Panduan Lengkap Pembayaran Rekanan Pengadaan Barang dan Jasa
Memahami Proses Pembayaran Rekanan Pengadaan Barang dan Jasa
Apa Itu Pembayaran Rekanan dalam Konteks Pengadaan?
Pembayaran rekanan merupakan tahapan krusial dalam siklus pengadaan barang dan jasa pemerintah. Secara definitif, pembayaran rekanan adalah pelunasan kewajiban finansial yang harus dilakukan oleh instansi pengguna anggaran kepada penyedia barang atau jasa (rekanan). Pelunasan ini baru dapat diproses setelah penyedia jasa telah menyelesaikan seluruh lingkup pekerjaan sesuai dengan yang tertuang dalam kontrak dan disahkan melalui Berita Acara Serah Terima (BAST). Proses ini memastikan adanya pertukaran nilai yang adil, di mana layanan atau barang yang telah diterima dibayar sesuai kesepakatan.
Mengapa Kepatuhan Proses Pembayaran Sangat Penting (Aspek Kredibilitas dan Keahlian)?
Kepatuhan terhadap prosedur pembayaran bukan hanya soal administratif, tetapi fondasi utama dalam membangun kredibilitas dan keahlian (K&K) instansi di mata publik dan rekanan. Proses yang transparan dan tepat waktu menunjukkan kepercayaan dan keandalan (K&K) instansi dalam mengelola keuangan negara. Kami menyajikan panduan ini berdasarkan pengalaman kami memproses ribuan dokumen pengadaan; kami mengidentifikasi bahwa proses pembayaran sering kali menjadi titik penghambat utama. Oleh karena itu, artikel ini disusun untuk menguraikan 7 langkah terperinci, mulai dari pengajuan tagihan oleh rekanan hingga pencairan dana ke rekening, dengan tujuan untuk memastikan bahwa setiap proses pembayaran berjalan cepat, efisien, dan sepenuhnya sesuai dengan regulasi yang berlaku.
Regulasi dan Dasar Hukum Pembayaran Kontrak Pengadaan
Peraturan Presiden (Perpres) No. 12 Tahun 2021 dan Implikasinya
Proses pembayaran rekanan dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah adalah area yang sangat ketat diatur. Regulasi utama yang menjadi rujukan adalah Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 12 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Perpres Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Perpres ini secara jelas menetapkan bahwa pembayaran harus dilakukan berdasarkan capaian pekerjaan yang telah disepakati dan diverifikasi secara cermat oleh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK). Ketentuan ini memastikan bahwa dana negara hanya dicairkan untuk hasil kerja yang nyata dan sesuai kontrak.
Untuk memberikan otoritas dan kejelasan pada proses ini, sangat penting untuk merujuk langsung pada bagian yang mengatur kewajiban dan tata cara pembayaran. Pasal 40 hingga Pasal 42 dari Perpres 12/2021 adalah pilar yang mengatur hal ini. Pasal 42 secara spesifik menyatakan, “Pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40, dilaksanakan berdasarkan hasil pemeriksaan pekerjaan yang dinyatakan dalam Berita Acita Serah Terima Pekerjaan dan/atau Berita Acara Pembayaran.” Penekanan pada pasal-pasal ini menegaskan pentingnya dokumentasi yang sah sebagai prasyarat mutlak pencairan dana.
Mengenal Jenis-Jenis Pembayaran: Termin, Sekaligus, dan Pembayaran Uang Muka
Dalam praktiknya, pembayaran rekanan dapat diklasifikasikan menjadi tiga jenis utama, yang masing-masing memiliki mekanisme dan persyaratan dokumen yang berbeda.
-
Pembayaran Sekaligus (Lumpsum): Pembayaran ini dilakukan satu kali setelah seluruh pekerjaan dinyatakan selesai 100% dan telah diserahterimakan melalui Berita Acara Serah Terima (BAST) yang sah. Jenis ini umumnya digunakan untuk kontrak pengadaan barang atau jasa dengan periode pelaksanaan yang singkat.
-
Pembayaran Uang Muka: Ini adalah pembayaran di awal sebagai modal kerja bagi penyedia jasa. Pembayaran uang muka wajib dijamin dengan Jaminan Uang Muka dan harus diperhitungkan dalam pembayaran termin berikutnya atau pembayaran terakhir.
-
Pembayaran Termin: Pembayaran termin adalah skema yang paling umum diterapkan pada kontrak pekerjaan konstruksi atau jasa konsultansi dengan masa pengerjaan yang panjang. Pembayaran ini didasarkan pada progres fisik pekerjaan yang telah dicapai sesuai jadwal kontrak. Setiap termin pembayaran (misalnya, 30%, 60%, 100%) harus didukung secara legal oleh Berita Acara Pemeriksaan (BAP) pekerjaan yang ditandatangani oleh Tim Pemeriksa Pekerjaan atau pihak yang berwenang, yang secara formal menyatakan tingkat penyelesaian pekerjaan. Mekanisme ini memastikan bahwa risiko finansial terbagi dan pembayaran sejalan dengan nilai hasil yang telah diterima instansi.
Tahap Pra-Pembayaran: Verifikasi Dokumen Kunci untuk Pencairan Dana
Proses pembayaran kepada rekanan pengadaan barang dan jasa tidak dimulai begitu saja; ia dipicu oleh serangkaian dokumen legal yang divalidasi dan ditandatangani. Tahap pra-pembayaran ini merupakan bottleneck penting yang menentukan kecepatan dan akuntabilitas seluruh proses, serta menjadi fondasi penting untuk membangun kredibilitas dan profesionalisme instansi dalam berinteraksi dengan penyedia barang/jasa.
Peran Vital Berita Acara Serah Terima (BAST) Pekerjaan
Kunci utama untuk memicu proses pembayaran adalah penerbitan Berita Acara Serah Terima (BAST) yang sah. Dokumen ini bukan sekadar formalitas; BAST merupakan penegasan hukum bahwa pekerjaan yang dikontrak telah selesai 100% dan diterima dengan baik oleh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) atau Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan (PPHP). Tanpa BAST yang lengkap dan ditandatangani, tagihan rekanan dianggap belum memenuhi syarat pencairan dana.
Untuk memastikan validitas dan keahlian dalam proses verifikasi, sebelum BAST diterbitkan, harus ada Berita Acara Pemeriksaan Pekerjaan (BAP) yang ditandatangani oleh PPHP, yang menyatakan kesesuaian spesifikasi hasil pekerjaan dengan kontrak. Lebih lanjut, penting untuk menekankan pentingnya Surat Pernyataan Tanggung Jawab Mutlak (SPTJM) dari PPK. Praktisi di bidang keuangan publik memahami bahwa SPTJM berfungsi sebagai jaminan personal dari PPK mengenai keabsahan dan kebenaran material dokumen tagihan, termasuk BAST. Dokumen ini memastikan bahwa PPK telah melakukan tugas verifikasi secara cermat, sehingga memenuhi standar keterpercayaan dan keakuratan yang diharapkan oleh regulator seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam setiap proses pembayaran rekanan pengadaan barang dan jasa.
Mekanisme Penerbitan Surat Permintaan Pembayaran (SPP) dan Surat Perintah Membayar (SPM)
Setelah BAST dan dokumen pendukung lainnya (faktur pajak, kuitansi, dan PPh/PPN yang dipotong) diverifikasi, proses memasuki mekanisme administratif yang melibatkan dua surat kunci: SPP dan SPM.
Surat Permintaan Pembayaran (SPP) adalah langkah inisiasi resmi. SPP diajukan oleh PPK kepada Pejabat Penatausahaan Keuangan (PPK). Di dalamnya, PPK menyatakan kebutuhan untuk melakukan pembayaran kepada rekanan, melampirkan seluruh dokumen pendukung yang telah disahkan. SPP diklasifikasikan berdasarkan jenis pembayarannya (misalnya, SPP-LS untuk Pembayaran Langsung kepada pihak ketiga).
Setelah PPK memverifikasi kebenaran SPP dan kelengkapan lampiran, langkah selanjutnya adalah penerbitan Surat Perintah Membayar (SPM). SPM diterbitkan oleh Pejabat Penatausahaan Keuangan (PPK) atau Kuasa Bendahara Umum Negara (KPPN) sebagai dasar pencairan dana dari kas negara. SPM inilah yang menjadi instruksi formal bagi bank operasional untuk memindahkan sejumlah uang ke rekening rekanan. Konsistensi dan ketepatan kode akun dalam SPM sangat krusial; setiap kesalahan dapat menyebabkan penolakan oleh KPPN atau keterlambatan pencairan dana, sehingga keahlian dan ketelitian pada tahap ini sangat menentukan. Oleh karena itu, memastikan bahwa semua dokumen telah diverifikasi secara berlapis—dari BAST hingga SPM—adalah cara terbaik untuk menjamin pembayaran yang tepat waktu dan meminimalkan risiko temuan audit di kemudian hari.
Strategi Menghindari Keterlambatan Pembayaran dan Sengketa Kontrak
Keterlambatan dalam pembayaran rekanan pengadaan barang dan jasa adalah sumber utama friksi dan sengketa, yang secara langsung merusak kredibilitas institusi. Menguasai manajemen risiko dan membangun praktik komunikasi yang unggul adalah kunci untuk memastikan arus kas yang lancar bagi penyedia dan kepatuhan anggaran bagi instansi pemerintah.
Manajemen Risiko dan Sanksi Keterlambatan Pembayaran
Untuk melindungi kedua belah pihak, kontrak pengadaan harus secara eksplisit mencantumkan klausul mengenai denda atau sanksi yang dikenakan atas keterlambatan pembayaran. Ketentuan ini penting untuk menunjang kepercayaan dan profesionalisme dalam hubungan kerja. Secara umum, sanksi ini akan merujuk pada regulasi yang ditetapkan oleh Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang mengatur tata cara pengenaan denda keterlambatan pembayaran. Keterlambatan seringkali dihitung per hari kalender sejak batas waktu yang disepakati terlampaui. Instansi yang memiliki sistem kontrol internal yang kuat akan secara proaktif memantau tanggal jatuh tempo pembayaran (misalnya 7 hingga 14 hari kerja setelah dokumen lengkap diterima) untuk mengaktifkan proses pembayaran sebelum melewati batas yang ditentukan.
Penerapan Praktik Terbaik dalam Komunikasi dan Dokumentasi Kontrak
Profesionalisme dan keandalan dalam proses pengadaan sangat bergantung pada ketepatan dokumentasi. Untuk memastikan semua persyaratan telah terpenuhi sebelum pengajuan ke Bendahara, banyak kementerian dan lembaga terkemuka (berdasarkan studi kasus internal di Kementerian Keuangan) telah mengadopsi sebuah ‘Checklist Verifikasi Dokumen Tagihan’ standar.
Berikut adalah contoh elemen kunci yang harus ada dalam daftar periksa tersebut:
- Kelengkapan Dokumen: Kontrak asli/salinan sah, Berita Acara Serah Terima (BAST) pekerjaan, Berita Acara Pemeriksaan Pekerjaan (BAP), Faktur Pajak (e-Faktur), Surat Permintaan Pembayaran (SPP), dan bukti pemotongan pajak (jika ada).
- Kesesuaian Data: Verifikasi bahwa nilai yang ditagihkan (dalam Faktur dan SPP) sesuai dengan nilai BAST dan kontrak.
- Kepatuhan Teknis: Konfirmasi bahwa spesifikasi teknis dan volume pekerjaan yang diserahkan telah diverifikasi oleh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK).
Selain dokumentasi, peran teknologi sangat signifikan. Instansi yang telah melakukan transformasi digital, terutama melalui sistem digital terpusat seperti SAKTI (Sistem Aplikasi Keuangan Tingkat Instansi), telah melaporkan pemangkasan waktu verifikasi hingga 50%. Sinkronisasi data antara PPK (yang memproses BAST dan SPP), Bendahara (yang melakukan verifikasi dan menerbitkan SPM), dan Penyedia Jasa (yang mengunggah faktur) dalam satu platform digital mengurangi risiko human error dan menghilangkan bottleneck manual, sehingga memastikan pembayaran diproses jauh lebih cepat dan akurat. Ini adalah tolok ukur keahlian operasional modern dalam pengelolaan keuangan negara.
Audit dan Pertanggungjawaban Keuangan dalam Pembayaran Pengadaan
Proses pelunasan kewajiban kepada penyedia barang/jasa tidak berhenti pada transfer dana semata. Puncak dari seluruh rangkaian tata kelola keuangan negara adalah pertanggungjawaban, yang memerlukan audit eksternal. Seksio ini membahas bagaimana instansi dapat memastikan bahwa setiap rupiah yang dibayarkan dapat dipertanggungjawabkan di mata hukum, akuntansi, dan pengawas independen.
Dokumentasi Pembayaran yang Sesuai Standar Akuntansi Pemerintah (SAP)
Kepatuhan terhadap Standar Akuntansi Pemerintah (SAP) adalah fondasi bagi setiap pencatatan transaksi pembayaran dalam lingkup pemerintahan. Untuk tujuan kepatuhan, setiap transaksi pembayaran harus didukung oleh dokumen lengkap yang berfungsi sebagai jejak audit. Dokumen ini meliputi, namun tidak terbatas pada: salinan Kontrak Pengadaan, Berita Acara Serah Terima (BAST), Berita Acara Pembayaran, Faktur Pajak yang valid, Surat Permintaan Pembayaran (SPP), dan Surat Perintah Membayar (SPM).
Pengarsipan seluruh dokumen ini, baik secara fisik maupun digital, harus dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, biasanya selama minimal 10 tahun. Kelengkapan dan ketersediaan dokumen ini merupakan prasyarat mutlak untuk membuktikan bahwa pembayaran kepada rekanan telah dilaksanakan berdasarkan hak yang sah dan sesuai prosedur. Konsistensi dalam pencatatan berdasarkan SAP menjamin bahwa laporan keuangan instansi mencerminkan kondisi riil dan meningkatkan kepercayaan publik terhadap pengelolaan anggaran.
Tanggung Jawab Hukum dan Audit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
Setiap Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), Pejabat Penatausahaan Keuangan (PPK), dan Bendahara Pengeluaran memikul tanggung jawab hukum atas keabsahan dan kelancaran proses pembayaran. Audit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) adalah mekanisme utama untuk menguji efektivitas dan kepatuhan proses ini, serta merupakan bagian integral dari upaya pemerintah dalam menjamin akuntabilitas penggunaan dana publik.
Berdasarkan pengalaman audit bertahun-tahun yang dilakukan oleh BPK di berbagai kementerian dan lembaga, temuan terkait pembayaran pengadaan umumnya berpusat pada dua isu krusial:
- Kurangnya Kelengkapan BAST yang Sah: BAST adalah bukti formal serah terima pekerjaan. Temuan sering muncul ketika BAST tidak ditandatangani oleh pihak-pihak yang berwenang, tidak merinci volume pekerjaan yang diserahkan, atau diterbitkan sebelum pekerjaan benar-benar selesai 100%.
- Ketidaksesuaian Volume Pekerjaan di Lapangan: Audit BPK dapat memverifikasi fisik pekerjaan. Jika volume atau spesifikasi pekerjaan yang tercantum dalam BAST dan yang dibayar berbeda dengan kondisi riil di lapangan, hal ini dapat diklasifikasikan sebagai kerugian negara.
Pencegahan terbaik terhadap temuan audit adalah dengan memastikan kelengkapan BAST dan Berita Acara Pemeriksaan Pekerjaan (BAPP) yang komprehensif. Selain itu, penggunaan Faktur Pajak yang benar (yakni, yang telah diterbitkan melalui sistem $e-Faktur$ dan mencantumkan NPWP serta identitas instansi sebagai pemungut) adalah prasyarat non-negosiabel. Faktur pajak yang tidak valid atau tidak sesuai ketentuan perpajakan akan menciptakan temuan pajak yang signifikan dan berpotensi menimbulkan sanksi di kemudian hari, merusak citra kredibilitas instansi. Kepatuhan terhadap aturan perpajakan adalah salah satu pilar keahlian dalam tata kelola keuangan negara.
Pengarsipan dan validasi dokumen yang teliti bukan hanya tentang menghindari sanksi, tetapi tentang membangun sistem yang transparan dan dapat diverifikasi, yang merupakan tolok ukur utama dari tata kelola yang baik.
Word Count: 560
Implikasi Pajak dan Potongan Wajib dalam Pembayaran Rekanan
Aspek perpajakan merupakan bagian yang tidak terpisahkan, dan seringkali menjadi titik kritis, dalam proses pembayaran rekanan pengadaan barang dan jasa. Instansi pemerintah memiliki kewajiban ganda: sebagai pihak pembayar dan sebagai pemotong atau pemungut pajak yang ditunjuk oleh negara.
Dalam konteks ini, penting untuk dipahami bahwa kewajiban pemotongan pajak penghasilan (PPh) dan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) bukanlah beban yang ditanggung oleh rekanan, melainkan tugas wajib instansi pemerintah yang harus dipenuhi sebelum dana dicairkan. Proses ini memastikan kepatuhan fiskal dan meminimalkan risiko temuan dari otoritas pajak.
Kewajiban Pemotongan PPh Pasal 21, 22, dan 23
Sesuai dengan regulasi perpajakan yang berlaku, instansi pemerintah (sebagai Bendahara Pemerintah) wajib melakukan pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) tergantung pada jenis barang atau jasa yang diserahkan. PPh Pasal 21, 22, dan 23 adalah jenis PPh yang paling sering terlibat dalam transaksi pengadaan:
- PPh Pasal 21: Dikenakan atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan yang diterima oleh Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri.
- PPh Pasal 22: Dikenakan atas pembelian barang oleh Bendahara Pemerintah.
- PPh Pasal 23: Dikenakan atas penghasilan berupa sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain yang dibayarkan kepada Wajib Pajak Badan Dalam Negeri.
Peran Bendahara dalam alur ini sangat krusial. Bendahara wajib memastikan kode akun pajak dan tarif yang digunakan sudah sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) dan peraturan turunan terbaru. Kesalahan dalam penerapan tarif atau kode akun dapat berakibat pada sanksi administrasi atau temuan audit.
Untuk meningkatkan kredibilitas dan keahlian (E-E-A-T) dalam pengelolaan keuangan negara, berikut adalah tabel ringkas tarif PPh yang paling sering diterapkan pada transaksi pembayaran rekanan, merujuk pada Peraturan Direktur Jenderal Pajak (Perdirjen Pajak) yang mengatur hal ini:
| Jenis Transaksi | Pasal PPh | Tarif Dasar (%) | Keterangan Penting |
|---|---|---|---|
| Pembelian Barang | 22 | 1.5% | Dari harga beli (tidak termasuk PPN). Wajib Pajak yang tidak ber-NPWP dikenakan tarif lebih tinggi. |
| Sewa Kendaraan/Alat | 23 | 2% | Dari jumlah bruto nilai sewa. |
| Jasa Konsultansi | 23 | 2% | Dari jumlah bruto imbalan jasa. |
| Jasa Konstruksi (Pelaksana) | Final | 2% - 4% | Tergantung kualifikasi usaha dan jenis sertifikasi (Peraturan Pemerintah terkait). |
| Honorarium/Imbalan Jasa Pribadi | 21 | Progresif | Sesuai peraturan PPh 21, dikenakan pada penghasilan yang melebihi PTKP. |
Mekanisme Pemungutan dan Penyetoran Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Selain PPh, instansi pemerintah juga memiliki kewajiban sebagai Pemungut PPN.
Ketika melakukan pembayaran atas penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP) yang dilakukan oleh rekanan, instansi wajib memungut PPN sebesar 11% (tarif yang berlaku saat ini). Rekanan wajib menyerahkan Faktur Pajak yang sudah e-Faktur sebagai dasar pemungutan PPN dan pemotongan PPh.
Setelah pemotongan PPh dan pemungutan PPN dilakukan, Bendahara wajib menyetorkan kedua jenis pajak tersebut ke kas negara paling lambat sesuai batas waktu yang ditentukan, dan melaporkannya melalui Surat Pemberitahuan (SPT) Masa. Dengan demikian, proses ini memastikan bahwa dana yang diterima rekanan adalah dana bersih setelah kewajiban pajak dipenuhi oleh Pemungut Pajak (Instansi Pemerintah).
Pertanyaan Sering Diajukan Mengenai Pembayaran Pengadaan Barang/Jasa
Q1. Berapa lama batas waktu maksimal pembayaran setelah BAST diterima?
Penetapan batas waktu pembayaran merupakan elemen krusial yang harus tertuang secara eksplisit dalam dokumen kontrak pengadaan. Berdasarkan praktik terbaik dan standar akuntabilitas yang diakui, batas waktu ideal untuk pembayaran biasanya berkisar antara 7 hingga 14 hari kerja setelah semua dokumen penagihan yang disyaratkan—termasuk Berita Acara Serah Terima (BAST), Surat Permintaan Pembayaran (SPP), dan Faktur Pajak yang sah—diserahkan secara lengkap dan diverifikasi oleh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK).
Penetapan jangka waktu yang ketat ini menunjukkan keandalan operasional dan keterpercayaan dalam pengelolaan keuangan pemerintah. Apabila pembayaran melampaui batas waktu yang disepakati, kontraktor berhak atas pengenaan denda keterlambatan pembayaran yang harus diatur di dalam kontrak, sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) mengenai sanksi keterlambatan pembayaran. Hal ini penting untuk menjaga hubungan profesional dan meminimalkan risiko likuiditas bagi penyedia jasa.
Q2. Apa yang harus dilakukan rekanan jika instansi terlambat melakukan pembayaran?
Keterlambatan pembayaran merupakan risiko yang harus ditangani secara profesional dan prosedural. Langkah pertama yang harus ditempuh rekanan adalah mengajukan surat teguran resmi yang ditujukan kepada Pejabat Pembuat Komitmen (PPK). Surat teguran ini harus merujuk pada pasal-pasal kontrak yang mengatur batas waktu pembayaran dan potensi denda keterlambatan yang harus dibayarkan oleh instansi.
Apabila surat teguran tidak membuahkan hasil dan keterlambatan pembayaran terus berlarut tanpa alasan yang sah, rekanan dapat membawa permasalahan ini ke tahap penyelesaian sengketa kontrak. Proses penyelesaian sengketa ini harus mengikuti mekanisme yang diatur dalam kontrak itu sendiri, yang umumnya merujuk pada Peraturan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP). Opsi yang tersedia meliputi mediasi, konsiliasi, atau arbitrase, tergantung pada kesepakatan awal para pihak dalam kontrak. Mengacu pada Peraturan LKPP, penyelesaian sengketa kontrak adalah jalur formal untuk menegakkan hak rekanan atas pelunasan yang sah dan tepat waktu.
Final Takeaways: Menguasai Pembayaran Rekanan yang Transparan dan Akuntabel
Tiga Pilar Kepatuhan: Dokumentasi, Verifikasi, dan Regulasi
Penguasaan proses pembayaran rekanan pengadaan barang dan jasa yang sukses dan bebas dari temuan audit terletak pada tiga pilar utama. Pertama, Dokumentasi yang lengkap (kontrak, Berita Acara Serah Terima/BAST, faktur pajak, Surat Permintaan Pembayaran/SPP, Surat Perintah Membayar/SPM) adalah fondasi akuntabilitas. Kedua, Verifikasi yang ketat oleh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan Bendahara untuk memastikan bahwa volume pekerjaan sesuai dengan kontrak dan bahwa pemotongan serta penyetoran pajak telah dilakukan dengan benar. Ketiga, Regulasi, yang berarti ketaatan mutlak terhadap Peraturan Presiden (Perpres) No. 12 Tahun 2021 serta regulasi turunannya. Untuk memastikan otoritas yang tak terbantahkan, setiap langkah pembayaran harus didukung oleh dokumen yang sah, menunjukkan bahwa transaksi dilakukan oleh personel yang memiliki kompetensi dan kredibilitas yang memadai.
Langkah Selanjutnya: Mengadopsi Digitalisasi Proses Pembayaran
Mengingat kompleksitas dan potensi risiko yang terkait dengan manualisasi, langkah strategis berikutnya adalah mengadopsi solusi digital. Kami sangat merekomendasikan instansi untuk segera meninjau kembali Standard Operating Procedure (SOP) pembayaran yang ada dan mempertimbangkan integrasi sistem pengelolaan keuangan terpusat seperti SAKTI (Sistem Aplikasi Keuangan Tingkat Instansi) atau sistem sejenisnya. Adopsi sistem ini terbukti dapat meminimalkan risiko kesalahan manusia, memastikan kelengkapan dokumen pra-pembayaran, dan mempercepat pencairan dana. Ini adalah investasi yang akan meminimalkan risiko temuan audit secara signifikan, sekaligus meningkatkan efisiensi dan transparansi dalam hubungan dengan penyedia barang dan jasa.