PBI Jasa Sistem Pembayaran: Panduan Lengkap & Strategi Kepatuhan

Memahami PBI Jasa Sistem Pembayaran: Pondasi Regulasi Fintech

Apa Itu Peraturan Bank Indonesia tentang Jasa Sistem Pembayaran?

Peraturan Bank Indonesia tentang Jasa Sistem Pembayaran (PBI Jasa Sistem Pembayaran) adalah payung hukum utama yang menjadi fondasi bagi seluruh aktivitas layanan pembayaran di Indonesia. Regulasi ini, yang secara eksklusif diterbitkan dan diawasi oleh Bank Indonesia (BI), tidak hanya mencakup transfer dana konvensional, tetapi juga mengatur layanan modern seperti e-money, dompet digital, hingga payment gateway. Regulasi ini menjamin stabilitas, keamanan, dan efisiensi ekosistem pembayaran nasional, menjadikannya kerangka kerja terpenting yang harus dipahami oleh setiap pelaku industri teknologi finansial (Fintech) yang beroperasi di sektor ini.

Mengapa Kepatuhan Regulasi Ini Sangat Penting untuk Bisnis Anda?

Kepatuhan terhadap PBI Jasa Sistem Pembayaran jauh melampaui sekadar memenuhi kewajiban hukum. Bagi bisnis Anda, ini adalah strategi fundamental untuk membangun kredibilitas dan memitigasi risiko di sektor keuangan yang sangat sensitif. Menunjukkan komitmen penuh terhadap standar operasional dan keamanan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia—sebagai otoritas moneter yang memiliki kapasitas dan wewenang penuh—secara langsung akan meningkatkan kepercayaan konsumen dan mitra. Tanpa landasan legal yang kuat, sebuah entitas akan sangat rentan terhadap sanksi regulasi, yang pada akhirnya dapat merusak reputasi, membatasi operasional, dan menghambat pertumbuhan jangka panjang di pasar yang kompetitif ini.

Kategori dan Jenis-Jenis Layanan dalam Sistem Pembayaran

Peraturan Bank Indonesia (PBI) mengenai Jasa Sistem Pembayaran (JSP) merupakan kerangka kerja yang komprehensif, secara tegas membagi dan mengklasifikasikan pelaku usaha berdasarkan peran serta jenis layanan yang mereka tawarkan. Pemahaman yang akurat terhadap klasifikasi ini adalah fondasi bagi setiap perusahaan fintech untuk memastikan mereka memenuhi persyaratan modal, teknologi, dan operasional yang sesuai.

Peran Penyelenggara Infrastruktur Sistem Pembayaran (PIP) dan LSI

Secara garis besar, regulasi Bank Indonesia membagi penyelenggara menjadi dua kategori utama, yaitu Penyelenggara Infrastruktur Sistem Pembayaran (PIP) dan Penyelenggara Jasa Pembayaran (PJP), atau PJP lainnya. PIP bertugas menyediakan infrastruktur vital yang menjadi tulang punggung transaksi finansial nasional, seperti Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI) dan Bank Indonesia Real Time Gross Settlement (BI-RTGS). Entitas ini merupakan backbone dari sistem pembayaran, memastikan proses transfer dan kliring berjalan lancar di tingkat bank sentral. Di sisi lain, PJP adalah pihak yang secara langsung menyediakan layanan pembayaran kepada masyarakat, meliputi kegiatan seperti transfer dana, penerbitan instrumen pembayaran (kartu debit/kredit), dan pengelolaan uang elektronik atau dompet digital. Memahami peran masing-masing menegaskan otoritas dan tanggung jawab hukum perusahaan dalam ekosistem ini.

Klasifikasi Jenis Kegiatan Jasa Sistem Pembayaran yang Diawasi BI

Untuk memastikan layanan yang diberikan memiliki kapabilitas dan jangkauan yang sesuai dengan risiko yang diemban, Bank Indonesia mengklasifikasikan PJP menjadi dua kategori yang berbeda, PJP Kategori I dan PJP Kategori II. Pembedaan ini didasarkan pada besaran modal disetor, cakupan layanan, dan tingkat kompleksitas sistem.

Kriteria Pembeda PJP Kategori I PJP Kategori II
Modal Disetor Minimum Lebih Besar (Misalnya, di atas Rp100 miliar) Lebih Kecil (Misalnya, di bawah Rp100 miliar)
Cakupan Layanan Luas, mencakup layanan uang elektronik, layanan dompet digital, dan payment gateway berskala besar Terbatas, umumnya fokus pada satu atau dua jenis layanan spesifik, seperti transfer dana atau layanan switching sederhana
Kewajiban Teknologi Wajib memiliki standar keamanan dan mitigasi risiko yang sangat tinggi Standar keamanan yang ketat, namun disesuaikan dengan skala dan kompleksitas operasional

Sumber: Diadaptasi dari Peraturan Bank Indonesia tentang Jasa Sistem Pembayaran, yang menekankan diferensiasi berdasarkan skala dan risiko operasional.

Tabel komparasi resmi ini penting untuk menunjukkan kredibilitas regulasi BI dalam mengatur industri fintech secara proporsional. Keputusan Bank Indonesia untuk membedakan kategori ini memastikan bahwa perusahaan dengan cakupan layanan dan risiko yang lebih besar harus memiliki keahlian operasional dan dukungan finansial yang lebih kuat.

Pentingnya Lisensi BI untuk Operasional

Salah satu aspek paling krusial dari PBI Jasa Sistem Pembayaran adalah persyaratan lisensi resmi dari Bank Indonesia. Lisensi ini adalah penentu legalitas dan kewenangan sebuah entitas untuk beroperasi di Indonesia. Tanpa izin resmi—yang didapatkan setelah melalui proses perizinan yang ketat—penyelenggara jasa pembayaran tidak dapat menjalankan kegiatan usahanya secara sah. Pengoperasian tanpa lisensi resmi tidak hanya menghalangi pertumbuhan bisnis yang dipercaya oleh konsumen, tetapi juga berpotensi dikenakan sanksi pidana dan denda yang sangat besar oleh otoritas moneter. Kepatuhan lisensi adalah gerbang utama menuju kepercayaan pasar dan mitigasi risiko hukum yang tidak perlu.

Proses Perizinan PJP: Langkah-Langkah Mendapatkan Lisensi Bank Indonesia

Mendapatkan lisensi sebagai Penyelenggara Jasa Pembayaran (PJP) dari Bank Indonesia (BI) adalah gerbang utama bagi setiap entitas yang ingin beroperasi secara legal di sektor jasa sistem pembayaran. Proses ini dirancang untuk memastikan bahwa setiap penyelenggara memiliki otoritas hukum yang kuat, keahlian yang memadai, dan kapabilitas operasional yang terjamin. Pemahaman mendalam mengenai tahapan perizinan ini sangat krusial karena merupakan fondasi untuk membangun kepercayaan publik.

Persyaratan Administrasi dan Dokumen Hukum untuk Aplikasi PJP

Langkah awal dalam mengajukan permohonan izin PJP adalah penyelesaian persyaratan administrasi dan hukum yang ketat. Proses ini dimulai dengan pengajuan proposal bisnis yang komprehensif, merinci model bisnis, struktur organisasi, dan proyeksi keuangan. Selain itu, calon PJP wajib menyertakan bukti kecukupan modal sesuai kategori layanan yang diajukan, yang menunjukkan kesiapan finansial dan kredibilitas perusahaan untuk menanggung risiko operasional. Kelengkapan dokumen pendirian perusahaan, termasuk Akta Pendirian dan pengesahan dari Kementerian Hukum dan HAM, juga harus dipenuhi secara utuh untuk membuktikan landasan hukum dan otoritas operasional yang sah. Ketepatan dan kelengkapan pada fase awal ini akan sangat menentukan kecepatan proses perizinan secara keseluruhan.

Penilaian Aspek Keahlian, Kapabilitas, dan Tata Kelola yang Baik (Ekspertise & Otoritas)

Bank Indonesia tidak hanya menilai kesiapan finansial dan administrasi, tetapi juga melakukan evaluasi mendalam terhadap aspek keahlian dan kapabilitas sumber daya manusia serta kualitas tata kelola perusahaan. Untuk menegaskan standar otoritas dan kompetensi, regulasi BI secara eksplisit menyoroti persyaratan minimal bahwa anggota Direksi dan Komisaris yang bertanggung jawab harus memiliki sertifikasi di bidang sistem pembayaran atau manajemen risiko. Persyaratan ini memastikan bahwa kepemimpinan perusahaan memiliki keahlian teknis dan pemahaman yang mendalam mengenai risiko yang melekat pada operasional jasa pembayaran, yang secara langsung meningkatkan kepercayaan regulator dan publik.

Proses perizinan PJP sendiri merupakan perjalanan yang intensif dan, berdasarkan pengalaman industri, dapat memakan waktu hingga enam bulan atau lebih. Hal ini dikarenakan adanya tahapan uji coba operasional, yang dikenal sebagai regulatory sandbox. Dalam sandbox ini, calon PJP akan mengimplementasikan layanan mereka dalam lingkungan yang diawasi ketat oleh BI untuk membuktikan keamanan, keandalan, dan kepatuhan sistem sebelum izin penuh (lisensi) resmi diberikan. Keterlibatan dalam sandbox ini adalah bukti nyata dari kapabilitas teknis dan operasional yang telah teruji, menjadikannya kunci untuk mendapatkan otoritas penuh dari Bank Indonesia.

Aspek Keamanan Data dan Konsumen dalam PBI (Kepercayaan & Kredibilitas)

Kepercayaan pengguna adalah mata uang paling berharga dalam bisnis jasa sistem pembayaran. Peraturan Bank Indonesia (PBI) terkait jasa sistem pembayaran dirancang secara ketat untuk melindungi kepentingan konsumen dan memastikan integritas data, menjadikannya fondasi kredibilitas operasional bagi setiap penyelenggara.

Kewajiban Perlindungan Data Pribadi Berdasarkan Regulasi Sistem Pembayaran

Regulasi sistem pembayaran Bank Indonesia menetapkan standar minimum yang tinggi terkait keamanan data pribadi. Untuk memastikan bahwa data sensitif pengguna (seperti informasi kartu, data transaksi, dan identitas) dikelola dengan aman, setiap penyelenggara layanan pembayaran (PJP) wajib menerapkan standar keamanan ISO 27001 atau standar yang setara. Ini bukan sekadar rekomendasi, melainkan mandat untuk menjaga keamanan sistem informasi. Penerapan standar ini mencakup penggunaan teknologi canggih seperti enkripsi data yang kuat, mekanisme otentikasi berlapis, dan pencegahan akses tidak sah terhadap sistem. Kepatuhan terhadap persyaratan teknis ini sangat penting, sebab kegagalan dalam menjaga kerahasiaan data dapat langsung mengikis kepercayaan publik terhadap layanan Anda.

Mitigasi Risiko Operasional, Siber, dan Perlindungan Konsumen

Mitigasi risiko siber dan operasional merupakan komponen inti dari tata kelola yang baik dalam industri jasa pembayaran. Bank Indonesia menekankan pentingnya struktur internal yang kuat untuk memastikan kepatuhan berkelanjutan dan manajemen risiko yang proaktif. Oleh karena itu, bagi PJP, memiliki fungsi Audit Internal yang independen adalah krusial. Fungsi ini bertugas secara objektif menilai dan memvalidasi kecukupan serta efektivitas kontrol internal dan proses manajemen risiko yang diterapkan. Selain itu, pembentukan Komite Risiko yang aktif adalah penting. Komite ini bertanggung jawab untuk mengawasi risiko utama, termasuk risiko operasional dan siber, serta memberikan rekomendasi strategis kepada Direksi dan Komisaris. Struktur tata kelola yang mengedepankan independensi audit dan pengawasan risiko yang ketat secara langsung menumbuhkan kepercayaan pengguna, karena mereka mengetahui bahwa ada pihak internal yang berwenang dan memiliki kapabilitas untuk menjaga keamanan dana dan data mereka.

Transparansi dan kecepatan dalam penanganan insiden adalah penentu utama kredibilitas sebuah PJP. Dalam kasus terburuk—seperti insiden kebocoran data atau gangguan layanan siber yang signifikan—PBI menetapkan kewajiban pelaporan yang sangat ketat. Setiap insiden kebocoran data wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia dan juga kepada konsumen yang terkena dampak dalam kurun waktu maksimal $1\times24$ jam sejak insiden tersebut terdeteksi. Ketentuan pelaporan yang cepat ini bertujuan untuk:

  1. Memungkinkan BI segera mengambil tindakan pengawasan dan mitigasi risiko sistemik.
  2. Memastikan konsumen segera menyadari risiko yang dihadapi dan dapat mengambil langkah perlindungan diri (misalnya mengganti password atau memblokir kartu).

Kepatuhan terhadap batas waktu pelaporan yang ketat ini bukan hanya kewajiban hukum, tetapi juga menunjukkan komitmen perusahaan terhadap transparansi dan akuntabilitas, yang pada akhirnya sangat memperkuat kepercayaan dan kredibilitas perusahaan di mata regulator dan publik.

Pelaporan dan Pengawasan: Menjaga Kepatuhan Berkelanjutan Pasca Izin

Mendapatkan izin Penyelenggara Jasa Pembayaran (PJP) dari Bank Indonesia (BI) hanyalah langkah awal. Kepatuhan yang sebenarnya diukur dari disiplin pasca-lisensi, yang melibatkan mekanisme pelaporan dan pengawasan yang ketat. Sistem ini dirancang untuk memastikan bahwa PJP tidak hanya beroperasi secara aman dan stabil pada hari pertama, tetapi juga berkelanjutan dan kredibel di mata regulator dan publik. Pengawasan ketat ini adalah fondasi untuk membangun kepercayaan jangka panjang dalam sistem keuangan digital.

Jenis-Jenis Laporan Rutin yang Wajib Disampaikan ke Bank Indonesia

Setelah mendapatkan izin operasional, PJP memiliki kewajiban rutin untuk memberikan transparansi penuh kepada Bank Indonesia mengenai kesehatan finansial dan aktivitas transaksional mereka. Kewajiban utama mencakup penyerahan Laporan Keuangan Berkala dan Laporan Aktivitas Transaksi yang sangat detail. Laporan keuangan ini bukan sekadar formalitas; Bank Indonesia menggunakan data ini untuk memonitor kecukupan modal, likuiditas, dan profitabilitas PJP, memastikan perusahaan memiliki kemampuan finansial untuk menanggung risiko operasional dan pasar.

Lebih dari itu, laporan aktivitas transaksi, yang mencakup volume, nilai, dan jenis transaksi secara terperinci, adalah kunci untuk memastikan integritas data dan mendeteksi anomali. Akurasi dan ketepatan waktu dalam pelaporan ini sangat vital. Berdasarkan temuan internal Bank Indonesia yang sering dikutip dalam forum industri, sekitar 80% pelanggaran kepatuhan minor yang terdeteksi pada penyelenggara jasa sistem pembayaran seringkali berakar pada keterlambatan atau ketidakakuratan data pelaporan. Ini menunjukkan betapa krusialnya memiliki sistem internal yang kuat untuk validasi dan pengiriman data yang tepat waktu. Melalui pelaporan yang jujur dan akurat, PJP menunjukkan kredibilitas dan keahlian mereka dalam tata kelola operasional yang baik.

Dampak Tidak Dipatuhinya Kewajiban Pelaporan dan Sanksi Regulasi

Kegagalan untuk mematuhi kewajiban pelaporan dan pengawasan Bank Indonesia bukanlah masalah administratif sepele. Regulasi ini dirancang untuk melindungi stabilitas sistem pembayaran secara keseluruhan, dan oleh karena itu, BI memiliki serangkaian sanksi bertingkat untuk pelanggar. Ketidakpatuhan, baik itu keterlambatan pelaporan, ketidakakuratan data, atau pelanggaran terhadap ketentuan operasional, akan memicu respons tegas dari regulator.

Sanksi Bank Indonesia dimulai dari bentuk yang paling ringan, seperti teguran tertulis, yang berfungsi sebagai peringatan resmi untuk segera memperbaiki kekurangan. Jika pelanggaran berlanjut atau bersifat lebih serius, BI dapat mengenakan denda administratif yang jumlahnya bisa signifikan, yang langsung berdampak pada kinerja keuangan perusahaan. Dalam kasus pelanggaran yang sangat serius dan berulang—seperti yang melibatkan risiko sistemik, keamanan data yang buruk, atau aktivitas yang tidak sah—sanksi dapat meningkat menjadi pembatasan kegiatan usaha tertentu, yang secara langsung menghentikan PJP dari menawarkan layanan tertentu. Sebagai tindakan hukuman terakhir bagi pelanggar serius yang mengabaikan semua peringatan dan perbaikan, Bank Indonesia tidak ragu untuk melakukan pencabutan izin operasional. Pencabutan izin ini berarti akhir dari operasional PJP tersebut di Indonesia, menggarisbawahi pentingnya otoritas dan kepatuhan yang konsisten di sektor yang sangat diatur ini.

Tren Masa Depan: PBI Jasa Sistem Pembayaran dan Inovasi Teknologi (Experimen)

Regulasi Jasa Sistem Pembayaran yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia (PBI Jasa Sistem Pembayaran) dirancang bukan untuk menghambat, melainkan untuk mengawal laju inovasi di sektor keuangan. Bank Indonesia menyadari bahwa teknologi bergerak jauh lebih cepat daripada proses legislasi konvensional. Oleh karena itu, kerangka regulasi ini terus beradaptasi, terutama dalam menghadapi gelombang teknologi disruptif seperti blockchain dan Decentralized Finance (DeFi). Pendekatan ini menunjukkan kemampuan eksperimen dan pemikiran ke depan dari otoritas, memastikan bahwa keamanan dan stabilitas sistem tetap terjaga sambil membuka ruang bagi kreasi nilai baru.

Integrasi Regulasi Terhadap Teknologi Blockchain dan Decentralized Finance (DeFi)

Meskipun teknologi blockchain dan konsep DeFi—yang seringkali beroperasi tanpa perantara sentral—menghadirkan tantangan besar bagi kerangka regulasi tradisional, Bank Indonesia telah mengambil langkah proaktif. Bank Indonesia tidak serta merta menolak teknologi ini; sebaliknya, mereka secara aktif memantau implementasi teknologi baru tersebut melalui instrumen yang disebut Regulatory Sandbox. Sandbox ini berfungsi sebagai laboratorium pengujian, memberikan ruang yang terawasi bagi penyedia jasa untuk bereksperimen dengan model bisnis berbasis teknologi terdepan sebelum diluncurkan ke pasar secara massal. Pendekatan ini memungkinkan Bank Indonesia untuk memahami secara mendalam potensi risiko dan manfaatnya, dan pada akhirnya, merumuskan aturan yang tepat tanpa mematikan inovasi. Selain itu, seiring dengan standar internasional dari Financial Action Task Force (FATF), setiap penyelenggara wajib memiliki mekanisme yang kuat untuk mendeteksi dan mencegah Anti-Pencucian Uang (APU) dan Pendanaan Terorisme (PPT), termasuk yang melibatkan aset digital. Kepatuhan terhadap standar APU PPT bukan hanya kewajiban hukum, tetapi juga fundamental untuk membangun kepercayaan di mata pengguna dan mitra global.

Tantangan dan Peluang dalam Regulatory Sandbox Bank Indonesia

Regulatory Sandbox adalah inti dari pendekatan Bank Indonesia dalam mengelola inovasi. Ini memberikan peluang besar bagi startup dan perusahaan fintech untuk menguji produk inovatif mereka dengan jaring pengaman regulasi. Proses ini membantu penyelenggara membuktikan kapabilitas teknologi mereka dan memastikan bahwa produk tersebut aman, efisien, dan sesuai dengan kepentingan publik sebelum mendapatkan izin penuh (lisensi PJP).

Sebagai contoh nyata yang membuktikan keberhasilan dari proses ini, beberapa perusahaan yang berfokus pada layanan payment gateway dan e-money telah berhasil lulus dari Sandbox Bank Indonesia. Studi kasus menunjukkan bahwa perusahaan yang berhasil memiliki ciri khas berupa integrasi kepatuhan risiko yang tinggi sejak fase awal pengembangan produk, dikombinasikan dengan tim manajemen yang menunjukkan keahlian mendalam baik di sektor keuangan maupun teknologi. Perusahaan-perusahaan ini, setelah berhasil melalui uji coba yang ketat, kemudian menerima izin penuh untuk beroperasi, menunjukkan bagaimana sistem regulasi dapat secara efektif mengkonversi inovasi eksperimental menjadi layanan keuangan yang kredibel dan legal. Sandbox juga menjadi tempat Bank Indonesia menguji bagaimana teknologi dapat diintegrasikan ke dalam sistem pembayaran nasional, misalnya dalam pengembangan mata uang digital bank sentral (CBDC), sehingga mendorong kemampuan eksperimen yang terbukti dan berkelanjutan.

Your Top Questions About Regulasi Sistem Pembayaran Answered

Q1. Apakah ‘Uang Elektronik’ sama dengan ‘Dompet Digital’ menurut PBI?

Meskipun dalam percakapan sehari-hari sering dianggap sama, dalam konteks Peraturan Bank Indonesia (PBI) Jasa Sistem Pembayaran, Uang Elektronik (Electronic Money) adalah salah satu jenis layanan yang dapat ditawarkan di dalam platform Dompet Digital. Penyelenggara Jasa Pembayaran (PJP) yang mendapatkan izin dari BI dapat menawarkan berbagai layanan, dan Uang Elektronik, dengan karakteristik nilai uang yang disimpan dalam media server-based atau chip-based, adalah salah satu fungsi utamanya.

Perlu ditekankan, Bank Indonesia mengklasifikasikan keduanya sebagai bagian dari Jasa Sistem Pembayaran, namun terdapat perbedaan mendasar terkait batasan saldo, mekanisme top-up, dan transfer dana. Pemahaman detail ini menunjukkan keahlian yang solid dalam navigasi lanskap regulasi fintech, karena kegagalan mengklasifikasikan produk dengan benar dapat berujung pada pelanggaran izin.

Q2. Apa perbedaan utama antara PBI dan POJK terkait sistem pembayaran?

Perbedaan antara Peraturan Bank Indonesia (PBI) dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) mengenai sistem pembayaran terletak pada fokus kewenangan masing-masing lembaga. PBI, yang diterbitkan oleh Bank Indonesia (BI), secara spesifik mengatur aspek teknis, operasional, dan perizinan langsung dari kegiatan sistem pembayaran. Ini mencakup aturan main penyelenggaraan, mekanisme transfer dana, keamanan siber, dan interkoneksi sistem. BI adalah otoritas yang memiliki otoritas tertinggi dalam menjaga kelancaran dan keamanan sistem pembayaran nasional.

Sebaliknya, POJK, yang dikeluarkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), lebih berfokus pada aspek kelembagaan, tata kelola perusahaan (GCG), dan perlindungan konsumen di sektor jasa keuangan secara umum. Meskipun OJK tidak mengeluarkan izin sistem pembayaran, mereka memastikan bahwa lembaga-lembaga yang terlibat (seperti Bank atau Lembaga Keuangan Non-Bank) beroperasi dengan tata kelola yang baik dan melindungi konsumen. Mengetahui batas kewenangan ini sangat penting untuk mencapai kredibilitas regulasi yang menyeluruh.

Final Takeaways: Mastering Kepatuhan Sistem Pembayaran di 2026

Tiga Kunci Sukses Membangun Bisnis Pembayaran yang Dipercaya

Di tengah lanskap fintech yang terus berevolusi, mematuhi Peraturan Bank Indonesia (PBI) tentang Jasa Sistem Pembayaran bukan lagi sekadar checklist legal, melainkan fondasi strategis. Kepatuhan yang utuh terhadap PBI Jasa Sistem Pembayaran adalah perwujudan dari Kredibilitas (memiliki izin resmi dan rekam jejak yang bersih), Keahlian (tim manajemen yang tersertifikasi dan tata kelola risiko yang kuat), serta Kepercayaan (perlindungan data dan konsumen yang maksimal). Tiga pilar ini yang akan secara signifikan membedakan bisnis Anda di pasar, mengubah kewajiban regulasi menjadi keunggulan kompetitif.

Langkah Konkret Selanjutnya untuk Memulai Proses Kepatuhan Anda

Memulai atau menguatkan kepatuhan Anda tidak bisa ditunda. Langkah paling konkret dan krusial yang harus Anda ambil saat ini adalah melakukan Audit Kesiapan Regulasi (Regulatory Readiness Audit) internal. Proses ini melibatkan pemetaan menyeluruh terhadap operasional, teknologi, dan tata kelola perusahaan Anda terhadap semua pasal dan ketentuan dalam PBI Jasa Sistem Pembayaran. Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi gap kepatuhan (kesenjangan) yang ada, terutama sebelum Anda mengajukan izin baru atau pembaruan kepada Bank Indonesia. Dengan mengetahui dan menutup gap ini, Anda memastikan proses perizinan berjalan mulus dan operasional Anda terlindungi dari sanksi.

Jasa Pembayaran Online
💬