Panduan Lengkap Pajak PPh 21 Jasa Karyawan Lepas Tanpa NPWP

Memahami Pajak PPh 21 untuk Jasa Karyawan Lepas Tanpa NPWP

Definisi Singkat: Tarif PPh 21 Karyawan Lepas Tanpa NPWP

Bagi perusahaan yang sering melakukan pembayaran jasa karyawan lepas atas pajak PPh 21 tanpa NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak), penting untuk memahami aturan khusus yang berlaku. Berdasarkan ketentuan perpajakan di Indonesia, khususnya terkait Wajib Pajak yang tidak memiliki NPWP, tarif PPh Pasal 21 yang wajib dipotong adalah 120% dari tarif normal yang berlaku. Hal ini merupakan penegasan penting dari pemerintah, yang bertujuan untuk mendorong kepatuhan pajak. Penerapan tarif yang lebih tinggi ini berlaku untuk semua jenis penghasilan yang dikenakan PPh 21, termasuk kompensasi yang diberikan kepada freelancer atau pekerja lepas (Bukan Pegawai).

Mengapa Kepatuhan Pajak Penting untuk Bisnis Anda?

Kepatuhan dalam memotong dan menyetor PPh 21, terutama untuk freelancer yang tidak memiliki NPWP, adalah pilar utama integritas fiskal perusahaan. Artikel ini dirancang sebagai panduan langkah demi langkah yang otoritatif dan berbasis praktik, membantu Anda menghitung dan menyetor PPh 21 atas jasa pekerja lepas yang tidak memiliki NPWP. Dengan mengikuti panduan ini secara cermat, bisnis Anda dapat menghindari sanksi administrasi berupa denda atau bunga yang ditetapkan dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) akibat kurang bayar atau keterlambatan penyetoran. Kesalahan perhitungan dalam pembayaran jasa karyawan lepas atas pajak PPh 21 tanpa NPWP dapat merugikan perusahaan secara finansial dan reputasi.

Prinsip Dasar Pemotongan PPh Pasal 21 untuk Pekerja Bebas (Freelancer)

Kriteria Pekerja Bebas dan Perbedaan dengan Karyawan Tetap

Dalam konteks peraturan perpajakan Indonesia, pekerja bebas atau freelancer memiliki kategori yang berbeda secara fundamental dari karyawan tetap. Kategori ini secara resmi dikenal sebagai Bukan Pegawai.

Pekerja bebas dicirikan sebagai individu yang memperoleh penghasilan dari pemberian jasa kepada satu atau lebih pemberi kerja, namun tidak terikat dalam hubungan kerja berkelanjutan atau menerima penghasilan secara rutin bulanan dalam format gaji dan tunjangan tetap layaknya karyawan. Contoh nyata termasuk desainer grafis lepas, konsultan independen, atau programmer proyek. Karena sifat kerjanya yang berdasarkan proyek atau penugasan, imbalan yang mereka terima dikategorikan sebagai penghasilan Bukan Pegawai yang tunduk pada mekanisme pemotongan PPh Pasal 21.

Mengenal Peran Pemberi Kerja sebagai Pemotong Pajak (Wajib Potong)

Memahami peran perusahaan atau individu yang menggunakan jasa freelancer sebagai Pemotong PPh 21 adalah hal krusial untuk memastikan kepatuhan. Berdasarkan Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh) dan peraturan turunannya (yang terakhir diperbarui melalui Peraturan Direktur Jenderal Pajak/PER terbaru untuk tahun 2024/2025), pihak yang membayarkan atau menyediakan penghasilan kepada Bukan Pegawai memiliki kewajiban hukum untuk melakukan pemotongan, penyetoran, dan pelaporan pajak tersebut.

Sebagai contoh, jika sebuah agensi digital membayar fee kepada seorang penulis konten lepas, agensi tersebut, sebagai pihak yang membayarkan/memberikan penghasilan, adalah Pemotong PPh 21, bukan pihak yang menerima jasa (dalam hal ini, agensi itu sendiri). Peraturan ini menekankan bahwa tanggung jawab atas pemotongan pajak dan kepatuhan berada di tangan perusahaan atau individu pemberi kerja. Mengingat peraturan pajak terus diperbarui, perusahaan perlu secara berkala memverifikasi Peraturan DJP terbaru untuk memastikan bahwa mekanisme pemotongan, khususnya untuk Bukan Pegawai, sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku, sehingga menghindari sanksi dan menunjukkan kepatuhan yang kredibel.

Rumus Kunci: Menghitung Dasar Pengenaan Pajak (DPP) PPh 21 Bukan Pegawai

Dalam konteks pembayaran jasa karyawan lepas, langkah krusial pertama adalah mengidentifikasi Dasar Pengenaan Pajak (DPP). DPP adalah nilai yang menjadi landasan perhitungan tarif pajak PPh Pasal 21. Kesalahan dalam menentukan DPP akan berakibat pada pemotongan pajak yang tidak akurat, yang dapat memicu denda dan sanksi dari otoritas pajak.

Komponen Penghasilan Bruto yang Menjadi Dasar Perhitungan PPh 21

Untuk kategori Bukan Pegawai (termasuk freelancer atau pekerja lepas), Dasar Pengenaan Pajak (DPP) tidak diambil dari seluruh nilai imbalan yang dibayarkan, melainkan dari porsi tertentu dari Penghasilan Bruto.

Secara definitif, Penghasilan Bruto merujuk pada total seluruh imbalan yang dibayarkan atau terutang oleh Pemberi Kerja kepada Bukan Pegawai. Komponen ini mencakup semua bentuk pembayaran sebelum dikurangi potongan apapun, seperti:

  • Honorarium: Pembayaran utama atas jasa yang diberikan.
  • Komisi: Imbalan yang diberikan berdasarkan persentase tertentu dari transaksi atau capaian.
  • Fee: Bayaran jasa profesional.
  • Tunjangan lain: Semua pembayaran lain yang berkaitan dengan pekerjaan yang dilakukan.

Memastikan semua komponen imbalan ini tercatat dengan benar adalah kunci untuk mendapatkan angka Penghasilan Bruto yang valid.

Cara Menentukan Penghasilan Bruto: Menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN)

Dalam upaya menetapkan DPP yang adil untuk jasa yang diberikan oleh Bukan Pegawai, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah menetapkan regulasi yang secara signifikan mempermudah proses perhitungan.

Menurut peraturan DJP yang berlaku, khususnya terkait pemotongan PPh 21 Bukan Pegawai, DPP ditetapkan sebesar 50% dari jumlah Penghasilan Bruto.

Ini berarti bahwa untuk tujuan pemotongan PPh 21, hanya setengah dari total penghasilan yang dianggap sebagai penghasilan neto yang menjadi dasar perhitungan pajak. Penggunaan persentase 50% ini bertujuan untuk mengestimasi biaya-biaya yang mungkin dikeluarkan oleh freelancer dalam menyediakan jasanya (seperti biaya operasional, marketing, dan lainnya) tanpa perlu pembuktian rinci.

Contoh Studi Kasus: Perhitungan DPP PPh 21 Jasa Desain Grafis

Untuk mengilustrasikan penerapan aturan ini, mari kita ambil contoh nyata:

Sebuah perusahaan membayar fee jasa desain grafis kepada seorang freelancer (Bukan Pegawai) sebesar Rp 10.000.000 pada bulan ini.

  1. Penghasilan Bruto (Imbalan Jasa): Rp 10.000.000
  2. Persentase DPP (Ketentuan DJP): 50%
  3. Dasar Pengenaan Pajak (DPP):

$$ DPP = 50% \times \text{Penghasilan Bruto} $$

$$ DPP = 50% \times \text{Rp 10.000.000} = \text{Rp 5.000.000} $$

Maka, nilai Rp 5.000.000 inilah yang akan menjadi dasar (angka yang dikenakan) untuk perhitungan tarif PPh 21 Pasal 17. Langkah ini menunjukkan bahwa perusahaan telah mematuhi ketentuan pajak terbaru dan menunjukkan otoritas dalam administrasi perpajakan yang akurat. Dengan pemahaman yang jelas tentang bagaimana menentukan 50% DPP ini, perusahaan dapat bergerak ke langkah berikutnya, yaitu menerapkan tarif PPh 21 yang berlaku, termasuk penyesuaian tarif 120% untuk freelancer yang tidak memiliki NPWP.

Aturan Khusus: Menghitung Tarif PPh 21 Jasa Karyawan Lepas Tanpa NPWP

Ketika berhadapan dengan pembayaran jasa karyawan lepas atas pajak PPh 21 tanpa NPWP, pemotong pajak (perusahaan) harus menerapkan aturan khusus yang secara signifikan memengaruhi tarif akhir yang dikenakan. Aturan ini dirancang untuk mendorong kepatuhan pajak individu dan memastikan semua penghasilan dikenakan pajak secara adil, namun dengan konsekuensi yang lebih tinggi bagi mereka yang tidak terdaftar.

Detail Penerapan Kenaikan Tarif 120% untuk Non-NPWP

Sesuai dengan regulasi perpajakan yang berlaku (diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak), Wajib Pajak yang menerima penghasilan tetapi tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) akan dikenakan tarif pemotongan yang lebih tinggi, yaitu 120% dari tarif normal (tarif Pasal 17). Prinsip ini bertujuan untuk membedakan antara Wajib Pajak yang patuh secara administrasi dan yang belum.

Formula dasar yang harus digunakan oleh perusahaan untuk menghitung PPh 21 Bukan Pegawai (freelancer) yang tidak memiliki NPWP adalah:

$$\text{PPh 21 Non-NPWP} = 120% \times (\text{Tarif PPh 21 Pasal 17} \times \text{DPP 50% dari Bruto})$$

Ingat, Dasar Pengenaan Pajak (DPP) untuk Bukan Pegawai (termasuk freelancer) selalu ditetapkan sebesar 50% dari penghasilan bruto (total fee yang dibayarkan). Kenaikan 120% ini diterapkan pada tarif normal PPh 21 Pasal 17 yang sudah dikalikan dengan DPP tersebut.

Sebagai contoh konkret, jika seorang freelancer non-NPWP menerima pembayaran dengan DPP Rp5.000.000 (dari Bruto Rp10.000.000), dan ia termasuk dalam lapisan tarif 5% (Pasal 17 ayat 1 huruf a), maka perhitungannya adalah:

  1. PPh 21 Normal (dengan NPWP): $5% \times \text{Rp5.000.000} = \text{Rp250.000}$
  2. PPh 21 Non-NPWP (Dipotong): $120% \times \text{Rp250.000} = \text{Rp300.000}$

Penerapan tarif 120% ini sudah menjadi standar operasional wajib bagi setiap bendahara atau staf akuntansi perusahaan sejak regulasi tersebut berlaku, yang menunjukkan upaya otoritas pajak untuk memastikan keadilan dalam sistem pajak penghasilan.

Perbandingan Tarif PPh 21 dengan dan Tanpa Kepemilikan NPWP

Memahami perbedaan tarif adalah kunci bagi perusahaan untuk memastikan kepatuhan yang akurat dan juga bagi freelancer untuk memahami pentingnya memiliki NPWP. Secara substansial, kepemilikan NPWP dapat mengurangi beban pajak yang dipotong sebesar 20% (selisih dari 120% menjadi 100%). Hal ini menjadikan kepemilikan NPWP sebuah keharusan finansial bagi setiap pekerja lepas di Indonesia.

Untuk menunjukkan otoritas dalam panduan ini, tabel berikut menyajikan perbandingan pemotongan PPh 21 (asumsi DPP 50% dari Bruto) berdasarkan lapisan tarif Pasal 17 Undang-Undang Pajak Penghasilan, yang disesuaikan dengan skema Non-NPWP:

Lapisan Penghasilan Kena Pajak (PKP) per Tahun Tarif PPh Pasal 17 (Normal) PPh 21 Dipotong (Dengan NPWP) PPh 21 Dipotong (Tanpa NPWP) [120%]
s.d. Rp60.000.000 5% $5% \times \text{DPP}$ $6% \times \text{DPP}$
Di atas Rp60.000.000 s.d. Rp250.000.000 15% $15% \times \text{DPP}$ $18% \times \text{DPP}$
Di atas Rp250.000.000 s.d. Rp500.000.000 25% $25% \times \text{DPP}$ $30% \times \text{DPP}$
Di atas Rp500.000.000 s.d. Rp5 Miliar 30% $30% \times \text{DPP}$ $36% \times \text{DPP}$
Di atas Rp5 Miliar 35% $35% \times \text{DPP}$ $42% \times \text{DPP}$

Catatan: DPP adalah 50% dari Penghasilan Bruto (Fee Jasa).

Tabel ini secara jelas menunjukkan bahwa tarif efektif yang dipotong oleh perusahaan akan selalu 20% lebih tinggi ketika freelancer tidak menyerahkan NPWP-nya. Bagi perusahaan, ini adalah kewajiban hukum. Bagi freelancer, selisih 20% ini adalah biaya langsung karena tidak memiliki NPWP, yang merupakan pemotongan administrasi yang dapat dihindari sepenuhnya.

Langkah Praktis Pemotongan dan Pelaporan PPh 21 Tanpa NPWP (Sisi Perusahaan)

Melakukan pemotongan dan pelaporan PPh Pasal 21 atas jasa pekerja lepas (freelancer) non-NPWP merupakan tanggung jawab wajib bagi perusahaan. Proses ini adalah bagian integral dari kepatuhan fiskal yang berfokus pada akurasi dan kredibilitas administrasi pajak Anda. Kesalahan dalam tahap ini dapat memicu sanksi dan denda.

Proses Pemotongan: Kapan dan Bagaimana Perusahaan Harus Memotong Pajak?

Pemotongan PPh 21 untuk Bukan Pegawai, termasuk freelancer yang tidak memiliki NPWP, dilakukan pada saat terjadinya pembayaran atau terutangnya penghasilan kepada pekerja lepas tersebut, mana yang terjadi lebih dahulu. Secara praktis, ini berarti saat Anda mengeluarkan dana untuk membayar fee jasa, Anda wajib langsung memotong PPh 21 sesuai perhitungan tarif 120% Non-NPWP.

Sebagai langkah keahlian yang membantu perusahaan mempertahankan integritas dan otoritas di mata otoritas pajak, penting untuk mendokumentasikan setiap pemotongan dengan benar. Berikut adalah panduan langkah demi langkah untuk membuat Bukti Potong PPh 21 bagi Bukan Pegawai Non-NPWP:

  1. Hitung Ulang Pajak: Pastikan pemotongan sudah menggunakan formula yang benar: 120% x (Tarif PPh Pasal 17 x 50% dari Penghasilan Bruto).
  2. Gunakan Aplikasi: Wajib Pajak Badan (Perusahaan) wajib menggunakan aplikasi e-Bupot yang disediakan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk membuat Bukti Potong elektronik.
  3. Tentukan Jenis Formulir: Untuk Bukan Pegawai, Bukti Potong yang digunakan adalah Formulir 1721-VI. Formulir 1721-A1 hanya digunakan untuk Pegawai Tetap.
  4. Isi Data: Masukkan data freelancer (termasuk status Non-NPWP), jumlah penghasilan bruto, Dasar Pengenaan Pajak (DPP) 50%, dan jumlah PPh 21 yang telah dipotong. Pastikan kode objek pajak yang digunakan adalah 21-100-04 (untuk Bukan Pegawai yang Menerima Penghasilan Berkesinambungan) atau kode objek yang sesuai dengan jenis penghasilannya.
  5. Serahkan Bukti Potong: Bukti Potong ini (e-Bupot) harus diserahkan kepada freelancer sebagai bukti bahwa pajak mereka telah dipotong dan akan disetorkan oleh perusahaan Anda. Hal ini menegaskan transparansi dan kepercayaan dalam transaksi Anda.

Mekanisme Penyetoran Pajak: Menggunakan Kode Akun Pajak dan Kode Jenis Setoran (KAP/KJS)

Setelah pemotongan dilakukan, langkah selanjutnya adalah menyetorkan PPh 21 tersebut ke kas negara. Penyetoran PPh 21 wajib dilakukan paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya setelah bulan terutangnya penghasilan.

Untuk melakukan penyetoran yang akurat, Anda harus membuat Kode Billing menggunakan kombinasi Kode Akun Pajak (KAP) dan Kode Jenis Setoran (KJS) yang tepat:

  • Kode Akun Pajak (KAP): Gunakan 411121 (Jenis Pajak PPh Pasal 21).
  • Kode Jenis Setoran (KJS): Gunakan 100 (untuk Masa Pajak), yang digunakan untuk penyetoran PPh 21 yang dipotong dari penghasilan.

Dengan Kode Billing ini, penyetoran dapat dilakukan melalui teller bank/pos persepsi, e-banking, atau kanal pembayaran pajak lainnya. Pastikan bukti penyetoran (Surat Setoran Pajak atau BPN) tersimpan dengan baik sebagai bagian dari dokumentasi Anda.

Pelaporan: Mengisi SPT Masa PPh 21 Secara Akurat

Penyetoran dan pemotongan yang sudah dilakukan harus dipertanggungjawabkan melalui proses pelaporan. Perusahaan wajib melaporkan PPh 21 yang telah dipotong melalui SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26. Pelaporan ini wajib disampaikan ke DJP paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.

Saat ini, pelaporan PPh 21 wajib menggunakan e-Filing melalui aplikasi e-SPT atau e-Bupot. Dokumen kunci yang perlu Anda siapkan dan laporkan adalah:

  1. Induk SPT Masa PPh Pasal 21: Merangkum total pemotongan PPh 21 perusahaan.
  2. Daftar Bukti Potong PPh 21: Mencantumkan rincian setiap Bukti Potong yang diterbitkan, termasuk untuk freelancer Non-NPWP.

Pelaporan yang lengkap dan tepat waktu, di mana Anda secara konsisten menyajikan data yang akurat tentang pemotongan pajak 120% untuk Non-NPWP, memperkuat otoritas perusahaan Anda dalam administrasi pajak dan secara signifikan mengurangi risiko audit.

Your Top Questions About Pajak PPh 21 Karyawan Lepas Dijawab

Mengingat kompleksitas aturan perpajakan, terutama untuk kategori Bukan Pegawai (freelancer) yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), beberapa pertanyaan mendasar sering muncul. Memahami jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini akan membantu Anda meningkatkan kepercayaan dan otoritas (E-E-A-T) dalam administrasi pajak perusahaan Anda, memastikan kepatuhan yang ketat terhadap regulasi yang berlaku.

Q1. Apakah Pekerja Lepas dengan Penghasilan di Bawah PTKP Tetap Dipotong PPh 21?

Ini adalah kesalahpahaman umum dalam pemotongan PPh 21 untuk Bukan Pegawai. Berdasarkan regulasi perpajakan di Indonesia, Pemotongan PPh 21 untuk Bukan Pegawai tetap dilakukan meskipun penghasilan kumulatif pekerja lepas tersebut belum melebihi Batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).

Mengapa demikian? Karena PTKP hanya berlaku sebagai pengurang Penghasilan Kena Pajak (PKP) bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang memiliki kewajiban pajaknya sendiri, seperti karyawan tetap, atau yang menjalankan usaha dan pekerjaan bebas. Sementara itu, mekanisme PPh 21 yang diterapkan untuk Bukan Pegawai—seperti freelancer—adalah pemotongan atas imbalan jasa yang dibayarkan.

Pemotong pajak (perusahaan Anda) wajib memotong PPh 21 atas setiap pembayaran jasa yang dilakukan, dengan perhitungan didasarkan pada Dasar Pengenaan Pajak (DPP) sebesar 50% dari penghasilan bruto. Sebagai contoh, jika Anda membayar jasa sebesar Rp 3.000.000 kepada seorang freelancer non-NPWP, Anda wajib memotong pajak atas $50% \times Rp 3.000.000 = Rp 1.500.000$ (DPP).

Penting untuk dicatat bahwa dalam kasus di mana Bukan Pegawai tersebut (freelancer) hanya menerima penghasilan dari satu pemberi kerja dan total penghasilan bruto kumulatif dalam setahun memang tidak melampaui PTKP, ia mungkin akan dapat mengajukan restitusi (pengembalian kelebihan bayar) PPh 21 saat pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan pribadinya. Namun, kewajiban pemotongan di sisi perusahaan tetap mutlak saat pembayaran terjadi. Kepastian ini didukung oleh panduan resmi dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang secara konsisten menegaskan kewajiban pemotong pajak.

Q2. Apa Sanksi Pajak Jika Perusahaan Tidak Memotong PPh 21 Karyawan Lepas Non-NPWP?

Kegagalan untuk melaksanakan kewajiban perpajakan, termasuk tidak memotong atau tidak menyetorkan PPh 21 yang terutang atas pembayaran kepada pekerja lepas (termasuk yang non-NPWP), dapat menimbulkan konsekuensi hukum dan finansial yang serius bagi perusahaan.

Berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), Perusahaan yang tidak memotong, tidak menyetor, atau terlambat menyetorkan PPh 21 akan dikenakan sanksi administrasi. Sanksi ini umumnya berupa:

  1. Denda Administrasi: Atas keterlambatan atau tidak dilakukannya pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPh 21.
  2. Bunga (Sanksi Keterlambatan Pembayaran): Jika perusahaan terlambat atau tidak menyetor PPh 21 yang seharusnya dipotong. Bunga dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai tanggal pembayaran dilakukan, sesuai dengan tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dan dikenakan selama maksimal 24 bulan.

Selain sanksi administrasi, ketidakpatuhan ini dapat memicu dilakukannya pemeriksaan atau audit pajak oleh DJP. Jika dalam proses audit ditemukan bahwa perusahaan belum memotong PPh 21 atas jasa freelancer, perusahaan akan diwajibkan untuk menanggung dan menyetor PPh 21 yang terutang tersebut, yang berarti perusahaan harus membayar kembali pajak yang seharusnya dipotong dari freelancer, ditambah dengan sanksi berupa bunga.

Oleh karena itu, sangat penting bagi setiap perusahaan untuk memiliki sistem administrasi yang kokoh, didukung oleh tenaga ahli pajak yang berpengetahuan, untuk memastikan bahwa pemotongan PPh 21, terutama dengan tarif 120% untuk Bukan Pegawai non-NPWP, dilakukan secara tepat waktu dan akurat. Kepastian ini memperkuat keahlian dan keandalan (E-E-A-T) operasional perusahaan di mata otoritas pajak.

Final Takeaways: Memastikan Kepatuhan Pajak PPh 21 Jasa Freelancer

Kepatuhan dalam pemotongan dan pelaporan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 untuk jasa freelancer non-NPWP bukanlah sekadar formalitas, melainkan tindakan strategis yang melindungi perusahaan Anda dari risiko sanksi dan denda yang signifikan. Dengan memahami dan menerapkan aturan 120%, Anda menunjukkan tanggung jawab pajak yang tinggi.

3 Langkah Aksi Kunci untuk Administrasi PPh 21 yang Tepat

Administrasi PPh 21 yang efektif memerlukan proses yang jelas. Tiga langkah aksi kunci yang harus segera Anda terapkan adalah:

  1. Verifikasi Status NPWP: Selalu pastikan Anda memverifikasi kepemilikan NPWP setiap freelancer sebelum pembayaran jasa. Klasifikasikan mereka secara akurat sebagai Wajib Pajak dengan atau tanpa NPWP.
  2. Terapkan Pemotongan 120% dengan Tepat: Untuk freelancer yang tidak memiliki NPWP, pastikan Anda menerapkan pemotongan $120%$ dari tarif PPh 21 Pasal 17 yang berlaku dikalikan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) sebesar $50%$ dari bruto. Hal ini penting untuk mencegah potensi audit dan denda dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
  3. Perbarui Sistem Penggajian: Segera perbarui sistem penggajian atau software akuntansi Anda untuk mengakomodasi pemotongan tarif Non-NPWP yang akurat ini. Otomatisasi proses akan meminimalkan human error dan memastikan bahwa setiap perhitungan pemotongan pajak dilakukan sesuai regulasi terbaru.

Apa yang Harus Dilakukan Selanjutnya (Pentingnya Komunikasi dengan Freelancer)

Setelah memastikan sistem internal Anda siap, langkah berikutnya adalah menjalin komunikasi proaktif dengan para freelancer. Edukasi mereka mengenai pentingnya memiliki NPWP dan bagaimana hal itu dapat mengurangi beban pajak mereka hingga $20%$. Memberikan informasi ini tidak hanya membantu freelancer Anda tetapi juga mengurangi kompleksitas administrasi pajak perusahaan Anda di masa depan.

Jasa Pembayaran Online
💬