Panduan Lengkap PPh Pasal 23 Atas Jasa Perusahaan: Tarif dan Objek

Memahami Kapan Perusahaan Wajib Membayar PPh Pasal 23 Atas Jasa

Definisi Singkat: Kapan Pemotongan PPh 23 Jasa Harus Dilakukan?

Kewajiban pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 atas imbalan jasa merupakan tugas kritis bagi perusahaan yang melakukan pembayaran. Secara spesifik, pemotongan PPh Pasal 23 atas jasa dilakukan pada saat pembayaran imbalan, atau pada saat terutangnya penghasilan kepada Wajib Pajak (WP) dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap (BUT). Momen terutangnya ini seringkali disamakan dengan tanggal tagihan (invoice) diterbitkan, mana yang terjadi lebih dahulu. Kepatuhan pada jadwal ini sangat penting untuk mencegah sanksi.

Mengapa Kepatuhan Pajak PPh 23 Jasa Sangat Penting bagi Bisnis Anda

Mengelola kepatuhan pajak secara menyeluruh (sering diartikan sebagai prinsip keahlian, otoritas, dan kepercayaan) bukan hanya kewajiban legal, tetapi juga strategi bisnis yang cerdas. Ketidakpatuhan terhadap PPh 23 atas jasa, meskipun terkesan minor, dapat memicu sanksi denda administrasi yang signifikan, bahkan audit dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Panduan mendalam ini menyajikan langkah-langkah detail dan praktis yang dikembangkan berdasarkan pengalaman profesional di bidang perpajakan, bertujuan untuk memastikan setiap transaksi jasa Anda telah dipotong PPh 23 sesuai peraturan berlaku. Dengan mematuhi setiap regulasi, Anda tidak hanya meminimalisir risiko sanksi pajak, tetapi juga membangun citra perusahaan yang bertanggung jawab dan terpercaya di mata otoritas, pemasok, dan klien.

Dasar Hukum dan Objek yang Dikenakan PPh 23 Jasa (Klasifikasi Tarif)

Kewajiban pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 merupakan bagian integral dari kepatuhan pajak perusahaan di Indonesia. Secara fundamental, PPh Pasal 23 dikenakan atas penghasilan yang bersumber dari modal, penyerahan jasa, atau penyelenggaraan kegiatan selain yang telah dipotong PPh Pasal 21, yang dibayarkan atau terutang kepada Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap (BUT). Memahami dasar hukumnya adalah kunci untuk memastikan bahwa setiap transaksi jasa telah dipertanggungjawabkan dengan benar.

Mengidentifikasi 61 Jenis Jasa yang Wajib Dipotong PPh Pasal 23

Mengidentifikasi objek pajak PPh Pasal 23 seringkali menjadi tantangan terbesar bagi perusahaan, terutama dengan adanya daftar jenis jasa yang terus diperbarui. Kepatuhan dan keandalan informasi dalam konteks ini sangat bergantung pada sumber hukum yang valid. Menurut Peraturan Menteri Keuangan Nomor 141/PMK.03/2015, terdapat 61 jenis jasa yang wajib dikenakan pemotongan PPh Pasal 23.

Daftar ini sangat komprehensif dan mencakup, namun tidak terbatas pada, jasa-jasa esensial seperti jasa manajemen, jasa konsultan, jasa sewa/penyewaan harta selain sewa tanah dan/atau bangunan, dan jasa teknik. Semua jasa ini dikenakan tarif standar pemotongan sebesar 2% dari jumlah bruto nilai imbalan yang dibayarkan. Pemahaman mendalam terhadap daftar ini mencerminkan keahlian dan menjamin bahwa perusahaan Anda akan terhindar dari sanksi akibat pemotongan yang terlewat.

Perbedaan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) untuk Jasa Kena Pajak dan Bukan Jasa Kena Pajak

Dalam konteks PPh Pasal 23, Dasar Pengenaan Pajak (DPP) adalah jumlah bruto penghasilan yang menjadi basis perhitungan pemotongan pajak. Untuk jasa, jumlah bruto ini mencakup semua pembayaran yang berupa imbalan sehubungan dengan jasa, termasuk honorarium, komisi, fee, atau imbalan dalam bentuk apapun.

Namun, terdapat pengecualian penting yang harus dipahami oleh perusahaan. Sesuai dengan ketentuan yang mengatur, nilai imbalan bruto tidak mencakup:

  • Pembayaran untuk penggantian biaya (reimbursement) yang telah dikeluarkan oleh pihak penyedia jasa untuk kepentingan pemberi jasa, asalkan didukung dengan bukti pengeluaran yang sah dari pihak ketiga.
  • Pembayaran kepada penyedia jasa atas pembelian/penggantian barang.

Pengertian DPP yang benar ini sangat krusial. Jika perusahaan salah dalam menentukan jumlah bruto—misalnya, dengan tidak memisahkan antara fee jasa murni dan biaya penggantian—maka pemotongan PPh 23 akan dilakukan atas jumlah yang lebih besar, berpotensi menciptakan ketidakakuratan dalam pelaporan pajak dan merusak trust hubungan dengan rekanan. Menentukan DPP dengan tepat adalah langkah pertama menuju kepatuhan pajak yang akurat.

Tarif PPh Pasal 23: Perhitungan Akurat untuk Setiap Jenis Jasa

Memahami tarif adalah inti dari kepatuhan PPh Pasal 23. Perhitungan yang keliru dapat menyebabkan kerugian bagi wajib pajak atau menimbulkan sanksi denda. Untuk memastikan Anda melakukan pemotongan yang tepat, fokus pada persentase tarif standar dan bagaimana status Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dari penyedia jasa dapat mengubahnya secara drastis.

Tarif Standar 2% untuk Mayoritas Jasa yang Termasuk Objek PPh 23

Tarif standar pemotongan PPh Pasal 23 untuk sebagian besar jenis jasa yang termasuk objek pajak, seperti jasa manajemen, jasa konsultan, jasa teknik, dan jasa sewa kendaraan/peralatan, ditetapkan sebesar 2%. Persentase ini dikenakan dari jumlah bruto nilai imbalan yang dibayarkan atau terutang.

Jumlah bruto yang dimaksud adalah seluruh jumlah penghasilan yang dibayarkan, termasuk biaya-biaya yang mungkin dibebankan, kecuali biaya reimbursement (penggantian) tertentu yang memenuhi syarat. Keahlian dalam memisahkan jumlah bruto ini dari unsur non-objek pajak adalah kunci untuk menghindari pemotongan yang terlalu besar atau terlalu kecil.

Penerapan Tarif 4% dan Risiko Tidak Memiliki NPWP (Non-NPWP)

Salah satu aspek yang paling sering menimbulkan kesalahan dalam praktik PPh Pasal 23 adalah penerapan tarif yang berbeda untuk rekanan yang tidak memiliki NPWP. Berdasarkan peraturan perpajakan yang berlaku (diperkuat oleh data dari Direktori Peraturan Perpajakan), jika penyedia jasa (pihak yang menerima penghasilan) tidak dapat menunjukkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yang valid, maka tarif pemotongan PPh Pasal 23 akan lebih tinggi 100%.

Ini berarti tarif standar 2% akan otomatis menjadi 4% dari jumlah bruto. Kegagalan memotong dengan tarif 4% untuk rekanan Non-NPWP akan menyebabkan perusahaan (sebagai pemotong) kurang bayar dan berpotensi menghadapi sanksi administrasi berupa bunga. Oleh karena itu, verifikasi status NPWP setiap rekanan jasa adalah langkah kritis yang tidak boleh dilewatkan.

Berikut adalah contoh perhitungan detail untuk mengilustrasikan perbedaan pemotongan:

Studi Kasus Perhitungan PPh 23 Jasa Konsultasi

Anggaplah perusahaan Anda menggunakan jasa konsultasi manajemen senilai Rp10.000.000 (Jumlah Bruto).

Skenario Dasar Hukum Tarif Perhitungan PPh 23 Jumlah yang Dibayarkan ke Vendor
Vendor Memiliki NPWP Tarif 2% 2% x Rp10.000.000 = Rp200.000 Rp10.000.000 - Rp200.000 = Rp9.800.000
Vendor Tidak Memiliki NPWP Tarif 4% (2% + 100%) 4% x Rp10.000.000 = Rp400.000 Rp10.000.000 - Rp400.000 = Rp9.600.000

Dalam studi kasus ini, terbukti bahwa pemotongan pajak menjadi dua kali lipat jika vendor tidak memiliki NPWP, yang pada akhirnya mengurangi jumlah bersih yang diterima oleh vendor dan meningkatkan kewajiban pemotongan pajak bagi perusahaan Anda.

Prosedur Kritis: Mekanisme Pemotongan dan Penyetoran PPh Pasal 23 Jasa

Kepatuhan dalam PPh Pasal 23 tidak berhenti pada perhitungan yang benar; implementasi prosedur pemotongan dan penyetoran yang tepat waktu adalah kunci utama dalam memenuhi kewajiban perpajakan Anda. Kelalaian dalam tahap ini sering kali menjadi penyebab utama sanksi administrasi. Memahami mekanisme ini secara mendalam sangat penting untuk membangun kredibilitas dan profesionalisme keuangan perusahaan Anda.

Kewajiban Pemotong Pajak: Penerbitan Bukti Potong PPh Pasal 23

Sebagai Wajib Pajak Badan yang membayarkan imbalan jasa yang termasuk objek PPh Pasal 23, Anda memiliki kewajiban mutlak untuk memotong pajak dan menerbitkan Bukti Potong. Bukti Potong PPh 23 adalah dokumen vital yang berfungsi sebagai bukti bahwa pemotongan pajak telah dilakukan dan merupakan kredit pajak yang dapat diperhitungkan oleh penerima penghasilan (rekanan Anda) di akhir tahun pajak. Dokumen ini harus dibuat setidaknya rangkap tiga: satu untuk pemotong (perusahaan Anda), satu untuk penerima penghasilan, dan satu untuk dilampirkan dalam SPT Masa PPh Pasal 23. Penerbitan Bukti Potong ini harus dilakukan segera setelah pemotongan dilakukan.

Untuk memberikan panduan yang jelas dan otoritatif mengenai proses ini, berikut adalah ringkasan tahapan kritis dalam proses PPh Pasal 23, mulai dari transaksi hingga pelaporan:

  • Identifikasi dan Transaksi: Tentukan apakah jasa yang diterima termasuk dalam daftar objek PPh 23, verifikasi status NPWP rekanan, dan hitung besaran PPh 23 terutang (2% atau 4%).
  • Pemotongan: Lakukan pemotongan PPh 23 saat pembayaran dilakukan atau saat terutangnya penghasilan (mana yang lebih dulu).
  • Penerbitan Bukti Potong: Segera buat Bukti Potong (melalui sistem e-Bupot Unifikasi) dan serahkan kepada rekanan sebagai bukti kredit pajak.
  • Penyetoran: Bayarkan PPh 23 yang telah dipotong ke Kas Negara menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) dengan kode MAP dan jenis setoran yang sesuai.
  • Pelaporan: Laporkan seluruh pemotongan, penyetoran, dan bukti potong yang telah diterbitkan melalui SPT Masa PPh Pasal 23 (e-Bupot Unifikasi) kepada DJP.

Batas Waktu Penyetoran PPh 23: Kapan Harus Dibayarkan ke Kas Negara?

Aspek ketepatan waktu adalah elemen krusial dalam kepatuhan pajak. PPh 23 yang telah dipotong oleh perusahaan Anda wajib disetorkan ke Kas Negara paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya setelah bulan terutangnya penghasilan.

Misalnya, jika Anda melakukan pembayaran atas jasa konsultasi dan memotong PPh 23 pada tanggal 25 Maret 2026, maka PPh 23 tersebut wajib disetorkan ke Kas Negara paling lambat tanggal 10 April 2026.

Kegagalan untuk menyetor pajak yang telah dipotong tepat waktu dapat mengakibatkan pengenaan sanksi administrasi berupa bunga. Mengingat tenggat waktu yang ketat, perusahaan harus memastikan adanya koordinasi yang baik antara departemen keuangan dan akuntansi untuk memproses pembayaran dan penyetoran pajak secara terstruktur setiap bulan. Pembayaran yang tertunda tidak hanya merusak track record kepatuhan perusahaan Anda tetapi juga menimbulkan risiko sanksi denda yang signifikan.

Tantangan Kepatuhan: Mengelola Isu Non-NPWP dan Pemotongan Ganda (Treaty Shopping)

Kepatuhan dalam pemotongan PPh Pasal 23 tidak hanya soal menghitung tarif 2% yang standar, tetapi juga tentang navigasi pada area abu-abu perpajakan yang berisiko tinggi, seperti transaksi dengan pihak yang tidak memiliki NPWP dan pemotongan ganda internasional. Menguasai area ini adalah kunci untuk membangun otoritas dan kepercayaan (seperti Keahlian, Otoritas, dan Keterpercayaan) di mata otoritas pajak.

Risiko PPh 23 untuk Transaksi dengan Rekanan yang Tidak Memiliki NPWP

Salah satu jebakan kepatuhan PPh Pasal 23 yang paling umum adalah kesalahan penerapan tarif pada rekanan yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (Non-NPWP). Tarif standar 2% yang berlaku untuk jasa (sesuai PMK yang berlaku) akan meningkat 100% menjadi 4% dari jumlah bruto nilai imbalan jika penerima penghasilan gagal menyertakan NPWP yang valid pada saat transaksi.

Kegagalan mengaplikasikan tarif 4% kepada rekanan Non-NPWP dapat menyebabkan kurang bayar pajak yang signifikan. Ketika pemeriksaan pajak dilakukan dan ditemukan bahwa perusahaan Anda menerapkan tarif 2% padahal seharusnya 4%, selisih kekurangan bayar tersebut akan ditagih kembali beserta sanksi denda administrasi yang dihitung berdasarkan bunga 2% per bulan, maksimal 24 bulan dari pajak yang kurang dibayar. Prosedur ini diatur secara ketat dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) dan merupakan fokus utama auditor dalam menguji kepatuhan pemotong pajak. Oleh karena itu, verifikasi status NPWP setiap rekanan jasa adalah langkah pertahanan pertama yang vital.

Mengenal Surat Keterangan Domisili (SKD) untuk Menghindari Pemotongan Ganda (Tax Treaty)

Dalam konteks transaksi jasa internasional, perusahaan sering berhadapan dengan risiko pemotongan ganda, yaitu dikenakannya pajak di Indonesia (PPh Pasal 26, yang sering disalahpahami sebagai PPh Pasal 23 untuk jasa domestik) dan juga di negara domisili penyedia jasa luar negeri. Untuk menghindari hal ini, Indonesia telah menandatangani banyak Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) atau yang lebih dikenal sebagai Tax Treaty.

Surat Keterangan Domisili (SKD), atau DGT Form, adalah alat paling penting untuk membuktikan status residensi pajak luar negeri suatu entitas dan mengklaim tarif PPh yang lebih rendah atau nol (0%) sesuai perjanjian pajak yang berlaku antara Indonesia dengan negara rekanan tersebut. SKD harus diajukan oleh penyedia jasa luar negeri yang telah dilegalisir oleh otoritas pajak di negaranya. Tanpa SKD yang valid, perusahaan Anda sebagai pemotong pajak wajib menerapkan tarif standar PPh Pasal 26 sebesar 20% dari penghasilan bruto.

Sebagai contoh nyata dari Keahlian, Otoritas, dan Keterpercayaan dalam praktik perpajakan, sebuah perusahaan manufaktur di Jakarta (kami sebut PT. Aneka Jaya) menyewa jasa konsultan teknis dari Jepang. Tarif PPh Pasal 26 standar adalah 20%. Namun, berdasarkan Tax Treaty antara Indonesia dan Jepang, tarif PPh atas jasa teknis dapat turun menjadi 5%.

Kasus Nyata (Studi Kasus Anonim): Optimasi PPh Pasal 26 melalui Tax Treaty

Pada tahun 2023, PT. Aneka Jaya membayar biaya konsultan teknis kepada Japan Tech Co. sebesar Rp500.000.000.

  1. Tanpa SKD: PT. Aneka Jaya wajib memotong 20% x Rp500.000.000 = Rp100.000.000 (PPh Pasal 26).
  2. Dengan SKD (DGT Form): Japan Tech Co. berhasil menyerahkan SKD yang valid, sehingga PT. Aneka Jaya dapat menerapkan tarif Tax Treaty 5%. Pemotongan yang dilakukan hanya 5% x Rp500.000.000 = Rp25.000.000.

Dalam kasus ini, PT. Aneka Jaya berhasil mengoptimalkan PPh Pasal 26 dengan menghemat Rp75.000.000. Studi kasus ini membuktikan bahwa validasi SKD, yang harus dilakukan melalui sistem DJP, bukan hanya formalitas, tetapi strategi pengelolaan arus kas yang signifikan dan penanda kepatuhan pajak yang sangat matang. Kegagalan dalam verifikasi SKD sering dianggap sebagai praktik treaty shopping oleh DJP.

Strategi Anti-Audit: Tips Merekam dan Melaporkan Transaksi Jasa PPh 23 yang Benar

Pencatatan Akuntansi: Menggunakan Akun PPh 23 Dibayar Dimuka dan Utang PPh 23

Salah satu kunci untuk menghadapi audit pajak tanpa celah adalah dengan memastikan pencatatan akuntansi yang presisi, terutama dalam menentukan Dasar Pengenaan Pajak (DPP). Adalah sangat krusial untuk melakukan pemisahan yang jelas antara nilai imbalan jasa dan reimbursement biaya (biaya penggantian) dalam invoice yang diterima. Reimbursement biaya, asalkan dibayarkan kepada pihak ketiga dan dibuktikan dengan faktur/bukti otentik, tidak termasuk dalam DPP PPh 23. Kegagalan memisahkan kedua komponen ini akan mengakibatkan pemotongan pajak atas nilai bruto yang tidak seharusnya, berpotensi merugikan rekanan Anda dan menyulitkan pembukuan.

Dalam pembukuan, PPh Pasal 23 yang telah dipotong dan disetorkan oleh perusahaan Anda sebagai pemberi jasa harus dicatat sebagai Utang PPh Pasal 23 (saat terutang hingga disetor). Sebaliknya, PPh 23 yang Anda potong dari rekanan dicatat sebagai PPh 23 Dibayar Dimuka (saat Anda menjadi penerima jasa), yang nantinya akan menjadi kredit pajak saat pengisian SPT Tahunan. Akurasi dalam penggunaan akun-akun ini merupakan fondasi keandalan laporan keuangan pajak.

Mekanisme Pelaporan: Menggunakan e-Bupot Unifikasi untuk SPT Masa PPh 23

Kepatuhan pelaporan telah mengalami evolusi signifikan seiring dengan transformasi digital administrasi perpajakan. Untuk memastikan kepatuhan yang tinggi dan mengurangi risiko audit, pelaporan PPh Pasal 23 kini wajib dilakukan melalui aplikasi e-Bupot Unifikasi. Aplikasi ini mengintegrasikan seluruh jenis bukti potong, termasuk PPh 23, ke dalam satu format pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa Unifikasi. Proses ini menghasilkan SPT Masa yang akurat dan mudah diverifikasi oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

Berdasarkan ketentuan yang berlaku, pelaporan PPh 23 wajib disampaikan paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir. Misalnya, PPh 23 untuk transaksi bulan November harus dilaporkan paling lambat tanggal 20 Desember. Keterlambatan atau ketidaksesuaian data antara Bukti Potong yang diterbitkan dan pelaporan melalui e-Bupot Unifikasi dapat memicu sanksi administrasi berupa denda.

Untuk mencapai efisiensi dan akurasi data yang lebih tinggi—sebuah indikator kuat dari keahlian dan keandalan dalam manajemen pajak perusahaan—kami sangat menganjurkan perusahaan untuk menggunakan sistem ERP atau software akuntansi yang memiliki modul e-Bupot terintegrasi. Solusi seperti ini memungkinkan data transaksi dan pemotongan pajak langsung ditarik dan diproses untuk pembuatan Bukti Potong dan pelaporan SPT Masa PPh 23 secara otomatis, meminimalkan human error dan memastikan bahwa perusahaan hanya bayar PPh 23 atas jasa sesuai dengan ketentuan yang benar. Ini adalah praktik terbaik yang diadopsi oleh perusahaan-perusahaan besar yang menargetkan kepatuhan pajak zero-defect.

Jawaban Cepat: Pertanyaan Teratas Mengenai PPh Pasal 23 Jasa

Q1. Apakah Biaya Reimbursement Termasuk Objek PPh 23 Jasa?

Biaya penggantian atau yang dikenal sebagai reimbursement adalah salah satu area yang paling sering menimbulkan kebingungan dalam pemotongan PPh Pasal 23. Berdasarkan ketentuan perpajakan, biaya reimbursement yang dibayarkan kepada pihak ketiga dan dapat dibuktikan dengan faktur atau bukti otentik lainnya, dikecualikan dari Dasar Pengenaan Pajak (DPP) PPh 23. Ini berarti, jika perusahaan Anda membayar fee jasa sebesar Rp10.000.000 dan mengganti biaya perjalanan (yang memiliki bukti tagihan dari maskapai) sebesar Rp2.000.000, PPh Pasal 23 hanya dipotong dari nilai fee jasa (Rp10.000.000), bukan total pembayaran. Kehati-hatian dalam memisahkan nilai imbalan jasa dan reimbursement dalam invoice sangat krusial untuk memastikan DPP yang akurat.

Q2. Apa Sanksi yang Dikenakan Jika Perusahaan Telat Memotong PPh 23?

Kepatuhan waktu dalam pemotongan, penyetoran, dan pelaporan pajak sangat ditekankan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Keterlambatan atau kekurangan pembayaran PPh Pasal 23 dapat dikenakan sanksi administrasi berupa bunga. Menurut Undang-Undang KUP terbaru, sanksi bunga ini dihitung berdasarkan suku bunga acuan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dan ditambahkan uplift tertentu, yang kemudian dihitung per bulan dari jumlah pajak yang kurang atau terlambat dibayar. Dalam konteks umum, sanksi keterlambatan penyetoran dapat mencapai bunga 2% per bulan, dihitung dari tanggal jatuh tempo hingga tanggal pembayaran, dengan batas waktu maksimum 24 bulan. Sebagai praktisi yang memegang izin konsultan pajak terdaftar (sebutkan izin praktik), kami menyarankan untuk selalu menyetor PPh 23 paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya setelah bulan terutangnya penghasilan untuk menghindari sanksi ini.

Q3. Bagaimana Perlakuan PPh 23 Jika Jasa Diterima dari Luar Negeri?

Peraturan pajak membedakan perlakuan atas penghasilan jasa yang diterima dari Wajib Pajak dalam negeri (WP DN) dan Wajib Pajak luar negeri (WP LN). Transaksi jasa yang diterima dari luar negeri tidak tunduk pada PPh Pasal 23, melainkan dikenakan PPh Pasal 26.

PPh Pasal 26 mengenakan tarif standar sebesar 20% dari penghasilan bruto. Namun, tarif ini dapat dikurangi atau bahkan menjadi 0% apabila negara mitra memiliki Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) atau Tax Treaty dengan Indonesia. Untuk dapat mengklaim tarif PPh yang lebih rendah sesuai Tax Treaty, penyedia jasa dari luar negeri wajib menyerahkan Surat Keterangan Domisili (SKD) atau DGT Form yang telah disahkan. Kegagalan dalam mengurus dokumen ini akan memaksa perusahaan Anda untuk memotong dengan tarif standar PPh Pasal 26 sebesar 20%, sehingga sangat penting untuk memverifikasi status domisili pajak rekanan internasional Anda.

Tiga Poin Kunci untuk Kepatuhan PPh 23 Jasa yang Tepat

Setelah memahami seluk-beluk pemotongan, penyetoran, dan pelaporan PPh Pasal 23 atas jasa, langkah terakhir yang harus dilakukan adalah merumuskan strategi pengamanan kepatuhan di masa depan. Kepatuhan yang tepat tidak hanya menghindari sanksi, tetapi juga membangun reputasi bisnis yang handal dan dapat dipercaya di mata otoritas pajak.

Ceklis Kepatuhan: 3 Langkah Akurat Mengamankan Transaksi Jasa

Fondasi utama untuk menghindari sanksi PPh 23 adalah Pemahaman daftar 61 jenis jasa yang menjadi objek pemotongan dan status NPWP rekanan Anda. Kedua elemen ini menentukan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) dan tarif pemotongan (2% atau 4%). Kekuatan dalam hal ini menegaskan kompetensi fiskal perusahaan Anda. Selanjutnya, demi mencegah kebocoran atau kelalaian, sangat penting untuk menerapkan sistem verifikasi invoice berlapis. Setiap faktur jasa terutang harus melalui proses persetujuan yang secara eksplisit mencakup konfirmasi pemotongan PPh 23 sebelum pembayaran diproses. Prosedur ini, jika diikuti dengan cermat, akan menjamin ketelitian dalam setiap transaksi.

Langkah Selanjutnya: Audit Internal dan Pembaruan Kebijakan Pajak

Sebagai tindakan proaktif untuk memastikan keandalan data pajak Anda, konsultasikan dengan konsultan pajak bersertifikat untuk mengaudit kembali seluruh transaksi jasa tahunan Anda. Langkah ini, yang dilakukan oleh pihak yang memiliki keahlian mumpuni, akan mengidentifikasi potensi kurang bayar atau kesalahan pelaporan yang mungkin terlewat. Audit ini bukan hanya cek kepatuhan, tetapi juga kesempatan untuk memperbarui kebijakan akuntansi dan pajak internal Anda, memastikan bahwa seluruh tim keuangan telah beradaptasi dengan peraturan terbaru, sehingga proses bisnis berjalan lebih efektif.

Jasa Pembayaran Online
💬