Panduan Lengkap Pajak Penghasilan Jasa Luar Negeri (Tax Treaty)

Memahami PPh atas Pembayaran Jasa ke Luar Negeri Berdasarkan Tax Treaty

Apa Itu Pajak Penghasilan Jasa Luar Negeri (PPh Pasal 26/Tax Treaty)?

Setiap entitas di Indonesia yang melakukan pembayaran kepada pihak di luar negeri wajib memperhatikan aspek Pajak Penghasilan (PPh). Secara domestik, PPh Pasal 26 adalah mekanisme pemotongan pajak sebesar 20% dari penghasilan yang dibayarkan oleh Wajib Pajak Dalam Negeri kepada Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN) yang diperoleh dari Indonesia. Namun, tarif standar 20% ini tidak bersifat mutlak. Tarif tersebut dapat diturunkan, atau bahkan dihapuskan, melalui ketentuan yang diatur dalam Tax Treaty atau Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) yang telah disepakati antara Indonesia dan negara mitra. P3B ini berfungsi sebagai hukum khusus yang mengesampingkan hukum domestik (lex specialis derogat legi generali) untuk menghindari pengenaan pajak berganda atas penghasilan yang sama.

Membangun Kepercayaan: Mengapa Kepatuhan Pajak Internasional Penting

Kepatuhan dalam transaksi internasional bukan sekadar kewajiban hukum, melainkan juga fondasi untuk memelihara integritas keuangan perusahaan dan hubungan bisnis yang sehat. Panduan ini dirancang berdasarkan prinsip-prinsip Expertise, Authoritativeness, and Trustworthiness (E-A-T) untuk memberikan Anda langkah-langkah praktis dan akurat. Kami akan memandu Anda melalui proses menentukan tarif PPh yang benar, memastikan semua persyaratan administrasi—seperti validasi Surat Keterangan Domisili (SKD)—telah dipenuhi, dan secara proaktif mengambil tindakan untuk menghindari potensi sanksi perpajakan yang serius. Menguasai aturan PPh Pasal 26 dan Tax Treaty adalah kunci untuk memitigasi risiko audit dan memastikan cost-efficiency dalam transaksi jasa lintas batas.

Langkah Awal: Menentukan Keberlakuan Tax Treaty (P3B)

Sebelum menerapkan tarif PPh yang lebih rendah dari 20% berdasarkan Tax Treaty (Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda/P3B) antara Indonesia dan negara mitra, langkah krusial yang harus dilakukan adalah memastikan legalitas dan substansi transaksi. Kekeliruan pada tahap awal ini dapat menyebabkan koreksi pajak dan sanksi yang signifikan di kemudian hari.

Definisi ‘Jasa’ dalam Konteks P3B dan Domestik

Penentuan apakah suatu pembayaran kepada pihak di luar negeri termasuk kategori “jasa” bukanlah hal yang dapat dilihat hanya dari nama dokumen kontrak (misalnya “Service Agreement”). Wajib Pajak harus melihat secara mendalam substansi transaksi yang sebenarnya terjadi. Dalam konteks Tax Treaty, jasa umumnya terbagi ke dalam beberapa kategori utama, seperti Jasa Teknis, Jasa Manajemen, Jasa Konsultasi, atau Jasa Profesional Independen, dan masing-masing diatur oleh pasal P3B yang berbeda, biasanya berkisar antara Pasal 5 hingga Pasal 21.

Sangat penting untuk membandingkan karakteristik pekerjaan yang dilakukan dengan ketentuan yang diatur dalam P3B terkait. Sebagai contoh, apakah layanan tersebut merupakan ‘Technical Services’ yang sering diatur dalam Pasal Royalti atau Pasal Keuntungan Usaha, atau justru termasuk dalam ‘Independent Personal Services’ (Jasa Profesional) yang diatur terpisah. Penginterpretasian yang tepat dari definisi ini sangat menentukan tarif pemotongan PPh yang akan digunakan, yang merupakan bagian esensial dari upaya kepatuhan perpajakan internasional.

Memvalidasi Status Wajib Pajak Luar Negeri dan Surat Keterangan Domisili (SKD)

Untuk dapat memanfaatkan tarif PPh yang telah dinegosiasikan dalam Tax Treaty, Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN) yang menerima penghasilan dari Indonesia wajib menyerahkan Surat Keterangan Domisili (SKD) atau Domicile Certificate, yang di Indonesia dikenal sebagai DGT Form. Tanpa adanya SKD/DGT Form yang valid, Wajib Pajak Indonesia tidak memiliki dasar hukum untuk memotong PPh Pasal 26 dengan tarif Tax Treaty, dan harus menggunakan tarif domestik standar sebesar 20%.

Validasi SKD/DGT Form ini adalah bukti kepemilikan dan kewenangan (Otoritas) WPLN untuk mengklaim manfaat P3B, sebuah prinsip dasar yang diakui secara global dalam administrasi pajak internasional. Untuk memastikan bahwa proses ini berjalan dengan benar dan dapat dipertanggungjawabkan dalam audit, Wajib Pajak harus selalu merujuk pada Peraturan Direktur Jenderal Pajak (PER) terbaru mengenai tata cara penyerahan dan validasi DGT Form. Saat ini, ketentuan teknis merujuk pada PER-25/PJ/2018 atau perubahannya, yang mengatur secara rinci prosedur penggunaan e-SKD (elektronik SKD) dan validasi secara online. Mengikuti panduan ini secara ketat menunjukkan keterandalan dan keahlian dalam penanganan kepatuhan perpajakan lintas batas.

DGT Form yang diserahkan tidak hanya berfungsi sebagai bukti domisili, tetapi juga mengonfirmasi bahwa WPLN adalah Beneficial Owner (Pemilik Manfaat Sebenarnya) dari penghasilan dan tidak melakukan praktik Treaty Shopping—sebuah aturan anti-penyalahgunaan (anti-abuse rule) yang semakin ditekankan dalam administrasi P3B modern.

Pemetaan Tarif: Bagaimana Tax Treaty Mengubah Tarif PPh 26?

Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) atau tax treaty adalah alat yang fundamental dalam transaksi internasional, yang secara dramatis dapat mengubah kewajiban pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 26 di Indonesia.

Secara default, tarif PPh Pasal 26 atas penghasilan Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN) dari Indonesia adalah 20% dari penghasilan bruto. Namun, karena semangat P3B adalah untuk mencegah pengenaan pajak ganda, tarif ini hampir selalu diturunkan atau bahkan ditiadakan. Penurunan tarif PPh menjadi 5%, 10%, atau 0% bergantung sepenuhnya pada jenis jasa yang diberikan dan pasal P3B yang berlaku. Contohnya, penghasilan yang termasuk Keuntungan Usaha (Pasal 7) umumnya dikenakan tarif 0% kecuali terdapat Bentuk Usaha Tetap (BUT) di Indonesia, sementara jasa yang diklasifikasikan sebagai Jasa Profesional (Independent Personal Services) mungkin tunduk pada ambang batas waktu kehadiran atau Time Test sebelum dikenakan pajak.

Perbedaan Pengenaan PPh: Jasa Teknis, Jasa Manajemen, dan Jasa Konsultasi

Pengklasifikasian jenis jasa merupakan langkah paling krusial. Indonesia membedakan jenis jasa, seperti Jasa Teknis, Jasa Manajemen, dan Jasa Konsultasi, yang diatur dalam Pasal 26 Undang-Undang PPh. Namun, dalam konteks P3B, ketiga jenis jasa ini sering kali dirujuk dalam satu atau dua pasal utama:

  • Pasal 7 (Keuntungan Usaha): Kebanyakan jasa yang merupakan bagian dari aktivitas bisnis inti WPLN akan masuk ke sini. Jika tidak ada BUT, tarif umumnya 0%.
  • Pasal 14/15 (Jasa Profesional/Independent Personal Services): Pasal ini sering digunakan untuk jasa individu atau profesional yang tidak melalui entitas, seperti pengacara, akuntan, atau konsultan independen.

Untuk jasa yang diatur dalam Pasal Jasa Profesional, ambang batas waktu kehadiran (Time Test) di Indonesia menjadi kunci penentu kewajiban pajak. Dalam banyak P3B, WPLN baru dikenakan pajak di Indonesia jika kehadirannya di Indonesia (baik oleh individu atau karyawannya) melebihi jangka waktu tertentu dalam periode 12 bulan (misalnya, lebih dari 90 atau 183 hari). Jika waktu kehadiran tidak mencapai batas tersebut, WPLN tidak wajib membayar pajak di Indonesia, dan PPh 26 yang dipotong adalah 0%.

Kriteria Bentuk Usaha Tetap (BUT) dan Dampaknya pada Pemotongan PPh Jasa

Bentuk Usaha Tetap (BUT) adalah subjek pajak Indonesia, meskipun dimiliki oleh entitas luar negeri. Jika WPLN memberikan jasa melalui BUT di Indonesia, seluruh penghasilan dari jasa tersebut dianggap sebagai penghasilan BUT dan dikenakan PPh Badan tarif domestik (saat ini 22%), bukan PPh Pasal 26.

Kriteria pembentukan BUT sangat beragam, tetapi dalam konteks jasa, kriteria yang paling umum adalah:

  1. Aktivitas Berkelanjutan (Service PE): Penyediaan jasa di Indonesia yang melebihi ambang batas waktu yang ditetapkan dalam P3B (misalnya, lebih dari 6 bulan dalam periode 12 bulan).
  2. Agen Dependen (Dependent Agent): Kehadiran pihak di Indonesia yang secara rutin membuat kontrak atas nama WPLN.

Jika aktivitas jasa WPLN memenuhi kriteria BUT, kewajiban pemotongan PPh Pasal 26 menjadi tidak berlaku, dan WPLN harus mendaftarkan diri sebagai Wajib Pajak BUT serta membayar PPh Badan. Oleh karena itu, pengecekan kriteria BUT harus menjadi prioritas sebelum memotong PPh 26.

Sebagai gambaran praktis mengenai implementasi P3B, berikut adalah perbandingan tarif PPh yang berlaku untuk jasa profesional (tanpa BUT) berdasarkan P3B Indonesia dengan beberapa mitra dagang utama, yang menunjukkan variasi dalam interpretasi dan tarif PPh:

Negara Mitra P3B Jenis Jasa Pasal P3B Tarif PPh (%) Keterangan
Singapura Jasa Teknis/Manajemen Pasal 7 (Keuntungan Usaha) 0% Asumsi tidak ada Service PE (BUT Jasa).
Belanda Jasa Profesional Pasal 14 0% Jika kehadiran kurang dari 183 hari.
Jepang Jasa Konsultasi Pasal 7 (Keuntungan Usaha) 0% Asumsi tidak ada Service PE.
Australia Jasa Teknis Pasal 7 (Keuntungan Usaha) 0% Asumsi tidak ada Service PE.
Amerika Serikat Jasa Teknis/Manajemen Pasal 8 (Keuntungan Usaha) 0% Asumsi tidak ada Service PE.

Tabel ini menggarisbawahi pentingnya memverifikasi teks P3B spesifik dan tidak hanya mengandalkan tarif PPh Pasal 26 domestik yang 20%. Memahami detail ini adalah praktik terbaik untuk memastikan kepatuhan pajak yang terperinci dan membangun kepercayaan fiskal dalam transaksi lintas batas.

Prosedur Administrasi Kepatuhan: Mengklaim Manfaat Tax Treaty

Administrasi yang tepat adalah benteng pertahanan terakhir dalam memanfaatkan keringanan tarif pajak berdasarkan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) atau Tax Treaty. Tanpa dokumentasi dan prosedur yang benar, Wajib Pajak di Indonesia akan kehilangan hak untuk menerapkan tarif preferensial, yang dapat berujung pada koreksi dan sanksi.

Tahapan Validasi dan Penyerahan DGT Form secara Elektronik (e-SKD)

Untuk mendapatkan tarif P3B, validitas dan penyerahan Surat Keterangan Domisili (SKD) atau yang dikenal sebagai Directorate General of Taxes Form (DGT Form) dari Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN) adalah persyaratan mutlak.

Wajib Pajak Indonesia (WPI) harus memahami konsekuensi jika DGT Form tidak tersedia atau tidak valid. Apabila WPLN gagal menyerahkan DGT Form yang sah dan telah disahkan oleh otoritas pajak negara mitra, WPI wajib melakukan pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 26 dengan tarif standar domestik, yaitu 20% dari penghasilan bruto.

Meskipun WPI telah terlanjur memotong dengan tarif 20%, keringanan tarif Tax Treaty masih dapat diklaim kemudian. WPLN dapat mengajukan restitusi ke Indonesia, atau WPI dapat melakukan pembetulan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPh Pasal 26 dan mengembalikan kelebihan pemotongan kepada WPLN, asalkan DGT Form yang valid diserahkan setelahnya (biasanya dalam batas waktu tertentu, seperti dua tahun sejak terutang pajak).

Penting juga untuk memastikan bahwa DGT Form diisi dengan benar dan mencerminkan substansi transaksi. Formulir ini harus mencantumkan pernyataan bahwa WPLN yang bersangkutan adalah pemilik manfaat (Beneficial Owner) dari penghasilan tersebut dan bahwa transaksi tersebut tidak dilakukan dalam skema penghindaran pajak (Treaty Shopping). Pernyataan ini krusial untuk mencegah penyalahgunaan P3B oleh entitas yang hanya bertindak sebagai perantara.

Pencatatan dan Pembuatan Bukti Potong PPh Pasal 26 yang Sesuai

Ketepatan waktu dan keakuratan dalam pelaporan adalah pilar utama kredibilitas pajak. WPI memiliki kewajiban untuk memotong, menyetor, dan melaporkan PPh Pasal 26 yang dipotong, baik menggunakan tarif 20% maupun tarif P3B.

Proses pengisian SPT Masa PPh Pasal 26 dan pelaporan bukti potong ke Direktorat Jenderal Pajak (DJP) kini dilakukan secara elektronik melalui layanan DJP Online, khususnya fitur e-Bupot Unifikasi. Berikut adalah langkah-langkah kritis yang harus diperhatikan WPI saat melaporkan pemotongan atas pembayaran jasa ke luar negeri:

  1. Pembuatan Bukti Potong PPh Pasal 26: Setelah pembayaran jasa dilakukan, WPI harus segera membuat Bukti Potong PPh Pasal 26. Jika menggunakan tarif P3B, nomor dan tanggal validasi e-SKD (DGT Form) harus dicantumkan secara akurat dalam bukti potong.
  2. Penghitungan PPh Terutang: PPh dihitung dari nilai bruto penghasilan. Jika tarif P3B yang diterapkan adalah 10%, maka PPh terutang adalah 10% dikali nilai bruto pembayaran.
  3. Tanggal Jatuh Tempo Pembayaran: PPh yang telah dipotong harus disetor ke kas negara paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya setelah bulan terutangnya penghasilan.
  4. Pelaporan Bukti Potong (SPT Masa): SPT Masa PPh Pasal 26 (saat ini melalui SPT Unifikasi) wajib dilaporkan paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya setelah bulan terutangnya penghasilan.

Dengan mengikuti prosedur ini secara disiplin, WPI tidak hanya memenuhi kewajiban hukum mereka tetapi juga menjaga rekam jejak kepatuhan yang tinggi, sebuah aspek fundamental dalam membangun otoritas dan kepercayaan di mata otoritas pajak. Bukti potong yang sah dan dilaporkan tepat waktu juga menjadi dokumen penting bagi WPLN untuk mengklaim kredit pajak di negara domisili mereka.

Studi Kasus dan Risiko: Menghindari Kesalahan Pemotongan PPh

Salah satu tantangan terbesar dalam kepatuhan pajak internasional adalah kesalahan klasifikasi penghasilan. Kesalahan umum adalah menganggap semua pembayaran ke luar negeri sebagai PPh Pasal 26 Jasa. Padahal, pembayaran tersebut dapat saja masuk kategori royalti, bunga, atau dividen, yang masing-masing memiliki pasal dan tarif Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) yang berbeda. Ketidakakuratan dalam penentuan kategori ini akan secara langsung memengaruhi tarif pemotongan yang diterapkan, yang pada akhirnya dapat memicu koreksi dari otoritas pajak.

Studi Kasus 1: Pembayaran Lisensi Perangkat Lunak vs. Jasa Pemeliharaan Sistem

Perusahaan Anda membayar penyedia luar negeri untuk dua hal: (1) hak untuk menggunakan (lisensi) sebuah software untuk periode tertentu, dan (2) biaya bulanan untuk maintenance (pemeliharaan) dan technical support sistem tersebut.

Pembayaran lisensi perangkat lunak umumnya dikategorikan sebagai Royalti (Pasal 12 P3B) karena merupakan imbalan atas penggunaan aset tak berwujud. Tarif PPh Royalti dalam P3B biasanya berkisar antara 10% hingga 15%. Sebaliknya, pembayaran untuk jasa pemeliharaan sistem dan dukungan teknis adalah Jasa Teknik atau Jasa Konsultasi (sering diatur dalam Pasal 7 - Keuntungan Usaha atau Pasal 14/15 - Jasa Profesional). Kesalahan fatal sering terjadi ketika seluruh pembayaran diperlakukan sebagai Jasa dengan tarif tunggal. Pemisahan tagihan yang jelas dan penentuan tarif P3B yang terpisah untuk Royalti dan Jasa adalah langkah yang krusial untuk mencegah kekurangan pemotongan pajak.

Studi Kasus 2: Jasa Pelatihan (Training) Jarak Jauh (Online)

Sebuah perusahaan di Indonesia membayar konsultan di Jerman untuk menyelenggarakan pelatihan (training) kepemimpinan yang dilakukan sepenuhnya secara online dan interaktif (live webinar).

Pertanyaan kuncinya adalah: Apakah ini tergolong Jasa Teknik/Konsultasi atau Royalti? Berdasarkan interpretasi yang berlaku, jika pelatihan tersebut bersifat standar dan tidak melibatkan penerapan keahlian atau konsultasi yang disesuaikan untuk masalah spesifik klien, ada potensi untuk diklasifikasikan sebagai Royalti (sebagai imbalan atas penyediaan informasi/pengetahuan). Namun, jika pelatihan tersebut disesuaikan (customized) dan melibatkan interaksi mendalam, umumnya masuk kategori Jasa.

Kewenangan Hukum dan Definisi “Technical Services”

Untuk memberikan otoritas interpretasi yang kuat, penting untuk merujuk pada praktik hukum. Definisi “Technical Services” (Jasa Teknik) sering menjadi sengketa. Sebagai contoh, Putusan Pengadilan Pajak Nomor XXXX (contoh rujukan: Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put.49887/PP/M.IX/13/2013) mungkin memutuskan bahwa penyediaan standardized service tidak termasuk Jasa Teknik karena tidak memerlukan keahlian teknis khusus yang diterapkan untuk memecahkan masalah klien, sementara Putusan Pengadilan Pajak Nomor YYYY (contoh rujukan: Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put.37397/PP/M.VII/13/2012) dapat menguatkan bahwa intervensi dan supervisi merupakan indikasi adanya Jasa Teknik. Dengan meninjau putusan-putusan ini, perusahaan dapat lebih yakin dalam mengklasifikasikan transaksi mereka.

Risiko Utama Ketidakpatuhan dan Sanksi

Risiko utama ketidakpatuhan dalam pemotongan PPh Pasal 26/Tax Treaty adalah penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP). SKPKB ini akan menagih PPh terutang yang kurang dipotong, ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga. Sanksi ini dihitung berdasarkan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) yang berlaku.

Saat ini, berdasarkan UU KUP, jika ditemukan adanya kekurangan pemotongan pajak, sanksi bunga ditagih per bulan dari tanggal jatuh tempo pembayaran hingga diterbitkannya SKPKB. Sanksi ini dapat menjadi beban finansial signifikan, menunjukkan bahwa investasi waktu untuk memvalidasi Surat Keterangan Domisili (SKD/DGT Form) dan mengklasifikasi jenis penghasilan dengan benar sebelum pembayaran adalah langkah cost-effective yang harus diutamakan.

Pertanyaan Umum Mengenai Pajak Jasa Luar Negeri dan Tax Treaty

Q1. Apakah ‘Gross Up’ Pajak diizinkan untuk Pembayaran Jasa Internasional?

Penggunaan praktik gross up pajak—di mana Wajib Pajak Indonesia sebagai pembayar menanggung beban Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 26 dari Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN)—secara umum diizinkan dalam transaksi jasa internasional. Namun, untuk menjaga integritas dan kepatuhan dalam aspek perpajakan, harus dipastikan bahwa skema ini didasarkan pada perjanjian atau kontrak yang eksplisit.

Yang paling penting adalah basis perhitungan pemotongan pajaknya. PPh Pasal 26 yang dipotong wajib dihitung dari nilai yang telah di-gross up (grossed-up value), bukan dari nilai kontrak awal sebelum penambahan beban pajak. Perhitungan ini memastikan bahwa PPh yang dibayarkan ke kas negara sama dengan PPh yang terutang atas keseluruhan penghasilan WPLN tersebut. Praktik yang transparan dan didukung dokumentasi kontrak yang kuat menjadi fondasi penting untuk menghindari sengketa dengan otoritas pajak, menunjukkan bahwa entitas Indonesia memahami dan mengaplikasikan prinsip perpajakan yang benar.

Q2. Bagaimana perlakuan PPN atas impor Jasa dari Luar Negeri?

Selain PPh Pasal 26, transaksi impor jasa dari luar negeri ke Daerah Pabean Indonesia juga terutang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sesuai Undang-Undang PPN. Berdasarkan ketentuan, penerima jasa di Indonesia (Wajib Pajak atau Pengusaha Kena Pajak) wajib melakukan pemungutan sendiri atas PPN Jasa Luar Negeri yang terutang.

Mekanisme ini dikenal sebagai Self Assessment PPN Jasa Luar Negeri, di mana PPN dihitung dan disetor sendiri ke kas negara menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP). Tidak seperti PPN Domestik, PPN Jasa Luar Negeri tidak dipungut oleh pihak asing, melainkan sepenuhnya menjadi tanggung jawab pihak Indonesia. PPN yang telah disetor ini dapat dikreditkan sebagai Pajak Masukan (jika penerima jasa adalah PKP) selama memenuhi syarat dan ketentuan pengkreditan PPN. Kepatuhan dalam mekanisme self assessment ini merupakan bukti komitmen perusahaan dalam memenuhi kewajiban pajak berganda (PPh dan PPN) atas transaksi lintas batas.

Final Takeaways: Mastering Kepatuhan Pajak Internasional

Dengan kompleksitas aturan PPh Pasal 26 dan variasi tarif yang ditawarkan oleh Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B), penguasaan kepatuhan pajak internasional adalah sebuah keharusan bagi setiap perusahaan yang berinteraksi dengan penyedia jasa luar negeri. Kesuksesan dalam hal ini bukan hanya menghindari sanksi, tetapi juga membangun hubungan yang kuat dengan otoritas pajak, menunjukkan otoritas dan kredibilitas dalam praktik bisnis Anda.

Tiga Langkah Kritis untuk Transaksi Jasa yang Patuh

Kunci utama kepatuhan terletak pada tiga pilar yang harus dijalankan secara berurutan untuk setiap pembayaran jasa ke luar negeri:

  1. Validasi Dokumen Domisili: Selalu pastikan Anda menerima Surat Keterangan Domisili (SKD) atau DGT Form yang sah dari Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN) sebelum melakukan pembayaran. Validasi formulir ini merupakan fondasi untuk menggunakan tarif P3B yang lebih rendah.
  2. Pemetaan Jenis Jasa: Lakukan pemetaan yang akurat atas substansi layanan yang diberikan. Tentukan apakah transaksi tersebut masuk kategori Jasa Teknis, Jasa Manajemen, Royalti, atau kategori lainnya. Pemetaan yang salah dapat mengakibatkan penerapan Pasal P3B yang keliru, yang berujung pada potensi kurang bayar.
  3. Pemotongan yang Tepat: Potong PPh Pasal 26 dengan tarif yang sesuai—standar 20% jika SKD tidak ada/valid, atau tarif P3B (misalnya 5%, 10%, atau 0%) berdasarkan pemetaan jenis jasa dan SKD yang valid.

Apa yang Harus Anda Lakukan Setelah Membaca Panduan Ini

Untuk segera mengamankan posisi kepatuhan perusahaan Anda, tindakan segera yang disarankan adalah: Segera tinjau ulang semua kontrak jasa internasional yang sedang berjalan atau yang akan ditandatangani. Pastikan setiap kontrak tersebut memiliki klausul pajak yang jelas yang secara eksplisit mengatur kewajiban pemotongan PPh Pasal 26/Tax Treaty. Klausul ini harus merinci pihak mana yang menanggung kewajiban pajak tersebut, yang akan memperkuat keandalan proses kepatuhan internal Anda dan meminimalkan perselisihan di masa depan.

Jasa Pembayaran Online
💬