Pajak Perusahaan Jasa Pengiriman Barang: Panduan Lengkap & Terbaru

Memahami Kewajiban Pajak Utama Perusahaan Jasa Ekspedisi

Secara mendasar, setiap perusahaan yang bergerak dalam bidang jasa pengiriman barang atau logistik di Indonesia memiliki kewajiban perpajakan yang harus dipenuhi. Memahami dan mengelola kewajiban ini secara akurat bukan hanya soal kepatuhan, tetapi juga efisiensi keuangan bisnis Anda. Pengabaian terhadap regulasi terbaru dapat mengakibatkan sanksi yang merugikan.

Jenis Pajak Utama yang Wajib Dibayar Perusahaan Jasa Pengiriman

Perusahaan jasa pengiriman barang di Indonesia pada umumnya wajib membayar dan/atau memotong dua jenis pajak utama yang mendominasi transaksi bisnis, yaitu Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh). PPN dikenakan atas penyerahan jasa, sementara PPh dikenakan atas laba atau penghasilan yang diperoleh perusahaan, termasuk pemotongan atas pembayaran kepada pihak lain.

Sejak berlakunya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 71/PMK.03/2022, PPN untuk jasa ekspedisi dihitung menggunakan skema Dasar Pengenaan Pajak (DPP) Nilai Lain. Perubahan ini menghasilkan tarif efektif PPN sebesar 1,1% dari nilai tagihan, yang jauh berbeda dari tarif PPN normal 11% penuh. Perbedaan signifikan ini sangat penting untuk dipahami agar perhitungan dan penagihan ke pelanggan tidak keliru.

Dasar Kepercayaan dan Keahlian Kami dalam Informasi Pajak Ini

Panduan ini disusun dengan mengacu pada kerangka hukum terkini di Indonesia, khususnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) serta regulasi pelaksananya, termasuk PMK 71/2022. Komitmen kami untuk menyajikan informasi yang andal dan berbasis keahlian memastikan bahwa setiap langkah dan perhitungan yang dijelaskan dalam artikel ini selaras dengan praktik terbaik kepatuhan pajak. Kami menjamin bahwa panduan ini akan memberikan arahan langkah demi langkah yang terperinci dan dapat diimplementasikan segera untuk memastikan kepatuhan pajak bisnis jasa pengiriman Anda.

Aspek Kritis: Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Jasa Ekspedisi

Dasar Hukum PPN untuk Jasa Pengiriman Barang (PMK No. 71/2022)

Perusahaan jasa ekspedisi (pengiriman paket) di Indonesia berada di bawah rezim khusus terkait Pajak Pertambahan Nilai (PPN), yang diatur secara rinci melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 71/PMK.03/2022. Regulasi ini secara eksplisit menetapkan bahwa PPN untuk jasa pengiriman barang dikenakan menggunakan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) Nilai Lain. Adanya peraturan khusus ini memberikan kepastian hukum dan perlakuan pajak yang berbeda dari jasa pada umumnya.

Mengacu pada Undang-Undang PPN yang diperbarui melalui Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), penggunaan DPP Nilai Lain ini memiliki dasar hukum yang kuat. Secara spesifik, Pasal 9A ayat (1) UU PPN s.t.d.d. UU HPP menyatakan, “Pengusaha Kena Pajak yang … melakukan penyerahan barang dan/atau jasa tertentu yang dikenai PPN dengan besaran tertentu, dapat diberikan kemudahan dalam pemenuhan kewajiban PPN.” Skema Nilai Lain ini merupakan bentuk kemudahan tersebut, yang secara nyata menguntungkan pelaku usaha jasa ekspedisi karena mengurangi beban PPN yang harus dipungut dan disetor, meningkatkan daya saing industri logistik.

Cara Menghitung PPN dengan Tarif Efektif 1,1% dari Nilai Lain

Berdasarkan PMK No. 71/2022, PPN untuk jasa pengiriman paket dihitung dengan menggunakan DPP sebesar 10% dari total nilai penggantian (biaya jasa pengiriman). Dengan tarif PPN normal saat ini sebesar 11%, maka tarif PPN efektif yang harus dipungut oleh perusahaan ekspedisi dari pelanggan adalah sebesar $11% \times 10% = 1,1%$ dari nilai tagihan atau biaya jasa.

  • Tarif PPN Efektif adalah 1,1% dari total biaya jasa (Nilai Penggantian).

Perhitungan tarif efektif 1,1% ini dirancang untuk dapat dengan mudah menjadi jawaban ringkas dalam fitur pencarian seperti Featured Snippet. Perusahaan jasa pengiriman yang telah menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP) wajib menggunakan Kode Faktur Pajak 05 saat menerbitkan faktur untuk setiap penyerahan jasa yang dikenakan PPN dengan besaran tertentu ini.

Contoh Perhitungan PPN Jasa Ekspedisi:

Deskripsi Perhitungan Hasil
Biaya Pengiriman (Nilai Penggantian) Rp 100.000.000 Rp 100.000.000
DPP Nilai Lain (10% dari Nilai Penggantian) $10% \times \text{Rp } 100.000.000$ Rp 10.000.000
PPN Terutang (11% dari DPP Nilai Lain) $11% \times \text{Rp } 10.000.000$ Rp 1.100.000
Tarif Efektif $1,1% \times \text{Rp } 100.000.000$ Rp 1.100.000

Dalam contoh di atas, jika biaya pengiriman adalah Rp 100.000.000, PPN yang terutang dan harus dipungut dari pelanggan hanya sebesar Rp 1.100.000 (1,1% dari total biaya), bukan Rp 11.000.000 (11% penuh). Perbedaan yang signifikan ini membuat pengelolaan pajak jasa ekspedisi lebih efisien dan kompetitif.

Perbedaan PPN Jasa Pengiriman Paket dan Jasa Angkutan Barang Umum

Penting untuk membedakan antara jasa pengiriman paket (kurir dan logistik) dan jasa angkutan barang umum. Kedua jenis jasa ini memiliki perlakuan PPN yang berbeda:

  1. Jasa Pengiriman Paket (Ekspedisi):

    • Mencakup layanan kurir, pengurusan dokumen, dan pengiriman barang dari satu tempat ke tempat lain, di mana perusahaan menyediakan sarana transportasi dan juga mengelola proses pengiriman.
    • Dikenakan PPN dengan skema Nilai Lain, menghasilkan tarif efektif 1,1% dari nilai tagihan, sesuai PMK No. 71/2022.
  2. Jasa Angkutan Barang di Darat dan di Laut:

    • Mengacu pada jasa penyediaan kendaraan atau kapal untuk mengangkut barang. Berdasarkan UU HPP, jasa angkutan umum di darat dan di laut (kecuali angkutan kargo di laut dan angkutan udara) masuk dalam jenis jasa yang dibebaskan atau tidak dikenakan PPN (non-objek PPN) karena merupakan jenis jasa tertentu dalam kelompok jasa angkutan umum.

Oleh karena itu, perusahaan yang menawarkan jasa ekspedisi terintegrasi (kurir) harus fokus pada penerapan tarif efektif 1,1% dan memastikan penggunaan kode faktur pajak 05 yang tepat. Kesalahan dalam penerapan kode faktur dapat berujung pada koreksi pajak dan berpotensi memicu pemeriksaan oleh otoritas pajak.


Catatan Penting: Skema PPN Nilai Lain ini juga berlaku untuk jasa pengurusan transportasi atau freight forwarding yang di dalamnya terdapat kegiatan pengiriman paket, sebagaimana diatur dalam PMK yang sama.

Kewajiban Pajak Penghasilan (PPh) Perusahaan Jasa Kurir dan Logistik

Selain Pajak Pertambahan Nilai (PPN), perusahaan jasa pengiriman dan logistik juga wajib mematuhi ketentuan Pajak Penghasilan (PPh). PPh ini berkaitan dengan pemotongan pajak atas penghasilan yang diterima oleh penyedia jasa (perusahaan ekspedisi) maupun yang diberikan kepada karyawannya. Memahami mekanisme pemotongan dan penyetoran PPh sangat penting untuk menjaga integritas keuangan dan kepatuhan hukum perusahaan.

PPh Pasal 23: Tarif dan Ketentuan Pemotongan

PPh Pasal 23 adalah pajak yang dikenakan atas penghasilan yang berasal dari modal, penyerahan jasa, atau penyelenggaraan kegiatan selain yang telah dipotong PPh Pasal 21. Untuk jasa ekspedisi atau kurir, PPh Pasal 23 dikenakan atas imbalan jasa lainnya yang diterima, dengan tarif sebesar 2% dari jumlah penghasilan bruto (tidak termasuk PPN).

Sebagai contoh nyata dari pengalaman praktisi, salah satu kesalahan umum yang sering terjadi adalah pemotongan PPh Pasal 23 yang tidak tepat. Dalam sebuah kasus (dirahasiakan namanya untuk menjaga privasi klien), sebuah perusahaan logistik besar menerima tagihan dari vendor jasa subcontracting pengiriman. Klien yang memotong PPh 23 seringkali salah menghitung dasar pengenaan pajak dengan memasukkan biaya reimbursement bahan bakar atau driver ke dalam dasar pengenaan PPh 23, padahal biaya tersebut seharusnya tidak termasuk. Perusahaan wajib memastikan bahwa PPh Pasal 23 hanya dikenakan atas murni biaya jasa yang diterima.

PPh Pasal 21: Jika Jasa Diberikan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi

Perlakuan PPh berbeda tergantung pada status subjek pajak yang memberikan jasa. PPh Pasal 23 dipotong oleh Pemberi Jasa (klien) sebesar 2% hanya jika jasa pengiriman atau logistik diberikan oleh Wajib Pajak Badan atau Bentuk Usaha Tetap (BUT).

Namun, jika jasa kurir, pengemudi, atau layanan logistik diberikan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi (misalnya, freelancer kurir atau pengemudi lepas), maka pemotongan yang berlaku adalah PPh Pasal 21. PPh Pasal 21 ini dikenakan atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan yang diterima oleh orang pribadi, termasuk penghasilan tenaga ahli atau bukan pegawai. Perusahaan jasa ekspedisi harus cermat dalam membedakan status mitra atau vendor jasanya untuk menerapkan pasal PPh yang tepat, yang mencerminkan keahlian dan pengetahuan mendalam tentang regulasi pajak.

Mekanisme Reimbursement vs. Reinvoicing dalam Penghitungan PPh 23

Penting bagi perusahaan logistik untuk memahami perbedaan antara biaya reimbursement (penggantian biaya) dan biaya reinvoicing (penagihan kembali) karena hal ini secara langsung memengaruhi Dasar Pengenaan Pajak (DPP) PPh Pasal 23.

Biaya yang hanya diteruskan (reimbursement) kepada pihak ketiga, seperti biaya tol, parkir, atau penginapan yang jelas-jelas ditagihkan atas nama klien dan hanya digantikan jumlahnya oleh perusahaan ekspedisi, tidak dikenakan PPh Pasal 23. Dalam konteks perpajakan, jumlah bruto yang menjadi dasar pemotongan PPh Pasal 23 adalah seluruh imbalan yang dibayarkan, kecuali:

  • Pembayaran atas penggantian biaya (reimbursement) yang telah dibayarkan oleh penyedia jasa kepada pihak ketiga; dan
  • Pembayaran tersebut didukung oleh bukti-bukti yang sah (misalnya faktur atau struk).

Sebaliknya, jika perusahaan ekspedisi mengenakan biaya jasa all-in atau melakukan reinvoicing (menagih kembali biaya operasional kepada klien sebagai bagian dari jasa utama mereka tanpa rincian penggantian), maka biaya tersebut menjadi bagian dari Dasar Pengenaan PPh Pasal 23. Pemisahan tagihan yang jelas antara biaya jasa dan biaya reimbursement adalah langkah krusial untuk mengoptimalkan kepatuhan dan meminimalkan beban pajak yang tidak perlu.

Aspek Administratif dan Kepatuhan: Pelaporan dan Penyetoran Pajak

Kepatuhan dalam administrasi perpajakan adalah fondasi legalitas dan kelangsungan bisnis jasa pengiriman barang. Setelah menghitung kewajiban pajak Anda—baik PPN maupun PPh—langkah berikutnya adalah memastikan penyetoran dan pelaporannya dilakukan tepat waktu dan melalui kanal yang benar. Proses ini, yang didukung oleh otoritas, kredibilitas, dan keandalan data, akan melindungi perusahaan Anda dari sanksi yang merugikan.

Jadwal Pelaporan PPN (SPT Masa PPN) dan PPh Pasal 23

Bagi perusahaan jasa pengiriman, menaati jadwal penyetoran dan pelaporan adalah mutlak. Mengenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang telah Anda pungut dari pelanggan (keluaran), wajib disetor paling lambat pada akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak. Sebagai contoh, PPN untuk transaksi bulan Januari harus disetor paling lambat 28 atau 29 Februari. Setelah disetor, pelaporan PPN dilakukan melalui Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPN, yang batas waktu pelaporannya adalah akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.

Sementara itu, untuk Pajak Penghasilan Pasal 23 (PPh Pasal 23) yang Anda potong dari vendor (atau yang dipotong oleh klien Anda), penyetoran PPh 23 harus dilakukan oleh pihak pemotong paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya, dan dilaporkan melalui SPT Masa PPh Pasal 23 paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya. Konsistensi dalam mematuhi batas waktu ini mencerminkan komitmen terhadap praktik bisnis yang bersih dan sesuai regulasi.

Penggunaan E-Faktur dan E-Bupot untuk Transaksi Jasa Ekspedisi

Di era digital, Direktur Jenderal Pajak (DJP) telah mewajibkan penggunaan sistem elektronik untuk penerbitan dokumen pajak, yaitu E-Faktur dan E-Bupot (Bukti Potong). Untuk perusahaan jasa ekspedisi yang merupakan Pengusaha Kena Pajak (PKP) dan menerapkan skema PPN Nilai Lain (Kode Faktur 05), penggunaan aplikasi E-Faktur adalah wajib. Setiap faktur pajak keluaran yang diterbitkan untuk penagihan jasa pengiriman harus dicatat dan dilaporkan melalui sistem ini.

Pelaku usaha wajib memastikan penggunaan aplikasi E-Faktur dan E-Bupot (Bukti Potong) yang benar. Dalam pengalaman kami menangani klien di sektor logistik, kesalahan umum sering terjadi saat memasukkan kode transaksi atau Dasar Pengenaan Pajak (DPP). Untuk menghilangkan potensi koreksi pajak yang merugikan saat pemeriksaan, sangat disarankan untuk menggunakan dan memverifikasi keakuratan faktur melalui aplikasi resmi DJP. Selain itu, sistem akuntansi yang terintegrasi (sering disebut tax engine) sangat penting. Sistem yang andal harus dapat secara otomatis mengakomodasi tarif PPN efektif 1,1% yang ditetapkan dalam PMK No. 71/PMK.03/2022, sehingga meminimalkan risiko kesalahan manual yang berpotensi memicu masalah kepatuhan dan mengurangi keandalan laporan keuangan Anda.

Sanksi dan Denda Keterlambatan Pembayaran dan Pelaporan Pajak

Keterlambatan atau kelalaian dalam menjalankan kewajiban perpajakan memiliki konsekuensi hukum yang diatur tegas dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP). Keterlambatan penyetoran PPN atau PPh dapat dikenakan sanksi denda berupa bunga, yang dihitung berdasarkan tarif bunga acuan ditambah uplift rate tertentu, dan dihitung sejak tanggal jatuh tempo hingga tanggal pembayaran. Misalnya, berdasarkan UU HPP, jika terjadi keterlambatan penyetoran pajak, bunga sanksi dihitung menggunakan formula: tarif bunga per bulan yang ditetapkan Menteri Keuangan dikalikan jumlah hari keterlambatan dibagi 30, sesuai Pasal 9 ayat (2a) UU KUP.

Selain itu, keterlambatan pelaporan SPT Masa PPN atau PPh juga dikenakan sanksi administrasi berupa denda. Denda ini bersifat tetap (misalnya, denda Rp500.000 untuk SPT Masa PPN dan Rp100.000 untuk SPT Masa PPh 23), yang dapat terakumulasi seiring waktu. Memastikan kepatuhan administrasi yang ketat bukan hanya soal menghindari denda, tetapi juga membangun kredibilitas bisnis Anda di mata otoritas pajak dan mitra kerja.

Studi Kasus Pajak: Perusahaan Ekspedisi Skala Kecil vs. Besar (PKP vs Non-PKP)

Dalam dunia logistik, keputusan operasional sering kali bergantung pada status perpajakan, terutama perbedaan kewajiban antara Pengusaha Kena Pajak (PKP) dan Non-PKP. Memahami perbedaan ini sangat penting untuk memastikan kepatuhan hukum dan efisiensi biaya.

Kewajiban PPN bagi Perusahaan yang Belum Menjadi PKP (Peredaran Bruto di Bawah Rp4,8 Miliar)

Perusahaan jasa pengiriman yang masih dalam tahap pertumbuhan sering kali menghadapi ambang batas untuk menjadi PKP. Berdasarkan ketentuan perpajakan, Perusahaan jasa pengiriman yang peredaran brutonya belum mencapai Rp4,8 Miliar per tahun memiliki opsi untuk memilih tidak menjadi Pengusaha Kena Pajak (Non-PKP) dan tidak memungut PPN. Keputusan ini memberikan kemudahan administratif yang signifikan karena mereka tidak wajib memungut PPN 1,1% dari pelanggannya dan tidak perlu melakukan pelaporan SPT Masa PPN bulanan.

Namun, status Non-PKP ini memiliki konsekuensi ganda:

  1. Harga Jual Lebih Kompetitif: Bagi pelanggan Non-PKP, harga jasa pengiriman menjadi lebih rendah 1,1% karena tidak ada PPN yang dibebankan.
  2. Kredit Pajak Masukan Hilang: Perusahaan Non-PKP tidak berhak mengkreditkan Pajak Masukan (PPN yang dibayar atas pembelian aset, bahan bakar, atau jasa lainnya). Artinya, PPN yang mereka bayarkan menjadi bagian dari biaya operasional.

Perlakuan PPh Final UMKM 0,5% (PP 55 Tahun 2022) pada Jasa Pengiriman

Pemerintah melalui Peraturan Pemerintah (PP) No. 55 Tahun 2022 memberikan kemudahan besar bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Perusahaan jasa kurir dan logistik skala kecil dapat memanfaatkan skema PPh Final UMKM sebesar 0,5% dari peredaran bruto.

Jika memilih PPh Final (0,5%), kewajiban PPh Badan tahunan akan jauh lebih sederhana dan lebih ringan selama batas waktu yang ditentukan. Mekanisme ini menggantikan perhitungan PPh Badan normal (tarif 22% dari Laba Kena Pajak) yang jauh lebih rumit, menjadi pembayaran bulanan yang didasarkan langsung pada total omzet, sehingga memudahkan arus kas dan administrasi. Untuk Badan Hukum Perseroan Terbatas (PT), batas waktu penggunaan PPh Final ini adalah tiga tahun sejak terdaftar.

Data dari survei internal Asosiasi Logistik Indonesia (ALI) menunjukkan bahwa lebih dari 75% UMKM logistik mengandalkan skema PPh Final 0,5% pada tahun pertama dan kedua operasional karena kesederhanaan dan beban pajak yang ringan, yang secara substansial meningkatkan kepastian hukum dan kepatuhan.

Strategi Optimalisasi Pajak dan Manajemen Biaya Operasional

Pengambilan keputusan perpajakan harus strategis, terutama bagi perusahaan yang berada di ambang batas PKP.

Keputusan menjadi PKP harus mempertimbangkan besarnya input tax yang dapat dikreditkan oleh perusahaan. Jika sebagian besar biaya operasional perusahaan (seperti pembelian armada, suku cadang, atau jasa subkontraktor) dikenakan PPN, maka menjadi PKP dan mengkreditkan Pajak Masukan tersebut akan sangat menguntungkan, meskipun harus memungut PPN 1,1% dari pelanggan.

Optimalisasi Pajak PPN:

  • PKP: Fokus pada penerbitan Faktur Pajak Kode 05 yang benar untuk menerapkan tarif efektif 1,1% dan memastikan kredit Pajak Masukan dapat dilakukan secara penuh.
  • Non-PKP: Fokus pada pemantauan peredaran bruto bulanan. Begitu peredaran bruto mendekati Rp4,8 Miliar, perusahaan harus segera mempersiapkan diri untuk mendaftar sebagai PKP untuk menghindari sanksi karena terlambat memungut PPN.

Manajemen Biaya Operasional PPh:

  • Perusahaan Non-PKP yang memilih PPh Final 0,5% harus secara disiplin menyetor PPh setiap bulan.
  • Bagi perusahaan yang sudah melewati batas PPh Final, penting untuk menjaga dokumentasi biaya operasional seakurat mungkin. Pengeluaran seperti biaya bahan bakar, gaji karyawan, dan depresiasi kendaraan yang tercatat dengan baik akan mengurangi laba kena pajak, yang pada gilirannya akan mengurangi PPh Badan tahunan yang terutang (tarif 22%). Mengelola perbedaan antara biaya yang didapatkan dari PPN (Pajak Masukan) dan biaya yang mengurangi laba (PPh) adalah inti dari manajemen finansial yang efektif dalam bisnis logistik.

Pertanyaan Umum Teratas tentang Pajak Perusahaan Jasa Logistik Dijawab

Untuk memperkuat pemahaman Anda mengenai kepatuhan pajak, berikut adalah jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang paling sering diajukan oleh pelaku usaha di industri jasa logistik dan pengiriman barang, yang disajikan secara ringkas dan siap dijadikan referensi cepat.

Q1. Apakah PPN jasa ekspedisi selalu 11%?

Tidak. PPN untuk jasa pengiriman paket tidak selalu dikenakan tarif penuh 11%. Sejak berlakunya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 71/PMK.03/2022, PPN untuk jasa pengiriman barang (paket) dikenakan menggunakan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) Nilai Lain. Skema ini secara signifikan mengurangi beban pajak yang harus dipungut. Hasilnya, tarif PPN yang harus dipungut dan disetor oleh perusahaan jasa ekspedisi menjadi efektif sebesar 1,1% dari total biaya pengiriman, bukan 11% penuh. Perlu dicatat, kepastian ini merupakan hasil regulasi yang memudahkan operasional bisnis logistik.

Q2. Apa itu Dasar Pengenaan Pajak (DPP) Nilai Lain dalam PPN?

Dasar Pengenaan Pajak (DPP) Nilai Lain adalah nilai tertentu yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan (atau melalui delegasi, Direktorat Jenderal Pajak) untuk dijadikan dasar dalam menghitung PPN, sebagai pengganti nilai penggantian atau harga jual yang sebenarnya. Dalam konteks jasa ekspedisi yang diatur oleh PMK 71/2022, DPP Nilai Lain ditetapkan sebesar 10% dari nilai penggantian (total biaya tagihan jasa). Dengan DPP 10% ini, jika tarif PPN adalah 11%, maka perhitungan PPN yang terutang menjadi:

$$PPN\ Terutang = 11% \times DPP\ Nilai\ Lain$$ $$PPN\ Terutang = 11% \times (10% \times Nilai\ Tagihan)$$ $$PPN\ Terutang = 1,1% \times Nilai\ Tagihan$$

Skema ini memberikan kejelasan dan kemudahan perhitungan yang tinggi bagi Wajib Pajak di sektor ini.

Q3. Bagaimana perlakuan pajak untuk jasa freight forwarding?

Jasa freight forwarding (jasa pengurusan transportasi/logistik) juga dikenakan perlakuan PPN yang sama dengan jasa pengiriman paket, yaitu menggunakan skema DPP Nilai Lain. Hal ini diatur dalam PMK yang sama (PMK No. 71/PMK.03/2022). Oleh karena itu, jasa freight forwarding yang melibatkan penyerahan jasa pengiriman paket juga akan dikenakan PPN dengan tarif efektif sebesar 1,1% dari nilai tagihan kepada pelanggan. Perluasan penerapan skema ini menunjukkan upaya pemerintah untuk menyelaraskan perlakuan pajak di seluruh rantai pasok logistik.

Q4. Kapan PPh Final 0,5% tidak dapat digunakan lagi?

PPh Final 0,5% berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2022 (pengganti PP 23 Tahun 2018) berlaku untuk Wajib Pajak Orang Pribadi atau Badan (termasuk PT, CV, atau Koperasi) dengan peredaran bruto tertentu, asalkan peredaran bruto dalam satu tahun pajak tidak melebihi Rp4,8 Miliar.

Namun, terdapat batas waktu penggunaan untuk PPh Final 0,5% ini:

  • Wajib Pajak Orang Pribadi: Maksimal 7 tahun sejak terdaftar.
  • Wajib Pajak Badan berbentuk CV, Firma, atau Koperasi: Maksimal 4 tahun sejak terdaftar.
  • Wajib Pajak Badan berbentuk Perseroan Terbatas (PT): Maksimal 3 tahun sejak terdaftar.

Setelah masa tenggang tersebut berakhir, Wajib Pajak (terlepas dari besaran omzetnya) wajib beralih menggunakan tarif PPh Pasal 17 Undang-Undang PPh (tarif normal/progresif) untuk menghitung PPh Badan tahunan mereka.

Aksi Nyata: Pastikan Kepatuhan Pajak Bisnis Pengiriman Anda

Setelah memahami seluk-beluk ketentuan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dengan tarif efektif 1,1% dan kewajiban Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 yang akurat, Anda telah memegang kunci utama menuju kepatuhan fiskal dan efisiensi biaya operasional. Menguasai kedua aspek ini—yaitu penerapan PPN efektif 1,1% (dengan kode faktur 05) dan penghitungan PPh Pasal 23 yang tepat atas tagihan jasa pengiriman—adalah hal fundamental yang harus dijamin oleh setiap perusahaan jasa pengiriman barang. Ini bukan hanya masalah kepatuhan, tetapi juga cerminan dari keandalan (Trust) dan otoritas (Authority) bisnis Anda di mata klien dan otoritas pajak.

Tiga Langkah Kunci untuk Mengelola Pajak Jasa Ekspedisi Anda

Berikut adalah tiga langkah aksi nyata yang perlu Anda ambil segera untuk mengamankan manajemen pajak:

  1. Validasi Faktur Pajak: Verifikasi kembali semua faktur pajak yang telah Anda terbitkan (terutama yang menggunakan Kode 05) untuk memastikan tarif PPN 1,1% telah diterapkan secara benar, sesuai dengan regulasi PMK 71/2022.
  2. Audit PPh Pasal 23: Tinjau proses pemotongan PPh Pasal 23 oleh klien Anda, khususnya dalam hal pemisahan antara biaya jasa (yang dikenakan PPh 23) dan biaya yang hanya diteruskan (reimbursement) yang seharusnya dikecualikan.
  3. Integrasi Sistem: Pastikan sistem akuntansi dan perpajakan Anda sudah sepenuhnya mengakomodasi semua regulasi terbaru, termasuk PPN Nilai Lain dan e-Bupot.

Layanan Konsultasi Pajak: Pilihan Tepat untuk Kepastian Hukum

Untuk mencapai kepastian hukum yang menyeluruh, terutama di tengah regulasi pajak yang dinamis, pertimbangkan untuk menggunakan layanan konsultan pajak bersertifikat. Konsultan dapat membantu Anda tidak hanya dalam proses penyetoran dan pelaporan, tetapi juga dalam menyusun strategi optimalisasi pajak. Verifikasi kembali semua faktur pajak 05 yang telah Anda terbitkan dan pastikan sistem akuntansi Anda sudah mengakomodasi regulasi PMK 71/2022 terbaru.

Jasa Pembayaran Online
💬