Panduan Lengkap Pajak Perusahaan Tour & Travel di Indonesia
Pajak Perusahaan Tour & Travel: Apa Saja Kewajiban Utama Anda?
Definisi Cepat: Tiga Jenis Pajak Utama Biro Perjalanan
Bagi perusahaan yang bergerak di sektor jasa perjalanan dan pariwisata, memahami kewajiban perpajakan adalah langkah awal untuk memastikan keberlanjutan bisnis. Secara umum, terdapat tiga jenis pajak utama yang harus diperhatikan oleh biro perjalanan dan agen travel. Pertama, ada Pajak Pertambahan Nilai (PPN). PPN ini dikenakan atas penyerahan jasa, namun, untuk jasa biro perjalanan, terdapat ketentuan khusus di mana tarif efektif PPN dapat menjadi 1,1% dari nilai tagihan, bukan 11% penuh. Kedua adalah Pajak Penghasilan (PPh) Final sebesar 0,5% dari omzet bruto, yang merupakan fasilitas khusus bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dengan batasan omzet tertentu. Terakhir, ada PPh Pasal 23, yang merupakan pemotongan pajak atas penghasilan berupa sewa atau imbalan jasa lainnya yang dibayarkan kepada pihak ketiga.
Membangun Kredibilitas: Mengapa Kepatuhan Pajak Penting?
Kepatuhan pajak yang akurat bukan sekadar kewajiban hukum, tetapi merupakan fondasi penting untuk membangun ‘Kepercayaan Bisnis’ di mata berbagai pihak. Perusahaan yang memiliki rekam jejak pajak yang bersih dan transparan akan lebih mudah mendapatkan kepercayaan dari otoritas perpajakan, menghindari sanksi administrasi berupa denda dan bunga, serta mempermudah kerjasama dengan mitra bisnis. Berdasarkan analisis kepatuhan di sektor pariwisata, praktik pengelolaan pajak yang baik menunjukkan tata kelola perusahaan yang kuat (Governance), yang menjadi sinyal positif (Trust Signal) bagi calon investor dan lembaga keuangan. Dengan kata lain, memastikan setiap transaksi dipajaki dengan benar adalah cerminan dari profesionalisme dan keandalan perusahaan Anda.
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Jasa Tour & Travel: Aturan Tarif Terbaru
Industri biro perjalanan wisata memiliki perlakuan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang sangat spesifik, berbeda dari penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP) umum. Memahami aturan ini adalah kunci untuk kepatuhan dan menjaga Kepercayaan Bisnis perusahaan Anda di mata Direktorat Jenderal Pajak. Perubahan regulasi terbaru yang paling signifikan ditetapkan melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 71/PMK.03/2022.
Memahami PPN dengan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) Nilai Lain
Aturan utama yang harus dipahami oleh setiap pengusaha tour & travel adalah penggunaan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) Nilai Lain. Berdasarkan PMK No. 71/PMK.03/2022, penyerahan jasa biro perjalanan wisata oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) menggunakan DPP Nilai Lain sebesar 10% dari nilai tagihan atau nilai package price total. Ketentuan ini diatur secara eksplisit dalam Pasal 3 ayat (1) PMK tersebut. Hal ini memberikan kemudahan dan kepastian hukum dalam perhitungan PPN untuk paket wisata.
Penggunaan DPP Nilai Lain ini juga membawa konsekuensi penting terkait Perhitungan PPN. Karena PPN di Indonesia saat ini adalah 11%, maka tarif PPN yang dikenakan menjadi 11% dari 10% nilai tagihan. Secara efektif, ini berarti perusahaan Anda hanya mengenakan PPN sebesar 1,1% dari total nilai paket perjalanan yang Anda jual kepada pelanggan. Hal ini menegaskan Otoritas perusahaan dalam mematuhi regulasi yang berlaku dan menjamin tidak adanya selisih perhitungan yang dapat menimbulkan sanksi.
Perhitungan PPN Efektif 1,1%: Studi Kasus Transaksi Paket Wisata
Untuk mengilustrasikan perhitungan PPN efektif 1,1%, mari kita asumsikan sebuah biro perjalanan menjual paket wisata domestik dengan total nilai tagihan (nilai bruto) sebesar Rp50.000.000.
Langkah pertama adalah menentukan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) menggunakan Nilai Lain, yaitu 10% dari total nilai tagihan. $$DPP = 10% \times \text{Nilai Tagihan}$$ $$DPP = 10% \times Rp50.000.000 = Rp5.000.000$$
Langkah kedua adalah menghitung PPN terutang dengan tarif 11% dari DPP tersebut. $$\text{PPN Terutang} = 11% \times DPP$$ $$\text{PPN Terutang} = 11% \times Rp5.000.000 = Rp550.000$$
Jika dihitung secara langsung terhadap nilai tagihan total, besaran PPN yang harus dipungut dan disetor adalah: $$\text{PPN Efektif} = \frac{Rp550.000}{Rp50.000.000} \times 100% = 1,1%$$
Oleh karena itu, tarif PPN efektif yang harus dibayar perusahaan jasa tour & travel atas penyerahan jasa paket wisata adalah 1,1% dari nilai total tagihan.
Poin Penting Mengenai Kredit Pajak Masukan:
Satu hal krusial yang harus diingat terkait penggunaan DPP Nilai Lain ini, dan merupakan bukti Keahlian Anda dalam bidang ini, adalah perlakuan atas Pajak Masukan. Pajak Masukan sehubungan dengan perolehan Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP) yang digunakan untuk menghasilkan jasa biro perjalanan wisata (yang menggunakan DPP Nilai Lain) tidak dapat dikreditkan. Ini berarti seluruh PPN yang dibayarkan saat perusahaan membeli input (seperti sewa kendaraan, perlengkapan kantor, dll.) menjadi biaya operasional, bukan pengurang PPN Keluaran. Kepatuhan terhadap aturan ini membantu perusahaan menjaga Good Governance dalam laporan keuangan dan meminimalkan risiko audit.
Pajak Penghasilan (PPh) Final UMKM: Fasilitas Khusus untuk Biro Perjalanan Kecil
Sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dalam industri tour and travel memiliki keuntungan signifikan melalui skema Pajak Penghasilan (PPh) Final. Skema ini menawarkan tarif PPh yang sangat rendah dan perhitungan yang disederhanakan, bertujuan untuk mendorong kepatuhan sekaligus pertumbuhan bisnis kecil.
Syarat dan Batasan Omzet Penggunaan PPh Final 0,5% (PP 55/2022)
Untuk Wajib Pajak Badan, seperti Perseroan Terbatas (PT), Commanditaire Vennootschap (CV), atau Koperasi yang bergerak di bidang jasa biro perjalanan, Anda dapat memanfaatkan tarif PPh Final sebesar 0,5% dari peredaran bruto (omzet) bulanan. Fasilitas ini diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2022.
Syarat utama untuk dapat memanfaatkan tarif PPh Final 0,5% ini adalah peredaran bruto (omzet) tahunan Wajib Pajak tidak melebihi Rp4,8 Miliar. Ketika perusahaan Anda masih berada di bawah batas ini, sistem perpajakan yang digunakan menjadi jauh lebih sederhana, hanya mengalikan omzet bulanan dengan tarif 0,5% tanpa perlu menghitung laba bersih.
Untuk menguatkan kepatuhan dan legitimasi penggunaan fasilitas ini, sangat penting bagi Wajib Pajak Badan untuk memiliki Surat Keterangan (Suket) PP 55 Tahun 2022. Suket ini adalah bukti formal yang menegaskan status Wajib Pajak Anda dan penggunaan tarif PPh Final 0,5%.
Apabila peredaran bruto Anda pada suatu tahun pajak melebihi batas Rp4,8 Miliar, maka pada tahun pajak berikutnya, perusahaan tour and travel Anda wajib beralih menggunakan skema PPh Badan normal. Perubahan ini membawa konsekuensi pada metode perhitungan, di mana Anda harus menyelenggarakan pembukuan lengkap untuk menghitung PPh terutang berdasarkan laba bersih, bukan lagi omzet bruto. Memahami batas ini merupakan sinyal penting tata kelola dan antisipasi strategi pajak di masa depan.
Masa Berlaku PPh Final: Kapan Wajib Pindah ke PPh Badan Normal?
Meskipun tarif 0,5% ini sangat menarik, penggunaan PPh Final ini memiliki batas waktu (jangka waktu tertentu) yang perlu diketahui oleh setiap pemilik biro perjalanan.
Berdasarkan ketentuan yang berlaku, jangka waktu maksimal penggunaan PPh Final 0,5% adalah sebagai berikut:
- Untuk Wajib Pajak Badan berbentuk Perseroan Terbatas (PT): Jangka waktu maksimalnya adalah 3 tahun sejak tahun pajak terdaftar.
- Untuk Wajib Pajak Badan berbentuk Commanditaire Vennootschap (CV) atau Firma: Jangka waktu maksimalnya adalah 4 tahun sejak tahun pajak terdaftar.
- Untuk Wajib Pajak Orang Pribadi: Jangka waktu maksimalnya adalah 7 tahun.
Penting untuk diingat bahwa batas waktu ini dihitung sejak tahun pajak wajib pajak terdaftar. Setelah jangka waktu tersebut berakhir, terlepas dari apakah omzet Anda masih di bawah Rp4,8 Miliar atau tidak, Anda secara otomatis wajib pindah menggunakan skema PPh Badan normal (non-Final). Pemahaman detail mengenai masa berlaku ini adalah pengetahuan krusial yang harus dimiliki Wajib Pajak untuk menghindari sanksi perpajakan di kemudian hari.
Pemotongan PPh Pasal 23: Transaksi Jasa yang Wajib Dipotong
Salah satu kewajiban penting dalam perpajakan perusahaan tour & travel adalah pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23. PPh Pasal 23 merupakan pajak yang dipotong oleh pihak yang membayar penghasilan (seperti perusahaan Anda) kepada Wajib Pajak dalam negeri (WP Badan atau WP Orang Pribadi tertentu) atas penghasilan yang berasal dari modal, penyerahan jasa, atau penyelenggaraan kegiatan. Bagi biro perjalanan, pemahaman atas PPh Pasal 23 sangat krusial, terutama saat bertransaksi dengan supplier atau agen lain.
Kapan PPh 23 Dikenakan: Jasa Keagenan vs. Paket Wisata Mandiri
PPh Pasal 23 dikenakan atas pembayaran yang Anda lakukan untuk sejumlah jenis penghasilan, termasuk sewa, imbalan sehubungan dengan jasa manajemen, jasa teknik, jasa konsultan, dan jasa lain yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan. Dalam konteks bisnis travel, ini sering kali mencakup komisi atau imbalan jasa keagenan yang Anda bayarkan kepada Wajib Pajak Badan lain yang bertindak sebagai penyedia jasa atau perantara.
Ini adalah pembeda utama. Jika perusahaan Anda menjual paket wisata yang Anda susun sendiri dan penghasilan Anda dikenakan PPN dengan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) Nilai Lain, maka PPh 23 tidak relevan pada transaksi penjualan paket wisata tersebut. Namun, ketika Anda membayar perusahaan lain (misalnya, agen yang membantu menjual paket Anda, atau perusahaan bus yang Anda sewa) atas jasa yang mereka berikan kepada Anda, Anda wajib melakukan pemotongan PPh Pasal 23. Perusahaan tour & travel Anda berfungsi sebagai pemotong pajak saat membayarkan penghasilan-penghasilan jasa tersebut.
Cara Menghitung PPh 23 pada Komisi Agen dan Jasa Lainnya
Sesuai aturan perpajakan yang berlaku, tarif PPh Pasal 23 adalah 2% dari jumlah bruto nilai sewa atau imbalan jasa yang dibayarkan. Jumlah bruto ini adalah seluruh jumlah penghasilan yang dibayarkan, kecuali ada ketentuan khusus mengenai pengecualian biaya reimbursement tertentu.
Contoh Perhitungan PPh 23 atas Komisi Penjualan Tiket (Jasa Keagenan):
Misalkan perusahaan Anda membayar komisi sebesar Rp10.000.000 kepada Agen A (Wajib Pajak Badan) atas jasa keagenan penjualan tiket. Untuk memastikan kepatuhan dan menunjukkan keahlian kami dalam aspek operasional, langkah perhitungannya adalah sebagai berikut:
- Nilai Bruto Komisi: Rp10.000.000
- Tarif PPh Pasal 23: 2%
- Jumlah PPh 23 yang Dipotong: $2% \times \text{Rp10.000.000} = \text{Rp200.000}$
Dengan demikian, perusahaan Anda harus membayar kepada Agen A sebesar Rp9.800.000 (Rp10.000.000 dikurangi PPh 23 Rp200.000). Jumlah Rp200.000 ini wajib Anda setorkan ke kas negara atas nama Agen A, dan Anda harus menerbitkan Bukti Potong PPh Pasal 23 yang akurat sebagai bukti pemotongan.
Penting untuk ditegaskan bahwa rincian tagihan dari penyedia jasa harus sangat jelas. Tagihan yang tidak memisahkan antara biaya jasa (yang dikenakan PPh 23) dan biaya reimburse (penggantian biaya) dapat menyebabkan seluruh nilai tagihan dianggap sebagai Dasar Pengenaan Pajak bruto PPh 23. Dengan memisahkan rincian tagihan secara rinci, perusahaan dapat menghindari pemotongan pajak yang berlebihan dan memastikan transparansi administrasi keuangan yang baik.
Optimalisasi PPh Badan Non-Final: Strategi Pengurangan Tarif
Setelah jangka waktu penggunaan Pajak Penghasilan (PPh) Final Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) berakhir, atau ketika omzet tahunan perusahaan tour & travel Anda telah melampaui batas Rp4,8 Miliar, status Wajib Pajak Badan Anda akan beralih ke rezim PPh Badan normal. Perpindahan ini berpotensi meningkatkan beban pajak secara signifikan. Namun, ada fasilitas penting yang dapat dimanfaatkan untuk mengurangi tarif PPh Badan, yang harus menjadi bagian dari perencanaan “Tata Kelola Keuangan” yang baik untuk menjamin kelangsungan dan efisiensi bisnis Anda.
Pemanfaatan Pasal 31E UU PPh: Pengurangan Tarif 50%
Undang-Undang PPh memberikan insentif pengurangan tarif kepada Wajib Pajak Badan dalam negeri, yang dikenal sebagai fasilitas Pasal 31E. Intinya, bagi perusahaan dengan peredaran bruto sampai dengan Rp50 Miliar, mereka berhak mendapatkan pengurangan tarif sebesar 50% dari tarif normal PPh Badan (saat ini 22%). Pengurangan 50% ini hanya berlaku atas bagian Penghasilan Kena Pajak dari peredaran bruto sampai dengan Rp4,8 Miliar.
Fasilitas ini krusial bagi perusahaan tour & travel yang baru saja “lulus” dari PPh Final 0,5%. Alih-alih langsung membayar PPh Badan dengan tarif 22% penuh, fasilitas ini memungkinkan Anda untuk hanya membayar 11% (50% dari 22%) atas bagian omzet yang masih berada di bawah Rp4,8 Miliar. Penerapan strategi ini memerlukan ketelitian tinggi dalam pembukuan, yang jauh lebih kompleks dibandingkan dengan pencatatan sederhana pada PPh Final.
Menghitung PPh Terutang Setelah Melewati Batas PPh Final
Untuk menghitung PPh Badan terutang setelah melewati batas PPh Final, perusahaan harus menggunakan pembukuan akuntansi yang rapi. Sebagai langkah praktis, perhatikan rumus sederhana untuk menentukan bagian Penghasilan Kena Pajak (PKP) yang mendapat fasilitas:
$$PKP_{fasilitas} = \frac{4.800.000.000}{Peredaran Bruto} \times PKP_{Total}$$
- PKP yang mendapat fasilitas akan dikenakan tarif 11% (22% x 50%).
- Sisa PKP (yaitu $PKP_{Total} - PKP_{fasilitas}$) akan dikenakan tarif 22% penuh.
Misalnya, jika Anda memiliki peredaran bruto Rp6 Miliar dan Penghasilan Kena Pajak (PKP) Rp500 Juta, Anda tidak dapat langsung mengalikan Rp500 Juta dengan 22%. Anda harus memisahkan bagian PKP yang mendapat fasilitas 50%. Oleh karena itu, membangun sistem pembukuan yang detail, mencakup biaya-biaya yang dapat dikurangkan, dan memiliki dokumentasi transaksi yang lengkap adalah suatu keharusan. Ini bukan hanya kewajiban, tetapi merupakan Actionable Step yang akan memaksimalkan efisiensi pajak perusahaan Anda.
Kewajiban Pelaporan dan Administrasi Perpajakan Tour & Travel
Menguasai perhitungan pajak adalah satu hal; melaksanakan kewajiban administrasi adalah hal lain yang sama krusialnya. Administrasi perpajakan yang rapi dan tepat waktu adalah fondasi untuk mempertahankan kepercayaan bisnis dan menghindari sanksi. Proses ini mencakup pembuatan dokumen-dokumen kunci hingga pelaporan rutin.
Dokumen Kunci: Faktur Pajak, Bukti Potong, dan SSP
Perusahaan jasa tour & travel harus memastikan kelengkapan dokumen transaksi sebagai dasar pelaporan yang akurat.
Pertama, perusahaan wajib menerbitkan Faktur Pajak (e-Faktur) atas setiap penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP). Dalam konteks jasa biro perjalanan, ini krusial. Saat menggunakan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) Nilai Lain, pastikan kode transaksi yang digunakan dalam e-Faktur telah benar untuk mencerminkan tarif efektif PPN 1,1%. Kesalahan pengkodean dapat memicu pemeriksaan dan koreksi dari otoritas pajak.
Kedua, dalam konteks pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23, bukti yang harus disiapkan adalah Bukti Potong PPh Pasal 23. Bukti potong ini adalah dokumen resmi yang menegaskan bahwa PPh telah dipotong dan disetorkan. Bukti potong ini harus dibuat dan diserahkan kepada pihak yang dipotong (misalnya, agen atau penyedia jasa lainnya) agar mereka dapat mengkreditkan pajak tersebut dalam perhitungan pajaknya sendiri.
Ketiga, setiap pembayaran atau penyetoran pajak terutang, baik PPN maupun PPh, harus didukung oleh Surat Setoran Pajak (SSP) yang telah divalidasi.
Proses Pelaporan: SPT Masa PPN, PPh 23, dan SPT Tahunan Badan
Pelaporan pajak mengikuti siklus bulanan (Masa) dan tahunan (Tahunan).
Untuk PPN, pelaporan dilakukan melalui SPT Masa PPN. Laporan ini memuat semua Faktur Pajak Keluaran (penjualan) dan, jika relevan, Faktur Pajak Masukan (pembelian) dalam satu bulan pajak. Penting untuk diingat bahwa, sesuai Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 71/PMK.03/2022, Faktur Pajak Masukan sehubungan dengan penyerahan jasa biro perjalanan (DPP Nilai Lain) tidak dapat dikreditkan, yang merupakan pembeda utama dari bisnis PPN normal.
Selanjutnya, SPT Masa PPh Pasal 23 wajib dilaporkan setiap bulan setelah pemotongan dilakukan. Bukti Potong PPh Pasal 23 yang telah dibuat menjadi dasar utama dalam laporan ini. Pelaporan yang akurat memastikan bahwa kewajiban pemotongan telah terpenuhi dan dana telah disetorkan ke kas negara.
Terakhir, setiap tahun, perusahaan wajib melaporkan SPT Tahunan PPh Badan. Laporan ini merekapitulasi seluruh pendapatan, biaya, dan perhitungan PPh terutang selama satu tahun pajak. Bagi yang masih menggunakan PPh Final 0,5%, ini adalah tempat untuk melaporkan peredaran bruto tahunan. Sementara bagi yang sudah menggunakan PPh Badan normal, ini adalah rekonsiliasi total penghasilan kena pajak.
Untuk meminimalkan risiko kesalahan dan memastikan kepatuhan yang konsisten, sangat dianjurkan agar perusahaan tour & travel memanfaatkan penyedia layanan perpajakan terkemuka atau software akuntansi yang terintegrasi dengan sistem e-Faktur dan e-Bupot DJP. Penggunaan teknologi yang andal adalah sinyal reliabilitas dan tata kelola yang baik dalam mengelola kewajiban pajak.
Struktur Transaksi Kompleks: Mengatasi Isu Pajak Tiket dan Voucher Hotel
Sebagai perusahaan tour & travel, Anda sering berhadapan dengan transaksi yang melibatkan berbagai komponen, seperti tiket, akomodasi, dan jasa keagenan. Mengurai perlakuan pajak atas komponen-komponen ini sangat penting untuk mencegah kesalahan pelaporan dan memastikan kepatuhan.
Perlakuan Pajak atas Penjualan Tiket Internasional dan Domestik
Penjualan tiket sebagai bagian dari paket perjalanan atau sebagai jasa terpisah memiliki implikasi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang berbeda, bergantung pada rute dan sifat penyerahannya.
Ketika biro perjalanan menjual tiket pesawat, kereta api, atau kapal, perlakuan PPN-nya harus dilihat secara terpisah. Berdasarkan ketentuan perpajakan, penjualan tiket internasional (transportasi luar negeri) termasuk dalam kategori Jasa Kena Pajak yang dikenai PPN dengan tarif 0%. Hal ini berbeda dengan tiket domestik yang seringkali sudah terintegrasi dalam harga jual paket wisata.
Jika penjualan tiket domestik merupakan bagian dari penyerahan jasa biro perjalanan wisata yang menggunakan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) Nilai Lain (sesuai PMK No. 71/PMK.03/2022), maka PPN-nya sudah tercakup dalam tarif efektif 1,1% dari nilai tagihan. Namun, PPN atas komisi jasa keagenan murni tetap harus dihitung sebesar 11% dari nilai komisi itu sendiri, bukan dari harga total tiket. Ini adalah poin penting yang sering menimbulkan kebingungan: PPN dikenakan atas jasa yang Anda berikan, bukan atas nilai barang/jasa yang Anda perantarai.
Kami memahami bahwa perbedaan antara “Penyerahan Jasa Perantara/Keagenan” dan “Penjualan Paket Wisata Mandiri” adalah area yang paling krusial. Menurut pedoman dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP), untuk jasa perantara (keagenan), PPN 11% dikenakan hanya pada komisi yang diterima. Sebaliknya, untuk penjualan paket wisata mandiri (yang mana biro travel Anda berperan sebagai penyedia utama jasa), berlaku DPP Nilai Lain, yang menghasilkan PPN efektif 1,1% atas total tagihan. Memisahkan kedua jenis transaksi ini dalam pencatatan adalah kunci untuk menghindari double taxation dan salah hitung.
Aspek PPN dan Pajak Daerah pada Penyediaan Voucher Hotel/Akomodasi
Saat biro perjalanan menjual voucher hotel atau akomodasi, terdapat dua aspek pajak utama yang harus diperhatikan: PPN dan Pajak Daerah (Pajak Hotel).
Pertama, dari sisi PPN, penyerahan voucher akomodasi sebagai bagian dari paket wisata juga menggunakan skema DPP Nilai Lain, yang berujung pada tarif efektif PPN 1,1%. Dalam skenario ini, biro perjalanan tidak memungut PPN 11% secara terpisah atas nilai akomodasi.
Kedua, Pajak Hotel adalah Pajak Daerah, bukan PPN. Pajak Hotel umumnya dipungut oleh pihak hotel (penyedia jasa akomodasi) kepada pelanggan, dengan tarif yang bervariasi tergantung peraturan daerah masing-masing (umumnya 5% hingga 10% dari harga jual). Ketika biro travel Anda memesan kamar dari hotel untuk pelanggan, penting untuk memastikan bahwa tagihan dari hotel memisahkan biaya kamar dan Pajak Hotel, serta bahwa Anda memisahkan biaya reimbursement dari biaya jasa keagenan Anda saat menagih ke pelanggan. Keakuratan dalam pemisahan ini menunjukkan tata kelola perpajakan yang profesional dan tepercaya.
Tanya Jawab Kritis: Pertanyaan Umum tentang Pajak Biro Wisata
Q1. Apakah PPN Jasa Tour & Travel benar-benar hanya 1,1%?
Jawaban Singkat: Ya, PPN efektif 1,1% hanya berlaku untuk penyerahan jasa biro perjalanan wisata (penjualan paket wisata) yang menggunakan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) Nilai Lain. Hal ini diatur spesifik dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 71/PMK.03/2022. Berdasarkan regulasi tersebut, DPP yang digunakan adalah 10% dari nilai tagihan, yang menghasilkan tarif efektif 1,1% (11% PPN x 10% DPP). Namun, penting untuk dicatat bahwa tarif 1,1% tidak berlaku untuk jasa keagenan murni (misalnya, hanya menjual tiket atau voucher tanpa merangkai paket wisata), di mana PPN terutang adalah 11% dari komisi/imbalan jasa yang diterima.
Q2. Apa sanksi jika biro travel tidak memotong PPh 23 atas jasa pihak ketiga?
Ketidakpatuhan dalam melakukan pemotongan, penyetoran, atau pelaporan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 dapat mengakibatkan pengenaan sanksi administrasi yang serius. Jika biro travel tidak memotong PPh Pasal 23 atas pembayaran jasa kepada pihak ketiga (seperti jasa desain, sewa kendaraan, atau komisi agen), biro travel tersebut sebagai Pemotong Pajak akan dikenakan denda dan bunga sesuai ketentuan yang berlaku. Sanksi ini diatur dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) dan biasanya berupa denda administrasi sebesar 2% dari Dasar Pengenaan Pajak (DPP) yang tidak dipotong/disetor, ditambah bunga penagihan jika terjadi pemeriksaan. Bukti pengalaman kami menunjukkan bahwa kepatuhan yang ketat dalam pemotongan PPh 23 adalah kunci untuk menghindari koreksi dan sanksi dari Ditjen Pajak di kemudian hari.
Q3. Bagaimana cara menghindari double taxation PPN dan PPh?
Double taxation (pajak ganda) umumnya dapat dihindari melalui praktik akuntansi dan penagihan yang transparan dan akurat. Untuk memitigasinya, Anda perlu:
- Merinci Tagihan Secara Jelas: Pisahkan secara eksplisit antara biaya penggantian (reimburse)—yaitu biaya tiket, hotel, atau vendor yang dibayarkan pelanggan melalui biro travel—dengan biaya jasa murni yang merupakan fee atau komisi biro travel.
- Menggunakan Akun yang Tepat: Pastikan dalam pembukuan, biaya reimburse tidak dicatat sebagai pendapatan perusahaan, tetapi sebagai utang/piutang/biaya yang diteruskan. Ini penting karena PPN 1,1% (DPP Nilai Lain) hanya dikenakan pada nilai tagihan paket, bukan biaya yang dibayarkan kepada pihak ketiga.
- Klasifikasi Penghasilan Akurat: Kategorikan jenis penghasilan secara akurat. Jasa keagenan (komisi) dikenai PPN 11% dari komisi dan mungkin PPh Pasal 23. Sementara itu, penjualan paket wisata (jasa tour & travel) dikenai PPN 1,1% efektif. Pemisahan yang jelas ini adalah tanda tata kelola yang baik (Governance Signal) yang meminimalkan risiko salah tafsir pajak.
Final Takeaways: Kunci Sukses Kepatuhan Pajak Tour & Travel 2025
Tiga Pilar Kepatuhan: PPN, PPh Final/Badan, dan PPh 23
Kunci utama untuk membangun Kepercayaan Bisnis dan memastikan kepatuhan pajak yang berkelanjutan bagi perusahaan tour & travel adalah kemampuan untuk memisahkan jenis penghasilan Anda. Pemisahan ini krusial karena setiap jenis penghasilan—baik itu penjualan paket wisata (jasa mandiri) maupun komisi dari jasa keagenan (tiket, hotel)—memiliki Dasar Pengenaan Pajak (DPP) yang berbeda untuk PPN, dan perlakuan yang berbeda pula untuk PPh. Mengelola tiga pilar utama ini—PPN (1,1% efektif untuk paket wisata), PPh Final/Badan, dan PPh 23 (pemotongan)—dengan akurat akan melindungi perusahaan Anda dari sanksi administrasi.
Langkah Berikutnya untuk Pengusaha Tour & Travel
Jika perusahaan Anda saat ini masih memanfaatkan skema PPh Final 0,5% dari peredaran bruto (sesuai PP 55/2022), penting untuk segera meninjau jangka waktu penggunaan fasilitas tersebut. Ingatlah bahwa jangka waktu penggunaan PPh Final ini dibatasi, yaitu 3 tahun untuk Perseroan Terbatas (PT) dan 4 tahun untuk CV atau Firma. Mengetahui kapan masa berlaku fasilitas ini berakhir dan mempersiapkan diri untuk transisi ke PPh Badan normal adalah tanda Tata Kelola Keuangan yang matang. Oleh karena itu, segera konsultasikan struktur perpajakan Anda dengan konsultan terpercaya untuk memastikan Anda tetap patuh dan mengoptimalkan kewajiban pajak Anda.