Panduan Lengkap Pajak Jasa Pembayaran dari Luar Negeri
Memahami Pajak Jasa Pembayaran dari Luar Negeri: Panduan Kepatuhan
Definisi Kunci: Apa Itu Jasa dan Penghasilan dari Luar Negeri dalam Konteks Pajak?
Pajak jasa pembayaran dari luar negeri merujuk secara spesifik pada serangkaian kewajiban fiskal yang harus dipenuhi oleh Wajib Pajak (WP) di Indonesia ketika mereka menerima layanan atau membayar penyedia jasa yang berlokasi di luar negeri. Ini melibatkan dua jenis pajak utama: Pemotongan dan pelaporan Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas penghasilan yang bersumber dari aktivitas jasa yang diterima atau dimanfaatkan oleh WP Indonesia dari pihak di luar negeri. Dalam konteks ini, “jasa” mencakup layanan teknis, manajemen, konsultasi, dan layanan lain yang memberikan manfaat ekonomi di Indonesia.
Mengapa Kepatuhan Pajak atas Penghasilan Internasional Sangat Penting
Kepatuhan terhadap regulasi pajak atas transaksi internasional adalah pondasi penting dalam membangun kredibilitas dan memitigasi risiko finansial. Artikel ini dirancang sebagai panduan langkah demi langkah yang detail untuk membantu Anda memastikan kepatuhan pajak secara menyeluruh. Dengan mengikuti panduan ini, Anda dapat menghindari sanksi administrasi atau denda yang timbul dari ketidakpatuhan, dan pada saat yang sama, mengoptimalkan manajemen keuangan perusahaan Anda melalui pemanfaatan mekanisme kredit pajak dan perjanjian penghindaran pajak berganda yang berlaku. Kepatuhan yang cermat adalah cerminan dari keahlian operasional perusahaan Anda di mata otoritas pajak.
Regulasi Kunci: Dasar Hukum Pengenaan Pajak Atas Jasa Internasional
Kepatuhan pajak atas jasa yang diterima dari penyedia layanan luar negeri dimulai dengan pemahaman mendalam tentang landasan hukum di Indonesia. Mengenali regulasi yang tepat akan membantu perusahaan menentukan tarif pemotongan yang benar dan memenuhi kewajiban penyetoran, baik untuk Pajak Penghasilan (PPh) maupun Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Peraturan Pajak Penghasilan (PPh) Terkait Jasa dari Luar Negeri
Dalam konteks pembayaran jasa kepada pihak luar negeri, dua pasal PPh menjadi fokus utama, yaitu PPh Pasal 26 dan, dalam beberapa kasus, PPh Pasal 23. Pemilihan pasal yang digunakan bergantung pada status subjek pajak yang menerima penghasilan. PPh Pasal 26 secara khusus mengatur pemotongan pajak atas penghasilan yang dibayarkan kepada Subjek Pajak Luar Negeri (SPLN) yang berasal dari Indonesia. Sementara itu, PPh Pasal 23 mengatur pemotongan atas penghasilan yang dibayarkan kepada Subjek Pajak Dalam Negeri (SPDN) atau Badan Usaha Tetap (BUT) di Indonesia, meskipun jarang terjadi untuk konteks jasa murni dari luar negeri tanpa kehadiran fisik.
Untuk membangun Kepercayaan dan Otoritas di bidang ini, penting untuk merujuk pada ketentuan yang paling mutakhir. Peraturan Menteri Keuangan (PMK) secara rutin diperbarui untuk menyesuaikan kriteria. Sebagai contoh, PMK Nomor 141/PMK.03/2015 (dan perubahannya) mengatur secara detail jenis-jenis jasa yang dikenakan PPh Pasal 23, yang sering menjadi acuan ketika mengklasifikasikan jenis jasa. Sementara itu, kriteria Subjek Pajak Luar Negeri (SPLN) yang dikenakan PPh Pasal 26 ditentukan berdasarkan pemenuhan keberadaan BUT atau, jika tidak, berdasarkan status domisili. Pemahaman mengenai PMK ini adalah keharusan bagi setiap praktisi akuntansi yang bertanggung jawab atas transaksi internasional.
Implikasi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas Pemanfaatan Jasa Luar Negeri
Selain PPh, transaksi jasa dari luar negeri juga menimbulkan kewajiban PPN yang dikenal sebagai PPN Jasa Luar Negeri atau Value-Added Tax (VAT) on Imported Services. Konsep ini memastikan adanya perlakuan yang setara antara jasa yang diserahkan oleh penyedia di dalam negeri dan jasa yang dimanfaatkan dari luar negeri.
Tarif PPN Jasa Luar Negeri sama dengan tarif umum PPN, yaitu sebesar 11% (sesuai UU HPP dan perubahannya). Hal krusial yang membedakannya adalah mekanisme pengenaannya. PPN ini dikenakan pada saat pemanfaatan Jasa Kena Pajak (JKP) dari luar Daerah Pabean dan wajib disetor sendiri oleh pihak yang menerima atau memanfaatkan jasa di Indonesia. Pihak penerima jasa bertindak sebagai pemungut dan penyetor PPN ke kas negara, bukan penyedia jasa luar negeri. Kewajiban penyetoran mandiri ini sangat berisiko jika tidak dilakukan karena dapat berujung pada sanksi administrasi.
Keandalan dalam kepatuhan mengharuskan Wajib Pajak untuk mengidentifikasi kapan saat terutangnya PPN, yang umumnya adalah saat jasa mulai dimanfaatkan atau saat pembayaran dilakukan, mana yang lebih dulu.
Kewajiban PPh: Pemotongan Pajak Penghasilan Atas Pembayaran Jasa
Pengenaan Pajak Penghasilan (PPh) atas jasa yang dibayarkan ke luar negeri adalah salah satu aspek yang paling kompleks dalam pajak jasa pembayaran dari luar negeri. Ini mengatur bagaimana Wajib Pajak (WP) di Indonesia memperlakukan pembayaran yang dilakukan kepada Subjek Pajak Luar Negeri (SPLN) untuk menghindari pelarian pajak dan memastikan keadilan. Pemahaman yang mendalam mengenai mekanisme pemotongan, tarif, dan instrumen pencegahan pajak berganda sangat krusial untuk menjaga kepatuhan dan manajemen arus kas yang optimal.
Mekanisme Pemotongan PPh Pasal 26 (Untuk Pembayaran ke Subjek Pajak Luar Negeri)
PPh Pasal 26 adalah instrumen pajak yang dikenakan atas penghasilan yang bersumber dari Indonesia yang dibayarkan kepada SPLN, selain bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia. Penghasilan ini mencakup, antara lain, dividen, bunga, royalti, sewa, imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan.
Tarif umum yang berlaku untuk pemotongan PPh Pasal 26 adalah 20% dari penghasilan bruto. Namun, penting untuk dicatat bahwa tarif standar ini dapat berubah secara signifikan. Melalui Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) atau yang lebih dikenal sebagai Tax Treaty yang telah disepakati antara Indonesia dan negara domisili SPLN, tarif tersebut bisa diturunkan, bahkan hingga 0% sampai 15%, tergantung pada jenis penghasilan dan klausul yang diatur dalam P3B. Mengingat kompleksitas ini, kehati-hatian dalam menentukan tarif yang berlaku adalah cerminan otoritas dan keandalan dalam praktik perpajakan.
Untuk dapat mengklaim manfaat dari tarif yang lebih rendah berdasarkan P3B, Wajib Pajak Indonesia wajib memenuhi persyaratan administrasi yang ketat. Persyaratan utama adalah penyediaan Form DGT-1 yang telah disahkan oleh otoritas pajak di negara domisili SPLN. Sebagai contoh konkret dalam praktik, jika Anda membayar jasa konsultasi dari Singapura, Anda harus menerima Form DGT-1 yang valid dan tidak kedaluwarsa. Dokumen ini membuktikan bahwa SPLN tersebut adalah beneficial owner yang berhak menerima manfaat P3B. Wajib Pajak bertanggung jawab penuh untuk memverifikasi keabsahan dan kelengkapan Form DGT-1 sebelum pemotongan dilakukan. Jika Form DGT-1 tidak tersedia atau tidak sah, WP wajib menggunakan tarif umum PPh Pasal 26 sebesar 20%, sesuai ketentuan perpajakan yang berlaku di Indonesia. Kegagalan mematuhi verifikasi ini dapat menyebabkan koreksi pajak dan pengenaan sanksi oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
Kredit Pajak Luar Negeri (KPLN) dan Pencegahan Pajak Berganda (Tax Treaty)
Dalam konteks pembayaran jasa, seringkali Wajib Pajak Badan Dalam Negeri (WPDN) di Indonesia menerima penghasilan dari luar negeri, atau membayar jasa di luar negeri yang telah dikenakan pajak di negara sumber. Agar penghasilan tersebut tidak dikenakan pajak dua kali (pajak berganda), terdapat mekanisme Kredit Pajak Luar Negeri (KPLN), yang diatur dalam PPh Pasal 24.
KPLN adalah instrumen yang memungkinkan WPDN mengkreditkan pajak penghasilan yang telah dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan yang diperolehnya dari luar negeri. Tujuannya adalah untuk menghindari pajak ganda pada tingkat global, sehingga mendorong transparansi dan kepatuhan dalam pelaporan penghasilan internasional. Jumlah pajak yang dapat dikreditkan maksimal adalah yang terendah antara:
- Pajak yang benar-benar dibayar atau terutang di luar negeri.
- Penghitungan PPh yang terutang di Indonesia atas penghasilan luar negeri tersebut (proporsional).
Sebagai bukti pengalaman dan kredibilitas, WPDN harus menyimpan bukti pembayaran pajak di luar negeri, seperti Withholding Tax Certificate atau dokumen setara yang menunjukkan jumlah pajak yang telah dipotong. Prosedur ini sangat penting, terutama bagi perusahaan yang memiliki transaksi jasa lintas batas yang rutin, memastikan bahwa klaim kredit pajak Anda diakui dan menopang pernyataan keandalan pelaporan keuangan Anda.
Kewajiban PPN: Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean
Selain Pajak Penghasilan (PPh), Wajib Pajak di Indonesia yang menerima atau memanfaatkan jasa dari penyedia luar negeri juga memiliki kewajiban penting terkait Pajak Pertambahan Nilai (PPN). PPN ini secara spesifik disebut PPN Jasa Luar Negeri (PPN JLN) atau Value Added Tax (VAT) on Imported Services. Kewajiban ini muncul karena pada dasarnya PPN adalah pajak konsumsi yang harus dikenakan atas konsumsi barang atau jasa di dalam Daerah Pabean Indonesia, meskipun penyedia jasanya berada di luar negeri. Tarif PPN yang dikenakan saat ini adalah 11% dari Dasar Pengenaan Pajak (DPP).
Tata Cara Pendaftaran dan Penyetoran PPN Jasa Luar Negeri
Proses kepatuhan PPN JLN berbeda dengan PPN domestik. Dalam konteks ini, Wajib Pajak Indonesia yang menerima jasa bertindak sebagai pihak yang wajib menyetorkan pajak tersebut ke kas negara. Kewajiban ini timbul pada saat jasa tersebut mulai dimanfaatkan atau dibayar, mana yang lebih dahulu terjadi.
Untuk memastikan kepatuhan dan menghindari sanksi administrasi, penerima jasa wajib menyetor PPN Jasa Luar Negeri menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) atas nama sendiri paling lama tanggal 15 bulan berikutnya setelah saat terutangnya PPN. Pelaporan SSP ini kemudian harus dilakukan melalui SPT Masa PPN pada masa pajak yang sama.
Untuk membangun kredibilitas dan otoritas dalam pelaporan ini, penentuan nilai PPN terutang harus didasarkan pada dokumen transaksi yang sah. Kami menekankan pentingnya dokumen kontrak atau invoice sebagai dasar penentuan Dasar Pengenaan Pajak (DPP). Jika pembayaran dilakukan dalam mata uang asing, Wajib Pajak harus menggunakan nilai tukar (kurs) yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan (kurs KMK) yang berlaku pada saat terutangnya PPN. Ini adalah langkah penting untuk membuktikan bahwa perhitungan pajak telah dilakukan dengan benar dan dapat dipertanggungjawabkan dalam audit.
Jenis Jasa yang Dikecualikan dari PPN (Jasa Non-Kena Pajak)
Tidak semua jasa yang diterima dari luar negeri dikenakan PPN JLN. Undang-Undang PPN telah mengatur jenis-jenis jasa tertentu yang termasuk dalam kategori Jasa Non-Kena Pajak, yang artinya dikecualikan dari pengenaan PPN, baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri.
Pengecualian ini dibuat berdasarkan fungsi sosial atau strategis jasa tersebut. Contohnya, jasa tertentu, seperti jasa keuangan (misalnya, jasa perbankan, asuransi, dan pembiayaan), jasa asuransi (termasuk premi asuransi ke luar negeri), dan jasa keagamaan (seperti jasa keagamaan atau ritual) termasuk dalam kategori Jasa Non-Kena Pajak. Penting bagi Wajib Pajak untuk mengacu pada peraturan PPN terbaru untuk memastikan status jasa yang diterima, karena salah klasifikasi dapat berujung pada temuan kurang bayar PPN dan sanksi. Memiliki keahlian dalam membedakan jasa kena pajak dan non-kena pajak adalah fondasi untuk manajemen PPN yang efisien.
Membangun Otoritas dan Kualitas Konten dalam Kepatuhan Pajak
Dalam dunia kepatuhan pajak internasional, menunjukkan Otoritas, Keahlian, dan Kepercayaan (OKK) bukan hanya soal memenuhi regulasi, tetapi juga tentang memitigasi risiko audit dan membangun reputasi bisnis yang kuat di mata Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Bagian ini menjelaskan bagaimana Anda dapat secara sistematis memperkuat fondasi kepatuhan Anda melalui dokumentasi yang kredibel dan verifikasi ahli.
Pengalaman: Menyajikan Bukti Transaksi dan Dokumentasi yang Kuat
Fondasi dari kepatuhan yang tidak terbantahkan adalah Pengalaman dan ketelitian dalam dokumentasi. Untuk membuktikan kepatuhan Anda terhadap peraturan pajak jasa pembayaran dari luar negeri, Anda harus menyimpan semua dokumen pendukung dengan lengkap dan mudah diakses. Ini termasuk, namun tidak terbatas pada, salinan kontrak kerja sama, invoice dari penyedia jasa luar negeri, bukti potong pajak (Withholding Tax/WHT Certificate), dan bukti setor PPN Jasa Luar Negeri.
Pengarsipan yang solid mencerminkan transparansi transaksi Anda. Sebagai panduan wajib untuk menjamin ketepatan transaksi, Anda harus mengaudit ulang riwayat transaksi jasa internasional setidaknya selama lima tahun terakhir. Audit ini harus menggunakan checklist kepatuhan yang ketat, di mana salah satu poin krusial yang perlu diverifikasi adalah kewajaran harga atau aspek transfer pricing. Misalnya, apakah harga yang Anda bayarkan untuk jasa manajemen dari entitas afiliasi luar negeri sesuai dengan harga pasar (arm’s length principle)? Dengan menunjukkan bahwa Anda telah melakukan peninjauan transfer pricing untuk memastikan kewajaran harga, Anda secara efektif membuktikan Pengalaman dan kehati-hatian dalam transaksi.
Keandalan: Menggunakan Jasa Konsultan Pajak Bersertifikat (Brevet)
Untuk mencapai tingkat Keandalan tertinggi dalam pelaporan pajak internasional, sangat disarankan untuk melibatkan profesional pajak yang memiliki Keahlian tersertifikasi. Keandalan dalam konteks ini dicapai dengan memastikan bahwa semua tarif Pajak Penghasilan (PPh) dalam Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) yang Anda klaim telah diverifikasi secara cermat.
Seorang konsultan pajak bersertifikat (pemegang Brevet) dapat membantu Anda memastikan bahwa klaim tarif P3B yang Anda ajukan didasarkan pada tax treaty yang berlaku dan, yang paling penting, tidak kedaluwarsa atau tidak berlaku karena syarat tertentu (misalnya, Limitation on Benefits/LOB). Kesalahan dalam mengklaim tarif P3B dapat mengakibatkan kurang bayar PPh Pasal 26, yang berujung pada sanksi dan denda.
Oleh karena itu, Keahlian konsultan sangat penting dalam memvalidasi tiga hal utama:
- Status Beneficial Owner: Memastikan penerima penghasilan luar negeri benar-benar berhak menerima manfaat P3B.
- Validasi Dokumen DGT-1: Memverifikasi kelengkapan dan keabsahan formulir ini sebagai syarat klaim manfaat P3B.
- Kesesuaian Jenis Jasa: Memastikan klasifikasi jasa yang diterima sesuai dengan ketentuan dalam P3B (misalnya, membedakan antara technical services dan other income).
Dengan memanfaatkan jasa ahli, Anda menunjukkan komitmen pada praktik terbaik dan secara signifikan meningkatkan Kepercayaan DJP terhadap laporan kepatuhan pajak internasional Anda.
Studi Kasus & Tips Praktis: Mengelola Pembayaran Digital dan Royalti
Perlakuan Pajak atas Iklan Digital (Google Ads/Facebook Ads) dari Luar Negeri
Pembayaran untuk layanan iklan digital kepada platform global seperti Google Ads, Facebook Ads, atau platform lain yang berstatus Subjek Pajak Luar Negeri (SPLN) memerlukan pemahaman pajak yang berlapis. Secara umum, pembayaran jasa iklan ini dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 26 dengan tarif standar 20% dari penghasilan bruto. Perusahaan di Indonesia (sebagai pembayar) wajib memotong, menyetor, dan melaporkan PPh ini.
Namun, terdapat skenario tambahan mengenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Jika platform digital tersebut telah ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak sebagai Pemungut PPN Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE), maka PPN telah dipungut dan disetor langsung oleh platform saat transaksi. Sebaliknya, jika penyedia jasa iklan luar negeri belum ditunjuk sebagai Pemungut PPN PMSE, maka Wajib Pajak di Indonesia yang memanfaatkan jasa tersebut wajib menyetor sendiri (self-assessment) PPN Jasa Luar Negeri sebesar 11% dari Dasar Pengenaan Pajak (DPP). Kepatuhan yang tepat memerlukan verifikasi status platform penerima pembayaran iklan tersebut.
Pajak atas Pembayaran Royalti, Lisensi, dan Penggunaan Aset Tak Berwujud
Pembayaran Royalti, Lisensi, dan imbalan atas penggunaan aset tak berwujud lainnya (seperti trademark atau copyright) merupakan salah satu fokus utama audit oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Pembayaran jenis ini juga dikenakan PPh Pasal 26 dengan tarif standar 20% dari penghasilan bruto jika dibayarkan kepada SPLN.
Dalam banyak kasus, Wajib Pajak (WP) Indonesia sering mencoba mengklaim manfaat Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) atau Tax Treaty untuk menurunkan tarif PPh Pasal 26, terkadang hingga 0% atau 10%, tergantung pada perjanjian bilateral dengan negara domisili penerima royalti. Untuk membangun otoritas dan kepercayaan (Trust Focus) dalam hal ini, WP wajib memastikan verifikasi yang ketat:
- Penerima Royalti harus memiliki Surat Keterangan Domisili (SKD) atau Form DGT-1 yang valid.
- Form DGT-1 harus diisi lengkap dan tidak kedaluwarsa.
- Transaksi Royalti harus memenuhi kriteria Beneficial Owner (Penerima Manfaat Sesungguhnya) sesuai tax treaty yang berlaku.
Klaim tarif P3B yang salah atau kedaluwarsa akan menyebabkan koreksi pajak dan pengenaan sanksi administrasi.
Untuk menunjukkan kompetensi dan keandalan dalam penerapan tarif, berikut adalah perbandingan ringkas tarif PPh Pasal 26 atas pembayaran royalti sebelum dan sesudah klaim P3B untuk beberapa negara mitra dagang utama Indonesia:
| Negara Mitra Dagang | Tarif PPh Pasal 26 Normal (Tanpa P3B) | Tarif PPh Royalti (Setelah P3B Klaim Valid) |
|---|---|---|
| Singapura | 20% | 10% |
| Amerika Serikat | 20% | 15% |
| Jepang | 20% | 10% |
| Belanda | 20% | 10% |
| Australia | 20% | 15% |
Catatan: Tarif P3B ini adalah contoh dan dapat berubah. Wajib Pajak harus merujuk pada teks P3B terbaru yang berlaku.
Your Top Questions About Pajak Jasa Internasional Answered
Q1. Apakah ‘Jasa Maklon’ dari luar negeri dikenakan PPN dan PPh?
Jasa Maklon, atau manufacturing services, yang diterima atau dimanfaatkan oleh Wajib Pajak (WP) di Indonesia dari pihak luar negeri dikenakan dua jenis kewajiban pajak. Pertama, jasa ini tunduk pada Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebagai Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean. Artinya, WP penerima jasa di Indonesia wajib menyetor PPN terutang sebesar 11%. Kedua, pembayaran atas jasa maklon ini kepada penyedia jasa di luar negeri (Subjek Pajak Luar Negeri atau SPLN) dikenakan Pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 26. Besaran tarif PPh Pasal 26 ini (umumnya 20%) dapat berkurang jika negara penyedia jasa memiliki Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dengan Indonesia, dan WP dapat membuktikan keabsahan klaim tersebut melalui Form DGT-1. Penting untuk mengkaji substansi kontrak secara teliti; jika kontraknya murni sewa aset atau royalti, perlakuan pajaknya akan berbeda.
Q2. Bagaimana cara Wajib Pajak Orang Pribadi melaporkan jasa freelancer dari luar negeri?
Wajib Pajak Orang Pribadi (WPOP), seperti freelancer atau content creator, yang menerima penghasilan jasa dari penyedia luar negeri memiliki kewajiban pelaporan yang berbeda dari WP Badan. Pendapatan ini wajib dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan sebagai penghasilan dari luar negeri (sesuai PPh Pasal 25 atau PPh Pasal 29). Dalam konteks membangun kepercayaan dan memvalidasi keakuratan pelaporan, jika pendapatan tersebut sudah dipotong pajaknya di negara sumber, WPOP berhak memanfaatkan mekanisme Kredit Pajak Luar Negeri (KPLN) atau PPh Pasal 24. PPh Pasal 24 memungkinkan WP mengkreditkan pajak yang sudah dibayar di luar negeri, sehingga dapat mengurangi total PPh terutang di Indonesia dan menghindari terjadinya pajak berganda. Dokumentasi seperti Withholding Tax Certificate dari negara sumber menjadi krusial sebagai bukti sah klaim kredit pajak.
Final Takeaways: Mastering Kepatuhan Pajak Jasa Internasional 2026
Ringkasan 3 Pilar Kepatuhan: Dokumen, Tarif, dan Pelaporan
Kepatuhan pajak atas pajak jasa pembayaran dari luar negeri dapat diringkas menjadi tiga pilar utama: Dokumen, Tarif, dan Pelaporan. Kunci utama untuk menunjukkan otoritas dan kepatuhan adalah validasi yang ketat terhadap tarif Pajak Penghasilan (PPh)—memastikan apakah menggunakan tarif Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) yang lebih rendah atau tarif PPh Pasal 26 sebesar 20%. Selain itu, pencatatan dan penyetoran Pajak Pertambahan Nilai Jasa Luar Negeri (PPN JLN) secara akurat harus menjadi prioritas. Terakhir, menyimpan dokumentasi kontrak, invoice, dan bukti penyetoran pajak yang lengkap dan terverifikasi adalah fondasi yang akan memberikan keandalan Anda saat menghadapi pemeriksaan pajak.
Langkah Selanjutnya: Audit Kepatuhan Mandiri Anda
Setelah memahami seluruh kewajiban, langkah yang paling berpengalaman yang dapat Anda ambil adalah segera melakukan audit kepatuhan mandiri (Self-Compliance Audit). Mulai periksa dan sesuaikan sistem akuntansi internal Anda. Sistem yang ideal harus mampu secara otomatis menghitung dan memotong pajak yang benar (PPh Pasal 26 atau PPh Pasal 23) atas setiap pembayaran jasa ke penyedia luar negeri dan mencatat kewajiban PPN JLN. Penyesuaian proaktif ini akan meminimalkan risiko sanksi dan memastikan kepercayaan penuh dalam manajemen perpajakan internasional Anda.