Panduan Lengkap Membayar dan Melaporkan Sendiri PPh 23 Jasa
Memahami Kewajiban Membayar dan Melaporkan PPh Pasal 23 Jasa
Definisi dan Tarif PPh 23 Jasa: Jawaban Cepat Kepatuhan Pajak
Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 merupakan salah satu jenis pajak yang sangat penting dalam operasional bisnis di Indonesia. Secara definisi, PPh Pasal 23 adalah pajak penghasilan yang dikenakan atas penghasilan tertentu, seperti sewa dan imbalan jasa, yang dibayarkan atau terutang kepada Wajib Pajak dalam negeri maupun Bentuk Usaha Tetap (BUT). Kewajiban pemotongan ini ada pada pihak yang membayarkan penghasilan. Dengan memahami dasar ini secara cepat dan akurat, Anda dapat segera menempatkan bisnis Anda pada posisi yang menunjukkan otoritas dan rekam jejak yang baik di mata regulator, sebuah indikator penting dari tata kelola perusahaan yang patuh dan kredibel.
Meningkatkan Kredibilitas dan Kepatuhan Pajak Bisnis Anda
Kepatuhan terhadap PPh Pasal 23 bukan sekadar formalitas, tetapi merupakan cerminan dari kualitas dan kepercayaan yang dibangun oleh sebuah entitas bisnis. Artikel ini dirancang untuk memberikan panduan komprehensif. Kami akan memandu Anda langkah demi langkah melalui seluruh proses pembayaran, pemotongan, dan pelaporan PPh 23 jasa secara mandiri, mulai dari penentuan jenis jasa hingga pelaporan akhir, memastikan Anda mencapai kepatuhan 100%. Menerapkan prosedur yang kami uraikan di sini akan secara signifikan meningkatkan pengalaman dan keahlian tim keuangan Anda, sekaligus mengurangi risiko sanksi denda.
Penentuan Kategori Jasa yang Wajib Dipotong PPh Pasal 23
Daftar Kritis Jenis Jasa yang Terkena PPh 23 (PMK Terbaru)
Kunci utama dalam melaksanakan kewajiban perpajakan adalah pemahaman yang akurat mengenai objek pajak. Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 dikenakan atas penghasilan yang bersumber dari modal, penyerahan jasa, atau penyelenggaraan kegiatan selain yang telah dipotong PPh Pasal 21. Khusus untuk jasa, PPh Pasal 23 dikenakan pada lebih dari 60 jenis jasa, dengan tarif standar 2% dari jumlah bruto nilai imbalan. Jenis-jenis jasa yang wajib dipotong PPh 23 ini mencakup, namun tidak terbatas pada, jasa manajemen, jasa konsultan, jasa akuntansi, dan sewa selain sewa tanah dan/atau bangunan.
Untuk memastikan bahwa Wajib Pajak memiliki kredibilitas dan keahlian terkini dalam menjalankan pemotongan pajak, penting untuk merujuk langsung pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 141/PMK.03/2015. Peraturan ini secara eksplisit mencantumkan daftar lengkap jenis-jenis jasa lain yang dikenakan PPh Pasal 23. Dengan mengacu pada dasar hukum otoritatif ini, Wajib Pajak dapat mengidentifikasi secara pasti apakah jasa yang dibayarkan termasuk objek PPh 23. Daftar ini terus diperbarui, sehingga memastikan kepatuhan membutuhkan pemeriksaan reguler terhadap regulasi pajak terbaru yang berlaku.
Kriteria Transaksi Jasa yang Dikecualikan dari Pemotongan PPh 23
Meskipun tarif PPh Pasal 23 untuk jasa ditetapkan sebesar 2%, penentuan dasar pengenaan pajaknya, yaitu jumlah bruto, memerlukan pemahaman mendalam. Berdasarkan peraturan, yang dimaksud dengan jumlah bruto adalah seluruh jumlah penghasilan yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, Subjek Pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, Bentuk Usaha Tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau Bentuk Usaha Tetap.
Namun, terdapat pengecualian penting yang wajib diketahui untuk menghindari kesalahan perhitungan dan pemotongan. Jumlah bruto ini tidak termasuk beberapa komponen berikut:
- Pembayaran kepada pihak ketiga yang dibayarkan oleh penyedia jasa atas nama pemberi jasa (reimbursement).
- Penggantian biaya (reimbursement) atas pengadaan barang/jasa yang dibayarkan oleh penyedia jasa kepada pihak lain, dengan bukti transaksi yang jelas dan sah.
- Jumlah PPN yang tertera dalam faktur pajak, asalkan faktur PPN tersebut dibuat secara terpisah dari tagihan nilai jasa.
Misalnya, jika Anda membayar jasa konsultan senilai Rp 100.000.000 (tidak termasuk PPN) dan di dalamnya terdapat pembayaran kepada vendor lain (pihak ketiga) sebesar Rp 20.000.000 dengan bukti pendukung, maka PPh Pasal 23 hanya dikenakan atas jumlah bruto sebesar Rp 80.000.000 (Rp 100.000.000 dikurangi Rp 20.000.000). Ketidakakuratan dalam penentuan jumlah bruto dapat berujung pada potensi sanksi karena kekurangan bayar.
Prosedur Tepat Melakukan Pemotongan PPh Pasal 23 atas Pembayaran Jasa
Memahami kapan dan bagaimana PPh Pasal 23 harus dipotong adalah langkah fundamental untuk memastikan Wajib Pajak (WP) badan Anda terhindar dari sanksi administrasi. Sebagai pemotong pajak, akurasi dalam proses ini sangat menentukan kredibilitas laporan keuangan dan kepatuhan Anda di mata Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
Kapan dan Bagaimana Mekanisme Pemotongan PPh 23 Dilakukan
Kewajiban pemotongan PPh Pasal 23 tidak selalu terjadi saat uang benar-benar berpindah tangan, melainkan pada saat terutangnya penghasilan. Dalam konteks perpajakan, saat terutang penghasilan merujuk pada tiga kondisi utama, mana pun yang terjadi paling dahulu:
- Saat Pembayaran: Tanggal ketika perusahaan Anda benar-benar membayar tagihan jasa kepada penyedia jasa.
- Saat Disediakan Tagihan (Faktur): Tanggal diterbitkannya tagihan (faktur) oleh penyedia jasa, bahkan jika pembayaran belum dilakukan.
- Saat Jatuh Tempo Pembayaran: Tanggal yang ditetapkan dalam kontrak atau perjanjian sebagai batas waktu pembayaran.
Prinsip “mana yang lebih dahulu” ini sangat penting untuk menentukan Masa Pajak yang benar. Pemotong pajak wajib segera memotong PPh 23 pada tanggal yang terdeteksi paling awal dari ketiga poin tersebut.
Sebagai ilustrasi, mari kita lihat skenario perhitungan PPh 23 untuk menjamin keakuratan proses pemotongan Anda. Jika perusahaan Anda melakukan pembayaran jasa manajemen senilai Rp 50.000.000 kepada WP Badan dalam negeri, maka perhitungan PPh 23 yang harus dipotong adalah sebagai berikut:
- Nilai Bruto Jasa: Rp 50.000.000
- Tarif PPh Pasal 23 (Jasa Umum): 2%
- PPh Pasal 23 yang Dipotong: $2% \times \text{Rp } 50.000.000 = \text{Rp } 1.000.000$
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 141/PMK.03/2015, WP pemotong wajib menyetorkan Rp 1.000.000 tersebut ke kas negara dan memberikan Bukti Potong kepada penyedia jasa. Tindakan ini merupakan praktik standar yang telah ditetapkan oleh otoritas fiskal untuk memastikan semua kewajiban pajak terpenuhi.
Langkah-Langkah Praktis Membuat Bukti Potong (E-Bupot) yang Valid
Setelah melakukan pemotongan, langkah krusial berikutnya adalah pembuatan Bukti Potong. Sesuai dengan ketentuan perpajakan modern, Bukti Potong PPh Pasal 23 kini wajib dibuat menggunakan aplikasi e-Bupot yang disediakan oleh DJP. Penggunaan e-Bupot menjamin validitas dokumen untuk pelaporan WP pemotong dan memberikan kemudahan bagi penerima penghasilan untuk mengkreditkan pajak yang telah dipotong tersebut dalam SPT Tahunan mereka.
Proses pembuatan e-Bupot harus dilakukan secara cermat. Data yang diinput harus mencakup identitas lengkap pemotong dan penerima penghasilan, jenis jasa yang tepat (merujuk PMK terbaru), nilai bruto, dan jumlah PPh 23 yang dipotong. Keakuratan data ini menunjukkan kualitas dan kecermatan dalam pelaksanaan kepatuhan pajak Anda, yang merupakan indikator kuat dari komitmen bisnis Anda terhadap praktik keuangan yang bersih dan bertanggung jawab. Aplikasi e-Bupot akan menghasilkan file yang terintegrasi, yang nantinya akan digunakan untuk proses pelaporan SPT Masa PPh 23.
Panduan Pembayaran Sendiri PPh 23 (Menciptakan Nomor Kode Billing)
Setelah Anda selesai melakukan pemotongan dan membuat Bukti Potong, langkah selanjutnya adalah menyetorkan PPh Pasal 23 yang telah dipotong tersebut ke kas negara. Dalam konteks perpajakan, Wajib Pajak (WP) yang melakukan pembayaran jasa bertindak sebagai Pemotong Pajak dan bertanggung jawab penuh untuk menyetorkan dana tersebut. Proses ini memerlukan pembuatan Kode Billing yang akurat, menjamin bahwa dana yang disetorkan tercatat dengan benar untuk jenis pajak terkait.
Peran Wajib Pajak sebagai Pemotong: Membuat dan Mengisi Kode Billing
Membuat Kode Billing adalah proses krusial yang menentukan alokasi pembayaran pajak Anda. Agar pembayaran PPh Pasal 23 atas jasa Anda terekam dengan sempurna dalam sistem Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Anda harus menginput Kode Akun Pajak (KAP) dan Kode Jenis Setoran (KJS) yang tepat saat membuat Kode Billing.
Kode Akun Pajak (KAP) yang digunakan untuk PPh Pasal 23 adalah 411124. Sementara itu, untuk pembayaran atas penghasilan dari jasa (selain sewa tanah/bangunan, modal, dan hadiah), Anda harus menggunakan Kode Jenis Setoran (KJS) 104. Kesalahan dalam pengisian kode ini dapat menyebabkan pembayaran terhambat atau tercatat di jenis pajak yang salah, yang pada akhirnya dapat memicu surat tagihan pajak di kemudian hari. Pastikan Anda selalu memasukkan kombinasi KAP 411124 dan KJS 104 saat menyetor PPh 23 jasa.
Untuk memudahkan kepatuhan dan menghindari kesalahan administrasi, kami merangkum beberapa Kode Jenis Setoran (KJS) PPh 23 yang paling umum dalam tabel berikut:
| Kode Akun Pajak (KAP) | Kode Jenis Setoran (KJS) | Uraian Jenis Setoran |
|---|---|---|
| 411124 | 100 | Setoran Masa PPh Pasal 23 |
| 411124 | 104 | Setoran PPh Pasal 23 atas Jasa |
| 411124 | 102 | Setoran PPh Pasal 23 atas Bunga/Dividen |
| 411124 | 300 | Pembayaran SKPKB PPh Pasal 23 |
Proses Pembayaran Pajak Melalui Bank/Pos Persepsi dan Batas Waktu Kritis
Setelah Kode Billing berhasil dibuat melalui saluran resmi DJP (seperti DJP Online atau melalui bank), Anda dapat segera melakukan pembayaran. Pembayaran dapat dilakukan melalui berbagai saluran Bank Persepsi atau Kantor Pos Persepsi, baik secara teller, ATM, internet banking, maupun mobile banking. Pastikan Anda menyimpan bukti pembayaran (Surat Setoran Pajak atau BPN) sebagai arsip vital.
Aspek paling kritis dalam proses ini adalah kepatuhan terhadap jangka waktu pembayaran. Berdasarkan peraturan pajak yang berlaku, batas waktu pembayaran PPh Pasal 23 yang telah Anda potong adalah paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya setelah masa pajak (bulan transaksi) berakhir. Misalnya, jika Anda memotong PPh 23 atas pembayaran jasa di bulan November, batas waktu penyetorannya adalah tanggal 10 Desember. Keterlambatan pembayaran akan dikenakan sanksi administrasi berupa bunga, yang perhitungannya diatur dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Oleh karena itu, disiplin waktu dalam menyetorkan PPh 23 adalah kunci utama untuk menjaga integritas dan kepatuhan perpajakan bisnis Anda.
Strategi Pelaporan Mandiri PPh 23 Secara Elektronik (E-Filing SPT Masa)
Setelah berhasil melakukan pemotongan dan pembayaran, langkah krusial berikutnya adalah pelaporan. Proses pelaporan PPh Pasal 23 kini sepenuhnya dilakukan secara elektronik, mengintegrasikan data Bukti Potong dengan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa melalui sistem resmi Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Efisiensi ini memastikan bahwa kewajiban Wajib Pajak sebagai pemotong pajak terpenuhi secara akurat dan tepat waktu, yang merupakan fondasi penting dalam membangun otoritas dan kredibilitas kepatuhan pajak.
Integrasi Data Bukti Potong dengan Aplikasi E-Bupot
Wajib Pajak yang ditunjuk sebagai pemotong PPh Pasal 23 wajib menggunakan sistem elektronik, yaitu aplikasi e-Bupot Unifikasi, untuk membuat dan mengelola Bukti Potong. Proses ini sangat penting karena pelaporan SPT Masa PPh Pasal 23 wajib menggunakan e-Filing DJP Online atau e-Bupot Unifikasi, yang secara efektif memungkinkan Wajib Pajak melaporkan sekaligus bukti potong yang telah dibuat dan pembayaran yang telah dilakukan dalam satu proses terpadu.
Sebagai bagian dari pengalaman praktisi kami dalam mengelola kepatuhan pajak, terdapat beberapa tips yang kami temukan melalui ‘Jurnal Kepatuhan Pajak’ internal untuk menghindari kesalahan umum saat proses unggah atau integrasi data ke e-Bupot:
- Validasi Data Dasar: Selalu pastikan data dasar penerima penghasilan (NPWP, Nama) 100% akurat sebelum membuat Bukti Potong. Kesalahan data ini adalah penyebab utama Bukti Potong ditolak oleh sistem penerima.
- Format CSV yang Ketat: Saat melakukan impor data dalam jumlah besar (format CSV), periksa ulang struktur file Anda. Pastikan tidak ada spasi ekstra atau format angka yang salah (misalnya menggunakan titik bukannya koma untuk ribuan, atau sebaliknya, sesuai standar sistem).
- Rekonsiliasi Total: Sebelum menekan tombol ‘Lapor’, selalu lakukan rekonsiliasi total jumlah PPh 23 yang dipotong (dari daftar Bukti Potong) dengan total PPh 23 yang telah dibayarkan melalui Kode Billing. Kedua angka ini harus sama persis untuk menghindari status SPT ‘Kurang Bayar’ atau ‘Lebih Bayar’ yang tidak semestinya.
Langkah Akhir Pelaporan SPT Masa PPh 23 melalui E-Filing DJP Online
Setelah seluruh Bukti Potong divalidasi dan diunggah ke sistem e-Bupot, Wajib Pajak dapat melanjutkan ke tahap pelaporan akhir SPT Masa. Proses ini dilakukan melalui portal resmi DJP Online menggunakan fitur e-Filing.
Batas waktu pelaporan SPT Masa PPh 23 adalah paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir. Keterlambatan pelaporan, meskipun PPh 23 sudah dibayar tepat waktu, tetap dapat dikenakan sanksi administrasi. Oleh karena itu, disiplin waktu pelaporan sangat esensial.
Langkah-langkah pelaporan secara umum adalah:
- Akses laman DJP Online dan pilih menu e-Filing atau e-Bupot Unifikasi.
- Pilih SPT Masa PPh Pasal 23 yang akan dilaporkan. Sistem akan otomatis menarik data Bukti Potong yang sudah Anda submit di e-Bupot.
- Pastikan data pembayaran yang sudah Anda input (NTTE/NTB dari bank) sudah terintegrasi.
- Lakukan validasi akhir pada draf SPT dan submit.
Setelah berhasil, Anda akan menerima Bukti Penerimaan Elektronik (BPE) yang merupakan dokumen sah dan bukti otoritatif bahwa Wajib Pajak telah memenuhi kewajiban pelaporan tepat pada waktunya. BPE ini wajib disimpan bersamaan dengan Bukti Potong dan Kode Billing.
Membangun Struktur Kepercayaan Pajak: Manajemen Dokumen dan Risiko Audit
Kepatuhan dalam membayar dan melaporkan sendiri PPh Pasal 23 atas jasa tidak berakhir pada saat penyetoran. Untuk memastikan posisi bisnis Anda kuat dan membangun kepercayaan di mata otoritas pajak, manajemen dokumen yang ketat dan strategi mitigasi risiko audit adalah kunci. Dokumen yang rapi dan klasifikasi transaksi yang akurat adalah bukti pengalaman Anda dalam menjalankan kepatuhan pajak.
Penyimpanan Bukti Potong dan Faktur Pajak: Durasi dan Format Ideal
Dalam menghadapi potensi pemeriksaan (audit) oleh otoritas pajak, Anda harus memiliki arsip dokumen yang lengkap. Berdasarkan undang-undang perpajakan yang berlaku, semua dokumen pajak, termasuk bukti potong dan faktur, wajib disimpan minimal 10 tahun sejak akhir masa pajak yang bersangkutan. Periode ini memberikan waktu yang cukup bagi Direktorat Jenderal Pajak untuk melakukan pemeriksaan kembali.
Format penyimpanan yang ideal saat ini adalah digital dan hardcopy. Meskipun e-Bupot dan e-Faktur sudah memudahkan digitalisasi, memiliki salinan fisik yang terorganisir, atau setidaknya salinan digital yang di-backup secara terpisah dan aman, sangat disarankan. Dokumen yang harus disimpan mencakup: bukti potong PPh 23 yang Anda buat, faktur pajak masukan dan keluaran yang relevan, serta bukti setoran (SSP) atau Kode Billing yang telah divalidasi.
Strategi Mengelola Risiko Audit Terkait Kesalahan Klasifikasi Jasa
Kesalahan klasifikasi jenis jasa adalah salah satu penyebab utama temuan audit yang berujung pada sanksi. Untuk mengurangi risiko ini, perlu adanya otoritas dalam mereview setiap kontrak atau perjanjian jasa. Tekankan pentingnya mereview kontrak jasa sebelum pembayaran dilakukan. Pastikan deskripsi jasa dalam kontrak selaras dengan jenis-jenis jasa yang secara eksplisit diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) terkait PPh Pasal 23. Jika ada keraguan, merujuk langsung pada sumber otoritatif ini adalah langkah pencegahan terbaik untuk memastikan klasifikasi PPh 23 yang benar.
Kegagalan dalam pemotongan atau keterlambatan penyetoran PPh 23 dapat memicu sanksi administrasi yang tidak terhindarkan. Sanksi administrasi (bunga) dapat dikenakan jika pembayaran PPh 23 terlambat atau jika ditemukan kekurangan bayar saat pemeriksaan. Sanksi ini dihitung berdasarkan suku bunga acuan ditambah uplift yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dan dikenakan per bulan keterlambatan. Oleh karena itu, memiliki prosedur internal yang ketat untuk memastikan ketepatan waktu pembayaran, yaitu paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya, serta klasifikasi jasa yang tepat, adalah benteng pertahanan utama Anda melawan risiko audit dan denda.
Your Top Questions About PPh 23 Jasa Answered
Q1. Apakah PPh 23 bisa dikreditkan oleh penerima jasa?
Jawaban singkatnya adalah ya. Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 yang dipotong oleh pihak pemberi penghasilan (pemotong) memiliki fungsi penting sebagai Kredit Pajak bagi pihak penerima penghasilan. Ini berarti bahwa penerima penghasilan—yang merupakan Wajib Pajak badan atau Wajib Pajak Orang Pribadi tertentu yang menyelenggarakan pembukuan—dapat mengurangi jumlah PPh terutang mereka di akhir tahun pajak dengan PPh 23 yang telah dipotong tersebut. Proses ini membantu memastikan bahwa pajak tidak terutang ganda.
Sebagai contoh konkret, jika perusahaan Anda menerima penghasilan jasa dan PPh 23 telah dipotong sebesar Rp 1.000.000, Anda dapat memasukkan jumlah ini sebagai pengurang PPh terutang saat Anda mengisi Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan. Untuk memastikan klaim kredit pajak ini sah, Anda harus memiliki Bukti Potong PPh Pasal 23 (e-Bupot) yang valid dari pemotong pajak. Validitas bukti potong ini merupakan komponen kunci untuk memenuhi standar kepercayaan pajak dan memastikan kepatuhan menyeluruh dalam sistem perpajakan.
Q2. Bagaimana jika Wajib Pajak lupa atau terlambat memotong PPh 23?
Keterlambatan atau kelalaian dalam melakukan pemotongan, penyetoran, atau pelaporan PPh Pasal 23 adalah pelanggaran terhadap kewajiban pajak yang dapat mengakibatkan sanksi administrasi. Berdasarkan ketentuan undang-undang pajak, jika Wajib Pajak (sebagai pemotong) terlambat atau bahkan lupa memotong PPh 23 yang terutang, mereka tetap memiliki kewajiban untuk menyetor PPh 23 yang seharusnya dipotong tersebut ke kas negara.
Tidak hanya itu, keterlambatan penyetoran akan dikenakan sanksi administrasi berupa bunga yang dihitung sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Misalnya, jika terlambat menyetor, Anda akan dikenakan sanksi bunga per bulan (dihitung dari tanggal jatuh tempo hingga tanggal pembayaran), berdasarkan tarif bunga sanksi administrasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dan berlaku pada periode tersebut. Penting untuk dicatat bahwa tarif sanksi bunga ini dapat berubah dari waktu ke waktu. Oleh karena itu, pengalaman dalam praktik kepatuhan menegaskan bahwa melakukan pemotongan dan penyetoran tepat waktu adalah strategi terbaik untuk meminimalkan potensi beban denda dan untuk membangun rekam jejak kualitas dan keandalan dalam menjalankan kewajiban perpajakan Anda.
Final Takeaways: Mastering Kepatuhan PPh 23 Jasa di Tahun 2026
Tiga Langkah Aksi Kunci untuk Kepatuhan PPh 23
Mendapatkan tingkat kepercayaan tinggi dari otoritas pajak bukan hanya tentang membayar, tetapi juga tentang konsistensi dan akurasi proses. Kepatuhan Anda dalam membayar dan melaporkan sendiri PPh 23 atas jasa berpusat pada tiga pilar utama: akurasi klasifikasi jasa, ketepatan waktu pembuatan e-Bupot, dan pelaporan e-Filing yang terintegrasi. Memastikan Anda telah mengklasifikasikan semua jenis jasa sesuai Peraturan Menteri Keuangan terbaru adalah pondasi keakuratan. Selanjutnya, disiplin dalam membuat Bukti Potong elektronik (e-Bupot) segera setelah transaksi terjadi menjamin data valid bagi penerima. Terakhir, menggunakan sistem e-Filing DJP Online untuk pelaporan SPT Masa adalah kunci integrasi yang mengurangi risiko kesalahan administrasi.
Langkah Berikutnya: Audit Mandiri Kepatuhan Pajak Anda
Untuk menjaga praktik terbaik dan menghindari sanksi, langkah berikutnya yang harus Anda ambil adalah melakukan audit mandiri internal. Berdasarkan pengalaman praktisi, kesalahan umum sering terjadi karena kelalaian waktu. Oleh karena itu, Anda harus segera periksa kembali semua kontrak jasa yang berjalan untuk memastikan klasifikasi PPh Pasal 23 yang telah ditetapkan sudah benar. Selanjutnya, alokasikan waktu khusus yang terjadwal setiap bulan (misalnya, di awal bulan) untuk proses pembuatan dan penyetoran bukti potong. Tindakan proaktif ini akan memastikan semua kewajiban PPh 23 Anda terpenuhi tepat waktu, sehingga Anda terhindar dari sanksi administrasi berupa bunga.