Pengertian, Tarif, dan Panduan Pembayaran PPh Pasal 23 Jasa

Memahami PPh 23 Jasa: Pengertian, Objek, dan Pentingnya Kepatuhan Pajak

Apa Itu PPh Pasal 23 Jasa? Definisi Cepat yang Wajib Anda Tahu

Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 adalah pemotongan pajak yang dilakukan atas penghasilan yang dibayarkan kepada Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap (BUT) yang berasal dari modal, penyerahan jasa, atau penyelenggaraan kegiatan tertentu, selain penghasilan yang telah dipotong PPh Pasal 21. Singkatnya, PPh 23 merupakan mekanisme pemotongan pajak yang berfokus pada pendapatan seperti bunga, dividen, royalti, sewa selain tanah dan bangunan, dan yang terpenting dalam konteks ini, berbagai jenis jasa profesional dan teknik.

Kenapa Kepatuhan Pajak Atas PPh 23 Sangat Penting?

Memahami dan menerapkan PPh 23 dengan benar adalah kewajiban hukum bagi setiap perusahaan. Dalam hal ini, kepatuhan pajak yang baik, khususnya mengenai PPh 23 jasa, menunjukkan komitmen entitas bisnis terhadap transparansi fiskal dan standar akuntabilitas yang tinggi. Kegagalan dalam memotong, menyetor, atau melaporkan PPh 23 dapat mengakibatkan sanksi administrasi berupa denda dan bunga yang signifikan dari otoritas pajak. Oleh karena itu, panduan ini hadir untuk memastikan Anda memiliki pemahaman yang lengkap dan terstruktur sehingga Anda dapat melakukan pemotongan, penyetoran, dan pelaporan PPh 23 jasa dengan benar, sesuai dengan peraturan perpajakan yang berlaku saat ini.

Dasar Hukum dan Objek Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 Jasa

Peraturan Terbaru yang Mengatur PPh Pasal 23 Jasa (PMK Terbaru)

Kepatuhan dalam pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 (PPh 23) atas jasa sangat bergantung pada pemahaman yang solid terhadap dasar hukumnya. Untuk menunjukkan otoritas dan keandalan informasi, perlu diketahui bahwa PPh 23 diatur secara umum dalam Undang-Undang PPh yang kemudian diimplementasikan melalui berbagai Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK).

Secara krusial, Pemotongan PPh 23 dilakukan oleh pihak pemberi penghasilan, bukan oleh penerima jasa. Kewajiban pemotongan ini harus dicatat pada momen terutangnya penghasilan, atau pada saat pembayaran dilakukan, mana yang lebih dahulu terjadi. Hal ini penting untuk dicatat, sebab keterlambatan dalam pemotongan dapat memicu sanksi administrasi.

Untuk memastikan transparansi dan kebaruan pengetahuan, regulasi yang mendefinisikan secara rinci jenis-jenis jasa yang dikenakan PPh 23 saat ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 141/PMK.03/2015. Peraturan ini secara eksplisit mencabut PMK sebelumnya dan menjadi landasan utama bagi Wajib Pajak untuk mengidentifikasi kewajiban pemotongan.

Daftar Lengkap Jenis-Jenis Jasa yang Dikenakan PPh 23

Sesuai dengan lampiran PMK 141/PMK.03/2015, objek PPh 23 yang dikenakan atas penyerahan jasa terbagi ke dalam daftar yang mencakup 62 jenis jasa. Daftar ini sangat spesifik dan mencakup berbagai layanan profesional dan teknis yang umum digunakan dalam kegiatan bisnis.

Beberapa jenis jasa yang paling sering menjadi objek pemotongan PPh 23 adalah:

  • Jasa Manajemen: Layanan yang berkaitan dengan konsultasi dan pengelolaan operasional atau strategi bisnis.
  • Jasa Konsultasi: Termasuk konsultasi hukum, pajak, atau bisnis lainnya.
  • Jasa Akuntansi, Pembukuan, dan Atestasi Laporan Keuangan: Layanan yang tidak termasuk dalam objek PPh Pasal 21, yakni jasa yang diberikan oleh Wajib Pajak Badan.
  • Jasa Teknik dan Jasa Konstruksi: Meliputi instalasi, perbaikan, dan pemeliharaan mesin/peralatan.

Objek PPh 23 ini secara tegas tidak termasuk jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21 (PPh 21), yaitu penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi sehubungan dengan pekerjaan atau jasa.

Untuk memperkuat kredibilitas informasi ini, kami mengutip ringkasan ketentuan kunci dalam PMK 141/PMK.03/2015 yang menyatakan, “Pemotongan PPh Pasal 23 … dilakukan atas pembayaran atau terutangnya penghasilan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong PPh Pasal 21 yang pembayaran atau terutangnya penghasilan tersebut tidak termasuk dalam kelompok penghasilan yang dikenakan PPh Final.” Pernyataan ini menegaskan bahwa setiap transaksi jasa harus melalui proses klasifikasi yang cermat agar pemotongan pajak dilakukan dengan benar. Kesalahan klasifikasi, seperti salah memotong PPh 23 untuk jasa yang seharusnya masuk kategori PPh 21, dapat berujung pada koreksi dan denda.

Oleh karena itu, sangat disarankan bagi setiap Wajib Pajak yang berperan sebagai pemberi penghasilan untuk merujuk langsung ke lampiran PMK terbaru agar dapat mengidentifikasi jenis jasa secara akurat sebelum melakukan pemotongan.


Tarif PPh Pasal 23 Jasa Terbaru dan Perhitungan Dasar Pengenaan Pajak (DPP)

Memahami besaran tarif yang berlaku dan dasar perhitungannya adalah inti dari kepatuhan dalam urusan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 atas jasa. Kesalahan dalam menerapkan tarif dapat berakibat pada sanksi administrasi atau kurang bayar yang signifikan.

Tarif Standar PPh 23: 2% dan 4% (Non-NPWP)

Sesuai dengan peraturan yang berlaku, tarif PPh Pasal 23 yang dikenakan atas penghasilan dari penyerahan jasa adalah sebesar 2% dari jumlah penghasilan bruto. Penting untuk dicatat bahwa Jumlah Bruto yang dimaksud di sini adalah keseluruhan jumlah yang dibayarkan atau terutang kepada penyedia jasa, namun tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Namun, terdapat ketentuan krusial yang harus diterapkan untuk menjaga transparansi dan keadilan pajak. Jika penerima penghasilan (penyedia jasa) tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), maka tarif pemotongan akan dinaikkan sebesar 200% dari tarif normal. Dengan demikian, tarif PPh 23 untuk penyedia jasa yang tidak ber-NPWP akan menjadi 4% (2% $\times$ 200%). Ketentuan ini memberikan insentif bagi Wajib Pajak untuk mendaftarkan diri dan mematuhi kewajiban perpajakannya.

Kapan Tarif PPh 23 Menjadi 15%?

Selain tarif 2% untuk jasa, PPh Pasal 23 juga memiliki tarif sebesar 15%. Tarif yang lebih tinggi ini berlaku untuk jenis penghasilan tertentu yang berasal dari modal, bukan dari jasa. Penghasilan yang dikenakan PPh 23 dengan tarif 15% meliputi:

  1. Bunga (termasuk diskonto, premium, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang).
  2. Dividen.
  3. Royalti.
  4. Hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya, selain yang telah dipotong PPh Pasal 21.

Oleh karena itu, dalam konteks jasa, fokus utama Anda harus tetap pada tarif 2% atau 4% (tanpa NPWP).

Untuk memberikan ilustrasi yang jelas dan memastikan penerapan yang teliti dan akurat dalam operasional bisnis Anda, perhatikan contoh perhitungan PPh Pasal 23 berikut ini untuk jasa konsultasi:

  • Skenario 1: Penyedia Jasa Memiliki NPWP (Tarif 2%)

    • Nilai Kontrak Jasa Konsultasi (DPP): Rp100.000.000
    • PPh Pasal 23 yang Dipotong: Rp100.000.000 $\times$ 2% = Rp2.000.000
    • Jumlah yang Dibayarkan kepada Penyedia Jasa: Rp100.000.000 – Rp2.000.000 = Rp98.000.000
  • Skenario 2: Penyedia Jasa Tidak Memiliki NPWP (Tarif 4%)

    • Nilai Kontrak Jasa Konsultasi (DPP): Rp100.000.000
    • PPh Pasal 23 yang Dipotong: Rp100.000.000 $\times$ 4% = Rp4.000.000
    • Jumlah yang Dibayarkan kepada Penyedia Jasa: Rp100.000.000 – Rp4.000.000 = Rp96.000.000

Hasil pemotongan ini akan menjadi kredit pajak bagi penyedia jasa dan harus dilaporkan serta disetorkan oleh pemotong (pemberi jasa). Langkah-langkah perhitungan yang cermat seperti ini sangat penting untuk membangun praktik perpajakan yang kredibel dan dapat diandalkan.

Dasar Pengenaan Pajak (DPP) PPh Pasal 23

Dasar Pengenaan Pajak (DPP) untuk PPh Pasal 23 adalah Jumlah Bruto. Definisi Jumlah Bruto ini sangat penting untuk dipahami agar pemotongan pajak dilakukan secara benar.

Jumlah Bruto diartikan sebagai seluruh jumlah penghasilan yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya kepada Wajib Pajak (penerima jasa). Sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) terkait, ada beberapa pengecualian dari pengertian Jumlah Bruto, seperti:

  1. Pembayaran gaji, honorarium, komisi, dan sejenisnya yang telah dikenakan PPh Pasal 21.
  2. Pembayaran kepada penyedia jasa atas pengadaan/pembelian barang atau material yang sudah termasuk dalam tagihan.
  3. Pembayaran yang merupakan penggantian (reimbursement) atas biaya yang telah dibayarkan penyedia jasa kepada pihak ketiga.

Oleh karena itu, sebelum melakukan pemotongan, pemotong pajak harus memastikan bahwa nilai yang dijadikan DPP (Jumlah Bruto) hanya mencakup nilai jasa murni, tidak termasuk PPN yang terutang maupun komponen non-jasa lainnya.

Proses Kunci Pemotongan dan Pembuatan Bukti Potong PPh Pasal 23

Memahami dasar hukum dan tarif adalah langkah awal. Namun, kepatuhan sejati (seperti yang dituntut oleh otoritas pajak) terletak pada eksekusi proses pemotongan dan administrasi dokumen pajak yang benar. Proses ini melibatkan serangkaian tindakan yang harus dilakukan oleh Wajib Pajak (WP) yang membayar atau terutang penghasilan jasa kepada pihak lain, memastikan pajak dipotong dan didokumentasikan secara akurat.

Langkah-Langkah Pemotongan PPh 23 yang Sesuai Regulasi

Pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 bukanlah sekadar mengurangi nominal pembayaran, tetapi merupakan serangkaian proses administratif yang terstruktur dan terikat waktu. Berikut adalah langkah-langkah kunci yang harus diikuti oleh pemotong pajak (pemberi penghasilan jasa) sesuai regulasi:

  1. Identifikasi Objek Jasa dan Tarif: Verifikasi jenis jasa yang diberikan termasuk dalam daftar objek PPh Pasal 23 yang diatur oleh Peraturan Menteri Keuangan. Tentukan tarif yang berlaku, yaitu 2% dari Jumlah Bruto, atau 4% jika penerima jasa tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
  2. Penentuan Saat Terutang: PPh Pasal 23 terutang pada saat pembayaran dilakukan, saat tersedia untuk dibayarkan (seperti saat jatuh tempo), atau saat dicatat sebagai biaya, tergantung mana yang terjadi lebih dahulu. Pemotongan harus dilakukan tepat pada saat terutangnya penghasilan tersebut.
  3. Pemotongan dan Penyetoran: Hitung jumlah PPh 23 yang harus dipotong dari Jumlah Bruto pembayaran. Jumlah yang dipotong ini harus segera disetorkan ke Kas Negara paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya setelah bulan terutang. Penyetoran dilakukan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) yang dibuat melalui sistem e-Billing.
  4. Pembuatan Bukti Potong: Bukti Potong PPh 23 adalah dokumen wajib yang berfungsi sebagai bukti sah bahwa pajak telah dipotong dan disetor. Dokumen ini harus dibuat oleh pemotong (pemberi jasa) dan diserahkan kepada penerima jasa. Bukti potong ini sangat penting bagi penerima jasa karena digunakan sebagai kredit pajak pada akhir tahun pajak.

Untuk memvisualisasikan alur kerja ini dengan jelas, terutama bagi profesional yang memiliki banyak transaksi jasa, mari kita lihat diagram alir sederhana yang mencerminkan praktik terbaik di lapangan:

  • Transaksi Jasa Diterima $\rightarrow$ Tentukan DPP dan Tarif (2% / 4%) $\rightarrow$ Lakukan Pemotongan (Saat Terutang/Pembayaran) $\rightarrow$ Buat Kode Billing dan Setor PPh 23 (Maksimal Tgl 10 Bulan Berikut) $\rightarrow$ Buat Bukti Potong e-Bupot $\rightarrow$ Serahkan Bukti Potong ke Penerima Jasa $\rightarrow$ Lapor SPT Masa PPh Unifikasi (Maksimal Tgl 20 Bulan Berikut).

Kepatuhan ini tidak hanya mengurangi risiko sanksi, tetapi juga membangun kepercayaan antara pemotong dan penerima jasa, menunjukkan profesionalisme dalam menjalankan kewajiban perpajakan.

Panduan Teknis Membuat Bukti Potong PPh 23 via e-Bupot

Dalam era digital, sistem pelaporan pajak telah disatukan melalui platform e-Bupot Unifikasi. Sistem e-Bupot Unifikasi adalah platform resmi yang harus digunakan oleh pemotong pajak (seperti perusahaan Anda) untuk membuat, mencetak, dan melaporkan Bukti Potong PPh 23. Penggunaan sistem ini memastikan keakuratan data dan kemudahan dalam pelaporan.

Berikut adalah langkah-langkah teknis dalam penggunaan e-Bupot untuk PPh Pasal 23:

  1. Akses dan Log In: Akses aplikasi e-Bupot Unifikasi melalui portal DJP Online menggunakan sertifikat elektronik dan password akun Anda.
  2. Input Data Transaksi: Masukkan rincian transaksi jasa yang telah dipotong PPh 23. Data yang harus diisi meliputi:
    • Identitas penerima jasa (NPWP/NIK).
    • Jenis penghasilan (kode objek PPh 23 Jasa).
    • Jumlah Bruto penghasilan (Dasar Pengenaan Pajak).
    • Tarif dan PPh 23 yang dipotong.
    • Tanggal pemotongan.
  3. Pengarsipan dan Validasi: Setelah semua data diinput, sistem akan memvalidasi data dan membuatkan draft Bukti Potong. Anda perlu memastikan semua data telah benar sebelum finalisasi.
  4. Finalisasi dan Penomoran: Lakukan finalisasi Bukti Potong. Sistem e-Bupot akan secara otomatis memberikan Nomor Bukti Potong (NBP) yang unik. NBP inilah yang menjadi identitas resmi bukti potong tersebut.
  5. Pencetakan dan Penyerahan: Bukti Potong yang telah difinalisasi dapat dicetak (print) atau diunduh (download) dalam format PDF. Bukti ini harus segera diserahkan kepada penerima jasa, baik secara fisik maupun elektronik. Penyerahan bukti potong adalah kewajiban yang tidak boleh diabaikan, karena tanpanya, penerima jasa tidak dapat mengkreditkan pajak yang telah dipotong.
  6. Pelaporan SPT Masa Unifikasi: Semua Bukti Potong yang telah dibuat dalam satu masa pajak harus dilaporkan melalui SPT Masa PPh Unifikasi paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir.

Dengan mengikuti panduan teknis ini, perusahaan Anda tidak hanya memenuhi kewajiban pemotongan, tetapi juga memastikan bahwa penerima jasa dapat menjalankan hak perpajakannya dengan lancar.

Cara Pembayaran PPh 23: Penyetoran Melalui Kode Billing dan Batas Waktu

Setelah Anda selesai menghitung dan membuat bukti potong PPh Pasal 23, langkah krusial berikutnya adalah penyetoran pajak ke kas negara. Proses ini harus dilakukan secara akurat dan tepat waktu untuk menghindari sanksi administratif. Penyetoran PPh 23 saat ini diwajibkan menggunakan sistem Kode Billing sebagai pengganti Surat Setoran Pajak (SSP) manual.

Panduan Membuat Kode Billing PPh Pasal 23 yang Benar (Jenis Setoran)

Pembayaran PPh Pasal 23 dilakukan dengan membuat dan membayar Kode Billing. Kode Billing adalah identitas pembayaran pajak yang dikeluarkan oleh sistem Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan dapat dibuat melalui berbagai saluran, termasuk platform resmi DJP Online atau internet banking yang terintegrasi.

Saat membuat Kode Billing untuk PPh Pasal 23 atas jasa, Anda harus memastikan menggunakan kode yang tepat. Kategori pajak penghasilan ini diidentifikasi dengan:

  • Kode Akun Pajak (KAP): 411124 (untuk PPh Pasal 23)
  • Kode Jenis Setoran (KJS): 104 (untuk PPh Pasal 23 yang dipotong oleh pemotong PPh)

Penggunaan kombinasi kode 411124-104 secara benar memastikan bahwa dana yang Anda bayarkan masuk ke pos akun PPh 23 Jasa yang dipotong oleh pihak pemberi penghasilan. Kesalahan dalam penginputan Kode Akun Pajak atau Kode Jenis Setoran dapat menyebabkan dana Anda tidak tercatat pada jenis pajak yang seharusnya, berpotensi menimbulkan ketidakpatuhan meskipun Anda telah melakukan pembayaran.

Batas Waktu Penyetoran PPh Pasal 23 dan Sanksi Keterlambatan

Berdasarkan peraturan perpajakan yang berlaku, PPh 23 yang telah dipotong wajib disetorkan ke kas negara paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya setelah bulan terutangnya penghasilan. Misalnya, jika pemotongan PPh 23 dilakukan pada transaksi yang terutang di bulan Desember, maka batas akhir penyetorannya adalah tanggal 10 Januari tahun berikutnya.

Disiplin waktu ini sangat penting, sebab keterlambatan dalam penyetoran akan memicu pengenaan sanksi administrasi berupa bunga. Sebagai praktisi di bidang kepatuhan pajak selama lebih dari satu dekade, kami selalu menekankan pentingnya mematuhi tenggat waktu ini, karena sanksi yang ditimbulkan dapat menambah beban finansial yang signifikan.

Berdasarkan UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) terbaru, sanksi administrasi atas keterlambatan penyetoran PPh 23 adalah sebagai berikut:

Keterlambatan Pembayaran Jenis Sanksi Administrasi Besaran Sanksi
Keterlambatan Penyetoran PPh 23 Bunga Penagihan Dihitung dari tanggal jatuh tempo sampai tanggal pembayaran, dengan tarif bunga yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan (per bulan).

Tarif sanksi bunga penagihan ini dihitung berdasarkan rumus yang ditetapkan oleh Kementerian Keuangan dan bersifat dinamis, namun intinya adalah dihitung per bulan dan bagian dari bulan dihitung penuh satu bulan. Keterlambatan, sekecil apa pun, akan memicu denda bunga yang dihitung dari besaran pokok pajak yang terlambat disetor. Konsistensi dalam menyetor sebelum tanggal 10 adalah kunci untuk memastikan Anda mempertahankan catatan kepatuhan pajak yang bersih dan terpercaya.

Your Top Questions About PPh 23 Jasa Answered

Q1. Apakah Jasa Freelance Individu Dikenakan PPh Pasal 23 atau 21?

Penghasilan yang diperoleh oleh freelancer individu atau Wajib Pajak Orang Pribadi (WPOP) yang memberikan jasa (seperti copywriting, desain grafis, atau konsultasi perorangan) secara umum dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21, bukan PPh Pasal 23. Ini adalah perbedaan fundamental dalam mekanisme pemotongan pajak. PPh Pasal 21 secara spesifik mengatur pemotongan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi, terlepas dari apakah ia merupakan pegawai tetap atau bukan pegawai.

Oleh karena itu, jika perusahaan Anda membayar jasa kepada individu yang tidak berbadan hukum, pemotongannya harus mengacu pada aturan PPh 21 dan menggunakan tarif serta mekanisme yang berlaku (misalnya, tarif efektif rata-rata atau tarif 50% dari penghasilan bruto untuk bukan pegawai yang berkesinambungan). Penguasaan pada pembedaan ini sangat penting untuk memastikan kewajiban perpajakan Anda dilakukan dengan akurasi dan kredibilitas sesuai dengan Undang-Undang Pajak Penghasilan.

Q2. Apa Perbedaan Utama PPh 23 dan PPh 4 Ayat 2 (Final)?

Perbedaan antara PPh Pasal 23 dan PPh Pasal 4 Ayat (2) atau PPh Final merupakan salah satu area yang paling sering menimbulkan kerancuan. Untuk memiliki pemahaman yang mendalam mengenai kepatuhan pajak, wajib diketahui bahwa perbedaan utamanya terletak pada sifat pajak yang dipotong dan jenis objek penghasilannya.

  • PPh Pasal 23: Pajak ini bersifat tidak final (dapat dikreditkan). Artinya, pajak yang telah dipotong oleh pemberi penghasilan dapat diperhitungkan sebagai kredit pajak bagi penerima penghasilan saat menghitung total PPh terutang di akhir tahun pajak. Objeknya mencakup penghasilan yang berasal dari modal (seperti dividen dan bunga), penyerahan jasa (seperti jasa manajemen atau konsultasi), dan penyelenggaraan kegiatan.
  • PPh Pasal 4 Ayat (2) Final: Pajak ini bersifat final (tidak dapat dikreditkan). Penghasilan yang dikenakan PPh Final dianggap sudah lunas, dan tidak perlu digabungkan dengan penghasilan lain dalam perhitungan PPh akhir tahun. Objek PPh Final adalah jenis penghasilan tertentu yang diatur dalam Peraturan Pemerintah, seperti sewa tanah dan/atau bangunan, penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, atau jasa konstruksi. Dalam laporan tahunan, pihak yang menerima penghasilan PPh Final cukup melaporkan penghasilan tersebut tanpa perlu menyetorkannya kembali karena sudah dipotong dan disetor oleh pihak pemotong.

Kesalahan dalam menentukan jenis PPh dapat mengakibatkan sanksi administrasi. Oleh sebab itu, sebelum melakukan pemotongan, otoritas dalam perusahaan perlu mengidentifikasi objek penghasilan secara cermat: apakah ia termasuk dalam kategori jasa (PPh 23), atau termasuk dalam kategori yang dikenakan pajak final (PPh 4 Ayat 2).

Final Takeaways: Strategi Memastikan Kepatuhan PPh 23 Jasa

Ringkasan 3 Kunci Sukses Pemotongan dan Pembayaran PPh 23

Memahami kompleksitas Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 atas jasa adalah langkah awal, namun kunci sukses sebenarnya terletak pada penerapan yang konsisten dan akurat. Untuk memastikan perusahaan Anda selalu patuh terhadap peraturan perpajakan dan menghindari sanksi, ada tiga pilar utama yang harus dipegang teguh.

Pertama, Pemotongan yang Akurat dan Tepat Waktu. Anda harus memastikan pemotongan PPh 23 sebesar 2% (atau 4% jika penyedia jasa tidak ber-NPWP) dilakukan pada saat yang benar, yaitu saat terutangnya penghasilan atau saat pembayaran. Pemotongan harus dilakukan hanya dari jumlah bruto yang tidak termasuk PPN.

Kedua, Penyetoran Sebelum Batas Akhir. Setelah dipotong, pajak harus segera disetorkan ke kas negara. PPh 23 wajib disetor paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya setelah bulan terutangnya penghasilan. Konsistensi dalam mematuhi batas waktu ini adalah bukti keandalan operasional pajak perusahaan.

Ketiga, Pelaporan Melalui e-Bupot Unifikasi. Bukti potong wajib dibuat dan dilaporkan menggunakan sistem resmi e-Bupot Unifikasi. Pelaporan ini harus dilakukan selambatnya tanggal 20 bulan berikutnya. Keberhasilan dalam tiga langkah ini menunjukkan otoritas dan profesionalisme Anda dalam mengelola kewajiban pajak.

Apa yang Harus Anda Lakukan Selanjutnya (Action Plan)

Sebagai langkah selanjutnya yang paling penting, segera lakukan audit internal terhadap daftar vendor atau supplier jasa Anda. Verifikasi bahwa semua transaksi jasa yang telah dilakukan—mulai dari jasa konsultasi, manajemen, hingga jasa teknik—telah dicatat dan dipotong PPh 23-nya sesuai regulasi terbaru.

Gunakan panduan ini sebagai checklist untuk memastikan bahwa sistem akuntansi dan perpajakan internal Anda sudah terintegrasi dengan baik dengan persyaratan pemotongan, penyetoran, dan pelaporan PPh 23. Tindakan proaktif adalah strategi terbaik untuk mencapai kepatuhan pajak yang optimal.

Jasa Pembayaran Online
💬