaya ini seharusnya telah dikenakan PPN oleh vendor aslinya (misalnya, pemilik gedung atau perusahaan katering), jika vendor tersebut adalah Pengusaha Kena Pajak (PKP). Oleh karena itu, pada saat EO menagih kembali biaya tersebut kepada perusahaan Anda, penagihan biaya reimbursement ini tidak seharusnya dikenakan PPN lagi oleh EO, kecuali jika EO telah melakukan markup atau menagihkan biaya tambahan di atas biaya asli.
Yang terpenting, biaya reimbursement yang ditagihkan kembali oleh EO kepada perusahaan pengguna jasa tidak termasuk dalam objek pemotongan PPh Pasal 23. PPh 23 hanya dikenakan pada imbalan jasa yang menjadi hak EO. Perusahaan harus memastikan bahwa setiap biaya yang di-reimburse didukung oleh bukti pendukung (seperti faktur pajak atau invoice asli dari vendor pihak ketiga) untuk membuktikan bahwa biaya tersebut adalah biaya penggantian, bukan komponen dari service fee EO.
Studi Kasus Khusus: Situasi Khas yang Mempengaruhi Dasar Pengenaan Pajak
Memahami prinsip dasar pemisahan biaya jasa dan reimbursement adalah kunci, namun terdapat beberapa skenario khusus yang sering membingungkan dan memerlukan ketelitian dalam penentuan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) PPh 23. Perusahaan harus waspada terhadap praktik bisnis EO yang tidak standar.
Kasus EO yang Bertindak Sebagai Distributor (Markup Biaya)
Salah satu area abu-abu adalah ketika Event Organizer (EO) tidak hanya menagih biaya murni reimbursement dari vendor pihak ketiga (seperti katering, penyewaan properti, atau pengisi acara), tetapi juga melakukan markup—menaikkan harga—sebelum menagihnya kembali kepada perusahaan pengguna jasa. Jika EO melakukan markup atas biaya pihak ketiga, selisih markup tersebut secara esensial dianggap sebagai imbalan jasa atau fee tersembunyi. Konsekuensinya, selisih markup ini wajib dikenakan pemotongan PPh 23 sebesar 2%.
Peraturan perpajakan menekankan transparansi biaya. Dalam berbagai penegasan dan putusan pengadilan pajak, prinsipnya adalah bahwa semua bentuk imbalan yang diterima sehubungan dengan jasa harus menjadi objek PPh 23. Untuk memastikan kepatuhan dan menghindari sengketa, perusahaan harus meminta perincian yang membedakan biaya pokok (sesuai invoice vendor asli) dan markup yang diterapkan oleh EO. Ketidakjelasan mengenai markup ini dapat memicu DJP untuk meninjau kembali Dasar Pengenaan Pajak yang digunakan, berpotensi mengenakan PPh 23 atas keseluruhan biaya yang ditagihkan. Misalnya, Putusan Pengadilan Pajak sering kali berfokus pada substansi ekonomi transaksi: jika EO menanggung risiko atau mengambil keuntungan dari selisih harga, selisih itu diinterpretasikan sebagai imbalan.
Perlakuan PPh 23 Atas Jasa di Luar Negeri (Cross-Border Transaction)
Ketika perusahaan Indonesia menggunakan jasa Event Organizer yang merupakan subjek pajak luar negeri (yaitu, entitas yang didirikan di luar Indonesia), aturan perpajakan yang berlaku bergeser dari PPh Pasal 23 menjadi PPh Pasal 26. PPh Pasal 26 dikenakan atas penghasilan yang bersumber dari Indonesia yang diterima oleh Wajib Pajak luar negeri.
Tarif PPh Pasal 26 pada umumnya adalah 20% dari penghasilan bruto, kecuali jika terdapat Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) atau Tax Treaty antara Indonesia dan negara domisili EO tersebut. Jika ada P3B yang berlaku, tarif pemotongan dapat berkurang, seringkali menjadi 10% atau bahkan 0%, tergantung pada pasal spesifik P3B yang mengatur jasa profesional atau jasa teknik.
Oleh karena itu, jika perusahaan membayar jasa EO luar negeri, langkah-langkah kepatuhan yang harus dilakukan adalah:
- Mengidentifikasi P3B: Pastikan apakah ada P3B yang berlaku dan cari tahu tarif yang disepakati untuk jasa tersebut.
- Penyediaan Domicile Certificate (SKD): EO luar negeri harus menyediakan Surat Keterangan Domisili (SKD) atau Certificate of Residence yang disahkan oleh otoritas pajak negaranya, sebagai syarat untuk mendapatkan fasilitas tarif P3B. Tanpa SKD yang valid, tarif standar 20% PPh Pasal 26 wajib dikenakan.
Prosedur ini sangat penting, karena kesalahan dalam pemotongan pajak lintas batas dapat mengakibatkan sanksi administrasi yang signifikan dan kewajiban pajak terutang yang besar bagi perusahaan Indonesia sebagai pihak pemotong.
Pertanyaan Populer: PPh 23, Jasa EO, dan Kepatuhan Perpajakan
Q1. Apakah PPh 23 berlaku untuk jasa EO non-PKP?
Banyak yang berasumsi bahwa kewajiban perpajakan hanya berlaku antara Pengusaha Kena Pajak (PKP), namun faktanya, kewajiban pemotongan PPh Pasal 23 tidak bergantung pada status PKP (Pengusaha Kena Pajak) dari Event Organizer (EO) sebagai penerima penghasilan. Kewajiban ini semata-mata didasarkan pada jenis jasa yang diserahkan dan kategori penghasilan yang dibayarkan. Selama jasa penyelenggaraan acara (Event Organizer) termasuk dalam daftar jasa yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) sebagai objek PPh 23, maka perusahaan sebagai pihak yang membayar wajib melakukan pemotongan, terlepas dari apakah EO tersebut berstatus non-PKP atau PKP. Ini adalah poin penting yang harus dipahami oleh setiap bendahara dan bagian keuangan, menunjukkan bahwa kompetensi pajak perusahaan harus mencakup pemahaman objek pemotongan.
Q2. Bagaimana cara mengklaim kembali PPh 23 yang terlanjur dipotong atas total EO?
Kesalahan pemotongan PPh 23 atas total nilai kontrak (bukan hanya service fee) adalah risiko umum dari faktur yang tidak terperinci. Jika ini terjadi, Event Organizer (EO) yang kelebihan dipotong memiliki hak untuk mengklaim kembali kelebihan bayar tersebut melalui proses restitusi atau kompensasi pajak. Namun, proses ini dikenal rumit, memakan waktu, dan melibatkan audit pajak. Berdasarkan pengalaman praktisi, jalur yang paling efisien adalah menghindari kelebihan pemotongan sejak awal melalui format invoice yang benar dan terperinci. Jika sudah terlanjur, EO harus melaporkan kelebihan potong tersebut dalam SPT Tahunan PPh mereka. Kesulitan birokrasi dan lamanya proses ini menjadi alasan kuat mengapa perusahaan pembayar harus memastikan pemotongan PPh 23 dilakukan dengan akurat, yakni hanya atas imbalan jasa.
Q3. Apa sanksi jika perusahaan lupa memotong PPh 23 atau salah hitung?
Kelalaian dalam pemotongan, penyetoran, atau pelaporan PPh Pasal 23 dapat memicu sanksi administrasi yang signifikan. Jika perusahaan sebagai pemotong pajak lupa memotong atau melakukan kesalahan hitung, perusahaan dapat dikenakan sanksi denda dan bunga berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP). Denda ini seringkali berupa bunga sebesar tarif yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan per bulan dari kekurangan pajak yang terutang, dihitung sejak saat terutangnya pajak sampai saat pembayaran dilakukan. Memiliki prosedur internal yang terstandardisasi dan didukung oleh konsultan pajak berpengalaman sangat penting untuk memitigasi risiko ini, menunjukkan praktik kepatuhan yang bertanggung jawab dan kredibel di mata otoritas pajak.
Kesimpulan Akhir: Memastikan Kepatuhan PPh 23 di Era Digital
Mengakhiri pembahasan ini, dapat disimpulkan bahwa dalam transaksi dengan Event Organizer (EO), fokus perpajakan Anda harus tegas pada prinsip pemisahan imbalan. Kewajiban pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 hanya berlaku atas nilai imbalan jasa (service fee, management fee, atau honorarium) yang dibayarkan kepada EO, bukan atas total biaya kontrak yang mencakup reimbursement (penggantian biaya) pihak ketiga. Pemahaman dan penerapan prinsip ini adalah kunci untuk memegang kendali atas akurasi pelaporan pajak perusahaan Anda.
Tiga Langkah Aksi Kunci untuk Pemotongan PPh 23 yang Benar
Untuk memastikan perusahaan Anda memenuhi standar otoritas dan kepercayaan dalam kepatuhan pajak, ada tiga langkah kunci yang harus segera diimplementasikan:
- Pastikan Rincian Invoice Jelas: Wajibkan setiap EO menyediakan invoice yang secara eksplisit memisahkan ‘Biaya Jasa EO’ (yang menjadi Dasar Pengenaan PPh 23) dari ‘Biaya Penggantian’ (yang tidak dikenakan PPh 23).
- Pisahkan Fee dari Reimbursement: Selalu lakukan pemotongan PPh 23 sebesar 2% hanya pada komponen jasa. Abaikan biaya penggantian seperti sewa tempat, akomodasi, atau katering, asalkan biaya tersebut telah didukung oleh bukti transaksi yang valid kepada pihak ketiga.
- Terbitkan e-Bupot Secara Akurat: Setelah pemotongan dilakukan, segera terbitkan Bukti Potong PPh 23 melalui sistem e-Bupot. Prosedur ini tidak hanya memastikan kepatuhan pelaporan Anda tetapi juga memberikan bukti yang diperlukan kepada EO untuk kredit pajak mereka.
Langkah Selanjutnya: Audit Kepatuhan Internal Anda
Segera tinjau kembali format invoice dan kontrak kerja sama yang telah atau akan Anda lakukan dengan semua vendor Event Organizer. Periksa apakah dokumen-dokumen tersebut telah secara jelas mendefinisikan biaya mana yang termasuk ‘Fee Jasa’ dan biaya mana yang diklasifikasikan sebagai ‘Biaya Penggantian’. Melakukan audit internal atas prosedur PPh 23 ini dapat secara signifikan mengurangi potensi risiko sengketa pajak, sanksi administrasi berupa denda, atau kurang bayar yang mungkin timbul di masa mendatang.