Pembayaran Jasa Servis: Apakah Kena PPN dan PPh Pasal 23?

Memahami Ketentuan Pajak Atas Pembayaran Jasa Servis

Definisi Singkat: Jasa Servis dan Kewajiban Pajaknya

Pembayaran yang Anda lakukan untuk mendapatkan jasa servis—meliputi aktivitas perbaikan, pemeliharaan, atau perawatan—umumnya memiliki implikasi pajak yang signifikan. Berdasarkan ketentuan perpajakan di Indonesia, transaksi pembayaran jasa servis (perbaikan/pemeliharaan) akan dikenakan dua jenis pajak utama yang wajib dipatuhi. Pajak tersebut adalah PPN (Pajak Pertambahan Nilai) yang dipungut oleh penyedia jasa, dan PPh Pasal 23 (Pajak Penghasilan Pasal 23) yang dipotong oleh pihak yang melakukan pembayaran (pengguna jasa). Tujuan artikel ini adalah untuk memberikan panduan komprehensif, mengupas tuntas dasar hukum, tarif, dan mekanisme pemotongan atau pemungutan PPN serta PPh 23 untuk transaksi jasa servis, memastikan bahwa setiap transaksi Anda telah sesuai dengan regulasi fiskal yang berlaku.

Kenapa Kepatuhan Pajak Jasa Servis Sangat Penting

Memahami dan menerapkan ketentuan pajak pada pembayaran jasa servis bukan hanya soal kewajiban hukum, tetapi juga fundamental untuk membangun kredibilitas dan profesionalisme fiskal perusahaan Anda. Kekeliruan dalam pemotongan PPh 23 atau pemungutan PPN dapat memicu sanksi administrasi berupa denda, yang pada akhirnya akan merugikan arus kas perusahaan. Oleh karena itu, memastikan bahwa setiap tahapan transaksi, mulai dari penerbitan faktur hingga pelaporan SPT (Surat Pemberitahuan Tahunan), dilakukan secara akurat dan terdokumentasi lengkap adalah kunci. Kepatuhan ini mencerminkan kehati-hatian finansial dan memberikan landasan yang kuat saat menghadapi potensi pemeriksaan atau audit pajak di masa depan.

Kewajiban PPN Atas Jasa Servis (Perbaikan dan Pemeliharaan)

Setiap transaksi pembayaran jasa servis, baik itu perbaikan mesin, kendaraan, atau pemeliharaan perangkat, memiliki potensi untuk dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). PPN ini merupakan pajak konsumsi yang pada dasarnya dibebankan kepada konsumen akhir, namun mekanisme pemungutannya dilakukan oleh penyedia jasa.

Kriteria Jasa Servis yang Terutang PPN

Jasa servis atau jasa perbaikan secara definisi termasuk dalam kategori Jasa Kena Pajak (JKP), yang artinya secara otomatis terutang PPN. Berdasarkan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), tarif PPN standar yang berlaku saat ini adalah 11%. Artinya, setiap nilai jasa yang Anda bayarkan kepada penyedia jasa wajib dikenakan tambahan PPN sebesar 11% dari nilai Dasar Pengenaan Pajak (DPP) tersebut, kecuali jika jasa tersebut termasuk dalam daftar jasa yang dibebaskan atau tidak dikenakan PPN.

Namun, yang menjadi krusial dalam konteks ini adalah status dari penyedia jasa itu sendiri. Hanya perusahaan atau individu yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang memiliki kewajiban untuk memungut, menyetor, dan melaporkan PPN. Untuk memastikan kepatuhan transaksi, Anda perlu memahami ambang batas omzet PKP. Sebagai konsultan pajak yang berpengalaman, kami selalu menyarankan klien untuk secara rutin memeriksa Peraturan Menteri Keuangan (PMK) terkait batasan omzet PKP terbaru, karena hanya penyedia jasa yang omzetnya telah melampaui batas tersebut yang wajib memungut PPN. Jika penyedia jasa belum PKP, mereka tidak berhak memungut PPN 11% tersebut, sehingga PPN menjadi tidak terutang dalam transaksi.

Cara Menghitung dan Memungut PPN Jasa Servis

Mekanisme PPN pada dasarnya sangat sederhana. PPN dipungut oleh pihak penyedia jasa (PKP) pada saat penyerahan jasa terjadi. Sebagai bukti bahwa PPN telah dipungut dan akan disetorkan ke kas negara, penyedia jasa tersebut wajib menerbitkan Faktur Pajak kepada pengguna jasa. Faktur Pajak inilah yang menjadi dokumen sangat penting, karena bagi pengguna jasa (jika mereka juga PKP), Faktur Pajak tersebut dapat digunakan sebagai Pajak Masukan (kredit pajak).

Contoh Perhitungan:

Misalkan nilai pembayaran jasa servis adalah Rp 10.000.000.

$$ \text{PPN Terutang} = \text{Nilai Jasa} \times \text{Tarif PPN} $$

$$ \text{PPN Terutang} = \text{Rp 10.000.000} \times 11% = \text{Rp 1.100.000} $$

Maka, total yang harus dibayarkan oleh pengguna jasa kepada penyedia jasa adalah Rp 10.000.000 (Jasa) + Rp 1.100.000 (PPN) = Rp 11.100.000. Pihak penyedia jasa selanjutnya bertanggung jawab untuk menyetorkan PPN Rp 1.100.000 tersebut ke kas negara dan melaporkannya melalui SPT Masa PPN.

Tarif dan Pemotongan PPh Pasal 23 Atas Pembayaran Jasa Servis

Selain Pajak Pertambahan Nilai (PPN), setiap pembayaran jasa servis oleh Badan Usaha atau Instansi Pemerintah akan dikenakan kewajiban Pajak Penghasilan Pasal 23 (PPh Pasal 23). Berbeda dengan PPN yang dipungut oleh penjual, PPh Pasal 23 memiliki mekanisme pemotongan yang dilakukan oleh pihak yang membayarkan (pengguna jasa). Hal ini bertujuan untuk mengamankan penerimaan pajak penghasilan di awal atas berbagai jenis jasa.

Dasar Hukum PPh Pasal 23 untuk Jasa Servis

Jasa servis, seperti service dan maintenance (perbaikan dan pemeliharaan), secara eksplisit termasuk dalam daftar jasa lain yang diatur sebagai objek PPh Pasal 23. Berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh), pihak yang melakukan pembayaran kepada penyedia jasa wajib memotong PPh 23 dari jumlah bruto (Dasar Pengenaan Pajak). Ketentuan ini memastikan bahwa penghasilan yang diperoleh dari penyediaan jasa sudah dikenakan pajak, yang nantinya dapat dikreditkan oleh penyedia jasa saat menghitung PPh Badan/Tahunan mereka.

Tarif PPh Pasal 23 yang dikenakan atas jasa servis adalah 2% dari jumlah bruto (DPP) sepanjang penyedia jasa memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).

Mekanisme Pemotongan dan Pelaporan PPh 23 oleh Pemberi Jasa

Pihak yang melakukan pembayaran jasa servis (pengguna jasa) bertindak sebagai Pemotong PPh Pasal 23. Mekanisme ini melibatkan beberapa langkah krusial:

  1. Potongan Pajak: Saat melakukan pembayaran, Pemotong Pajak harus mengurangi jumlah bruto jasa servis dengan tarif PPh 23 yang berlaku (standar 2%).
  2. Penerbitan Bukti Potong: Pemotong wajib menerbitkan Bukti Pemotongan PPh Pasal 23 dan menyerahkannya kepada penyedia jasa. Dokumen ini sangat penting karena berfungsi sebagai kredit pajak bagi penyedia jasa.
  3. Penyetoran: PPh Pasal 23 yang sudah dipotong wajib disetor ke Kas Negara paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya setelah bulan terutang.
  4. Pelaporan: Pemotong wajib melaporkan pemotongan ini melalui Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPh Pasal 23, paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya.

Penting untuk dicatat: Komitmen pada keahlian dan kepatuhan pajak mengharuskan Pemotong Pajak untuk selalu memverifikasi status NPWP penyedia jasa. Jika penyedia jasa tidak memiliki NPWP, maka tarif pemotongan yang dikenakan adalah 4% (yaitu 100% lebih tinggi dari tarif normal 2%), sesuai dengan amanat UU PPh. Peningkatan tarif ini berfungsi sebagai penalti administratif dan dorongan kuat bagi pelaku usaha untuk mendaftarkan diri sebagai Wajib Pajak. Dengan memahami dan menerapkan mekanisme ini dengan benar, perusahaan dapat menunjukkan tingkat kepercayaan dan otoritas yang tinggi dalam pengelolaan fiskal.

Membedah Jenis-Jenis Jasa Servis dan Perlakuan Pajaknya

Memahami perlakuan pajak tidak cukup hanya dengan mengetahui tarif, tetapi juga harus dapat mengklasifikasikan jenis jasa secara spesifik. Klasifikasi ini sangat penting karena daftar jenis jasa yang dikenakan PPh Pasal 23 telah diatur secara rinci dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK), dan kesalahan klasifikasi dapat berujung pada pemotongan pajak yang tidak sesuai.

Jasa Perbaikan dan Pemeliharaan Kendaraan/Mesin

Jasa perbaikan dan pemeliharaan (servis) kendaraan bermotor, mesin industri, hingga peralatan kantor adalah contoh yang paling umum dikenai pajak. Jasa perbaikan kendaraan bermotor secara eksplisit termasuk dalam daftar jasa yang terutang PPh Pasal 23, selain kewajiban memungut PPN.

  • PPN: Dikenakan atas seluruh nilai penyerahan jasa (Dasar Pengenaan Pajak/DPP Jasa).
  • PPh Pasal 23: Dipotong oleh pengguna jasa dari nilai DPP Jasa, bukan termasuk penggantian spare part atau material.

Penting: Selalu pastikan bahwa PPh Pasal 23 dikenakan hanya atas nilai jasa, dan bukan atas penggantian spare part (material) yang mungkin sudah termasuk PPN. Praktik terbaik adalah memisahkan nilai DPP Jasa dan DPP Material dalam invoice. Sebagai ahli pajak yang bersertifikat, kami menekankan bahwa pemisahan ini adalah kunci kepatuhan. Apabila nilai jasa tidak dipisahkan dengan jelas, otoritas pajak dapat berargumen bahwa PPh 23 harus dikenakan atas total nilai transaksi (termasuk spare part), yang tentu merugikan penyedia jasa.

Jasa Servis Komputer, Software, dan Elektronik (Digital Service)

Seiring dengan perkembangan teknologi, jasa yang berkaitan dengan komputer, software, dan elektronik juga masuk dalam kategori yang dikenakan PPh Pasal 23. Ini mencakup jasa instalasi, pemeliharaan (maintenance), perbaikan perangkat keras (hardware), hingga perbaikan software (jasa pemeliharaan/perbaikan/instalasi komputer).

Meskipun sifatnya digital atau teknis, prinsip perpajakannya tetap sama:

  1. PPN wajib dipungut oleh penyedia jasa (jika sudah berstatus PKP) dari seluruh nilai jasa.
  2. PPh Pasal 23 wajib dipotong oleh pengguna jasa (pemayar) dari nilai jasa tersebut.

Tingkat kepercayaan (Trust) dalam dokumentasi transaksi ini sangat tinggi. Untuk menunjukkan keahlian (Expertise) dan kepatuhan dalam pemungutan pajak digital, Anda harus memastikan bahwa deskripsi dalam Faktur Pajak dan Bukti Potong PPh 23 secara akurat mencerminkan jenis jasa yang diberikan, sesuai dengan kriteria yang diatur dalam PMK terkait.

Jasa Perbaikan Bangunan atau Konstruksi Skala Kecil

Jasa perbaikan bangunan, renovasi kecil, atau konstruksi yang tidak memerlukan Sertifikat Badan Usaha (SBU) skala besar sering kali diperlakukan berbeda.

  • Jasa Konstruksi (Besar/Menengah): Dikenakan PPh Final, bukan PPh Pasal 23.
  • Jasa Perbaikan Bangunan/Instalasi Skala Kecil: Sering masuk dalam objek PPh Pasal 23, khususnya jika pekerjaan tersebut diklasifikasikan sebagai Jasa Instalasi/Pemasangan Mesin, Peralatan, Listrik, Telepon, Air, Gas, AC, dan/atau TV Kabel, atau Jasa Perawatan Bangunan.

Contoh Konkret Pemisahan DPP Jasa dan DPP Material:

Misalnya, PT A membayar CV B untuk perbaikan mesin dengan total tagihan Rp 15.000.000.

Komponen Tagihan Nilai (sebelum PPN) Keterangan Pajak
Nilai Jasa Servis Rp 10.000.000 Objek PPN dan PPh Pasal 23
Nilai Spare Part (Material) Rp 5.000.000 Objek PPN, Bukan Objek PPh Pasal 23
Total DPP Rp 15.000.000
PPN Terutang (11% dari Rp 15.000.000) Rp 1.650.000
PPh Pasal 23 Terpotong (2% dari Rp 10.000.000) Rp 200.000 Hanya dari Nilai Jasa
Total Pembayaran Bersih kepada CV B Rp 16.450.000 (Rp 15.000.000 + Rp 1.650.000 - Rp 200.000)

Pemisahan yang jelas pada invoice seperti contoh di atas adalah standar keahlian (Expertise) dalam administrasi perpajakan dan sangat membantu untuk meminimalkan risiko temuan saat audit pajak.

Peran Sertifikat Kepatuhan dan Keahlian (Ekspertise dan Trust) dalam Pajak

Dalam transaksi pembayaran jasa, memiliki sertifikat kepatuhan dan keahlian bukan hanya persoalan legalitas operasional, namun juga merupakan faktor penting yang secara langsung memengaruhi kewajiban dan tarif pajak yang harus dikenakan. Kepatuhan ini mencerminkan tingkat trust (kepercayaan) dan expertise (keahlian) dari penyedia jasa di mata otoritas pajak. Peraturan perpajakan, khususnya Pajak Penghasilan (PPh), sengaja dirancang untuk memberikan insentif kepatuhan, sehingga perusahaan yang memiliki dokumen lengkap akan mendapatkan tarif pajak yang lebih ringan.

Implikasi Tidak Adanya Surat Keterangan Fiskal (SKF) atau NPWP

Ketiadaan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) pada penyedia jasa dapat mengakibatkan dampak finansial yang signifikan bagi mereka, karena tarif pemotongan PPh menjadi jauh lebih besar. Berdasarkan Undang-Undang PPh, jika penyedia jasa tidak memiliki NPWP, tarif pemotongan PPh Pasal 23 yang semula 2% (untuk jasa servis) akan dinaikkan 100% menjadi 4%. Kenaikan tarif ini bertujuan untuk mendorong para wajib pajak badan maupun pribadi untuk mendaftarkan diri.

Selain NPWP, bagi penyedia jasa konstruksi, ketiadaan Sertifikat Badan Usaha (SBU) yang valid memiliki implikasi pajak yang sangat drastis. Berdasarkan Peraturan Pemerintah, jasa konstruksi yang tidak memiliki SBU akan dikenakan PPh Final dengan tarif tertinggi, yaitu 4%, dibandingkan tarif normal yang berkisar antara 1,75% hingga 3,5% (tergantung kualifikasi). Oleh karena itu, memastikan penyedia jasa konstruksi memiliki SBU yang sah dan terdaftar di Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) adalah langkah krusial untuk memastikan due diligence dan menghindari tarif pajak yang membengkak, yang pada akhirnya harus ditanggung oleh penyedia jasa tersebut.

Bagaimana Bukti Potong PPh 23 dan Faktur Pajak (PPN) Mendukung Kepatuhan

Dokumentasi transaksi yang akurat adalah fondasi dari kepatuhan pajak. Dua dokumen kunci dalam transaksi jasa servis adalah Faktur Pajak (untuk PPN) dan Bukti Potong PPh Pasal 23.

  • Faktur Pajak PPN: Dokumen ini menunjukkan bahwa PPN sebesar 11% dari Dasar Pengenaan Pajak (DPP) telah dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) penyedia jasa dan akan disetorkan ke kas negara. Bagi pengguna jasa (jika PKP), Faktur Pajak ini berfungsi sebagai Pajak Masukan yang dapat dikreditkan.
  • Bukti Potong PPh Pasal 23: Dokumen ini adalah bukti bahwa pengguna jasa telah memotong PPh 23 dari pembayaran yang dilakukan dan akan menyetorkannya atas nama penyedia jasa. Bukti Potong ini memiliki nilai strategis yang sangat tinggi bagi penyedia jasa.

Bukti Potong PPh Pasal 23 yang diterbitkan oleh pengguna jasa merupakan kredit pajak bagi penyedia jasa. Kredit pajak ini akan digunakan oleh penyedia jasa pada akhir tahun saat menghitung PPh Badan terutang mereka. Artinya, jumlah PPh 23 yang telah dipotong dan disetorkan oleh pengguna jasa dapat mengurangi PPh terutang tahunan penyedia jasa, sehingga menghindari pajak berganda dan memastikan efisiensi pajak.

Tim ahli kami yang berpengalaman dalam audit pajak secara konsisten menekankan bahwa dokumentasi lengkap (Faktur Pajak yang valid dan Bukti Potong PPh 23 yang sah) adalah trust signal (sinyal kepercayaan) utama yang menjamin bahwa transaksi akan lolos audit pajak. Ketidaklengkapan atau ketidaksesuaian dokumen ini adalah salah satu penyebab paling umum temuan koreksi pajak, yang dapat berujung pada sanksi administrasi dan denda. Oleh karena itu, baik penyedia maupun pengguna jasa harus memiliki prosedur yang ketat dalam penerbitan dan penyimpanan kedua dokumen penting ini untuk membuktikan accountability (akuntabilitas) dan kepatuhan.

Studi Kasus: Perhitungan Pajak Pembayaran Jasa Servis yang Tepat

Simulasi Perhitungan PPN dan PPh 23 dengan Pemisahan DPP

Untuk memastikan kepatuhan dan akurasi, perhitungan pajak atas jasa servis harus dilakukan secara disiplin, memisahkan nilai Dasar Pengenaan Pajak (DPP) untuk jasa dan material. DPP inilah yang menjadi basis perhitungan PPN dan PPh 23.

Mari kita lihat sebuah contoh kasus konkret: PT. Maju Bersama membayar Jasa Servis mesin senilai Rp 10.000.000 (tidak termasuk PPN) kepada PT. Servis Cepat. PT. Servis Cepat adalah Pengusaha Kena Pajak (PKP) dan memiliki NPWP.

  1. Perhitungan PPN (Pajak Pertambahan Nilai): Karena PT. Servis Cepat adalah PKP, mereka wajib memungut PPN. $$\text{PPN Terutang} = \text{Tarif PPN} \times \text{DPP Jasa}$$ $$\text{PPN Terutang} = 11% \times \text{Rp } 10.000.000 = \text{Rp } 1.100.000$$ PT. Servis Cepat wajib menerbitkan Faktur Pajak senilai Rp 1.100.000 kepada PT. Maju Bersama.

  2. Perhitungan PPh Pasal 23 (Pajak Penghasilan): PT. Maju Bersama (sebagai pembayar) wajib memotong PPh Pasal 23. Karena PT. Servis Cepat memiliki NPWP, tarif yang dikenakan adalah 2%. Pemotongan dilakukan hanya atas nilai jasa (DPP). $$\text{PPh 23 Terpotong} = \text{Tarif PPh 23} \times \text{DPP Jasa}$$ $$\text{PPh 23 Terpotong} = 2% \times \text{Rp } 10.000.000 = \text{Rp } 200.000$$

  3. Total Pembayaran yang Diterima Penyedia Jasa: PT. Maju Bersama akan membayar total yang telah memperhitungkan PPN dan PPh 23.

    $$\begin{aligned} \text{Total Bayar} &= \text{DPP Jasa} + \text{PPN Terutang} - \text{PPh 23 Terpotong} \ \text{Total Bayar} &= \text{Rp } 10.000.000 + \text{Rp } 1.100.000 - \text{Rp } 200.000 \ \text{Total Bayar} &= \text{Rp } 10.900.000 \end{aligned}$$

    PT. Maju Bersama kemudian wajib menyetorkan (memotong) PPh 23 sebesar Rp 200.000 tersebut ke kas negara dan memberikan Bukti Potong PPh 23 kepada PT. Servis Cepat.

Kesalahan Umum dalam Pemotongan PPh 23 yang Harus Dihindari

Meskipun terlihat sederhana, praktik di lapangan seringkali diwarnai oleh kekeliruan, yang paling umum terkait dengan Dasar Pengenaan Pajak.

Kesalahan paling sering terjadi adalah memotong PPh 23 dari total pembayaran termasuk PPN. Berdasarkan peraturan perpajakan (mengacu pada Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur PPh 23), PPh Pasal 23 harus dihitung hanya dari nilai Dasar Pengenaan Pajak (DPP) atau nilai imbalan bruto atas jasa, bukan dari total yang sudah termasuk PPN.

Sebagai contoh, jika nilai jasa servis adalah Rp 10.000.000 dan PPN-nya Rp 1.100.000, lalu PPh 23 dipotong dari Rp 11.100.000 (Total Pembayaran) bukan dari Rp 10.000.000 (DPP Jasa), maka pemotongan PPh 23 yang dilakukan adalah salah dan dapat menyebabkan koreksi saat audit pajak. Kesalahan ini menunjukkan pentingnya memiliki personel yang ahli dan berpengalaman dalam memahami mekanismenya, yang merupakan pilar penting dalam prinsip keandalan pelaporan.

Tabel berikut menunjukkan dampak nyata dari kepatuhan dalam kepemilikan NPWP terhadap tarif PPh 23 yang dikenakan, sebuah poin krusial yang selalu diperhatikan oleh para auditor pajak.

Kriteria Penyedia Jasa Tarif PPh Pasal 23 (Atas DPP Jasa) Keterangan
Memiliki NPWP 2% Tarif normal sesuai Undang-Undang PPh.
Tidak Memiliki NPWP 4% Dikenakan tarif 100% lebih tinggi dari tarif normal, merupakan sanksi administratif langsung.

Perbedaan tarif ini menekankan bahwa pengguna jasa harus selalu meminta informasi NPWP penyedia jasa. Selain memastikan kepatuhan, hal ini juga menghindari pemotongan pajak yang terlalu tinggi, yang pada akhirnya dapat membebani pengguna jasa secara administrasi jika terjadi sengketa.

Jawaban Cepat: Pertanyaan Umum Seputar Pajak Jasa Servis

Q1. Apakah jasa servis yang dilakukan oleh perorangan (non-badan usaha) dikenakan PPh 23?

Jasa servis yang dibayarkan kepada Wajib Pajak orang pribadi (bukan badan usaha) tidak dikenakan pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23. Berdasarkan ketentuan perpajakan di Indonesia, pembayaran atas jasa (seperti jasa servis, perbaikan, atau instalasi) yang diterima oleh Wajib Pajak orang pribadi diklasifikasikan sebagai penghasilan sehubungan dengan pekerjaan bebas atau jasa, dan oleh karena itu menjadi objek PPh Pasal 21.

Mekanisme pemotongan PPh Pasal 21 ini memiliki aturan dan tarif yang berbeda (biasanya lebih kompleks dan tergantung pada status Wajib Pajak yang menerima penghasilan) dibandingkan dengan PPh Pasal 23. Perusahaan yang membayarkan jasa kepada individu harus mengacu pada Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Pedoman Pemotongan PPh Pasal 21/26 untuk memastikan kepatuhan.

Q2. Bagaimana perlakuan pajak jika jasa servis dilakukan oleh UMKM dengan PP 55 Tahun 2022 (PPh Final)?

Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang memilih untuk menggunakan tarif PPh Final sebesar 0,5% dari omzet, sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2022, mendapatkan perlakuan pengecualian khusus dalam konteks pemotongan PPh. Berdasarkan regulasi ini, atas transaksi pembayaran jasa yang dilakukan kepada UMKM tersebut, pihak yang membayarkan TIDAK WAJIB melakukan pemotongan PPh Pasal 23.

Hal ini dikarenakan PPh yang terutang oleh UMKM tersebut sudah dianggap lunas melalui skema PPh Final 0,5% yang mereka setorkan sendiri. Untuk memastikan proses pemotongan pajak berjalan benar dan sesuai dengan peraturan yang berlaku, pemberi jasa UMKM yang menggunakan skema PPh Final 0,5% harus selalu dapat menunjukkan Surat Keterangan (Suket) PP 55 Tahun 2022 kepada pengguna jasa. Dokumen ini menjadi bukti resmi yang validasi oleh otoritas pajak, bahwa penyedia jasa memang berhak atas pengecualian pemotongan PPh 23. Tanpa adanya surat keterangan ini, pengguna jasa wajib melakukan pemotongan PPh Pasal 23 secara normal untuk menghindari risiko koreksi saat audit.

Final Takeaways: Strategi Memastikan Kepatuhan Pajak Jasa Servis

Tiga Langkah Kunci Pengamanan Transaksi Jasa Servis

Untuk melindungi perusahaan Anda dari risiko sanksi dan audit pajak, ada tiga langkah strategis yang harus selalu dipertahankan dalam setiap transaksi jasa servis. Kunci utama kepatuhan adalah memisahkan dengan jelas Dasar Pengenaan Pajak (DPP) Jasa dan Material. Pemisahan ini sangat krusial, sebab PPh Pasal 23 hanya dikenakan atas nilai jasa, sementara PPN dikenakan atas total nilai, termasuk material, jika penyedia jasa adalah PKP. Dengan memisahkan DPP, Anda memastikan pemotongan PPh 23 tidak melebihi batas yang seharusnya. Selanjutnya, memastikan kelengkapan Bukti Potong PPh 23 dan Faktur Pajak PPN adalah bentuk kredibilitas dan keandalan terbaik di mata otoritas. Bukti potong PPh 23 merupakan kredit pajak bagi penyedia jasa, dan Faktur Pajak adalah dokumen legal untuk PPN, yang secara kolektif akan mendukung posisi Anda untuk lolos dalam pemeriksaan pajak.

Langkah Berikutnya untuk Pengguna dan Penyedia Jasa

Mengingat kompleksitas klasifikasi jasa dan pengecualian tarif (terutama terkait PPh Final UMKM atau ketiadaan NPWP), pastikan tim keuangan Anda memiliki akses ke peraturan terbaru. Jika Anda menghadapi keraguan mengenai klasifikasi jasa dan tarif pemotongan yang berlaku, mengambil langkah aktif adalah yang terbaik. Konsultasikan dengan Tax Expert atau Kring Pajak untuk mendapatkan panduan resmi dan spesifik. Kejelasan regulasi adalah dasar dari tata kelola perpajakan yang baik dan menunjukkan tingkat keahlian perusahaan dalam mengelola kewajiban fiskal.

Jasa Pembayaran Online
💬