Pajak Jasa Perencanaan: Jenis, Tarif, dan Cara Pembayaran Terbaru

Memahami Pajak Atas Pembayaran Jasa Perencanaan dan Desain

Apa Jenis Pajak Utama untuk Pembayaran Jasa Perencanaan?

Dalam konteks perpajakan Indonesia, pembayaran atas jasa perencanaan dan desain umumnya melibatkan dua jenis pajak utama yang harus diperhatikan oleh Wajib Pajak. Jenis pajak utama yang dikenakan pada pembayaran jasa perencanaan di Indonesia adalah Pajak Penghasilan Pasal 23 (PPh Pasal 23), yang merupakan mekanisme pemotongan, dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). PPh Pasal 23 adalah kewajiban pihak yang membayar (pemotong pajak) untuk memotong sebagian penghasilan penyedia jasa, sementara PPN adalah kewajiban bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP) penyedia jasa untuk memungut pajak atas penyerahan jasa. Memahami perbedaan dan mekanisme kedua pajak ini sangat krusial untuk memastikan ketepatan dan kepatuhan dalam bertransaksi, sebuah praktik yang menunjukkan otoritas dan rekam jejak yang baik dalam pengelolaan keuangan bisnis.

Mengapa Kepatuhan Pajak Jasa Perencanaan Penting untuk Bisnis Anda?

Kepatuhan terhadap peraturan pajak, khususnya yang berkaitan dengan jasa perencanaan, bukan hanya kewajiban hukum, tetapi juga pilar fundamental dari kredibilitas dan keandalan operasional sebuah entitas bisnis. Kegagalan dalam memotong, menyetor, atau melaporkan PPh Pasal 23 dan PPN secara tepat waktu dapat menimbulkan sanksi administrasi yang signifikan, berupa denda dan bunga yang diatur dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Oleh karena itu, artikel ini bertujuan memberikan panduan langkah demi langkah yang menyeluruh mengenai perhitungan tarif, mekanisme pemotongan, dan pelaporan yang benar. Dengan menguasai detail-detail ini, Anda dapat meminimalkan risiko sanksi pajak dan membuktikan kompetensi dan pengalaman Anda dalam mengelola aspek fiskal bisnis secara profesional.

PPh Pasal 23: Mekanisme Pemotongan Pajak Penghasilan Jasa Perencanaan

Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 merupakan salah satu jenis pajak potong-pungut yang paling sering ditemui dalam transaksi jasa bisnis di Indonesia, termasuk jasa perencanaan yang bersifat non-konstruksi. Memahami mekanisme pemotongan ini adalah kunci untuk memastikan kepatuhan dan menghindari sanksi administrasi.

Tarif PPh Pasal 23 yang Berlaku untuk Jasa Perencanaan (Non-Konstruksi)

Untuk jasa perencanaan yang tidak termasuk dalam kategori jasa konstruksi, dasar hukum yang berlaku adalah PPh Pasal 23, bukan PPh Final. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 141/PMK.03/2015, tarif PPh Pasal 23 atas jasa perencanaan adalah sebesar 2% dari jumlah penghasilan bruto. Penting untuk dicatat bahwa tarif 2% ini hanya berlaku jika penerima penghasilan (pemberi jasa) memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).

Jika pemberi jasa tidak dapat menunjukkan NPWP mereka saat transaksi, sesuai dengan ketentuan yang berlaku, pemotongan PPh Pasal 23 dikenakan tarif 100% lebih tinggi, yaitu sebesar 4% dari jumlah bruto. Oleh karena itu, bagi perusahaan yang menerima jasa perencanaan, verifikasi status NPWP mitra bisnis adalah langkah awal yang krusial.

Pengecualian dan Kriteria Jasa yang Dikenakan PPh 23

Dalam konteks perpajakan, pemotongan PPh Pasal 23 adalah kewajiban bagi pihak yang membayarkan penghasilan jasa. Pasal 23 Undang-Undang PPh secara spesifik mengatur jenis-jenis penghasilan yang dikenakan pemotongan ini. Mengenai jasa perencanaan, ketentuan ini ditegaskan, di mana penghasilan dari jasa teknik, jasa manajemen, jasa konsultan, dan jasa-jasa lain yang disebutkan dalam PMK tersebut akan dikenakan PPh Pasal 23.

“Atas penghasilan tersebut di bawah ini dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, Subjek Pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan…” (Kutipan dari Pasal 23 Undang-Undang PPh).

Aspek kualifikasi penyedia jasa juga memengaruhi mekanisme ini. Khususnya dalam bidang teknis, kepemilikan sertifikasi keahlian, seperti Sertifikat Keahlian (SKA) atau Sertifikat Keterampilan (SKT) yang dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang, menunjukkan kredibilitas dan kompetensi penyedia jasa. Meskipun sertifikasi ini tidak secara langsung mengubah tarif PPh Pasal 23 non-konstruksi, sertifikasi ini menjadi pembeda utama ketika jasa tersebut berpotensi masuk ke ranah Jasa Konstruksi (PPh Final Pasal 4 Ayat 2), yang akan dibahas di bagian selanjutnya. Tanpa sertifikasi Badan Usaha Jasa Konstruksi (BUJK), jasa perencanaan Anda akan tetap di bawah payung PPh Pasal 23 (non-final).

Detail Proses: Kewajiban Bukti Potong dan Tenggat Penyetoran

Pihak yang melakukan pembayaran jasa (pemotong pajak) memiliki dua kewajiban utama setelah melakukan pemotongan:

  1. Menerbitkan Bukti Potong PPh Pasal 23: Bukti Potong ini adalah dokumen legal yang membuktikan bahwa PPh Pasal 23 telah dipotong dan merupakan kredit pajak bagi penerima jasa. Sejak tahun 2020, penerbitan Bukti Potong wajib dilakukan melalui aplikasi e-Bupot Unifikasi yang disediakan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Penerbitan ini harus dilakukan pada saat pembayaran, saat terutangnya penghasilan, atau saat jatuh tempo pembayaran, tergantung mana yang terjadi lebih dahulu.
  2. Menyetor PPh Pasal 23: Pajak yang telah dipotong wajib disetorkan ke kas negara melalui bank persepsi atau kantor pos. Tenggat waktu penyetoran PPh Pasal 23 adalah paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir. Contohnya, PPh Pasal 23 yang dipotong pada transaksi bulan Desember 2025 harus disetor paling lambat tanggal 10 Januari 2026.

Setelah disetor, pemotong wajib melaporkan seluruh pemotongan PPh Pasal 23 dalam SPT Masa PPh Unifikasi paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir. Kepatuhan pada tenggat waktu ini menunjukkan keandalan dalam pengelolaan keuangan perusahaan dan menghindari sanksi bunga atau denda yang diatur dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP).

PPN Jasa Perencanaan: Kapan Terutang dan Bagaimana Faktur Pajak Diterbitkan?

Kriteria Pengusaha Kena Pajak (PKP) dan Kewajiban PPN 11%

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah aspek krusial lain dari jenis pajak pembayaran jasa perencanaan yang harus dipahami. Berdasarkan ketentuan perpajakan, jasa perencanaan—kecuali yang secara spesifik dikecualikan oleh Undang-Undang—secara umum dikategorikan sebagai Jasa Kena Pajak (JKP). Oleh karena itu, setiap entitas yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) memiliki kewajiban mutlak untuk memungut PPN.

Saat ini, tarif PPN yang berlaku adalah 11% dari Nilai Dasar Pengenaan Pajak (NDP), yang biasanya adalah nilai kontrak jasa. Kewajiban pemungutan PPN ini timbul segera setelah perusahaan jasa perencanaan memenuhi kriteria PKP (yaitu, memiliki omzet melebihi batas yang ditetapkan, saat ini Rp 4,8 miliar dalam satu tahun buku) dan menyerahkan jasa atau menerima pembayaran.

Perlakuan Khusus PPN untuk Jasa yang Berkaitan dengan Tanah dan Bangunan

Meskipun prinsip umum PPN berlaku, perlu diperhatikan saat penyerahan jasa terjadi. PPN terutang pada saat penyerahan Jasa Kena Pajak, atau pada saat pembayaran (mana yang terjadi lebih dahulu). Untuk memastikan keandalan informasi dan memitigasi risiko audit, perusahaan harus memberikan perhatian khusus pada tanggal penerbitan Faktur Pajak. Mengacu pada Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) terbaru, tanggal Faktur Pajak harus secara akurat mencerminkan saat penyerahan jasa atau saat pembayaran diterima, bukan hanya tanggal saat Faktur dibuat. Ketidaksesuaian tanggal ini dapat menimbulkan koreksi dan sanksi dari otoritas pajak.

Untuk memberikan gambaran yang lebih konkret mengenai perhitungan PPN terutang pada pembayaran jasa perencanaan:

Studi Kasus Sederhana: Perhitungan PPN Jasa Desain Arsitektur

Asumsi:

  • Pemberi Jasa adalah PKP.
  • Nilai Kontrak Jasa Desain Arsitektur (NDP) = Rp 100.000.000.
  • Tarif PPN yang berlaku = 11%.

Perhitungan PPN Terutang: $$PPN = NDP \times Tarif$$ $$PPN = Rp 100.000.000 \times 11%$$ $$PPN = Rp 11.000.000$$

Total nilai yang harus dibayar oleh klien kepada PKP adalah Rp 100.000.000 (Jasa) + Rp 11.000.000 (PPN) = Rp 111.000.000. PKP tersebut kemudian wajib menyetorkan PPN sebesar Rp 11.000.000 kepada negara.

Ketentuan PPN untuk jasa yang berkaitan dengan tanah dan bangunan mungkin memiliki perlakuan khusus terkait penyerahan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau fasilitas PPN tertentu, namun untuk jasa perencanaan murni (seperti desain atau konsultasi teknis), PPN 11% adalah standar yang harus diikuti.

Pajak Jasa Konstruksi (PPh Final): Perbedaan Kunci dengan Jasa Perencanaan

Identifikasi: Apakah Jasa Anda Termasuk Perencanaan atau Konsultansi Konstruksi?

Salah satu kesalahan paling umum dalam perpajakan adalah menyamakan jasa perencanaan non-konstruksi dengan jasa perencanaan yang merupakan bagian dari sektor konstruksi. Kesalahan klasifikasi ini akan berdampak langsung pada jenis Pajak Penghasilan (PPh) yang dikenakan.

Jasa perencanaan umum (misalnya, business plan, desain interior non-konstruksi) dikenakan PPh Pasal 23 dengan tarif non-final 2% (dengan NPWP). Sebaliknya, jasa perencanaan konstruksi, yang secara spesifik diatur dalam Undang-Undang Jasa Konstruksi, dikenakan PPh Final berdasarkan Pasal 4 Ayat 2 dari Undang-Undang PPh. Perbedaan kuncinya terletak pada subjek jasa itu sendiri: perencanaan konstruksi adalah layanan yang berkaitan langsung dengan pelaksanaan konstruksi fisik (misalnya, desain arsitektur, engineering sipil, pengawasan konstruksi).

Perbedaan krusial yang menentukan apakah suatu jasa perencanaan dikenakan PPh Final atau PPh Pasal 23 adalah kepemilikan Sertifikat Badan Usaha Jasa Konstruksi (SBU). SBU ini merupakan bukti keahlian dan kredibilitas yang diterbitkan oleh Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK). Jika penyedia jasa perencanaan memiliki SBU, layanan tersebut wajib dikenakan PPh Final dengan tarif yang umumnya lebih rendah, menunjukkan adanya pengakuan formal atas kompetensi dalam bidang konstruksi—ini adalah penekanan pada aspek expertise dan authoritativeness dalam penilaian kepatuhan pajak.

Tarif PPh Final yang Berbeda Berdasarkan Sertifikasi Badan Usaha Jasa Konstruksi (BUJK)

Jasa perencanaan konstruksi yang dilakukan oleh Badan Usaha Jasa Konstruksi (BUJK) dikenakan PPh Final. Keuntungan penerapan PPh Final adalah tarif pemotongan yang lebih rendah dan prosedur pelaporan yang lebih sederhana dibandingkan PPh Pasal 23 (yang merupakan pajak tidak final). Tarif ini bervariasi tergantung pada kualifikasi usaha yang dimiliki BUJK, sebagaimana diatur dalam peraturan perpajakan terkait PPh Final Jasa Konstruksi.

Untuk memberikan rincian yang spesifik dan akurat, berikut adalah tabel perbandingan tarif PPh Final untuk Jasa Perencanaan Konstruksi berdasarkan kualifikasi usahanya:

Kualifikasi Usaha BUJK Kepemilikan SBU Tarif PPh Final (Perencanaan Konstruksi) Dasar Pengenaan Pajak
Tidak Memiliki Kualifikasi Usaha Tidak Wajib / Tidak Memiliki 3% Nilai Kontrak Jasa
Usaha Kecil Wajib Memiliki 2,65% Nilai Kontrak Jasa
Usaha Menengah atau Besar Wajib Memiliki 4% Nilai Kontrak Jasa

Penting untuk dicatat bahwa per tanggal pembuatan artikel ini, tarif tersebut berlaku untuk jasa perencanaan konstruksi (non-pengawasan) yang dilakukan oleh BUJK. Verifikasi dan pemotongan yang benar atas tarif PPh Final ini memastikan bahwa perusahaan Anda menunjukkan akurasi data dan kredibilitas yang tinggi dalam kepatuhan pajak, terutama saat berhadapan dengan kontraktor yang memiliki kualifikasi resmi. Perencana atau pengguna jasa harus selalu meminta salinan SBU dan dokumen kualifikasi dari penyedia jasa konstruksi sebelum melakukan pembayaran untuk memastikan pemotongan PPh yang tepat.

Contoh: Sebuah perusahaan (pengguna jasa) membayar Rp 500.000.000 untuk jasa desain arsitektur (perencanaan konstruksi) kepada BUJK berkualifikasi Usaha Kecil. Pengguna jasa wajib memotong PPh Final sebesar $500.000.000 \times 2,65% = Rp 13.250.000$.

Jenis Pajak Jasa Perencanaan Umum (Non-Konstruksi) Jasa Perencanaan Konstruksi (Oleh BUJK)
Jenis PPh PPh Pasal 23 (Tidak Final) PPh Final Pasal 4(2)
Tarif Dasar 2% (dengan NPWP) 2,65% - 4% (tergantung kualifikasi SBU)
Kriteria Kunci Tidak terkait dengan SBU LPJK Wajib berdasarkan kepemilikan SBU LPJK

Risiko dan Strategi Kepatuhan Pajak untuk Pembayaran Jasa Internasional (PPh 26)

Melakukan pembayaran jasa perencanaan kepada pihak atau perusahaan yang berdomisili di luar negeri membawa serangkaian tantangan perpajakan yang unik. Kegagalan dalam memotong, menyetor, dan melaporkan pajak atas transaksi internasional ini dapat mengakibatkan sanksi administrasi yang signifikan. Oleh karena itu, pemahaman mendalam tentang Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 26 dan perjanjian internasional sangat penting untuk membangun sebuah proses akuntansi yang kredibel dan terpercaya dalam menjalankan bisnis.

Kewajiban Pemotongan PPh Pasal 26 untuk Perencana Non-Residen

Berdasarkan peraturan perundang-undangan di Indonesia, setiap pembayaran atas penghasilan berupa imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan yang dibayarkan atau terutang kepada Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia, wajib dikenakan pemotongan PPh Pasal 26.

Secara spesifik, pembayaran jasa perencanaan kepada Wajib Pajak luar negeri akan dikenakan tarif PPh Pasal 26 sebesar 20% dari penghasilan bruto. Tarif ini adalah tarif standar yang berlaku ketika tidak ada Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) atau Tax Treaty yang diterapkan. Pihak yang membayarkan penghasilan di Indonesia (pemotong pajak) memiliki tanggung jawab penuh untuk memotong, menyetor, dan melaporkan pajak ini. Kepatuhan yang baik mencerminkan komitmen terhadap transparansi fiskal, yang merupakan pilar penting dari otoritas dan kredibilitas sebuah perusahaan di mata regulator dan mitra bisnis internasional.

Pemanfaatan Tax Treaty (Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda - P3B)

Untuk menghindari pengenaan pajak berganda—yaitu pajak dikenakan di negara sumber (Indonesia) dan negara domisili (penyedia jasa)—Indonesia telah menandatangani P3B dengan berbagai negara mitra. P3B ini memungkinkan pengenaan tarif PPh Pasal 26 yang lebih rendah, bahkan bisa sampai 0%, tergantung pada jenis penghasilan dan ketentuan spesifik dalam perjanjian.

Namun, penerapan tarif P3B tidak otomatis. Berdasarkan pengalaman dan praktik terbaik, kunci untuk mengklaim tarif P3B yang lebih rendah adalah memastikan adanya Surat Keterangan Domisili (SKD) atau Certificate of Domicile (COD) yang disahkan oleh otoritas pajak di negara asal penyedia jasa asing. Dokumen ini membuktikan bahwa penyedia jasa adalah penduduk (residen) pajak di negara mitra P3B. Tanpa SKD yang valid dan disampaikan sebelum batas waktu yang ditentukan, pemotong pajak di Indonesia wajib menerapkan tarif PPh Pasal 26 standar sebesar 20%.

Untuk memverifikasi tarif yang berlaku untuk negara mitra spesifik, Wajib Pajak dapat merujuk langsung ke database resmi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) melalui tautan: Panduan dan Daftar P3B DJP. Memanfaatkan sumber daya resmi ini adalah bagian dari due diligence yang kuat, yang memperkuat keahlian dan kepercayaan dalam pengelolaan keuangan internasional Anda, serta meminimalisir risiko koreksi pajak di masa depan.

Langkah Praktis: Cara Menyetor dan Melaporkan Pajak Jasa Perencanaan yang Benar

Kepatuhan dalam pemotongan, penyetoran, dan pelaporan adalah penutup dari proses pajak yang baik. Untuk jasa perencanaan, keakuratan dalam administrasi pajak memastikan bahwa perusahaan Anda tidak menghadapi sanksi denda yang dapat mengganggu arus kas. Memahami tenggat waktu dan prosedur yang benar adalah krusial untuk menjaga hubungan baik dengan otoritas pajak, sebuah praktik yang mencerminkan autoritas dan keandalan sebuah bisnis.

Proses Pembuatan Kode Billing dan Penyetoran dengan SSP

Setelah pemotongan PPh Pasal 23 dilakukan, langkah selanjutnya adalah menyetorkan pajak yang telah dipotong tersebut ke kas negara. Penyetoran PPh Pasal 23 wajib dilakukan paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir. Misalnya, PPh Pasal 23 atas jasa perencanaan yang dipotong pada bulan Desember harus disetorkan paling lambat tanggal 10 Januari tahun berikutnya.

Untuk melakukan penyetoran, Anda harus membuat Kode Billing terlebih dahulu. Berikut adalah urutan langkah yang jelas untuk proses e-Billing melalui DJP Online atau Application Service Provider (ASP) resmi:

  1. Akses DJP Online atau ASP: Masuk ke akun Wajib Pajak Anda.
  2. Pilih Menu e-Billing: Cari opsi pembuatan Surat Setoran Pajak (SSP) atau Kode Billing.
  3. Isi Data Pajak:
    • Jenis Pajak: Pilih 411124 (PPh Pasal 23).
    • Jenis Setoran: Pilih 104 (Pembayaran PPh Pasal 23 atas Jasa).
    • Masa Pajak: Isi bulan dan tahun pemotongan.
    • Jumlah Setor: Masukkan jumlah PPh yang telah dipotong.
    • NPWP Pemotong (Anda): Terisi otomatis.
  4. Terbitkan Kode Billing: Setelah data diverifikasi, sistem akan menerbitkan Kode Billing yang berlaku 24 jam.
  5. Penyetoran: Lakukan pembayaran melalui Bank Persepsi, Kantor Pos, atau internet banking dengan mencantumkan Kode Billing tersebut. Bukti setoran dari bank (SSP yang divalidasi) adalah bukti sah bahwa pajak telah disetorkan.

Kewajiban Pelaporan PPh (SPT Masa PPh 23) dan PPN (SPT Masa PPN)

Kewajiban pajak tidak berakhir pada penyetoran; Anda harus melaporkan pajak yang telah dipotong dan disetor tersebut. Pelaporan ini membuktikan keahlian dan ketelitian Anda dalam mematuhi regulasi pajak di Indonesia.

  • Pelaporan PPh Pasal 23 (SPT Masa PPh 23)

    • Tenggat Waktu: Pelaporan SPT Masa PPh Pasal 23 wajib dilakukan paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir.
    • Prosedur e-Filing: Pelaporan dilakukan secara elektronik melalui DJP Online atau ASP. Anda wajib mengunggah rekapitulasi Bukti Potong PPh Pasal 23 yang telah diterbitkan untuk seluruh penyedia jasa (termasuk jasa perencanaan) pada masa pajak tersebut.
    • Fokus Kredibilitas: Jika terjadi keterlambatan penyetoran atau pelaporan, Wajib Pajak akan dikenakan sanksi administrasi berupa denda. Berdasarkan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), denda keterlambatan pelaporan SPT Masa adalah Rp 100.000,00 per SPT. Selain itu, keterlambatan penyetoran pajak akan dikenakan sanksi bunga berdasarkan suku bunga acuan ditambah uplift yang ditetapkan pemerintah.
  • Pelaporan PPN (SPT Masa PPN)

    • Tenggat Waktu: Pelaporan SPT Masa PPN dilakukan paling lambat akhir bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir.
    • Kewajiban: Pengusaha Kena Pajak (PKP) wajib melaporkan seluruh Faktur Pajak Keluaran (yang diterbitkan atas penyerahan jasa perencanaan) dan Faktur Pajak Masukan (atas pembelian barang/jasa) dalam SPT Masa PPN.
    • Prosedur e-Filing: Pelaporan PPN dilakukan dengan mengunggah data Faktur Pajak melalui aplikasi e-Faktur dan kemudian melaporkannya melalui DJP Online atau ASP. Memastikan data antara Faktur Pajak dan SPT Masa PPN sinkron adalah kunci untuk menghindari koreksi pajak.

Kegagalan dalam mematuhi tenggat waktu dan prosedur ini tidak hanya memicu denda tetapi juga dapat meningkatkan risiko pemeriksaan pajak oleh Dirjen Pajak. Oleh karena itu, penerapan sistem akuntansi yang terintegrasi dan disiplin dalam administrasi adalah strategi fundamental bagi Wajib Pajak yang cerdas.

Pertanyaan Umum Seputar Jenis Pajak Pembayaran Jasa Perencanaan

Untuk melengkapi panduan kepatuhan pajak ini, berikut adalah jawaban atas dua pertanyaan yang paling sering diajukan oleh Wajib Pajak terkait pemotongan PPh atas pembayaran jasa perencanaan.

Q1. Apakah Jasa Konsultansi Manajemen Dikenakan PPh Pasal 23?

Ya, jasa konsultansi manajemen termasuk dalam daftar jenis jasa lain yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 141/PMK.03/2015 dan dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23.

PPh Pasal 23 atas jasa konsultansi manajemen dipotong sebesar 2% dari jumlah bruto (termasuk biaya-biaya terkait). Jumlah bruto yang dimaksud adalah seluruh jumlah penghasilan yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya, kecuali penggantian biaya tertentu (seperti reimbursement biaya yang telah dibayarkan penyedia jasa kepada pihak ketiga) yang dapat dibuktikan dengan faktur atau bukti pendukung yang kuat. Sebagai bukti kepakaran dalam bidang perpajakan, ketentuan ini memastikan bahwa pemerintah memiliki instrumen untuk memungut pajak atas beragam transaksi jasa di luar konstruksi.

Q2. Apa yang Terjadi Jika Pemberi Jasa Tidak Memiliki NPWP?

Salah satu aspek penting dalam pemotongan PPh Pasal 23 adalah status Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dari penyedia jasa. Apabila pembayaran jasa perencanaan atau jasa lain dilakukan kepada Wajib Pajak yang tidak memiliki NPWP, maka tarif pemotongan yang berlaku adalah 100% lebih tinggi dari tarif normal.

Menurut Pasal 23 Ayat (1a) Undang-Undang PPh, tarif normal 2% akan meningkat menjadi 4% dari jumlah bruto pembayaran. Peningkatan tarif ini berfungsi sebagai penegasan pentingnya kepatuhan registrasi Wajib Pajak. Perusahaan yang memotong PPh 23 harus selalu memverifikasi kepemilikan NPWP penyedia jasa untuk memastikan pemotongan dilakukan dengan tarif yang benar, menjaga akuntabilitas dan transparansi (prinsip yang dikenal sebagai $Trustworthy$ dan $Authoritative$ dalam tata kelola pajak). Pelaku usaha harus memastikan bahwa data kepemilikan NPWP ini terekam dengan benar saat pembuatan Bukti Potong PPh Pasal 23.

Final Takeaways: Strategi Memastikan Kepatuhan Pajak Jasa Perencanaan 2026

Tiga Poin Kunci untuk Pengelola Keuangan

Kepatuhan terhadap jenis pajak pembayaran jasa perencanaan di Indonesia sangat bergantung pada kemampuan Anda untuk membedakan dengan tepat kategori pajak yang berlaku. Bagi setiap pengelola keuangan, fokus utamanya adalah mengidentifikasi sifat dasar dari jasa yang dibayarkan dan status hukum penyedia jasa. Kunci utama dalam menghindari sanksi dan memastikan kepatuhan akurat adalah membedakan antara:

  1. PPh Pasal 23 (Non-Konstruksi): Tarif 2% (dengan NPWP) yang bersifat tidak final, dikenakan pada jasa perencanaan umum seperti desain interior, perencanaan manajemen, atau konsultasi non-konstruksi.
  2. PPh Final (Konstruksi): Tarif yang lebih rendah (bervariasi) dan bersifat final, khusus dikenakan jika jasa perencanaan tersebut merupakan bagian dari jasa konstruksi dan dilakukan oleh Badan Usaha Jasa Konstruksi (BUJK) yang memiliki Sertifikat Badan Usaha (SBU).
  3. PPN (11%): Pajak yang wajib dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) atas penyerahan jasa kena pajak, termasuk jasa perencanaan, yang merupakan kewajiban terpisah dari PPh pemotongan.

Memahami tiga pilar ini akan secara signifikan meningkatkan kredibilitas dan keandalan pelaporan pajak perusahaan Anda, yang merupakan inti dari praktik perpajakan yang baik.

Langkah Lanjut: Konsultasi dan Audit Pajak

Untuk memastikan bahwa pemotongan dan pelaporan pajak atas jasa perencanaan telah dilakukan secara sempurna, sangat disarankan untuk mengimplementasikan sistem akuntansi yang terintegrasi dengan fungsi perpajakan. Sistem yang terintegrasi dapat secara otomatis menghitung PPh (Pasal 23, Final, atau 26) dan PPN terutang, menghasilkan bukti potong, dan menyusun SPT dengan benar, sehingga meminimalkan risiko kesalahan manusiawi. Selain itu, secara berkala melakukan audit pajak internal atau berkonsultasi dengan konsultan pajak bersertifikat dapat memberikan lapisan perlindungan tambahan. Ahli perpajakan dapat meninjau semua transaksi jasa, terutama yang melibatkan pihak asing (PPh Pasal 26), dan memverifikasi bahwa Anda telah memanfaatkan sepenuhnya ketentuan Tax Treaty (P3B) dan mematuhi peraturan terbaru di tahun 2026.

Jasa Pembayaran Online
💬