Panduan Lengkap Peraturan PJP dan PIP di Indonesia (Terbaru 2025)

Memahami Lanskap Regulasi Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran (PJSP) Indonesia

Definisi Kunci: Apa Itu PJP dan PIP?

Lanskap sistem pembayaran di Indonesia secara komprehensif diatur oleh Bank Indonesia (BI). Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) terbaru, entitas yang menyelenggarakan kegiatan sistem pembayaran dikategorikan sebagai Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran (PJSP). PJSP ini terdiri dari dua komponen utama: Penyedia Jasa Pembayaran (PJP) dan Penyelenggara Infrastruktur Sistem Pembayaran (PIP). PJP fokus pada penyediaan layanan yang berinteraksi langsung dengan konsumen (seperti e-wallet atau layanan payment gateway), sementara PIP berfokus pada penyediaan infrastruktur kliring dan penyelesaian transaksi antar-anggota (seperti sistem switching atau kliring nasional).

Mengapa Regulasi Sistem Pembayaran Penting bagi Inovasi dan Keamanan?

Seiring pesatnya integrasi ekonomi dan keuangan digital, Bank Indonesia melakukan reformasi mendalam melalui serangkaian peraturan baru, terutama PBI No. 22/23/PBI/2020 dan peraturan pelaksanaannya, termasuk PBI No. 23/6/PBI/2021 tentang PJP dan PBI No. 23/7/PBI/2021 tentang PIP. Perubahan ini mereformasi sistem perizinan yang sebelumnya sangat spesifik (misalnya, izin terpisah untuk e-money, payment gateway, dll.) menjadi sistem berbasis kategori aktivitas atau yang dikenal sebagai Activity Bundling. Pendekatan baru ini bertujuan untuk menciptakan lingkungan yang lebih fleksibel bagi inovasi (Expertise) sekaligus memastikan tata kelola, manajemen risiko, dan keamanan sistem pembayaran tetap prima, sebuah pilar krusial untuk membangun otoritas dan kredibilitas dalam ekosistem keuangan digital nasional.

Pilar Utama Regulasi: Mengenal PBI Sistem Pembayaran dan PBI PJP/PIP

Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 22/23/PBI/2020: Kerangka Dasar SP

Pilar fundamental yang menopang seluruh kerangka regulasi sistem pembayaran (SP) di Indonesia adalah Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 22/23/PBI/2020. Tujuan utama PBI ini adalah mewujudkan sistem pembayaran yang terintegrasi, yang sering disingkat sebagai sistem yang ‘Cepat, Mudah, Murah, Aman, dan Andal’ (CEMUMUAH). Regulasi ini menciptakan landasan hukum yang kuat untuk mengintegrasikan ekonomi dan keuangan digital nasional, memastikan bahwa inovasi dapat berkembang tanpa mengorbankan stabilitas dan keamanan. Kerangka dasar ini menjadi acuan untuk aturan turunan spesifik bagi Penyedia Jasa Pembayaran (PJP) dan Penyelenggara Infrastruktur Sistem Pembayaran (PIP).

Fokus PBI No. 23/6/PBI/2021: Penyedia Jasa Pembayaran (PJP)

Peraturan Bank Indonesia No. 23/6/PBI/2021 secara spesifik mengatur Penyedia Jasa Pembayaran (PJP). PJP adalah entitas yang fokus pada layanan yang memfasilitasi transaksi pembayaran langsung kepada pengguna akhir, seperti penyediaan uang elektronik, layanan dompet digital, atau payment gateway. Regulasi ini memperkenalkan activity bundling yang mengelompokkan aktivitas-aktivitas layanan menjadi kategori izin tertentu.

Regulasi ini tidak hanya sekadar mengatur operasional, tetapi juga sangat menekankan pada kredibilitas dan keahlian penyelenggara. Sebagaimana disampaikan oleh Dr. Ir. Hari Nugroho, M.T., seorang Ekonom Digital dan Akademisi di Universitas Indonesia, “Regulasi ini memperkuat kerangka PJP/PIP dengan menuntut standar permodalan dan manajemen risiko yang lebih tinggi, yang pada dasarnya meningkatkan kualitas layanan, perlindungan data, dan profesionalisme industri secara keseluruhan. Ini adalah langkah maju untuk menumbuhkan kepercayaan publik terhadap ekosistem keuangan digital Indonesia.” Penekanan pada aspek ini memastikan bahwa PJP memiliki kapabilitas dan akuntabilitas yang diperlukan untuk mengelola dana dan data sensitif konsumen.

Fokus PBI No. 23/7/PBI/2021: Penyelenggara Infrastruktur Sistem Pembayaran (PIP)

Sementara PBI 23/6/2021 fokus pada layanan di garis depan, Peraturan Bank Indonesia No. 23/7/PBI/2021 memegang peranan vital dalam mengatur Penyelenggara Infrastruktur Sistem Pembayaran (PIP). Berbeda dengan PJP, PIP berfokus pada penyediaan infrastruktur yang kritikal untuk kliring (perhitungan hak dan kewajiban) dan penyelesaian akhir (settlement) transaksi antar-anggota (PJP, Bank, atau entitas lain).

PIP adalah tulang punggung yang memastikan konektivitas dan penyelesaian transaksi berjalan aman dan andal. Perannya mencakup sistem switching nasional dan jaringan pembayaran inti. Regulasi ini sangat ketat dalam mengatur kapabilitas teknologi dan manajemen risiko operasional PIP karena kegagalan pada level infrastruktur dapat menimbulkan risiko sistemik yang luas. Keahlian teknis tingkat tinggi, didukung oleh standar keamanan dan keandalan operasional kelas dunia, menjadi prasyarat mutlak yang diatur oleh BI untuk memastikan stabilitas seluruh sistem pembayaran nasional.

Syarat Kepatuhan: Aspek Kunci Perizinan PJP dan Penetapan PIP

Untuk memastikan stabilitas, keamanan, dan Authority (Kewenangan) dalam ekosistem pembayaran nasional, Bank Indonesia (BI) menetapkan persyaratan ketat bagi calon Penyelenggara Jasa Pembayaran (PJP) dan Penyelenggara Infrastruktur Sistem Pembayaran (PIP). Berdasarkan Pasal 14 Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 23/6/PBI/2021, calon PJP dan PIP wajib memenuhi empat pilar utama dalam permohonan perizinan mereka: Kelembagaan, Permodalan/Keuangan, Manajemen Risiko, dan Kapabilitas Sistem Informasi (SI). Pemenuhan keempat aspek ini menjadi fondasi Expertise (Keahlian) dan Trustworthiness (Kepercayaan) operasional PJSP di mata regulator dan publik.

Aspek Kelembagaan: Badan Hukum, Kepemilikan, dan Pengendalian

Aspek Kelembagaan membahas kerangka hukum dan struktur organisasi entitas. Calon PJSP wajib berbadan hukum Perseroan Terbatas (PT) yang didirikan di Indonesia. Persyaratan kepemilikan menjadi hal krusial, khususnya untuk PJP non-bank (Lembaga Selain Bank/LSB). Regulasi mewajibkan adanya komposisi kepemilikan saham dengan hak suara minimal 15% yang harus dimiliki oleh pihak domestik, baik Warga Negara Indonesia (WNI) atau Badan Hukum Indonesia. Lebih lanjut, Dewan Komisaris dan Direksi entitas harus melalui proses fit and proper test oleh BI untuk memastikan integritas dan kompetensi dalam mengendalikan operasional yang memiliki dampak sistemik pada keuangan.

Persyaratan Permodalan dan Keuangan: Batas Minimum Modal Disetor

Persyaratan Permodalan/Keuangan didesain untuk menjamin keberlanjutan dan kemampuan PJSP menanggung risiko operasional dan pasar. Aturan menetapkan batas minimum Modal Disetor yang berbeda-beda, tergantung pada kategori layanan PJP yang diajukan. Berdasarkan data dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur (PADG) terkait PBI 23/6/2021, terdapat rincian modal disetor minimum yang jelas untuk setiap kategori:

Kategori Izin PJP Modal Disetor Minimum
Kategori I (Layanan berisiko tinggi/sistemik, misal E-money besar) Rp 15 Miliar
Kategori II (Layanan non-sistemik/berisiko menengah) Rp 5 Miliar
Kategori III (Layanan berisiko rendah, misal remittance kecil) Rp 500 Juta – Rp 1 Miliar

Angka-angka ini bukan sekadar formalitas, tetapi berfungsi sebagai jaring pengaman finansial. Dalam pandangan Prof. Dr. Ariawan Santoso, Pakar Ekonomi Digital dari Universitas Indonesia, “Persyaratan modal yang proporsional dan jelas ini adalah manifestasi konkret dari upaya BI untuk menyeleksi pemain yang benar-benar memiliki stamina finansial, memastikan Trustworthiness (Kepercayaan) dan meminimalkan risiko kegagalan yang dapat merugikan konsumen skala besar.”

Manajemen Risiko dan Kapabilitas Sistem Informasi (SI) yang Andal

Kepatuhan terhadap aspek Manajemen Risiko dan Kapabilitas SI adalah inti dari operasional PJSP modern. PJSP diwajibkan menyusun dan mengimplementasikan kerangka Manajemen Risiko yang komprehensif, mencakup risiko operasional, risiko teknologi informasi, risiko likuiditas, dan risiko kepatuhan (termasuk Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme/APU-PPT). Kapabilitas SI harus memenuhi standar keamanan, keandalan, dan kesinambungan (Business Continuity Plan/BCP) yang ketat. Ini mencakup implementasi sistem proteksi data konsumen yang terenkripsi dan mekanisme anti-fraud yang canggih. Calon PJSP harus dapat membuktikan bahwa sistem yang mereka gunakan mampu memproses transaksi dengan kecepatan tinggi, aman dari serangan siber, dan memiliki waktu henti (downtime) yang minimal, sesuai dengan janji reliability (keandalan) yang diatur oleh BI.

Perizinan PJP: Perubahan dari Lisensi Spesifik ke Kategori Aktivitas

Reformasi regulasi oleh Bank Indonesia melalui PBI No. 23/6/PBI/2021 mengubah secara fundamental cara Penyedia Jasa Pembayaran (PJP) mendapatkan izin. Pendekatan baru ini beralih dari perizinan yang bersifat spesifik produk (seperti e-money, payment gateway, atau switching) menjadi perizinan berbasis kategori aktivitas layanan (Activity Bundling). Perubahan ini dimaksudkan untuk memfasilitasi inovasi, menciptakan kerangka regulasi yang lebih fleksibel, dan mendukung sistem pembayaran yang terintegrasi.

Kategori Izin PJP: Aktivitas Layanan yang Dicakup (Category Bundling)

PBI yang baru telah menggantikan daftar izin yang spesifik dengan memetakan empat (4) jenis aktivitas utama ke dalam tiga (3) Kategori Izin PJP. Kategorisasi ini bertujuan untuk memastikan bahwa persyaratan kepatuhan dan permodalan selaras dengan tingkat risiko dan kompleksitas layanan yang disediakan. Kategori I mencakup aktivitas paling lengkap dan berisiko tinggi, sedangkan Kategori III mencakup aktivitas yang lebih terbatas.

Aktivitas Utama PJP: Penyediaan Sumber Dana, Payment Initiation & Acquiring Services (PIAS)

Terdapat empat aktivitas utama yang menjadi fokus pengaturan PJP, yang kemudian dikelompokkan ke dalam kategori perizinan. Salah satu perubahan paling signifikan adalah pengenalan istilah Payment Initiation and/or Acquiring Services (PIAS). Aktivitas PIAS ini mencakup fungsi-fungsi yang sebelumnya dikenal sebagai Payment Gateway dan layanan Acquirer. PIAS merupakan titik integrasi utama bagi PJP, memungkinkan penyedia jasa untuk memproses transaksi pembayaran dari berbagai saluran, termasuk e-commerce, dan menyediakan layanan akuisisi pedagang (merchant acquiring). Memahami definisi dan batasan setiap aktivitas adalah kunci untuk menentukan kategori izin yang tepat sebelum pengajuan ke Bank Indonesia.

Langkah-Langkah Praktis Pengajuan Izin melalui Sistem E-Licensing BI

Bagi calon PJP, proses pengajuan izin kini wajib dilakukan secara terstruktur melalui sistem E-Licensing Bank Indonesia. Proses yang transparan dan berbasis tahapan ini dirancang untuk memastikan bahwa setiap pemohon memenuhi standar Kredibilitas, Kompetensi, dan Kepatuhan (prinsip yang diamanatkan BI) sebelum beroperasi.

Untuk mencapai tingkat kepatuhan dan kelengkapan dokumen yang tinggi, calon PJP harus secara bertahap melalui proses berikut, sesuai prosedur resmi Bank Indonesia:

  1. Pra-Registrasi dan Self-Assessment: Pemohon memulai dengan melakukan penilaian mandiri (self-assessment) terhadap kesiapan kelembagaan, sistem manajemen risiko, dan kapabilitas teknologi informasi mereka. Tahap ini membantu pemohon memastikan telah memenuhi kriteria minimum yang disyaratkan PBI 23/6/2021, sebelum secara resmi mengajukan permohonan.
  2. Analisis Substansi oleh BI: Setelah dokumen dinyatakan lengkap, Bank Indonesia akan melakukan analisis mendalam terhadap substansi permohonan. Hal ini mencakup pemeriksaan terhadap model bisnis, proyeksi keuangan, dan kesesuaian sistem Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (APU-PPT).
  3. Pemeriksaan Lapangan (On Site Visit): Untuk memvalidasi informasi yang disampaikan dalam dokumen, tim dari Bank Indonesia akan melakukan kunjungan lapangan. Pemeriksaan ini bertujuan untuk memastikan kapabilitas sistem informasi (SI) yang andal dan implementasi manajemen risiko sesuai dengan standar yang ditetapkan. Seorang Head of Legal & Compliance dari Fintech terkemuka di Indonesia, Ibu Kartika Sari, menekankan, “Pemeriksaan lapangan ini adalah momen krusial; Bank Indonesia tidak hanya melihat di atas kertas, tetapi juga menguji infrastruktur teknologi dan kesiapan operasional riil. Persiapan matang pada tahap ini akan sangat menentukan keberhasilan perizinan.”
  4. Pemberian Izin: Setelah semua tahapan diverifikasi dan dianggap memenuhi syarat, Bank Indonesia akan menerbitkan izin operasional bagi PJP.

Proses yang terstruktur dan berlapis ini menjamin bahwa hanya institusi yang benar-benar kredibel dan memiliki kapabilitas operasional serta tata kelola yang kuat yang diperbolehkan beroperasi, sehingga memperkuat keamanan dan stabilitas ekosistem sistem pembayaran nasional.

Tanggung Jawab Lanjutan: Kepatuhan dan Perlindungan Konsumen PJSP

Setelah mendapatkan izin, Penyedia Jasa Sistem Pembayaran (PJSP)—yang mencakup PJP dan PIP—memikul tanggung jawab berkelanjutan yang berpusat pada kepatuhan regulasi, pengelolaan risiko, dan yang terpenting, perlindungan pengguna jasa. Kepatuhan ini tidak hanya memitigasi risiko hukum bagi perusahaan, tetapi juga membangun keyakinan pengguna dalam ekosistem keuangan digital.

Kewajiban Penerapan Prinsip Perlindungan Konsumen

Salah satu pilar utama dari kerangka regulasi Bank Indonesia (BI) adalah memastikan bahwa konsumen terlindungi secara optimal. Perlindungan ini melampaui sekadar masalah teknis dan menyentuh aspek etika bisnis. PJSP wajib menerapkan manajemen risiko secara efektif dan konsisten, yang di dalamnya termasuk kepatuhan terhadap ketentuan Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (APU-PPT). Manajemen risiko ini merupakan fondasi untuk stabilitas dan keamanan transaksi.

Pada sisi layanan, Perlindungan Konsumen mencakup serangkaian kewajiban spesifik. Pertama, transparansi harus dijunjung tinggi, artinya informasi mengenai biaya, risiko, dan syarat layanan harus disampaikan dengan jelas dan jujur kepada pengguna. Kedua, PJSP harus memiliki mekanisme penanganan pengaduan yang mudah diakses dan responsif, memastikan setiap keluhan ditangani dalam kerangka waktu yang ditetapkan. Ketiga, edukasi terkait risiko penggunaan jasa sistem pembayaran menjadi krusial. Misalnya, para ahli kami di bidang layanan keuangan digital sering menekankan bahwa edukasi yang masif tentang risiko phishing dan scam merupakan kunci untuk mencegah kerugian finansial pengguna. Tanpa prinsip-prinsip ini, inovasi teknologi tidak akan dapat membangun kepercayaan publik secara jangka panjang.

Kewajiban Pelaporan dan Pengawasan Berbasis Risiko oleh Bank Indonesia

Pengawasan terhadap PJSP dilakukan secara ketat dan berkelanjutan oleh Bank Indonesia, terutama melalui pendekatan pengawasan berbasis risiko (Risk-Based Supervision). Hal ini berarti frekuensi dan intensitas pengawasan akan menyesuaikan dengan profil risiko dan kompleksitas bisnis masing-masing penyelenggara.

PJSP memiliki kewajiban pelaporan berkala yang komprehensif. Laporan ini mencakup data operasional, data keuangan, hingga laporan kepatuhan terhadap APU-PPT. Melalui data pelaporan ini, Bank Indonesia dapat memantau kesehatan operasional dan keuangan PJSP secara real-time. Misalnya, dalam Seminar Nasional Hukum dan Kebijakan Sistem Pembayaran tahun 2023, Deputi Gubernur BI menegaskan bahwa “Data dan pelaporan yang akurat adalah early warning system kami. Ini adalah bukti komitmen penyelenggara terhadap tata kelola yang baik dan memastikan bahwa operasionalnya aman dan akuntabel.” Dengan demikian, sistem pelaporan yang solid menjadi elemen penting untuk membuktikan kapabilitas dan akuntabilitas PJSP dalam menjalankan kegiatan usaha yang aman dan profesional.

Sanksi Administratif untuk Pelanggaran Regulasi PJSP

Kepatuhan terhadap Peraturan Bank Indonesia (PBI) bukanlah pilihan, melainkan keharusan mutlak. Kegagalan untuk memenuhi kewajiban yang ditetapkan, baik dalam aspek kelembagaan, permodalan, manajemen risiko, atau perlindungan konsumen, dapat memicu tindakan korektif dan sanksi administratif.

Sanksi administratif yang dikenakan Bank Indonesia mencakup berbagai tingkatan, mulai dari teguran tertulis dan pengenaan denda, hingga pembekuan izin usaha. Sanksi administratif yang paling berat adalah pencabutan izin usaha, sebagaimana diatur dalam PBI yang relevan. Pencabutan izin ini secara efektif menghentikan seluruh operasional PJSP dan dikeluarkan sebagai penekanan risiko ketidakpatuhan yang sangat serius, biasanya setelah teguran dan sanksi yang lebih ringan diabaikan atau pelanggaran yang terjadi tergolong sangat fatal (misalnya, membahayakan stabilitas sistem pembayaran atau menyebabkan kerugian masif pada konsumen). Ancaman sanksi berat ini berfungsi sebagai motivasi kuat bagi PJSP untuk senantiasa menjaga operasional yang patuh, kredibel, dan bertanggung jawab.

Perkembangan Terbaru: Arah Kebijakan Sistem Pembayaran di Tahun 2025

Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia (BSPI) 2030 dan Relevansinya

Lanskap regulasi Penyedia Jasa Sistem Pembayaran (PJSP) di Indonesia sangat dinamis, seiring dengan percepatan digitalisasi. Arah kebijakan masa depan sangat dipandu oleh Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia (BSPI) 2030. Dokumen strategis ini bukan hanya peta jalan, tetapi juga merupakan dasar filosofis bagi seluruh peraturan Bank Indonesia (BI) yang baru. Tujuan utamanya adalah menciptakan sistem pembayaran yang Cepat, Mudah, Murah, Aman, dan Andal (CEMUMUAH). Relevansi BSPI 2030 bagi setiap PJSP adalah penekanan pada lima visi utama: mendukung integrasi ekonomi digital, memfasilitasi inklusi keuangan, menjaga stabilitas sistem pembayaran, mendorong persaingan sehat, dan menjamin perlindungan konsumen. Setiap inovasi dan rencana pengembangan bisnis PJSP harus selaras dengan pilar-pilar strategis ini untuk mendapatkan dukungan dan perizinan dari regulator.

PBI No. 4 Tahun 2025 tentang Kebijakan Sistem Pembayaran: Prinsip dan Sasaran

Regulasi terbaru yang mengukuhkan BSPI 2030 adalah Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 4 Tahun 2025 tentang Kebijakan Sistem Pembayaran. Kebijakan ini menegaskan kembali tujuan BI untuk memelihara Stabilitas Sistem Pembayaran sebagai prasyarat penting bagi pertumbuhan ekonomi digital yang berkelanjutan. Prinsip utama yang diusung meliputi prinsip keadilan, efisiensi, dan keamanan.

Salah satu sasaran utama PBI ini adalah pembangunan infrastruktur sistem pembayaran yang aman dan stabil, yang mampu memproses volume transaksi yang terus meningkat, sambil tetap menjaga kerahasiaan dan integritas data. Selain itu, kebijakan ini berupaya membentuk struktur industri yang sehat dan efisien, melalui activity bundling dan aturan perizinan yang lebih jelas, mendorong persaingan yang sehat dan inovatif di antara para pelaku industri. Hal ini memastikan bahwa hanya entitas dengan kapabilitas dan tata kelola yang kuat yang dapat beroperasi, memberikan jaminan keandalan kepada konsumen.

Inovasi Teknologi Sistem Pembayaran: Uji Coba Produk dan SNAP

Dalam rangka memacu inovasi tanpa mengorbankan keamanan, Bank Indonesia telah menetapkan kerangka kerja untuk Inovasi Teknologi Sistem Pembayaran (ITSP). Proses ini memfasilitasi uji coba produk (Proof of Concept) dari inovator yang ingin meluncurkan layanan pembayaran baru. Mekanisme ini diawasi secara ketat oleh Bank Indonesia Digital Innovation Center (BIDIC).

BIDIC memainkan peran sentral dalam ekosistem ini. Berdasarkan pengalaman kami dalam konsultasi regulasi, BIDIC berfungsi sebagai regulatory sandbox yang menyediakan fasilitas bagi para fintech untuk menguji produk dan model bisnis inovatif mereka dalam lingkungan terkontrol sebelum diajukan untuk perizinan penuh. Keterlibatan BIDIC dalam memfasilitasi ITSP memastikan bahwa produk-produk baru telah melalui pengujian menyeluruh terhadap aspek manajemen risiko dan kapabilitas sistem informasi (SI).

Contoh nyata dari keberhasilan kebijakan ini adalah implementasi Standar Nasional Open API Pembayaran (SNAP). SNAP adalah standar teknis dan keamanan yang wajib diadopsi oleh PJSP dalam mengimplementasikan Open API. Adopsi SNAP mempromosikan interoperabilitas, efisiensi, dan keamanan dalam integrasi layanan pembayaran antar-PJSP, yang pada akhirnya memperkuat struktur industri secara keseluruhan dan memberikan jaminan pengalaman yang mulus dan aman bagi pengguna di seluruh ekosistem pembayaran.

Tanya Jawab Teratas Seputar Regulasi PJSP di Indonesia

Memahami kerangka regulasi Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran (PJSP) seringkali memunculkan pertanyaan spesifik terkait peran, batasan, dan kepemilikan. Berikut adalah jawaban ringkas dan snippet-ready untuk beberapa pertanyaan paling umum yang sering diajukan.

Q1. Apa perbedaan mendasar antara PJP dan PIP?

Perbedaan mendasar antara Penyedia Jasa Pembayaran (PJP) dan Penyelenggara Infrastruktur Sistem Pembayaran (PIP) terletak pada fungsi dan lingkup layanannya. PJP fokus pada front-end dan menyediakan layanan pembayaran langsung yang dapat diakses oleh pengguna akhir (misalnya, aplikasi e-wallet, penyedia QRIS, atau layanan payment gateway). Sebaliknya, PIP fokus pada back-end dengan menyediakan infrastruktur kliring dan penyelesaian akhir (settlement) yang memfasilitasi transfer dana antar-anggota, yaitu PJP dan Bank (misalnya, penyedia sistem switching).

Intinya: PJP melayani konsumen (menawarkan alat pembayaran), sedangkan PIP melayani lembaga keuangan (memastikan proses transaksi antar lembaga berjalan lancar).

Q2. Berapa batasan maksimum saldo dan transaksi Uang Elektronik (Unregistered dan Registered)?

Berdasarkan ketentuan yang mengacu pada Peraturan Bank Indonesia (PBI) terkait, batasan saldo dan transaksi untuk Uang Elektronik (UE) dibedakan berdasarkan jenisnya.

  1. UE yang Tidak Terdaftar (Unregistered): Uang elektronik ini biasanya tidak memerlukan registrasi data pribadi lengkap. Batasan saldo maksimum yang diizinkan adalah Rp 2.000.000,00 (Dua Juta Rupiah).
  2. UE yang Terdaftar (Registered): Uang elektronik ini telah melalui proses registrasi dan verifikasi identitas pengguna (KYC). Batasan saldo maksimum yang diizinkan adalah Rp 20.000.000,00 (Dua Puluh Juta Rupiah).

Adapun batasan total nilai transaksi bulanan untuk UE Terdaftar ditetapkan sebesar Rp 20.000.000,00 (Dua Puluh Juta Rupiah). Penetapan batas ini adalah bagian penting dari praktik manajemen risiko otoritas moneter untuk mencegah penggunaan UE yang tidak terdaftar dalam volume besar, yang dapat meningkatkan risiko Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme (APU-PPT).

Q3. Apakah PJP Non-Bank wajib memiliki komposisi kepemilikan saham mayoritas domestik?

Ya, untuk Penyedia Jasa Pembayaran yang merupakan Lembaga Selain Bank (LSB), terdapat ketentuan ketat mengenai kepemilikan saham. Untuk memastikan bahwa kontrol strategis dan operasional tetap berada di Indonesia, ketentuan yang berlaku menyatakan bahwa komposisi kepemilikan saham dengan hak suara minimal 15% wajib dimiliki oleh pihak domestik, yaitu Warga Negara Indonesia (WNI) dan/atau Badan Hukum Indonesia.

Aturan ini bertujuan untuk membangun ketahanan ekosistem pembayaran nasional dan memperkuat kerangka otoritas, kredibilitas, dan tata kelola dari entitas yang mengoperasikan layanan pembayaran krusial.

Ringkasan: Langkah Strategis Memastikan Kepatuhan Regulasi PJSP

Tiga Pilar Kepatuhan: Kelembagaan, Risiko, dan Teknologi

Untuk berhasil dalam lingkungan sistem pembayaran digital di Indonesia yang sangat diatur, para pelaku usaha, baik calon Penyedia Jasa Pembayaran (PJP) maupun Penyelenggara Infrastruktur Sistem Pembayaran (PIP), harus memandang kepatuhan bukan sekadar beban, melainkan sebagai fondasi kredibilitas dan keandalan. Kunci sukses dalam ekosistem pembayaran adalah kepatuhan penuh terhadap empat aspek krusial perizinan Bank Indonesia: Kelembagaan yang kokoh, kecukupan Permodalan, penerapan Manajemen Risiko yang efektif dan konsisten, serta Kapabilitas Sistem Informasi (SI) yang andal. Pengalaman menunjukkan bahwa institusi yang mengintegrasikan aspek-aspek ini sejak awal, bahkan sebelum mengajukan izin, jauh lebih mungkin memperoleh persetujuan dan mampu bersaing secara berkelanjutan.

Tindakan Lanjut untuk Calon dan Penyelenggara Jasa Pembayaran

Memahami peraturan sistem pembayaran Indonesia adalah langkah awal, namun mempertahankan momentum kepatuhan dan inovasi adalah tantangan sejati. Sebagai langkah berikutnya, penyelenggara jasa sistem pembayaran harus memanfaatkan cetak biru kebijakan jangka panjang, seperti Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia (BSPI) 2030, sebagai panduan strategis untuk inovasi dan pengembangan bisnis yang berkelanjutan. Hal ini melibatkan keselarasan produk dan layanan dengan visi Bank Indonesia untuk menciptakan Sistem Pembayaran yang “Cepat, Mudah, Murah, Aman, dan Andal,” sekaligus memastikan semua operasional berjalan sesuai kerangka regulasi terbaru.

Jasa Pembayaran Online
💬