Potongan PPh 21 Jasa > 100 Juta: Panduan Lengkap & Tarif
Memahami Potongan PPh 21 untuk Pembayaran Jasa di Atas Rp 100 Juta
Ketika sebuah entitas bisnis atau individu membayar jasa profesional, seperti konsultan, pengacara, atau akuntan, terdapat kewajiban pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21. Peraturan ini menjadi semakin penting dan kompleks ketika total pembayaran jasa yang diterima oleh profesional tersebut dalam satu tahun pajak melampaui batas tertentu. Memahami skema potongan PPh 21, terutama untuk pembayaran yang nilainya di atas Rp 100 juta setahun, sangat krusial untuk memastikan kepatuhan pajak yang optimal.
Definisi dan Tarif PPh 21 Jasa Profesional di Atas Batas Penghasilan
Potongan PPh 21 untuk jasa profesional yang menerima pembayaran di atas Rp 100 juta setahun dihitung menggunakan tarif progresif PPh Pasal 17 atau tarif efektif rata-rata, tergantung pada status Wajib Pajak (WP) dan skema perhitungan yang digunakan (Norma Penghitungan Penghasilan Neto/NPPN atau pembukuan). Untuk WP Orang Pribadi yang memilih menggunakan pembukuan, penghitungan PPh 21 didasarkan pada Penghasilan Kena Pajak (PKP) setelah dikurangi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Jika WP menggunakan NPPN, perhitungan PKP menggunakan persentase Norma yang berlaku dikurangi PTKP. Oleh karena itu, besaran potongan pajak akan meningkat secara progresif seiring dengan peningkatan penghasilan.
Mengapa Pemahaman Pajak yang Benar Itu Penting untuk Kredibilitas Bisnis
Kepatuhan pajak yang ketat bukan hanya kewajiban hukum, tetapi juga pilar penting untuk membangun otoritas dan kepercayaan (sebuah prinsip inti yang diakui oleh otoritas perpajakan) di mata klien, regulator, dan Direktur Jenderal Pajak (DJP). Kegagalan dalam menghitung dan menyetor PPh 21 dengan benar dapat memicu pemeriksaan pajak, denda administratif, dan merusak citra bisnis Anda. Artikel ini memberikan panduan langkah demi langkah yang jelas dan diverifikasi untuk memastikan perhitungan dan pelaporan PPh 21 atas jasa profesional Anda akurat, tepat waktu, dan patuh terhadap peraturan perpajakan terbaru di Indonesia.
Perbedaan Skema Potongan PPh 21 Jasa Profesional: Di Bawah dan Di Atas Rp 100 Juta
Sistem perpajakan di Indonesia, khususnya untuk Pajak Penghasilan Pasal 21 (PPh 21) bagi Wajib Pajak Orang Pribadi (WPOP) yang menyediakan jasa profesional, mengenal adanya batasan tertentu yang menentukan skema perhitungan pajak. Batasan total penghasilan bruto sebesar Rp 100 juta setahun seringkali menjadi titik krusial yang membedakan metode penghitungan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) terutang. Bagi penyedia jasa profesional dengan penghasilan melampaui ambang batas ini, perhitungan PPh 21 menjadi lebih kompleks karena perubahan dalam penentuan penghasilan neto.
Skema Perhitungan PPh 21 Menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN)
Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN) adalah metode penyederhanaan yang memungkinkan WPOP menghitung penghasilan neto dengan mengalikan persentase tertentu dengan penghasilan bruto, tanpa perlu melakukan pembukuan penuh. Batasan Rp 100 juta sangat relevan di sini. WPOP yang bergerak dalam bidang jasa atau kegiatan usaha dan memiliki omzet bruto setahun di bawah Rp 4,8 miliar (dulu Rp 100 juta sering disalahpahami sebagai batas NPPN) dapat menggunakan NPPN. Namun, sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ/2016, pemotong PPh 21 (pemberi jasa) wajib menghitung PPh 21 atas penghasilan bruto yang dibayarkan kepada profesional. Yang membedakan adalah pada saat pelaporan SPT Tahunan oleh WPOP penerima jasa.
Untuk WPOP yang menerima pembayaran jasa profesional, ketersediaan dan penggunaan NPPN (saat omzet di bawah Rp 4,8 Miliar) akan secara signifikan memengaruhi Penghasilan Kena Pajak (PKP) mereka. Penetapan persentase NPPN bervariasi tergantung jenis jasa dan zona domisili, namun secara umum, profesional wajib memberitahukan kepada DJP dalam tiga bulan pertama tahun pajak untuk dapat menggunakannya.
Jenis-jenis jasa profesional yang wajib dipotong PPh 21, berdasarkan PER-16/PJ/2016, meliputi namun tidak terbatas pada:
- Tenaga ahli, seperti pengacara, notaris, akuntan, penilai, dan konsultan.
- Pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang iklan.
- Penceramah, moderator, penyuluh, dan pengajar.
- Agen iklan.
Tarif Progresif PPh Pasal 17 untuk Penghasilan Kena Pajak di Atas Batas Tertentu
Setelah Penghasilan Neto (baik dihitung melalui NPPN atau pembukuan) dikurangi dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), akan diperoleh Penghasilan Kena Pajak (PKP). Untuk WPOP yang menerima pembayaran jasa yang akumulasinya di atas Rp 100 juta per tahun, sangat mungkin PKP mereka telah melampaui lapisan tarif terendah.
PPh 21 terutang dihitung menggunakan tarif progresif PPh Pasal 17 Undang-Undang PPh. Lapisan tarif ini wajib diterapkan oleh pemotong PPh 21 pada saat pembayaran kepada profesional. Lapisan tarif progresif PPh Pasal 17 sesuai dengan regulasi terbaru (UU HPP) adalah sebagai berikut:
| Lapisan Penghasilan Kena Pajak (PKP) | Tarif Pajak |
|---|---|
| Sampai dengan Rp 60.000.000 | 5% |
| Di atas Rp 60.000.000 sampai dengan Rp 250.000.000 | 15% |
| Di atas Rp 250.000.000 sampai dengan Rp 500.000.000 | 25% |
| Di atas Rp 500.000.000 sampai dengan Rp 5.000.000.000 | 30% |
| Di atas Rp 5.000.000.000 | 35% |
Ketepatan perhitungan menggunakan lapisan tarif ini sangat penting untuk memastikan kepatuhan. Pemberi kerja atau pemotong wajib memahami bahwa tarif ini bersifat kumulatif dan diterapkan atas akumulasi penghasilan dalam satu tahun pajak.
Langkah-Langkah Praktis Menghitung PPh 21 atas Jasa Profesional (> Rp 100 Juta)
Menghitung Pajak Penghasilan Pasal 21 (PPh 21) untuk Wajib Pajak Orang Pribadi yang menerima pembayaran jasa profesional di atas batas Rp 100 juta memerlukan kejelian dalam menentukan dasar pengenaan dan menerapkan tarif yang berlaku. Keakuratan dalam perhitungan ini sangat penting untuk kepatuhan dan menghindari sanksi.
Menentukan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) yang Tepat: Bruto vs. Neto
Dasar Pengenaan Pajak (DPP) yang digunakan untuk menghitung PPh 21 jasa profesional adalah Penghasilan Kena Pajak (PKP). Untuk wajib pajak orang pribadi yang tidak menyelenggarakan pembukuan (atau belum memenuhi syarat untuk itu), PKP dihitung dari Penghasilan Neto.
Penghasilan Neto diperoleh dengan mengalikan penghasilan bruto (nilai pembayaran jasa) dengan Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN). Penting untuk diketahui bahwa bagi profesional yang telah mencapai penghasilan bruto di atas batas tertentu (seringkali Rp 4,8 Miliar, meskipun NPPN tetap digunakan untuk perhitungan PPh 21 bulanan), perhitungan PKP akan melibatkan pengurangan dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).
Rumus utama untuk menghitung PPh 21 terutang adalah:
$$\text{PPh 21 Terutang} = \text{Tarif PPh Pasal 17} \times \text{Penghasilan Kena Pajak (PKP)}$$
Di mana PKP dihitung setelah dikurangi PTKP dan/atau NPPN (untuk kasus NPPN, PTKP hanya dikurangkan dari penghasilan neto tahunan sebelum penerapan tarif Pasal 17). Wajib pajak yang penghasilannya di atas Rp 100 juta per tahun umumnya tidak memenuhi kriteria untuk menggunakan tarif PPh Final 0,5% bagi UMKM, yang merupakan ketentuan khusus.
Menerapkan Tarif PPh 21 Progresif: Simulasi Kasus 150 Juta dan 500 Juta
Setelah menemukan PKP, langkah selanjutnya adalah menerapkan tarif progresif PPh Pasal 17. Penggunaan tarif progresif ini mencerminkan komitmen pemerintah pada sistem pajak yang berkeadilan dan transparan, sejalan dengan prinsip kepatuhan yang tinggi.
Berikut adalah ilustrasi perhitungan PPh 21 untuk dua skenario penghasilan berbeda, diverifikasi oleh konsultan pajak berlisensi, dengan asumsi Wajib Pajak Tidak Kawin dan Tanpa Tanggungan (TK/0), NPPN 50% untuk jasa konsultasi, dan PTKP TK/0 sebesar Rp 54.000.000.
| Keterangan | Skenario A: Penghasilan Bruto Rp 150.000.000 | Skenario B: Penghasilan Bruto Rp 500.000.000 |
|---|---|---|
| 1. Penghasilan Bruto (Setahun) | Rp 150.000.000 | Rp 500.000.000 |
| 2. Penghasilan Neto (NPPN 50%) | Rp 75.000.000 (150 juta $\times$ 50%) | Rp 250.000.000 (500 juta $\times$ 50%) |
| 3. Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP - TK/0) | (Rp 54.000.000) | (Rp 54.000.000) |
| 4. Penghasilan Kena Pajak (PKP) | Rp 21.000.000 (75 juta - 54 juta) | Rp 196.000.000 (250 juta - 54 juta) |
| 5. PPh 21 Terutang (Tarif Progresif) | ||
| Lapisan 1: 5% $\times$ Rp 21.000.000 | Rp 1.050.000 | 5% $\times$ Rp 60.000.000 |
| Lapisan 2: 15% $\times$ (PKP - Rp 60.000.000) | Rp 3.000.000 (5% batas) | |
| Total PPh 21 Terutang | Rp 1.050.000 | 15% $\times$ (Rp 196.000.000 - Rp 60.000.000) = Rp 20.400.000 |
| Total PPh 21 Setahun | Rp 1.050.000 | Rp 23.400.000 |
Perlu dicatat bahwa perhitungan PPh 21 setahun di atas akan dibagi per masa pajak atau diakumulasikan sesuai metode pemotongan yang diatur oleh Peraturan Direktur Jenderal Pajak (PER) terkait.
Studi Kasus: Perhitungan PPh 21 Atas Jasa Konsultasi Hukum Senilai Rp 120 Juta
Memahami teori perhitungan PPh 21 menjadi lebih jelas melalui studi kasus nyata. Skenario ini akan membantu memvisualisasikan bagaimana tarif progresif dan Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN) diterapkan pada Wajib Pajak Orang Pribadi yang memiliki penghasilan di atas batas Rp 100 juta per tahun.
Asumsi Status Wajib Pajak: Menikah, Dua Anak (K/2)
Kita akan menggunakan asumsi seorang Wajib Pajak Orang Pribadi (WPOP) yang berprofesi sebagai Konsultan Hukum yang menerima total penghasilan bruto sebesar Rp 120.000.000 dari satu pemberi kerja jasa dalam satu tahun pajak. Status pajaknya adalah K/2 (Kawin dengan dua tanggungan).
Detail Perhitungan Menggunakan Norma dan Tarif Progresif PPh 21
Perhitungan PPh 21 untuk WPOP yang menggunakan NPPN (karena penghasilan bruto di atas Rp 100 juta tapi masih di bawah batas pembukuan penuh) mengikuti langkah-langkah terstruktur, dimulai dari penghasilan neto hingga penerapan tarif progresif:
Langkah 1: Hitung Penghasilan Neto menggunakan persentase NPPN yang berlaku untuk jenis jasa tersebut di wilayah domisili (misalnya 50%).
Asumsikan Konsultan Hukum ini berdomisili di Jakarta, di mana persentase NPPN yang berlaku untuk jenis jasa konsultasi hukum (berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak) adalah 50% dari penghasilan bruto.
- Penghasilan Bruto Tahunan: Rp 120.000.000
- Penghasilan Neto (DPP): Rp 120.000.000 $\times$ 50% = Rp 60.000.000
Langkah 2: Hitung Penghasilan Kena Pajak (PKP)
Penghasilan Neto kemudian dikurangi dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) sesuai status Wajib Pajak. Status K/2 memiliki besaran PTKP:
- PTKP Wajib Pajak (TK/0): Rp 54.000.000
- Tambahan Kawin: Rp 4.500.000
- Tambahan 2 Tanggungan: (2 $\times$ Rp 4.500.000) = Rp 9.000.000
- Total PTKP (K/2): Rp 54.000.000 + Rp 4.500.000 + Rp 9.000.000 = Rp 67.500.000
Perhitungan PKP:
- Penghasilan Kena Pajak (PKP): Penghasilan Neto - PTKP
- PKP: Rp 60.000.000 - Rp 67.500.000 = (Rp 7.500.000)
Karena PKP bernilai negatif (kurang dari nol), ini menunjukkan bahwa Wajib Pajak tersebut tidak terutang PPh 21, dan tidak ada potongan PPh 21 yang harus dilakukan oleh pemberi jasa. Namun, penting untuk dicatat bahwa jika penghasilan bruto lebih tinggi, misalnya Rp 150.000.000, maka akan ada PPh 21 terutang yang dihitung menggunakan tarif progresif Pasal 17 (Lapisan 5%).
Perbedaan Perhitungan: PPh 21 vs. PPh 23
Mengenali kepada siapa pembayaran jasa dilakukan adalah kunci untuk menentukan jenis potongan pajak (bukti keahlian).
- PPh 21 (Orang Pribadi): PPh 21 dipotong atas penghasilan yang dibayarkan kepada Wajib Pajak Orang Pribadi (WPOP) seperti pengacara perorangan, notaris, atau akuntan publik. Dasar hukum dan perhitungan menggunakan skema PTKP dan tarif progresif seperti contoh di atas.
- PPh 23 (Badan Usaha): Jika pembayaran jasa konsultasi hukum senilai Rp 120 juta tersebut dibayarkan kepada Badan Usaha (seperti Firma Hukum PT atau CV), maka potongan yang berlaku adalah PPh Pasal 23. Tarif umumnya adalah 2% dari jumlah bruto (untuk jasa yang tidak memiliki NPWP dikenakan tarif 4%), tanpa mempertimbangkan NPPN atau PTKP.
Tips: Pastikan bukti potong PPh 21 (Form 1721-A1/A2) diterbitkan dengan benar dan tepat waktu sebagai bukti kredit pajak penerima jasa. Bukti potong ini sangat penting bagi Konsultan Hukum (penerima jasa) untuk mengurangi PPh terutangnya saat pelaporan SPT Tahunan. Tanpa bukti potong yang akurat, WPOP tidak dapat mengkreditkan pajak yang sudah dipotong.
Optimalisasi Kepatuhan Pajak dan Manajemen Reputasi Digital
Kepatuhan pajak bukan sekadar kewajiban hukum; ini adalah indikator utama yang membangun otoritas dan kepercayaan di mata Direktorat Jenderal Pajak (DJP), mitra bisnis, maupun klien Anda. Bagi para profesional yang menerima pembayaran jasa melebihi Rp 100 juta, ketelitian dalam administrasi PPh 21 menjadi fondasi untuk meminimalkan risiko audit yang merugikan. Pengelolaan kepatuhan pajak yang baik adalah cerminan dari manajemen bisnis yang profesional, yang secara langsung memengaruhi reputasi digital dan standing Anda di industri.
Pentingnya Pelaporan Tepat Waktu (SPT Masa dan Tahunan) untuk Reputasi
Pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPh 21 dan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi harus dipandang sebagai proses strategis, bukan hanya pekerjaan administratif. Keterlambatan atau ketidakakuratan pelaporan secara instan menurunkan tingkat kepercayaan di mata otoritas pajak. DJP memiliki sistem pengawasan yang canggih yang dapat dengan mudah mencocokkan data pelaporan PPh 21 dengan data transaksi yang dilaporkan oleh pihak lawan (misalnya, SPT PPN atau SPT Tahunan Badan pemotong).
Tepat waktu dalam penyampaian dan pembayaran SPT Masa PPh 21 dan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi menunjukkan keandalan Anda sebagai wajib pajak. Kegagalan untuk mematuhi tenggat waktu yang ditetapkan dapat memicu sanksi administrasi, seperti denda dan bunga yang dihitung berdasarkan tarif bunga per bulan. Ini adalah biaya yang tidak perlu dan dapat dihindari melalui jadwal pelaporan yang disiplin.
Menjaga Akurasi Dokumen Transaksi: Bukti Potong, Faktur, dan Kontrak Jasa
Tumpukan dokumen transaksi adalah lini pertahanan pertama Anda dalam menghadapi potensi pemeriksaan atau audit pajak. Untuk memastikan bahwa Anda selalu siap diaudit dan telah membangun tingkat keahlian dalam administrasi perpajakan yang tinggi, setiap elemen transaksi harus disimpan secara rapi dan akurat.
Checklist ‘Audit-Ready’ (Proses Proprietary)
- Kontrak Jasa/Perjanjian Kerja: Dokumen ini harus secara jelas mencantumkan nilai jasa bruto, ruang lingkup pekerjaan, dan ketentuan pembayaran.
- Faktur Penjualan: Faktur yang diterbitkan harus mencantumkan nilai dasar pengenaan pajak (DPP) yang sama dengan yang digunakan untuk perhitungan PPh 21, dan jika ada, PPN terutang.
- Bukti Potong PPh 21 (Formulir 1721-A1/A2): Ini adalah dokumen paling krusial. Pastikan setiap bukti potong yang Anda terima (atau yang Anda terbitkan, jika Anda adalah pemotong) telah mencantumkan NPWP yang benar, periode pajak, dan nilai PPh 21 yang dipotong sesuai dengan perhitungan yang sah.
- Rekening Koran/Bukti Transfer Bank: Dokumen ini berfungsi sebagai bukti pembayaran riil yang diterima.
Kami merekomendasikan semua wajib pajak, khususnya yang memiliki omset di atas Rp 100 juta, untuk mengadopsi proses digitalisasi dan pengarsipan yang memungkinkan dokumen PPh 21 dan transaksi jasa dapat diakses dan diverifikasi dengan cepat. Menurut ketentuan umum di Indonesia, semua catatan dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan, termasuk dokumen PPh 21, wajib disimpan setidaknya selama 10 tahun setelah berakhirnya masa pajak. Kepatuhan pada periode penyimpanan ini merupakan bukti nyata dari kepercayaan dan kesiapan Anda.
Penting untuk diingat bahwa kesalahan hitung PPh 21, baik kelebihan maupun kekurangan bayar, dapat berujung pada sanksi administrasi. Sanksi ini berupa denda atau bunga yang dihitung berdasarkan tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dan berlaku sejak tanggal jatuh tempo pembayaran hingga tanggal pembayaran dilakukan. Dengan memastikan semua dokumen akurat dan perhitungan benar sejak awal, Anda tidak hanya mematuhi undang-undang, tetapi juga melindungi laba bersih Anda dari kerugian finansial yang tidak terduga.
Pertanyaan Sering Diajukan Mengenai Potongan PPh 21 untuk Jasa Profesional
Q1. Apakah ‘di atas 100 juta’ merujuk pada per transaksi atau total akumulasi setahun?
Banyak wajib pajak menanyakan apakah batasan Rp 100 juta tersebut berlaku untuk setiap faktur pembayaran atau merupakan total pendapatan yang diterima. Secara umum, batasan PPh 21 ‘di atas 100 juta’ merujuk pada total penghasilan bruto yang diterima oleh Wajib Pajak Orang Pribadi (WPOP) dalam satu tahun pajak.
Batasan akumulasi ini krusial karena ia menjadi penentu utama skema perhitungan pajak yang harus digunakan oleh WPOP bersangkutan. Jika total penghasilan bruto dari pekerjaan bebas (seperti jasa profesional) selama setahun telah melampaui Rp 100 juta, wajib pajak tidak lagi secara otomatis dapat menggunakan skema Pajak Penghasilan (PPh) Final sebesar 0,5% untuk Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Sebaliknya, WPOP tersebut harus memilih antara menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN)—jika mengajukan permohonan—atau menyelenggarakan pembukuan lengkap. Pilihan skema ini akan sangat memengaruhi perhitungan Penghasilan Kena Pajak (PKP) dan tarif PPh Pasal 17 yang akan diterapkan. Ini merupakan praktik standar yang ditegaskan dalam regulasi perpajakan untuk memastikan keadilan dan kepatuhan dalam sistem pajak progresif.
Q2. Apa perbedaan utama antara PPh 21 dan PPh 23 untuk pembayaran jasa?
Memahami perbedaan antara PPh 21 dan PPh 23 sangat penting bagi perusahaan yang membayar jasa profesional untuk memastikan pemotongan pajak yang benar, yang pada gilirannya mencerminkan otoritas dan kredibilitas perusahaan dalam kepatuhan pajak.
Perbedaan mendasar antara kedua jenis pajak penghasilan ini terletak pada status hukum pihak yang menerima penghasilan atau jasa:
-
PPh Pasal 21 dipotong atas penghasilan yang dibayarkan kepada Orang Pribadi (Wajib Pajak Orang Pribadi/WPOP) yang melakukan pekerjaan bebas atau profesional. Contoh penerima PPh 21 termasuk pengacara, notaris, akuntan, arsitek, dan dokter yang bekerja secara independen. Pihak yang membayarkan jasa tersebut wajib memotong PPh 21 dan menyerahkannya ke kas negara.
-
PPh Pasal 23 dipotong atas penghasilan yang dibayarkan kepada Badan Usaha atau entitas (Wajib Pajak Badan) di Indonesia, atau Bentuk Usaha Tetap (BUT) terkait jasa tertentu. Ini mencakup pembayaran jasa manajemen, jasa konsultan, jasa teknik, jasa sewa selain tanah dan/atau bangunan, dan lainnya, sepanjang pembayaran tersebut ditujukan kepada entitas bisnis.
Kesalahan dalam menentukan jenis pemotongan (misalnya, memotong PPh 23 untuk jasa dari individu) dapat menyebabkan koreksi pajak, denda, dan masalah pelaporan di kemudian hari. Oleh karena itu, sebelum melakukan pembayaran jasa, perusahaan wajib memastikan status NPWP penerima jasa apakah merupakan NPWP Orang Pribadi atau NPWP Badan untuk menerapkan tarif dan jenis pajak yang benar. Hal ini mendukung kualitas dan ketepatan laporan keuangan yang diaudit, sebuah indikator penting dalam manajemen keuangan yang baik.
Poin Kunci: Memastikan Akurasi PPh 21 Pembayaran Jasa Tahun Ini
Rangkuman 3 Langkah Aksi Penting untuk Kepatuhan Pajak Jasa
Mengelola potongan PPh 21 untuk jasa profesional, terutama dengan nilai pembayaran di atas Rp 100 juta, membutuhkan ketelitian dan kepatuhan yang tinggi. Sebagai rangkuman, ada tiga langkah aksi yang harus Anda prioritaskan saat ini untuk menjaga integritas keuangan dan legalitas bisnis. Pertama, Fokus pada pengarsipan dan penentuan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) yang benar adalah kunci utama untuk menghindari koreksi dan sanksi dari DJP. Selalu pastikan Anda membedakan antara DPP bruto dan DPP neto (jika menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto/NPPN) sebelum menerapkan tarif progresif PPh Pasal 17. Kedua, segera periksa kembali bukti potong PPh 21 yang sudah diterbitkan di tahun berjalan dan pastikan sinkron dengan SPT Masa PPh 21 Anda. Ketidaksesuaian antara bukti potong yang diterima vendor dan yang dilaporkan oleh pemotong dapat memicu audit dan denda.
Tindakan Selanjutnya: Konsultasi dan Pengarsipan Digital
Untuk memastikan otoritas dan kepercayaan Anda dalam pengelolaan pajak, jangan ragu untuk melakukan konsultasi akhir tahun dengan konsultan pajak berlisensi, terutama sebelum pelaporan SPT Tahunan. Para ahli memiliki pengalaman mendalam dalam menafsirkan peraturan terbaru dan dapat memverifikasi bahwa perhitungan PPh 21 Anda, khususnya yang melibatkan batasan NPPN dan tarif progresif, sudah tepat. Selain itu, pastikan semua dokumen—mulai dari kontrak jasa, faktur, hingga bukti potong PPh 21 (Form 1721-A1/A2)—tersimpan secara digital dan terarsip rapi. Pengarsipan yang terstruktur adalah bukti komitmen Anda terhadap kepatuhan, sebuah praktik yang akan membantu Anda melewati pemeriksaan pajak dengan mudah.