Pencatatan Pembayaran Jasa dengan Aset: Panduan Akuntansi
Memahami Pencatatan Pembayaran Jasa Dibayar dengan Aset Non-Kas
Ketika sebuah perusahaan menyediakan jasa tetapi menerima pembayaran bukan dalam bentuk uang tunai (aset kas), melainkan dengan aset non-kas—seperti properti, peralatan, atau persediaan—transaksi ini dikenal sebagai barter non-moneter. Akurasi dalam pencatatan pembayaran jasa dibayar dengan aset menjadi krusial karena langsung memengaruhi pengakuan pendapatan dan penilaian aset dalam laporan keuangan.
Definisi Singkat: Jasa Dibayar dengan Aset Non-Moneter
Jasa dibayar dengan aset non-moneter mengacu pada pertukaran di mana entitas memberikan jasa profesional atau teknis, dan sebagai imbalannya, menerima aset yang bukan berupa kas atau setara kas. Menurut prinsip akuntansi, pencatatan transaksi semacam ini harus diakui sebesar nilai wajar aset yang diterima atau nilai wajar jasa yang diberikan, mana yang dapat diukur dengan lebih andal. Penilaian yang benar atas transaksi ini menjadi fondasi bagi laporan keuangan yang mencerminkan substansi ekonomi yang sebenarnya.
Mengapa Metode Pencatatan Ini Krusial untuk Laporan Keuangan yang Akurat
Metode pencatatan yang tepat adalah vital untuk menjamin kualitas, kepercayaan, dan keahlian laporan keuangan. Kegagalan dalam menentukan nilai wajar yang akurat untuk aset non-kas dapat menyebabkan salah saji pendapatan, nilai aset, dan pada akhirnya, laba bersih perusahaan. Untuk memberikan panduan yang jelas dan langkah demi langkah, artikel ini akan merujuk pada ketentuan yang relevan dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 73 tentang Pendapatan dari Kontrak dengan Pelanggan. Dengan mematuhi standar ini, perusahaan dapat memastikan bahwa cara menjurnal, menilai, dan melaporkan transaksi barter jasa-aset dilakukan secara tepat dan kredibel.
Dasar-Dasar Akuntansi: Penilaian Aset dan Pengakuan Pendapatan
Transaksi pembayaran jasa dengan aset non-kas, sering disebut sebagai barter, merupakan area akuntansi yang menuntut ketelitian tinggi. Dasar dari pencatatan yang benar terletak pada penentuan nilai yang tepat dari aset yang dipertukarkan dan kepatuhan terhadap standar akuntansi yang berlaku. Kesalahan dalam penilaian dapat menyebabkan pelaporan pendapatan dan nilai aset yang tidak akurat, yang pada akhirnya akan merusak kepercayaan terhadap laporan keuangan entitas.
Menentukan Nilai Wajar: Aset yang Diterima vs. Jasa yang Diberikan
Penentuan nilai adalah langkah krusial dalam pencatatan pembayaran jasa dibayar dengan aset. Prinsip dasar yang wajib diikuti adalah menggunakan nilai wajar (fair value) dari salah satu item yang dipertukarkan sebagai basis pencatatan. Nilai wajar adalah harga yang akan diterima untuk menjual aset atau harga yang akan dibayar untuk mengalihkan liabilitas dalam transaksi teratur antara pelaku pasar pada tanggal pengukuran.
Secara hierarki, entitas harus terlebih dahulu berusaha menentukan nilai wajar aset non-kas yang diterima. Nilai inilah yang paling ideal untuk digunakan sebagai pengukur nilai pendapatan jasa yang diakui. Namun, jika nilai wajar aset yang diterima dianggap tidak jelas atau tidak dapat diukur secara andal—misalnya karena aset tersebut unik atau tidak memiliki pasar aktif—maka entitas harus beralih menggunakan nilai wajar jasa yang telah diberikan sebagai basis pencatatan. Penilaian ini harus didukung oleh bukti objektif seperti harga pasar jasa serupa yang dibayarkan secara tunai.
Standar Akuntansi yang Berlaku: Merujuk PSAK 73 dan PSAK 23
Kepatuhan terhadap standar akuntansi keuangan yang ditetapkan adalah landasan untuk memastikan laporan keuangan dapat diandalkan (Reliability) dan memiliki representasi jujur (Faithful Representation). Dalam konteks transaksi barter jasa dengan aset, dua standar utama menjadi rujukan, yaitu PSAK 73 (sebelumnya PSAK 30) tentang Sewa (jika aset yang diterima adalah hak guna aset) dan PSAK 23 tentang Pendapatan (sekarang digantikan oleh PSAK 73 tentang Pendapatan dari Kontrak dengan Pelanggan) yang mengatur pengakuan pendapatan.
Mengenai pertimbangan non-kas, Paragraf 73.12 PSAK 73 secara eksplisit menyatakan bahwa, “Entitas mencatat aset dan liabilitas sewa secara terpisah dengan nilai tunai setara. Jika pertimbangan non-kas (misalnya, pembayaran di muka dalam bentuk barang atau jasa) diberikan kepada pemberi sewa, nilai yang digunakan untuk mencatat liabilitas sewa harus mencerminkan nilai wajar pertimbangan non-kas tersebut.” Prinsip ini, meskipun berfokus pada sewa, menegaskan pentingnya menggunakan nilai wajar saat menilai aset atau pertimbangan non-kas yang terlibat dalam transaksi kontraktual. Standar ini menjamin bahwa seluruh pendapatan, baik tunai maupun non-kas, diukur berdasarkan nilai ekonominya yang sebenarnya.
Pengakuan Laba atau Rugi dari Pertukaran Aset
Saat entitas membayar jasa dengan cara menyerahkan aset non-kas yang sudah dimilikinya (seperti properti, peralatan, atau persediaan), potensi laba atau rugi dapat timbul. Laba atau rugi ini diakui jika terdapat selisih antara nilai tercatat aset yang diserahkan dengan nilai wajarnya pada tanggal pertukaran.
- Laba diakui apabila Nilai Wajar Aset yang Diserahkan lebih besar daripada Nilai Tercatat (Biaya Perolehan dikurangi Akumulasi Penyusutan).
- Rugi diakui apabila Nilai Wajar Aset yang Diserahkan lebih kecil daripada Nilai Tercatat.
Pengakuan laba atau rugi ini merupakan refleksi dari realisasi nilai ekonomis aset yang diserahkan dalam transaksi pasar (nilai wajar), yang berbeda dengan nilai bukunya. Misalnya, jika sebuah peralatan memiliki nilai tercatat Rp100 juta, tetapi digunakan untuk membayar jasa yang memiliki nilai wajar Rp120 juta, maka entitas yang menyerahkan aset tersebut harus mengakui laba sebesar Rp20 juta ($Rp120.000.000 - Rp100.000.000$). Pencatatan yang teliti ini memperkuat kualitas laporan keuangan karena mencerminkan semua aspek transaksi, termasuk dampak dari realisasi nilai aset.
Langkah-Langkah Praktis Pencatatan Jurnal dalam Transaksi Barter
Transaksi pertukaran jasa dengan aset non-kas—atau barter—membutuhkan ketelitian akuntansi untuk memastikan laporan keuangan mencerminkan substansi ekonomi yang sebenarnya. Kunci keberhasilan pencatatan terletak pada penentuan nilai yang paling andal, yang kemudian menjadi dasar penjurnalan baik bagi penerima maupun pemberi aset. Berikut adalah panduan langkah demi langkah untuk melakukan pencatatan jurnal.
Skenario 1: Penilaian Berdasarkan Nilai Wajar Aset yang Diterima (Paling Andal)
Menurut prinsip akuntansi yang berlaku, entitas yang menyediakan jasa dan menerima aset non-kas sebagai imbalan harus mengakui pendapatan dan aset tersebut berdasarkan nilai wajar aset yang diterima. Metode ini dianggap paling andal jika aset tersebut memiliki harga pasar yang jelas dan mudah diverifikasi.
Jurnal dasar yang dicatat oleh entitas penerima jasa (penyedia jasa) adalah sebagai berikut:
| Akun | Debit (Rp) | Kredit (Rp) |
|---|---|---|
| Aset (misalnya: Tanah, Peralatan, Investasi) | XXX | |
| Pendapatan Jasa | XXX | |
| Keterangan: Mengakui pendapatan atas jasa yang diserahkan, dinilai berdasarkan nilai wajar aset yang diterima. |
Misalnya, sebuah perusahaan konsultan menyelesaikan proyek dan menerima sebidang tanah sebagai pembayaran. Nilai wajar tanah tersebut disepakati sebesar Rp800.000.000. Jurnalnya adalah: Mendebet Akun Tanah sebesar Rp800.000.000 dan Mengkredit Akun Pendapatan Jasa sebesar Rp800.000.000.
Skenario 2: Penilaian Berdasarkan Nilai Wajar Jasa yang Diserahkan (Alternatif)
Jika nilai wajar aset yang diterima tidak dapat ditentukan secara andal—misalnya, aset tersebut unik, tidak likuid, atau belum pernah diperdagangkan—maka nilai wajar jasa yang telah diserahkan dapat digunakan sebagai alternatif untuk mengukur transaksi.
Prinsip pengakuan pendapatan yang kredibel dan dapat diandalkan (sesuai standar akuntansi) mengharuskan perusahaan menggunakan estimasi yang paling mendekati nilai pasar. Jika jasa yang diberikan memiliki harga jual yang terstandarisasi, nilai tersebut dapat digunakan untuk menentukan nilai aset yang diterima.
Jurnal yang dicatat oleh entitas penerima jasa (penyedia jasa) dalam skenario ini akan tetap sama dengan Skenario 1, tetapi jumlah (XXX) didasarkan pada nilai wajar jasa.
Memperhitungkan Selisih Nilai Aset: Pengakuan Keuntungan atau Kerugian
Bagi entitas pembayar jasa (yang menyerahkan aset non-kas), transaksi ini adalah pertukaran, bukan sekadar pembayaran tunai. Di sinilah seringkali muncul laba atau rugi dari pelepasan aset. Selisih antara Nilai Wajar Aset (yang digunakan untuk membayar jasa) dengan Nilai Tercatat Aset (nilai buku aset di neraca perusahaan) harus diakui sebagai keuntungan atau kerugian.
Contoh Kasus Komprehensif:
Perusahaan A (Penyedia Jasa) memberikan jasa konsultasi kepada Perusahaan B (Pembayar Jasa). Perusahaan B membayar dengan menyerahkan properti (Aset Tetap).
| Keterangan | Nilai |
|---|---|
| Nilai Tercatat Properti di Perusahaan B | Rp500.000.000 |
| Nilai Wajar Jasa Konsultasi (disepakati) | Rp550.000.000 |
Dalam kasus ini, nilai wajar (Rp550 juta) lebih andal diukur.
1. Jurnal di Perusahaan A (Penerima Jasa):
| Akun | Debit (Rp) | Kredit (Rp) |
|---|---|---|
| Aset Tetap (Properti) | 550.000.000 | |
| Pendapatan Jasa | 550.000.000 |
2. Jurnal di Perusahaan B (Pembayar Jasa):
Perusahaan B menyerahkan properti yang nilai bukunya Rp500 juta, tetapi dinilai setara dengan jasa Rp550 juta. Ini menunjukkan adanya Keuntungan dari pelepasan aset sebesar Rp50.000.000 (Rp550 juta - Rp500 juta).
| Akun | Debit (Rp) | Kredit (Rp) |
|---|---|---|
| Beban Jasa Konsultasi | 550.000.000 | |
| Aset Tetap (Properti) | 500.000.000 | |
| Keuntungan Penjualan/Pelepasan Aset | 50.000.000 | |
| Keterangan: Mengakui beban jasa dan keuntungan pelepasan properti yang digunakan untuk pembayaran. |
Pencatatan ganda ini menunjukkan transparansi dan validitas laporan keuangan. Jurnal ini dengan jelas mencerminkan bahwa Perusahaan B membayar beban senilai Rp550 juta dan pada saat yang sama merealisasikan laba non-operasional dari pelepasan aset yang dicatat di bawah nilai wajarnya. Ini adalah praktik akuntansi yang teliti untuk memastikan akurasi pelaporan dan meningkatkan kepercayaan pengguna laporan keuangan.
Implikasi Pajak dan Kepatuhan: Aspek Non-Akuntansi yang Penting
Meskipun pencatatan akuntansi (jurnal dan laporan) sudah akurat, transaksi pembayaran jasa dengan aset non-kas tetap memiliki dampak signifikan terhadap kewajiban perpajakan. Mengabaikan aspek ini dapat menimbulkan denda dan masalah kepatuhan saat audit. Oleh karena itu, penting untuk memahami bagaimana otoritas pajak melihat transaksi barter, terutama mengenai penentuan nilai.
Perlakuan Pajak Penghasilan (PPh) atas Transaksi Non-Kas
Dalam konteks Pajak Penghasilan (PPh), transaksi non-kas diperlakukan sebagai transaksi biasa dan dihitung berdasarkan nilai wajar aset. Ini adalah poin krusial yang sering kali memicu kewajiban PPh Badan bagi entitas yang menerima pendapatan.
Ketika sebuah entitas menerima aset sebagai pembayaran atas jasa yang telah diserahkan, entitas tersebut dianggap menerima penghasilan. Nilai penghasilan yang diakui untuk tujuan PPh adalah sebesar nilai wajar aset non-kas yang diterima. Sebagai contoh, jika Anda memberikan jasa konsultasi senilai Rp300 juta dan menerima sebidang tanah, maka penghasilan Anda untuk PPh adalah Rp300 juta—asumsi ini adalah nilai wajar tanah tersebut. Sesuai dengan Pasal 4 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa, termasuk dalam bentuk natura atau kenikmatan, adalah objek pajak. Prinsip penilaian ini memastikan bahwa penerimaan aset non-kas tidak digunakan sebagai celah untuk menghindari pengakuan pendapatan kena pajak.
Kewajiban Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dalam Transaksi Barter Jasa
Kewajiban Pajak Pertambahan Nilai (PPN) tetap wajib dikenakan atas penyerahan Jasa Kena Pajak, meskipun pembayaran yang diterima oleh penyedia jasa berupa aset non-kas. Transaksi barter jasa-aset tidak membebaskan penyedia jasa dari kewajiban PPN.
Berdasarkan regulasi yang berlaku, Dasar Pengenaan Pajak (DPP) atas penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) adalah sebesar nilai wajar dari jasa yang diserahkan. Nilai ini biasanya sama dengan nilai wajar aset yang diterima. PPN sebesar 11% (sesuai tarif yang berlaku) kemudian dihitung dari nilai wajar tersebut dan wajib dipungut serta disetorkan oleh penyedia jasa. Untuk menjaga kredibilitas dan menghindari sanksi, penyedia jasa harus menerbitkan Faktur Pajak yang mencantumkan nilai wajar tersebut sebagai dasar perhitungan PPN, meskipun tidak ada uang tunai yang berpindah tangan.
Mendokumentasikan Nilai Wajar untuk Kepatuhan Audit
Sama seperti dalam akuntansi, pendokumentasian nilai wajar aset non-kas dalam konteks perpajakan sangat penting untuk menunjukkan kepatuhan saat audit. Tanpa bukti yang kuat dan andal mengenai penentuan nilai wajar, nilai yang Anda gunakan dalam perhitungan PPh dan PPN dapat dipersoalkan oleh pemeriksa pajak.
Untuk memperkuat kredibilitas informasi perpajakan Anda, Anda harus merujuk pada ketentuan perpajakan spesifik yang mengatur penilaian aset dalam barter. Merujuk pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) terkait penilaian kembali aktiva tetap (meskipun konteksnya berbeda, prinsip nilai wajar selalu menjadi acuan) atau menggunakan data harga pasar yang kredibel adalah langkah proaktif. Jika aset yang diterima memiliki nilai yang sangat unik atau tidak likuid, menggunakan jasa penilai independen (appraiser) bersertifikat akan menjadi bukti yang paling meyakinkan bagi otoritas pajak dan akan sangat membantu dalam memastikan bahwa Anda telah memenuhi semua kewajiban pelaporan dan pembayaran pajak dengan benar.
Tips Ahli untuk Meningkatkan Kepercayaan Laporan Keuangan Anda
Ketika sebuah perusahaan terlibat dalam transaksi pembayaran jasa yang dibayar dengan aset non-kas, tantangan terbesar adalah menjaga kualitas, kredibilitas, dan keandalan dari pelaporan keuangan. Dengan fokus pada tiga pilar utama—dokumentasi, keahlian tim, dan transparansi pengungkapan—Anda dapat memastikan bahwa transaksi barter ini dicatat sesuai standar dan lolos audit dengan meyakinkan.
Pentingnya Dokumentasi Komprehensif: Kontrak dan Penilaian Independen
Kepercayaan dalam pelaporan (sering disebut sebagai Expertise, Experience, Authority, and Trust) dimulai dari dasar: dokumentasi yang kuat. Setiap transaksi barter harus didukung oleh kontrak tertulis yang jelas, yang menguraikan nilai, sifat aset, dan jasa yang dipertukarkan.
Lebih lanjut, untuk menjamin akurasi dan objektivitas, terutama untuk aset yang unik atau tidak likuid (misalnya, karya seni, paten, atau real estate khusus), sangat dianjurkan untuk menggunakan jasa penilai independen (appraiser) bersertifikat. Penilaian independen ini berfungsi sebagai bukti keahlian dan objektivitas dalam menentukan nilai wajar (fair value). Tanpa penilaian independen yang kredibel, nilai yang dicatat dalam laporan keuangan dapat dipertanyakan oleh auditor dan regulator, merusak otoritas laporan Anda.
Pelatihan Staf Akuntansi dalam Transaksi Barter yang Kompleks
Kesalahan sering kali terjadi bukan karena niat buruk, tetapi karena kurangnya pengalaman dan keahlian dalam menangani kasus non-standar seperti barter. Tim akuntansi Anda harus secara rutin dilatih mengenai ketentuan PSAK 73 tentang Pengakuan Pendapatan dari Kontrak dengan Pelanggan, yang secara eksplisit membahas pertimbangan pembayaran non-kas.
Pelatihan ini harus mencakup:
- Identifikasi Nilai Wajar: Kemampuan untuk secara konsisten menentukan mana yang merupakan nilai wajar yang paling andal terukur—aset yang diterima atau jasa yang diberikan.
- Pengakuan Untung/Rugi: Pemahaman mendalam tentang bagaimana mengakui laba atau rugi yang timbul dari perbedaan antara nilai tercatat aset yang diserahkan dan nilai wajarnya.
- Implikasi Pajak: Kesadaran akan perlakuan PPN dan PPh atas transaksi non-kas agar proses pencatatan tidak hanya akurat secara akuntansi tetapi juga patuh secara perpajakan.
Pengungkapan (Disclosure) yang Tepat dalam Catatan Atas Laporan Keuangan
Aspek paling penting dari transparansi dan otoritas adalah pengungkapan yang memadai dalam Catatan Atas Laporan Keuangan (CALK). Laporan keuangan yang andal adalah laporan yang memberikan informasi lengkap agar pengguna dapat membuat keputusan. Oleh karena itu, Pengungkapan yang jelas di CALK harus mencakup:
- Sifat dan kuantitas aset yang diterima atau diserahkan sebagai pembayaran.
- Dasar dan metode yang digunakan untuk menentukan nilai wajar aset tersebut.
- Dampak transaksi barter terhadap total pendapatan yang diakui.
Untuk membantu tim Anda menyusun pengungkapan yang memadai, berikut adalah contoh format tabel pengungkapan minimal yang harus ada dalam Catatan Atas Laporan Keuangan terkait transaksi non-moneter:
| Kategori Pengungkapan | Deskripsi Minimum |
|---|---|
| Sifat Transaksi | Penjelasan singkat tentang aset dan jasa yang dipertukarkan (misalnya, “Penerimaan aset tanah sebagai pembayaran jasa konsultasi.”). |
| Nilai Wajar yang Diakui | Jumlah total pendapatan/aset yang diakui (misalnya, RpX Miliar). |
| Metode Penilaian | Indikasi nilai wajar yang digunakan (Aset vs. Jasa) dan sumbernya (misalnya, “Menggunakan Penilaian dari Appraiser Independen XZY.”). |
| Dampak Transaksi | Persentase nilai wajar transaksi terhadap total pendapatan perusahaan untuk periode tersebut. |
| Kepatuhan PSAK | Pernyataan bahwa transaksi dicatat sesuai dengan ketentuan yang relevan dalam PSAK 73. |
Pengungkapan seperti ini menegaskan bahwa perusahaan telah melakukan uji tuntas, menerapkan standar akuntansi secara profesional, dan sepenuhnya transparan, sehingga membangun kepercayaan di mata para pemangku kepentingan.
Your Top Questions About Pencatatan Pembayaran Aset Answered
Q1. Apakah barter jasa dengan aset harus selalu menggunakan nilai wajar?
Ya, penilaian berdasarkan nilai wajar (fair value) adalah prinsip dasar dan utama dalam standar akuntansi yang berlaku untuk transaksi non-moneter, termasuk pencatatan pembayaran jasa yang dibayar dengan aset. Prinsip ini sangat penting untuk memastikan bahwa laporan keuangan secara akurat mencerminkan substansi ekonomi dari pertukaran tersebut, sebuah praktik yang sangat ditekankan untuk meningkatkan keandalan dan kepercayaan laporan keuangan.
Standar mengharuskan Anda untuk mengukur pendapatan dan aset yang diterima sebesar nilai wajar aset yang diterima atau nilai wajar jasa yang diberikan, mana pun yang dapat diukur dengan lebih andal. Jika kedua nilai wajar tidak dapat ditentukan secara andal—misalnya, karena aset yang diterima sangat unik dan tidak memiliki pasar aktif, atau jasa yang diberikan tidak memiliki harga pasar yang jelas—maka pengakuan transaksi tersebut harus ditunda. Dalam kasus yang jarang terjadi ini, entitas mungkin tidak mengakui transaksi tersebut di dalam laporan keuangan hingga nilai wajar dari salah satu komponen (aset atau jasa) dapat diukur dengan andal di masa mendatang.
Q2. Bagaimana jika aset yang dibayarkan adalah Inventaris/Persediaan?
Perlakuan akuntansi akan bergantung pada peran entitas dalam transaksi tersebut, yaitu apakah entitas tersebut adalah pihak yang menerima jasa (membayar dengan persediaan) atau pihak yang menyediakan jasa (menerima persediaan).
- Untuk Entitas yang Menyediakan Jasa (Menerima Persediaan): Entitas tersebut akan mendebet akun Persediaan (atau aset lain, tergantung tujuan kepemilikan persediaan tersebut) dan mengkredit akun Pendapatan Jasa sebesar nilai wajar persediaan yang diterima.
- Untuk Entitas yang Membayar dengan Persediaan (Menerima Jasa): Perusahaan ini pada dasarnya melakukan dua hal sekaligus: (1) menjual persediaan dan (2) membayar beban jasa. Entitas ini harus mengakui pendapatan penjualan sebesar nilai wajar persediaan yang diserahkan dan pada saat yang sama mengakui Beban Pokok Penjualan (HPP) sebesar biaya perolehan persediaan tersebut. Kemudian, entitas akan mencatat Beban Jasa sebesar nilai wajar yang sama. Dengan demikian, pendapatan diakui sebesar nilai wajar persediaan atau jasa (mana yang lebih andal), dan pada saat yang sama biaya perolehan persediaan (nilai tercatat awal) dicatat sebagai beban. Setiap selisih antara nilai wajar dan biaya perolehan persediaan yang diserahkan akan diakui sebagai laba atau rugi penjualan.
Final Takeaways: Mastering Akuntansi Barter Jasa
Ringkasan 3 Langkah Kunci: Penilaian, Jurnal, dan Kepatuhan
Keahlian dalam pencatatan pembayaran jasa dibayar dengan aset terletak pada penguasaan tiga pilar utama. Prinsip terpenting yang harus dipegang teguh adalah konsistensi dalam dokumentasi dan penggunaan nilai. Ini berarti selalu dokumentasikan dan gunakan nilai wajar yang paling andal terukur sebagai basis pencatatan, baik itu nilai wajar aset yang diterima (lebih disukai) atau nilai wajar jasa yang diserahkan. Langkah kedua adalah memastikan penjurnalan dilakukan secara akurat (mendebet aset, mengkredit pendapatan). Terakhir, pilar kepatuhan menekankan bahwa akuntansi non-kas harus selaras dengan kewajiban Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) berdasarkan nilai wajar tersebut, menjamin transparansi dan kualitas informasi.
Tindak Lanjut: Mengintegrasikan Prinsip Akuntansi yang Andal
Untuk mengintegrasikan praktik akuntansi yang andal, Anda disarankan untuk segera tinjau ulang kebijakan akuntansi internal Anda terkait transaksi non-moneter. Pastikan kebijakan tersebut secara eksplisit mengacu pada PSAK 73 (atau standar akuntansi yang berlaku) dalam hal penentuan nilai wajar. Tinjauan ini penting untuk memastikan kepatuhan penuh terhadap standar akuntansi dan regulasi pajak yang berlaku. Dengan langkah ini, laporan keuangan Anda tidak hanya akurat tetapi juga memiliki kualitas dan kepercayaan yang tinggi di mata auditor dan pemangku kepentingan.