Panduan Lengkap Pengadaan Barang Jasa dengan Kuitansi

Memahami Batasan dan Prosedur Pengadaan Barang Jasa dengan Kuitansi

Apa itu Pengadaan Barang/Jasa dengan Kuitansi Pembayaran?

Pengadaan barang/jasa dengan kuitansi pembayaran adalah prosedur penyederhanaan yang dirancang untuk pembelian barang atau jasa yang nilainya relatif kecil. Metode ini memungkinkan entitas publik atau swasta untuk memperoleh barang atau jasa secara cepat dan efisien tanpa melalui proses lelang yang kompleks. Secara umum, pengadaan ini digunakan untuk pembelian bernilai di bawah batas tertentu—sering kali ditetapkan pada Rp10 Juta atau Rp50 Juta, tergantung pada regulasi spesifik yang berlaku di institusi atau yurisdiksi terkait. Kecepatan dan minimnya birokrasi menjadikan kuitansi sebagai solusi efektif untuk kebutuhan operasional mendesak dan bernilai rendah.

Mengapa Metode Kuitansi Penting untuk Efisiensi Anggaran?

Pemanfaatan metode kuitansi sangat penting untuk efisiensi anggaran karena mengurangi beban administratif yang tidak proporsional dengan nilai transaksinya. Bayangkan jika setiap pembelian ATK atau makanan ringan senilai Rp500.000 harus melalui Surat Perintah Kerja (SPK) dan dokumen kontrak lainnya; hal ini akan menyedot waktu dan sumber daya yang jauh lebih besar. Kami menyajikan panduan langkah demi langkah ini untuk memastikan semua pengadaan Anda yang menggunakan bukti pembayaran sederhana ini tetap legal, transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan, yang merupakan pilar penting dalam tata kelola keuangan yang baik dan kredibel. Dengan mengikuti pedoman ini, Anda dapat memaksimalkan efisiensi tanpa mengorbankan integritas.

Batas Maksimal Nilai dan Dasar Hukum Penggunaan Kuitansi

Untuk memastikan pengadaan barang jasa dengan kuitansi pembayaran Anda sah dan dapat dipertanggungjawabkan, sangat penting untuk memahami dua hal utama: batas nilai transaksinya dan perbedaan prosedural dengan metode pengadaan lain. Kesalahan dalam penentuan batas nilai dapat berakibat pada temuan audit dan masalah kepatuhan administrasi.

Menentukan Batas Nilai Kuitansi Sesuai Peraturan Presiden Terbaru

Batas nilai pengadaan yang diperbolehkan menggunakan metode bukti pembayaran sederhana (kuitansi atau nota) ditetapkan secara eksplisit dalam regulasi pengadaan pemerintah. Umumnya, batas nilai pengadaan barang/jasa yang sah menggunakan kuitansi pembayaran ditetapkan berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dan perubahannya, yang paling relevan saat ini adalah Perpres No. 12 Tahun 2021.

Secara teknis, penggunaan kuitansi ini biasanya diizinkan untuk transaksi yang nilainya sangat kecil, seringkali di bawah batas Pengadaan Langsung. Sebagai contoh, merujuk pada ketentuan yang mengatur belanja pengadaan langsung, batas maksimal untuk Pengadaan Langsung adalah Rp200 Juta. Sementara kuitansi sering digunakan untuk transaksi yang jauh lebih kecil, misalnya yang secara internal ditetapkan maksimal Rp10 Juta atau bahkan sampai Rp50 Juta, bergantung pada interpretasi dan aturan operasional internal instansi, asalkan masih dalam koridor batas Pengadaan Langsung.

Untuk membangun kepercayaan dan kredibilitas dalam prosedur ini, kita dapat merujuk langsung pada dasar hukumnya. Berdasarkan Pasal 62 ayat (1) huruf a Perpres 16/2018 Jo Perpres 12/2021, disebutkan bahwa Pengadaan Langsung dapat dilakukan untuk Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya yang bernilai paling banyak Rp200 Juta. Penggunaan kuitansi sebagai bukti pembayaran adalah metode yang disederhanakan di bawah batas tersebut. Dengan demikian, semua transaksi yang menggunakan bukti pembayaran sederhana harus tetap di bawah batas maksimal Pengadaan Langsung, dan idealnya diatur dalam regulasi internal yang lebih ketat (misalnya maksimal Rp10 Juta) untuk pembelian barang/jasa yang sifatnya instan dan rutin.

Membedakan Pengadaan Langsung dan Pengadaan dengan Kuitansi

Meskipun pengadaan dengan kuitansi sering kali masuk dalam kategori Pengadaan Langsung karena nilainya di bawah batas maksimal Rp200 Juta, keduanya memiliki fokus dan persyaratan administrasi yang berbeda. Memahami perbedaannya sangat penting bagi akuntabilitas proses.

  • Pengadaan Langsung (PL): Ini adalah metode yang masih membutuhkan dokumen formal seperti Surat Perintah Kerja (SPK), kontrak, atau minimal Surat Perjanjian, terutama jika nilainya mendekati batas atas Rp200 Juta. Prosedurnya juga memerlukan proses permintaan penawaran harga dan negosiasi teknis serta harga.

  • Pengadaan dengan Kuitansi: Fokus metode ini adalah pada pembelian barang/jasa yang sifatnya instan, sekali jadi, dan nilainya sangat kecil. Prosedurnya disederhanakan hanya memerlukan bukti pembayaran yang sah (kuitansi, nota, atau bukti pembayaran lainnya) sebagai dasar pertanggungjawaban. Ini umumnya berlaku untuk pembelian seperti alat tulis kantor (ATK), kebutuhan dapur kantor, atau jasa perbaikan ringan. Tujuan utamanya adalah efisiensi waktu dan administrasi untuk transaksi bernilai minor yang tidak memerlukan proses tender atau kontrak formal yang kompleks.

Perbedaan fundamental terletak pada kebutuhan administrasi. Pengadaan dengan kuitansi dirancang untuk memangkas birokrasi, sedangkan Pengadaan Langsung, meskipun sederhana, tetap memerlukan dokumen pengikat yang lebih lengkap sebelum pembayaran dilakukan.

Komponen Kunci Kuitansi yang Memenuhi Persyaratan Akuntabilitas

Penggunaan kuitansi dalam pengadaan barang jasa dengan kuitansi pembayaran bukan berarti mengabaikan prinsip akuntabilitas dan transparansi. Sebaliknya, karena sifatnya yang sederhana dan bernilai kecil, kuitansi harus memiliki komponen yang sangat jelas dan lengkap untuk memastikan setiap rupiah yang dikeluarkan dapat dipertanggungjawabkan dalam proses audit.

Elemen Wajib: Tanggal, Nama Jelas, dan Tanda Tangan Penyedia

Kuitansi yang dianggap sah dan memenuhi persyaratan administrasi wajib mencantumkan informasi krusial. Ini termasuk tanggal transaksi yang menunjukkan kapan pembelian atau penyerahan jasa terjadi, uraian barang/jasa yang detail dan spesifik, serta jumlah uang yang dibayarkan, baik dalam bentuk terbilang maupun angka.

Lebih dari itu, identitas lengkap penerima pembayaran (penyedia barang/jasa) wajib dicantumkan, lengkap dengan tanda tangan basah. Kelengkapan ini adalah dasar dari keterandalan dokumen. Misalnya, sebuah studi kepatuhan di Kementerian Keuangan menunjukkan bahwa 75% temuan audit terkait pengeluaran kecil disebabkan oleh ketidaklengkapan identitas penerima pembayaran atau tidak adanya tanggal transaksi yang jelas. Kejelasan identitas dan detail transaksi ini memastikan bahwa pembayaran benar-benar telah dilakukan kepada pihak yang berhak atas barang/jasa yang diterima.

Mengenal Peran Stempel Toko dan Materai dalam Bukti Pembayaran

Untuk lebih memperkuat akuntabilitas dan kredibilitas kuitansi, dokumen tersebut sebaiknya dibubuhi stempel toko atau penyedia jasa. Stempel berfungsi sebagai alat verifikasi keabsahan institusi penyedia, meskipun tidak selalu wajib bagi UMKM atau penyedia perorangan.

Selain itu, peran materai sangat penting. Kuitansi wajib dibubuhi materai tempel jika nilai transaksinya telah melebihi batas minimum yang ditetapkan oleh undang-undang perpajakan. Nilai batas ini dapat berubah sesuai regulasi terbaru. Misalnya, saat ini materai Rp10.000,00 wajib digunakan untuk dokumen yang menyatakan jumlah uang atau nominal tertentu di atas Rp5.000.000,00. Kewajiban materai ini bukan hanya soal pajak, tetapi juga meningkatkan kepercayaan pada dokumen tersebut sebagai bukti hukum yang sah.

Untuk memastikan kepatuhan administrasi dan memudahkan staf pengadaan, berikut adalah 7 Poin Wajib Dokumen Kuitansi Pengadaan yang harus selalu diperiksa sebelum pembayaran dicairkan:

No. Komponen Wajib Kuitansi Tujuan Akuntabilitas
1 Nama dan Alamat Penyedia Identitas Hukum
2 Tanggal Transaksi Bukti Waktu Pembayaran
3 Nomor Kuitansi (jika ada) Pelacakan Internal
4 Uraian Barang/Jasa Detail Keterangan Jelas Kebutuhan
5 Jumlah Uang (Angka & Terbilang) Verifikasi Nominal
6 Tanda Tangan Penerima Bukti Penyerahan Dana
7 Stempel Toko/Penyedia (Materai jika > Rp5 Juta) Kredibilitas & Legalitas

Mematuhi checklist ini adalah langkah preventif terbaik untuk menjaga keahlian tim pengadaan Anda dan menjamin semua transaksi kecil memiliki dukungan dokumen yang kuat.

Langkah Praktis Prosedur Pengadaan Barang Jasa di Bawah Batas Nilai

Pengadaan barang/jasa dengan kuitansi pembayaran, meskipun nilainya kecil, tetap memerlukan prosedur yang terstruktur dan terdokumentasi dengan baik. Proses ini dirancang untuk memastikan bahwa setiap pengeluaran anggaran sah, efisien, dan dapat dipertanggungjawabkan (akuntabilitas). Praktisi pengadaan yang cakap akan mengikuti alur kerja yang disiplin untuk menjaga integritas transaksi, bahkan pada pembelian yang paling sederhana sekalipun.

Tahap 1: Perencanaan Kebutuhan dan Survei Harga Pasar

Tahap awal adalah penentuan kebutuhan yang jelas, yang biasanya dimulai dari Surat Permintaan Pembelian dari unit kerja yang membutuhkan barang atau jasa. Setelah kebutuhan teridentifikasi, langkah penting berikutnya adalah menegakkan prinsip kewajaran harga. Untuk pembelian di bawah batas nilai kuitansi (misalnya, di bawah Rp10 Juta atau Rp50 Juta), tim pengadaan wajib melakukan minimal 2-3 survei harga sederhana. Survei ini dapat berupa perbandingan harga dari katalog online, brosur toko, atau konfirmasi harga langsung ke penyedia yang berbeda. Tujuan dari survei harga ini adalah untuk membuktikan bahwa harga yang dipilih adalah yang paling wajar dan kompetitif di pasar. Pengabaian langkah ini dapat mengindikasikan kelalaian dalam pengelolaan anggaran.

Tahap 2: Pembelian/Penyelesaian dan Penerbitan Kuitansi

Sebelum pembelian dilakukan, penunjukan pejabat yang bertanggung jawab harus sudah dilakukan. Dalam pengadaan instansi pemerintah, Pengguna Anggaran (PA) atau Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) wajib menunjuk Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), atau dalam kasus pengadaan sederhana, Pejabat Pengadaan. Pejabat inilah yang bertanggung jawab atas proses pemilihan penyedia dan memastikan barang/jasa yang diterima sesuai dengan spesifikasi. Pembelian kemudian dilaksanakan dan setelah barang atau jasa diterima dengan baik, penyedia akan menerbitkan kuitansi pembayaran. Kuitansi ini harus lengkap sesuai persyaratan akuntabilitas: tanggal, uraian barang, jumlah, identitas penyedia, dan tanda tangan.

Tahap 3: Verifikasi Dokumen dan Pencatatan Transaksi

Setelah kuitansi diterima dan pembayaran dilakukan, tahap ini berfokus pada kelengkapan dan keabsahan dokumen. Pejabat yang ditunjuk harus memverifikasi bahwa kuitansi telah memenuhi semua elemen wajib (termasuk materai jika nilainya di atas batas perpajakan). Semua dokumen pendukung—mulai dari survei harga, Surat Permintaan Pembelian, hingga Bukti Serah Terima Barang (BAST) sederhana—harus dilampirkan bersama kuitansi. Terakhir, transaksi dicatat secara kronologis dalam pembukuan instansi. Dokumentasi yang rapi dan detail adalah praktik terbaik untuk memastikan kepatuhan administrasi dan kemudahan audit di masa mendatang.

Berikut adalah Alur Kerja (Workflow) Sederhana 4 Langkah yang telah teruji dan direkomendasikan oleh praktisi pengadaan untuk meningkatkan keahlian (Expertise) staf:

Langkah Deskripsi Aktivitas Kunci Output Dokumen
1. Inisiasi Menerima permintaan kebutuhan dan menunjuk Pejabat Pelaksana. Surat Permintaan Pembelian (SPP)
2. Penentuan Harga Melakukan survei harga (minimal 2 pembanding) untuk kewajaran. Bukti Survei Harga (Catatan/Print Screen)
3. Pelaksanaan Melakukan pembelian, menerima barang, dan menerima kuitansi. Kuitansi Asli dan Berita Acara Serah Terima (BAST) Sederhana
4. Akuntabilitas Verifikasi kelengkapan kuitansi dan mencatat transaksi dalam buku kas. Jurnal Pengeluaran/Laporan Pertanggungjawaban (LPJ)
Penting: Semua langkah ini harus terdokumentasi dan ditandatangani oleh pihak yang berwenang untuk mempertahankan rantai pertanggungjawaban yang kuat.

Strategi Membangun Kepercayaan dan Keterandalan (Trust) dalam Pengadaan Sederhana

Dalam konteks pengadaan barang/jasa, bahkan untuk transaksi bernilai kecil yang menggunakan kuitansi, keterandalan dan kepercayaan publik adalah pilar utama dari tata kelola yang baik. Keandalan ini tidak hanya mencegah kerugian finansial, tetapi juga melindungi institusi dari risiko hukum. Praktisi pengadaan yang memahami pentingnya integritas, selalu memastikan bahwa setiap langkah, meskipun sederhana, didukung oleh dokumentasi yang kuat dan transparan, yang pada akhirnya memverifikasi bahwa pengeluaran tersebut sah dan memang diperlukan.

Mengapa Dokumentasi dan Pelaporan yang Jelas Meningkatkan Kepercayaan Publik

Dokumentasi yang jelas dan rinci adalah fondasi untuk membangun transparansi dalam pengadaan. Setiap kuitansi yang diterbitkan harus didukung oleh dokumen internal yang menunjukkan adanya kebutuhan nyata dari unit kerja, misalnya Surat Permintaan Pembelian atau Nota Dinas Permintaan Barang/Jasa. Tanpa adanya permintaan resmi internal ini, pengeluaran dapat dianggap tidak memiliki dasar yang kuat atau bahkan fiktif. Para ahli di bidang akuntansi pemerintahan sepakat bahwa alur dokumen ini adalah mekanisme kontrol internal primer untuk memastikan setiap pembelian dilakukan atas dasar urgensi yang terverifikasi dan bukan atas inisiatif pribadi yang tidak bertanggung jawab.

Menghindari Penyimpangan dan Potensi Masalah Hukum di Transaksi Kecil

Untuk menjamin keterandalan (Trustworthiness), semua transaksi, termasuk yang bernilai sangat kecil yang dibuktikan dengan kuitansi, harus dicatat secara kronologis dalam pembukuan (Buku Kas Umum atau catatan sejenis) yang siap dipertanggungjawabkan untuk audit sewaktu-waktu. Pencatatan yang tertib dan terstruktur ini menjadi bukti otentik bahwa dana publik dikelola dengan cermat dan teliti.

Penting untuk dipahami bahwa kelemahan dokumentasi pada transaksi kecil sekalipun dapat memicu temuan audit yang serius. Sebagai contoh kasus anonim yang sering ditemukan dalam praktik audit, sebuah unit kerja rutin melakukan pembelian ATK senilai Rp500.000 setiap minggu selama satu tahun, dibuktikan hanya dengan kuitansi sederhana yang tidak dilampiri Surat Permintaan Pembelian. Saat diaudit, meskipun total nilai transaksi tidak melanggar batas Pengadaan Langsung, Auditor menemukan bahwa karena kuitansi tersebut tidak didukung oleh dokumen permintaan unit kerja (misalnya, catatan stok yang menipis), tidak ada yang bisa membuktikan bahwa barang tersebut benar-benar diterima, digunakan, dan diperlukan. Akibatnya, transaksi tersebut dicatat sebagai Temuan Audit karena kurangnya bukti pendukung yang memadai, dan berpotensi memicu pertanyaan tentang pemecahan transaksi (splitting) untuk menghindari prosedur yang lebih formal, padahal mungkin kebutuhan tersebut nyata. Kasus ini menggarisbawahi pentingnya kelengkapan dokumen pendukung untuk setiap transaksi kuitansi, sekecil apa pun nilainya.

Pertanyaan Umum (FAQ) Seputar Kuitansi dalam Pengadaan Barang/Jasa

Untuk meningkatkan keterandalan informasi dan memandu para praktisi pengadaan, berikut adalah jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang sering muncul terkait penggunaan kuitansi dalam proses pengadaan barang/jasa bernilai kecil.

Q1. Apakah pengadaan dengan kuitansi harus melampirkan faktur pajak?

Kewajiban melampirkan faktur pajak (e-faktur) sangat bergantung pada status penyedia barang/jasa dan nilai transaksinya. Faktur pajak hanya diwajibkan jika penyedia tersebut adalah Pengusaha Kena Pajak (PKP) dan nilai transaksi yang dilakukan telah melebihi batas yang ditentukan oleh undang-undang perpajakan mengenai PPN.

Dalam konteks pengadaan yang menggunakan kuitansi pembayaran, yang umumnya merupakan transaksi bernilai sangat kecil dan sering kali di bawah batas PKP, faktur pajak biasanya tidak diperlukan. Untuk transaksi kuitansi yang nilainya kecil dan tidak melebihi batas PPN, bukti pembayaran yang digunakan cukup berupa kuitansi biasa atau nota sederhana. Penting bagi tim akuntansi untuk memahami ambang batas PPN terbaru agar dapat menentukan apakah PPN terutang dan faktur pajak harus dibuat, memastikan kepatuhan administrasi yang tinggi.

Q2. Bagaimana jika penyedia barang/jasa tidak memiliki stempel perusahaan?

Dalam rangka meningkatkan akuntabilitas dan kepercayaan pada transaksi, kuitansi idealnya dibubuhi stempel toko atau penyedia jasa. Namun, tidak jarang penyedia barang/jasa adalah perorangan atau usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang secara administratif tidak memiliki atau menggunakan stempel perusahaan.

Jika penyedia tidak memiliki stempel, akuntabilitas dokumen dapat ditingkatkan melalui beberapa cara yang diterima secara umum. Langkah paling kredibel yang dapat diambil adalah melampirkan fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) dari pihak yang menerima pembayaran di belakang kuitansi. Selain itu, pada badan kuitansi atau di dekat tanda tangan, berikan keterangan yang jelas, seperti “Penyedia tidak memiliki stempel perusahaan/toko”. Tindakan ini merupakan praktik terbaik yang menunjukkan transparansi dan memenuhi standar keahlian dalam dokumentasi, mencegah temuan audit mengenai validitas bukti transaksi.

Final Takeaways: Mastering Pengadaan Barang Jasa dengan Kuitansi

3 Prinsip Utama Kehati-hatian dalam Pengadaan Kuitansi

Pengadaan barang atau jasa yang menggunakan kuitansi pembayaran sebagai bukti tunggal, meskipun bernilai kecil, memerlukan tingkat ketelitian yang tinggi untuk memastikan kepatuhan dan menghindari masalah di kemudian hari. Prinsip terpenting dari semua prosedur adalah kepatuhan terhadap batas nilai yang ditetapkan dalam Peraturan Presiden dan peraturan turunannya. Memastikan nilai transaksi tidak melebihi ambang batas yang diizinkan (misalnya, Rp10 Juta atau Rp50 Juta) adalah fondasi legalitas. Selain itu, kelengkapan dokumen pendukung adalah keharusan. Ini mencakup kuitansi yang sah (memuat semua elemen wajib), faktur atau nota pendukung, dan bukti serah terima barang atau penyelesaian jasa.

Langkah Berikutnya: Audit Mandiri dan Peningkatan Keahlian Staf

Untuk menjamin kualitas dan praktik terbaik dalam pengadaan sederhana, organisasi harus secara rutin melakukan verifikasi silang (cross-check). Semua kuitansi yang telah dibayarkan harus dicocokkan secara kronologis dengan laporan keuangan bulanan. Proses ini bertujuan untuk mendeteksi secara dini potensi duplikasi transaksi atau, yang lebih serius, praktik pemecahan transaksi (splitting) yang disengaja untuk menghindari prosedur pengadaan formal yang lebih ketat. Dengan melakukan audit mandiri internal ini, Anda meningkatkan otoritas dan keterandalan proses pengadaan Anda, menjamin bahwa setiap rupiah dibelanjakan dengan transparan dan akuntabel. Peningkatan keahlian staf yang bertugas memproses kuitansi juga vital agar mereka memahami nuansa kepatuhan administrasi.

Jasa Pembayaran Online
💬