Penyebab dan Konsekuensi Non-Penyediaan Jasa Lalu Lintas Pembayaran
Memahami Non-Penyediaan Jasa Lalu Lintas Pembayaran
Definisi Kunci: Apa Artinya ‘Tidak Memberikan Jasa Lalu Lintas Pembayaran’?
Non-penyediaan jasa lalu lintas pembayaran merujuk pada situasi krusial di mana Penyedia Jasa Pembayaran (PJP)—seperti bank, perusahaan uang elektronik, atau penyedia jasa switching—memutuskan untuk menolak, menahan, atau menghentikan secara permanen layanan dasar transfer dana, kliring, atau penyelesaian transaksi lainnya kepada seorang nasabah atau mitra. Tindakan ini merupakan diskresi yang diizinkan oleh otoritas regulasi dan bukan sekadar gangguan teknis; ini adalah penolakan layanan yang disengaja dan berlandaskan risiko.
Mengapa Pemahaman Regulasi Ini Penting untuk Bisnis Anda
Memahami dasar hukum dan operasional di balik penolakan layanan pembayaran sangat penting untuk menjamin kepercayaan, keahlian, otoritas, dan keberlanjutan bisnis. Bagi perusahaan yang bergantung pada transaksi digital dan aliran kas yang lancar, penolakan layanan dapat melumpuhkan operasional. Oleh karena itu, tujuan utama dari artikel ini adalah mengupas tuntas dasar hukum (terutama Regulasi Bank Indonesia), faktor risiko yang memicu penolakan, dan cara-cara praktis untuk mengatasi potensi de-risking guna memastikan kepatuhan regulasi dan kelancaran bisnis yang tak terputus.
Dasar Hukum Penolakan Layanan: Landasan Otoritas dan Regulasi
Ketika sebuah Penyedia Jasa Pembayaran (PJP) memutuskan untuk menolak atau menghentikan layanan lalu lintas pembayaran, keputusan tersebut tidak diambil secara sepihak, melainkan berdasarkan kerangka hukum dan regulasi yang ketat. Memahami landasan otoritas ini sangat krusial bagi bisnis untuk mempertahankan kepatuhan dan menghindari gangguan operasional.
Peran Bank Indonesia (BI) dalam Sistem Pembayaran dan Kewenangannya
Bank Indonesia (BI), sebagai otoritas moneter dan pengawas sistem pembayaran di Indonesia, memiliki peran sentral dalam menentukan batasan dan hak PJP. Otoritas perbankan ini, melalui regulasinya, secara eksplisit memberikan hak kepada Penyedia Jasa Pembayaran untuk menolak transaksi atau layanan yang terindikasi melanggar prinsip kehati-hatian, khususnya yang terkait dengan program Know Your Customer (KYC) atau Anti Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme (APU PPT).
Keputusan penolakan layanan ini secara langsung terkait dengan peraturan spesifik Bank Indonesia. Misalnya, hak PJP untuk menolak layanan diatur dengan jelas dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 23/24/PBI/2021 tentang Penyelenggaraan Transfer Dana. Peraturan ini, dan regulasi turunannya, menekankan pentingnya manajemen risiko dan integritas sistem pembayaran. Oleh karena itu, ketika PJP menolak layanan, mereka bertindak di bawah kerangka regulasi ini, menjadikan tindakan mereka sebagai bentuk ketaatan terhadap standar industri dan pencegahan kejahatan keuangan.
Kriteria ‘Wajar’ dan ‘Tidak Wajar’ dalam Penolakan Jasa Lalu Lintas Pembayaran
Penolakan jasa lalu lintas pembayaran dianggap ‘wajar’ apabila didasarkan pada temuan risiko kepatuhan (compliance risk) yang signifikan. Kriteria ini meliputi, namun tidak terbatas pada, kondisi di mana nasabah gagal menyediakan dokumen identifikasi yang lengkap dan valid, atau ketika terjadi aktivitas transaksi yang mencurigakan dan tidak sesuai dengan profil bisnis yang dilaporkan.
Tingginya risiko kepatuhan inilah yang sering menjadi alasan utama penolakan. Misalnya, sebuah PJP yang menerapkan standar tertinggi dalam integritas dan akuntabilitas (sering disebut sebagai kredibilitas dan keahlian teruji) akan menolak transaksi jika sumber dana tidak dapat diverifikasi secara transparan, atau jika jenis usaha nasabah dianggap rentan terhadap praktik pencucian uang (seperti bisnis yang melibatkan sejumlah besar uang tunai atau yurisdiksi berisiko tinggi).
Sebaliknya, penolakan yang ’tidak wajar’ dapat terjadi jika PJP bertindak tanpa dasar regulasi yang jelas, melakukan diskriminasi, atau gagal memberikan pemberitahuan yang semestinya (meskipun pemberitahuan tersebut mungkin terbatas demi kepentingan investigasi). Penting bagi bisnis untuk memahami perbedaan ini, karena penolakan yang tidak wajar dapat menjadi dasar untuk mengajukan keberatan melalui mekanisme penyelesaian sengketa yang juga diatur oleh otoritas perbankan.
Alasan Utama Lembaga Keuangan Menolak Layanan Pembayaran
Faktor Risiko Kepatuhan dan Program Anti Pencucian Uang (APU PPT)
Penolakan layanan transfer dana atau transaksi lainnya oleh Penyedia Jasa Pembayaran (PJP) atau bank sebagian besar berakar pada penilaian risiko kepatuhan nasabah. Alasan paling umum dan mendasar untuk non-penyediaan jasa adalah hasil skor risiko yang tinggi pada proses Customer Due Diligence (CDD). Lembaga keuangan wajib menilai setiap nasabah, dan jika profil nasabah dianggap ‘High Risk’—terutama terkait sumber dana, jenis usaha yang dijalankan (misalnya, sektor cash-intensive atau bisnis internasional yang kompleks), atau keterlibatan dengan Politically Exposed Persons (PEP)—maka penolakan layanan dapat segera dilakukan. Tujuannya adalah untuk melindungi sistem keuangan dari penyalahgunaan untuk aktivitas ilegal seperti Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme (APU PPT).
Untuk memberikan gambaran faktual mengenai isu ini, data industri menunjukkan bahwa dalam laporan kepatuhan tahunan terakhir yang melibatkan PJP di Indonesia, sekitar 8-12% dari permohonan pembukaan akun bisnis yang diajukan oleh sektor yang baru berdiri atau e-commerce dengan struktur dana yang kompleks harus ditunda atau ditolak. Penolakan ini terjadi karena ketidakmampuan nasabah untuk memberikan dokumentasi yang memadai untuk memverifikasi transparansi kepemilikan manfaat akhir (Beneficial Ownership) yang merupakan pilar penting dalam pencegahan kejahatan keuangan.
Risiko Reputasi dan Operasional: Ketika Layanan Tidak Dapat Diberikan
Selain faktor kepatuhan yang ketat, PJP juga memiliki pertimbangan risiko reputasi dan operasional yang dapat memicu penolakan layanan.
Dari sisi risiko reputasi, sebuah lembaga keuangan akan sangat berhati-hati dalam memberikan jasa kepada nasabah yang terindikasi memiliki reputasi buruk atau sedang dalam proses penyelidikan. Terlibatnya PJP dalam transaksi yang kemudian diketahui merupakan tindak pidana dapat merusak kepercayaan publik dan menimbulkan sanksi dari regulator, sehingga pencegahan adalah langkah utama.
Dari sisi risiko operasional, kegagalan sistem atau kondisi luar biasa yang berada di luar kendali bank juga dapat menjadi alasan sah untuk ’tidak memberikan jasa’ dalam batas waktu tertentu. Kondisi seperti bencana alam atau Force Majeure dapat melumpuhkan sistem kliring dan penyelesaian, sehingga layanan tidak dapat dijamin. Dalam kasus yang lebih teknis, pemeliharaan sistem yang kritis atau downtime yang tidak terduga dapat menyebabkan penolahan transaksi untuk sementara waktu demi menjaga integritas data dan keamanan sistem.
Ancaman Siber dan Pelanggaran Keamanan Data Transaksi
Ancaman siber yang terus berkembang menjadi alasan penting lainnya bagi lembaga keuangan untuk menolak layanan atau menghentikan transaksi. Ketika sebuah PJP mendeteksi bahwa sebuah transaksi atau serangkaian transaksi memiliki pola yang konsisten dengan serangan siber, phishing, atau upaya fraud lainnya, mereka wajib menahan atau menolak layanan tersebut.
Ini bukan sekadar masalah kerugian finansial, tetapi juga masalah keamanan data nasabah. Kewajiban PJP untuk menjaga kerahasiaan dan integritas data transaksi diatur oleh regulasi perlindungan data. Jika sistem keamanan internal nasabah dinilai rentan terhadap serangan atau terjadi indikasi data breach, bank mungkin memutuskan untuk menangguhkan layanan hingga nasabah dapat membuktikan bahwa lingkungan operasional mereka sudah aman. Tindakan pencegahan ini melindungi PJP dari potensi gugatan dan sanksi regulasi yang timbul dari kegagalan dalam menjaga keamanan siber.
Dampak Bisnis dari Non-Penyediaan Jasa Lalu Lintas Pembayaran
Penolakan atau penghentian layanan lalu lintas pembayaran oleh Penyedia Jasa Pembayaran (PJP) bukanlah sekadar masalah teknis—ini adalah ancaman serius terhadap kelangsungan operasional bisnis. Begitu keputusan untuk ’tidak memberikan jasa’ diterapkan, efek dominonya dapat dengan cepat melumpuhkan perusahaan, mulai dari implikasi hukum yang berat hingga kerusakan reputasi yang sulit diperbaiki. Memahami konsekuensi ini sangat penting untuk mendorong investasi proaktif dalam kepatuhan dan manajemen risiko.
Implikasi Hukum: Sanksi Administratif dan Pidana Bagi Nasabah
Konsekuensi hukum bagi nasabah yang rekeningnya dibekukan atau ditutup karena alasan non-penyediaan jasa lalu lintas pembayaran bisa sangat menekan. Penolakan layanan yang didasarkan pada temuan aktivitas mencurigakan, terutama yang terkait dengan Anti Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme (APU PPT), dapat mengakibatkan pembekuan atau penutupan rekening. Tindakan ini secara langsung mengganggu likuiditas, menghentikan pembayaran kepada pemasok, dan menghambat penerimaan dana dari pelanggan, yang pada akhirnya mengancam kelangsungan operasional perusahaan.
Menurut pandangan Dr. Bima Santoso, seorang konsultan kepatuhan senior dan ahli hukum di bidang perbankan, penting untuk digarisbawahi bahwa kewenangan PJP untuk menolak layanan tidaklah tanpa batas. “Meskipun PJP memiliki hak dan kewajiban berdasarkan regulasi BI untuk melakukan penolakan berdasarkan prinsip kehati-hatian (misalnya, PBI No. 23/6/PBI/2021 tentang Penyedia Jasa Pembayaran), hak nasabah atas layanan yang adil dan transparan tetap dilindungi. PJP wajib menjalankan due process yang didokumentasikan dan, jika memungkinkan, memberikan kesempatan klarifikasi, kecuali dalam kasus yang terkait dengan investigasi pidana,” jelasnya. Dengan kata lain, penolakan harus selalu dilandasi oleh dasar hukum yang kuat dan proses yang benar.
Konsekuensi Operasional: Gangguan Aliran Kas dan Reputasi Bisnis
Dampak operasional dari penolakan layanan pembayaran bersifat segera dan menghancurkan. Ketika layanan transfer dana dihentikan, sebuah perusahaan menghadapi gangguan aliran kas (cash flow) yang parah. Gaji karyawan tidak dapat dibayarkan, tagihan utilitas dan sewa tidak dapat diproses, dan yang paling kritis, siklus pendapatan terhenti.
Selain krisis likuiditas, reputasi bisnis akan anjlok. Begitu vendor, mitra, atau bahkan otoritas mendengar bahwa rekening perusahaan ditutup atau dibekukan oleh lembaga keuangan, asumsi yang muncul adalah adanya masalah serius terkait integritas keuangan atau kepatuhan. Kerusakan ini dapat mengarah pada penolakan kerja sama oleh mitra baru dan hilangnya kepercayaan dari pelanggan lama, menciptakan hambatan yang sulit untuk diatasi dalam jangka panjang.
Proses ‘De-risking’ oleh Bank dan Pengaruhnya Terhadap UMKM
Salah satu fenomena utama dalam non-penyediaan jasa lalu lintas pembayaran adalah “De-risking”. Ini adalah strategi yang dilakukan oleh bank dan PJP untuk secara sistematis mengurangi keterpaparan mereka terhadap risiko kepatuhan yang tinggi—terutama risiko APU PPT. Alih-alih mengelola risiko nasabah yang kompleks, lembaga keuangan memilih untuk menghentikan atau membatasi layanan kepada seluruh kategori nasabah atau sektor industri tertentu yang dianggap berisiko tinggi secara inheren.
Fenomena ini sering menargetkan sektor-sektor tertentu yang secara historis dianggap rentan terhadap kejahatan keuangan, seperti perusahaan fintech tertentu, bisnis yang beroperasi di yurisdiksi berisiko tinggi, dan sayangnya, banyak Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang memiliki keterbatasan sumber daya untuk memenuhi standar kepatuhan yang ketat. Dengan De-risking, akses UMKM ke layanan pembayaran formal menjadi sangat terbatas, bahkan jika mereka adalah bisnis yang sah. Ini memaksa mereka untuk mencari alternatif yang mungkin kurang aman atau terregulasi, yang ironisnya, justru dapat meningkatkan risiko keseluruhan sistem. Oleh karena itu, bagi UMKM, investasi dalam transparansi dan kepatuhan sangat krusial untuk mempertahankan akses ke layanan pembayaran vital.
Mitigasi Risiko: Langkah-Langkah Mengatasi Potensi Penolakan
Penolakan layanan lalu lintas pembayaran bukanlah akhir dari segalanya, melainkan alarm untuk meninjau dan memperkuat kerangka kepatuhan internal. Mengingat implikasi operasional dan reputasi yang signifikan, setiap bisnis, terutama yang bergerak di sektor bervolume tinggi, harus mengambil langkah proaktif untuk memitigasi potensi “non-penyediaan jasa lalu lintas pembayaran.”
Memperkuat Proses Customer Due Diligence (CDD) yang Proaktif
Kepatuhan adalah benteng pertahanan pertama Anda. Untuk menghindari dianggap sebagai risiko tinggi oleh Penyedia Jasa Pembayaran (PJP) dan Lembaga Keuangan, bisnis harus secara rutin memperbarui data Know Your Customer (KYC), memastikan transparansi sumber dana, dan yang paling krusial, memiliki kebijakan Anti Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme (APU PPT) internal yang kuat dan terdokumentasi. Kelengkapan dan konsistensi data ini menunjukkan komitmen serius terhadap integritas keuangan dan secara substansial mengurangi kemungkinan penolakan layanan.
Untuk membantu bisnis mempersiapkan diri menghadapi tinjauan kepatuhan mendalam dari PJP, kami telah merancang panduan lima langkah proprietari yang ideal untuk memastikan kesiapan audit dan mengurangi skor risiko Anda.
- 1. Audit Kebijakan Internal: Lakukan peninjauan mendalam pada seluruh dokumen APU PPT dan KYC Anda. Pastikan kebijakan ini selaras sempurna dengan Peraturan Bank Indonesia (PBI) terbaru dan regulasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
- 2. Validasi Data Pemilik Manfaat (Beneficial Owner): Verifikasi ulang dan dokumentasikan siapa pemilik manfaat akhir perusahaan Anda. Ketidakjelasan struktur kepemilikan adalah pemicu risiko tinggi yang paling sering disoroti.
- 3. Analisis Pola Transaksi: Siapkan laporan terperinci mengenai pola transaksi normal Anda (volume, frekuensi, geografi) dan berikan narasi yang jelas untuk setiap anomali yang signifikan.
- 4. Pelatihan Staf Kepatuhan: Pastikan tim internal Anda telah menerima pelatihan terkini mengenai indikator transaksi mencurigakan (TCM) dan prosedur pelaporan yang benar.
- 5. Dokumentasi Risiko: Buat dan pertahankan log penilaian risiko inherent dan residual bisnis Anda, menunjukkan langkah-langkah mitigasi yang sudah dilakukan.
Strategi Diversifikasi Jasa Pembayaran untuk Keberlanjutan Bisnis
Mengandalkan satu PJP atau lembaga keuangan untuk semua kebutuhan lalu lintas pembayaran Anda meningkatkan risiko operasional secara eksponensial. Jika PJP tunggal tersebut memutuskan untuk melakukan de-risking atau menerapkan kebijakan “non-penyediaan jasa”, seluruh aliran kas Anda akan terhenti. Oleh karena itu, diversifikasi ke berbagai Penyedia Jasa Pembayaran adalah strategi yang sangat penting.
Dengan memiliki hubungan yang solid dengan dua atau lebih PJP yang terdaftar di Bank Indonesia (BI), bisnis dapat secara signifikan mengurangi ketergantungan dan risiko. Strategi ini memungkinkan pemindahan cepat dari satu saluran pembayaran ke saluran lain, menjamin keberlanjutan bisnis (Business Continuity) bahkan ketika salah satu mitra keuangan Anda memutuskan untuk menolak atau menangguhkan layanannya. Hal ini juga memberikan fleksibilitas saat ada pemeliharaan sistem atau kegagalan operasional di salah satu pihak.
Prosedur Banding dan Komunikasi dengan Lembaga Keuangan
Jika penolakan layanan sudah terjadi, tindakan Anda berikutnya adalah inisiasi proses banding yang terstruktur. Ini membutuhkan pendekatan komunikasi yang tepat dan dokumentasi yang memadai.
Segera setelah menerima pemberitahuan penolakan (meskipun detailnya minim karena alasan APU PPT), bisnis harus menghubungi tim kepatuhan PJP secara resmi. Permintaan klarifikasi yang fokus pada area perbaikan (misalnya, dokumen apa yang kurang, atau segmen risiko mana yang perlu diatasi) adalah kunci. Jika penolakan dirasa tidak beralasan atau merupakan hasil dari data yang usang, ajukan banding dengan menyajikan bukti-bukti terkini: semua dokumen KYC yang telah diperbarui, kebijakan APU PPT terbaru, dan penjelasan yang meyakinkan mengenai pola transaksi Anda. Sering kali, masalah dapat diselesaikan melalui komunikasi terbuka dan penyediaan informasi tambahan yang menunjukkan komitmen pada prinsip kehati-hatian.
Pertanyaan Umum (FAQ) Seputar Penolakan Layanan Pembayaran
Dalam konteks sensitif seperti penolakan layanan pembayaran, transparansi informasi menjadi kunci, namun harus diimbangi dengan kewajiban Penyedia Jasa Pembayaran (PJP) untuk menjaga kerahasiaan terkait pencegahan kejahatan keuangan. Bagian FAQ ini merangkum pertanyaan paling umum yang diajukan oleh pebisnis ketika menghadapi isu “non-penyediaan jasa lalu lintas pembayaran.”
Q1. Apakah Bank Wajib Memberitahu Alasan Penolakan Layanan?
Secara umum, sebagai wujud profesionalisme dan akuntabilitas, lembaga keuangan seperti bank atau PJP wajib memberikan pemberitahuan resmi mengenai penolakan atau penghentian layanan. Pemberitahuan ini merupakan elemen penting dalam membangun kepercayaan nasabah.
Namun, detail spesifik mengenai alasan mendasar penolakan layanan tersebut dapat, dan seringkali harus, dirahasiakan. PJP memiliki kewajiban hukum untuk menjaga kerahasiaan informasi tertentu, terutama jika penolakan tersebut berhubungan langsung dengan investigasi hukum yang sedang berlangsung atau upaya pencegahan kejahatan keuangan, khususnya Anti Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme (APU PPT). Bank Indonesia, sebagai regulator, sangat menekankan pentingnya kerangka kerja ini. Jika alasannya terkait dengan indikasi kuat aktivitas ilegal, PJP berhak menahan informasi detail guna mencegah terhambatnya proses penegakan hukum. Oleh karena itu, nasabah umumnya akan menerima pemberitahuan penolakan layanan (misalnya, akun ditutup), tetapi mungkin hanya menerima penjelasan yang sangat umum, seperti “alasan kepatuhan internal” atau “risiko tinggi.”
Q2. Apa Perbedaan antara Pemblokiran Transaksi dan Penutupan Akun Permanen?
Memahami perbedaan antara pemblokiran (blokir) transaksi dan penutupan akun permanen sangat penting karena keduanya memiliki implikasi yang berbeda terhadap operasional bisnis Anda.
Pemblokiran Transaksi (Transitory Block)
Pemblokiran transaksi adalah tindakan sementara yang dilakukan oleh PJP. Ini sering terjadi ketika sistem mendeteksi anomali pada satu atau serangkaian transaksi. Pemicu umum meliputi:
- Ketidakcocokan nama penerima dan pemilik rekening.
- Jumlah transaksi yang tidak wajar (terlalu besar atau terlalu sering) dibandingkan dengan profil risiko nasabah yang tercatat.
- Adanya sinyal risiko APU PPT yang memerlukan klarifikasi segera.
Intinya, pemblokiran bersifat intervensi investigatif. Seringkali, masalah ini dapat diselesaikan dengan cepat melalui klarifikasi data, penyerahan dokumen pendukung tambahan, atau wawancara singkat dengan nasabah. Menurut data dari beberapa konsultan kepatuhan, mayoritas pemblokiran dapat dicabut dalam waktu 1x24 jam hingga 3 hari kerja, asalkan nasabah memberikan respons yang transparan dan memuaskan.
Penutupan Akun Permanen (Permanent Account Closure)
Penutupan akun permanen adalah keputusan akhir dan definitif dari PJP untuk menghentikan seluruh hubungan bisnis dengan nasabah. Ini merupakan manifestasi paling serius dari “non-penyediaan jasa lalu lintas pembayaran.” Keputusan ini biasanya didasarkan pada temuan pelanggaran serius yang tidak dapat ditoleransi atau diselesaikan. Contohnya meliputi:
- Kegagalan berulang nasabah dalam mematuhi permintaan data KYC (Know Your Customer) yang diperbarui.
- Konfirmasi adanya keterlibatan dalam aktivitas ilegal, seperti pendanaan terorisme atau pencucian uang (berdasarkan laporan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan/PPATK).
- Risiko reputasi yang dianggap terlalu tinggi oleh bank, yang sejalan dengan strategi pengurangan risiko (de-risking) internal PJP.
Tidak seperti pemblokiran, penutupan akun permanen hampir selalu sulit dibatalkan. Keputusan ini mengindikasikan bahwa nasabah dianggap berada di luar ambang batas risiko yang dapat diterima oleh PJP, yang sangat berdampak pada kelangsungan dan stabilitas operasional perusahaan.
Kesimpulan Akhir: Memastikan Kepatuhan Regulasi Pembayaran di Tahun 2026
Tiga Poin Kunci untuk Kepatuhan Lalu Lintas Pembayaran
Menghindari non-penyediaan jasa lalu lintas pembayaran—situasi di mana lembaga keuangan menolak atau menghentikan layanan krusial Anda—adalah tantangan kepatuhan yang berkelanjutan, terutama seiring dengan semakin ketatnya pengawasan regulasi. Kunci untuk melindungi bisnis Anda dan memastikan layanan pembayaran tetap lancar berpusat pada tiga pilar utama. Pertama, lakukan investasi berkelanjutan pada transparansi data. Ini berarti semua dokumen Know Your Customer (KYC) Anda harus up-to-date, sumber dana harus jelas, dan struktur kepemilikan bisnis harus diverifikasi dengan mudah. Kedua, patuhi regulasi yang ketat dari Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Ketiga, terapkan mitigasi risiko Anti Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme (APU PPT) yang paling ketat untuk menjaga integritas operasional.
Langkah Berikutnya untuk Pengamanan Transaksi Anda
Satu-satunya cara yang benar-benar proaktif untuk memitigasi risiko penolakan layanan di masa depan dan menjaga kredibilitas Anda di mata Penyedia Jasa Pembayaran (PJP) adalah melalui audit kepatuhan internal secara berkala. Sikap proaktif ini menunjukkan komitmen Anda terhadap standar tertinggi expertise dan trust. Daripada menunggu sanksi atau penolakan layanan, bisnis harus segera berkonsultasi dengan ahli hukum atau konsultan kepatuhan untuk meninjau secara menyeluruh proses Customer Due Diligence (CDD) dan kebijakan APU PPT internal Anda, memastikan semuanya selaras dengan peraturan terkini yang berlaku hingga tahun 2026.