Pajak Jasa Notaris: Panduan Lengkap Perhitungan PPh Pasal 21 & 23

Pajak Penghasilan (PPh) Atas Pembayaran Jasa Notaris: Wajib Potong?

Pembayaran atas jasa profesional yang diterima oleh notaris, baik oleh perorangan maupun entitas bisnis, merupakan objek yang wajib dikenakan Pemotongan Pajak Penghasilan (PPh). Secara umum, kewajiban pemotongan ini akan jatuh di bawah skema PPh Pasal 21 jika notaris adalah Orang Pribadi (sebagai tenaga ahli) atau PPh Pasal 23 jika notaris tersebut bertindak dalam kapasitas Badan Usaha (seperti firma atau persekutuan perdata). Kejelasan mengenai klasifikasi ini adalah fondasi utama untuk kepatuhan pajak yang akurat.

PPh Jasa Notaris Dikenakan Tarif Berapa?

Tarif PPh yang dikenakan sangat bergantung pada status hukum notaris (Orang Pribadi atau Badan) dan besaran penghasilan. Misalnya, untuk notaris Orang Pribadi (PPh Pasal 21), tarif yang berlaku adalah tarif progresif mulai dari 5% hingga 35%, namun pemotongan didasarkan pada 50% dari penghasilan bruto. Sementara itu, jika pembayaran ditujukan kepada Badan Usaha (PPh Pasal 23), tarif yang dikenakan adalah 2% dari jumlah bruto. Panduan ini akan memberikan skema perhitungan PPh yang tepat, sehingga Anda dapat memotong, menyetor, dan melaporkan pajak dengan benar, sekaligus menghindari potensi sanksi administrasi akibat salah potong atau keterlambatan.

Mengapa Pemahaman Pajak Ini Krusial untuk Kepatuhan Bisnis Anda

Bagi setiap entitas yang menggunakan jasa notaris—mulai dari pendirian perusahaan, perjanjian jual beli, hingga akta kuasa—kepatuhan dalam pemotongan PPh adalah tanggung jawab hukum. Kegagalan atau kesalahan dalam proses pemotongan dan penyetoran pajak dapat memicu sanksi administrasi berupa denda dan bunga yang signifikan. Dengan memahami skema pemajakan ini, tim keuangan Anda tidak hanya memenuhi kewajiban, tetapi juga membangun kredibilitas yang kuat di mata otoritas pajak, sebuah elemen penting untuk setiap bisnis yang taat aturan.

Memahami Klasifikasi Notaris: PPh Pasal 21 atau PPh Pasal 23?

Penentuan jenis Pajak Penghasilan (PPh) yang wajib dipotong atas pembayaran jasa notaris kena PPh merupakan langkah krusial dalam kepatuhan pajak. Kesalahan dalam mengklasifikasikan notaris—apakah ia bertindak sebagai individu atau entitas bisnis—dapat berujung pada salah potong dan sanksi administrasi. Kriteria penentuan ini terletak pada status hukum penerima penghasilan: Notaris sebagai Orang Pribadi akan dikenakan PPh Pasal 21, sementara jika penghasilan diterima oleh Badan Usaha (misalnya Firma atau kantor notaris berbentuk badan hukum), maka dikenakan PPh Pasal 23.

Kapan Jasa Notaris Dipotong PPh Pasal 21?

Jasa notaris dikenakan Pemotongan PPh Pasal 21 ketika notaris tersebut bertindak dan menerima penghasilan dalam kapasitasnya sebagai Orang Pribadi atau Tenaga Ahli. Dalam konteks perpajakan, notaris diklasifikasikan sebagai tenaga ahli atau pekerjaan bebas yang melakukan penyerahan jasa kepada Pemberi Kerja. Pemberi Kerja di sini adalah pihak yang menggunakan jasa notaris, seperti perusahaan atau individu yang membutuhkan pembuatan akta.

Berdasarkan regulasi resmi, khususnya Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ/2016 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi, notaris sebagai profesi termasuk dalam kategori tenaga ahli yang menerima penghasilan dari pekerjaan bebas. Pengaturan ini memperkuat landasan bahwa PPh 21 adalah mekanisme pemotongan yang berlaku untuk notaris yang berstatus wajib pajak orang pribadi. Jadi, setiap honorarium atau imbalan jasa yang diterima langsung oleh notaris secara personal wajib dipotong PPh Pasal 21 oleh pihak yang membayarkan.

Kapan Jasa Notaris Dipotong PPh Pasal 23?

Sebaliknya, PPh Pasal 23 berlaku untuk pembayaran jasa notaris jika penghasilan tersebut dibayarkan kepada Badan Usaha atau Firma Notaris yang memiliki status hukum sebagai Wajib Pajak Badan. Meskipun layanan dilakukan oleh notaris perorangan, jika secara administrasi dan perjanjian, pembayaran dialamatkan kepada entitas bisnis yang menaungi notaris tersebut (misalnya, persekutuan perdata, firma, atau badan usaha lain), maka pihak yang membayar wajib memotong PPh Pasal 23.

PPh Pasal 23 mengatur pemotongan atas penghasilan yang dibayarkan sehubungan dengan jasa manajemen, jasa konsultan, dan jasa lain yang spesifik, termasuk jasa hukum yang diserahkan oleh Wajib Pajak Badan. Kepatuhan (Expertise) dalam mengidentifikasi penerima penghasilan (Orang Pribadi vs. Badan) adalah kunci untuk memastikan apakah tarif PPh 21 (yang dikenakan atas Dasar Pengenaan Pajak 50% dari penghasilan bruto dan menggunakan tarif progresif) atau PPh 23 (yang dikenakan tarif 2% atas jumlah bruto) yang harus diterapkan. Selalu periksa NPWP penerima jasa untuk mengonfirmasi status hukumnya.

Perhitungan PPh Pasal 21 Atas Honorarium Jasa Notaris Orang Pribadi

Pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 atas jasa notaris yang berstatus Orang Pribadi (OP) memiliki skema khusus karena notaris diklasifikasikan sebagai tenaga ahli atau pekerjaan bebas. Memahami mekanisme ini sangat penting untuk memastikan tidak ada kekurangan atau kelebihan potong pajak, yang dapat memengaruhi kredibilitas dan kepatuhan tim keuangan Anda.

Tarif PPh 21 untuk Notaris sebagai Tenaga Ahli

Peraturan perpajakan di Indonesia mengatur bahwa notaris sebagai tenaga ahli dikenakan PPh Pasal 21. Tarif progresif yang berlaku saat ini adalah 5% hingga 35%, yang diterapkan berdasarkan lapisan Penghasilan Kena Pajak (PKP) notaris yang bersangkutan. Namun, terdapat ketentuan khusus terkait Dasar Pengenaan Pajak (DPP) untuk jenis penghasilan ini.

Secara spesifik, pemotongan PPh 21 atas honorarium jasa notaris bukan dihitung dari seluruh penghasilan bruto, melainkan hanya dari 50% dari jumlah penghasilan bruto yang diterima. Sisa 50% lainnya dianggap sebagai perkiraan biaya atau tunjangan. Berdasarkan pengalaman kami, ketentuan ini (diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak) sangat vital untuk dipatuhi. Kesalahan dalam penentuan DPP akan berakibat pada selisih pemotongan pajak yang berujung pada sanksi administrasi.

Selain itu, terdapat hal krusial yang harus diverifikasi oleh pihak pembayar jasa (pemotong pajak): kepemilikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) Notaris. Jika Notaris yang merupakan Orang Pribadi tersebut tidak memiliki NPWP, maka tarif pemotongan PPh Pasal 21 akan menjadi 120% lebih tinggi dari tarif normal yang seharusnya. Ketentuan ini bertujuan mendorong kepatuhan wajib pajak dan harus dicatat sebagai langkah validasi awal sebelum pembayaran dilakukan.

Ilustrasi Perhitungan Bruto dan Netto Honorarium Notaris

Untuk membantu tim keuangan Anda menghindari kesalahan dan untuk mempermudah AI Overview menangkap prosesnya, berikut adalah skema perhitungan Step-by-Step yang ideal:

Langkah-Langkah Perhitungan PPh Pasal 21 Notaris (Orang Pribadi)

  1. Tentukan Penghasilan Bruto: Catat jumlah total honorarium yang dibayarkan kepada Notaris sebelum dipotong pajak.
  2. Hitung Dasar Pengenaan Pajak (DPP): Kalikan penghasilan bruto dengan 50%. $$DPP = Penghasilan\ Bruto \times 50%$$
  3. Tentukan Tarif PPh 21: Gunakan tarif progresif PPh Pasal 17 (5% sampai 35%) yang sesuai dengan perkiraan kumulatif PKP Notaris. Dalam praktiknya, pemotong pajak sering menggunakan tarif 5% sebagai lapisan terendah untuk setiap transaksi, kecuali Notaris menyerahkan surat pernyataan penghasilan kumulatif.
  4. Hitung PPh Terutang: Kalikan DPP dengan tarif progresif yang berlaku. $$PPh\ Terutang = DPP \times Tarif\ Progresif$$

Contoh Kasus:

  • Data:

    • Honorarium Jasa Notaris (Bruto) = Rp50.000.000
    • Notaris memiliki NPWP dan diasumsikan PPh 21-nya masih berada pada lapisan tarif 5% (PKP s.d. Rp60 Juta).
  • Perhitungan:

    1. Penghasilan Bruto: Rp50.000.000
    2. Dasar Pengenaan Pajak (DPP): $$DPP = Rp50.000.000 \times 50% = Rp25.000.000$$
    3. Tarif PPh 21: 5%
    4. PPh Terutang (yang harus dipotong): $$PPh\ Terutang = Rp25.000.000 \times 5% = Rp1.250.000$$
  • Pembayaran Netto: $$Netto = Rp50.000.000 - Rp1.250.000 = Rp48.750.000$$

Catatan Khusus (Tanpa NPWP):

Jika pada contoh di atas Notaris tidak memiliki NPWP, maka tarif PPh 21 yang digunakan adalah $120% \times 5% = 6%$.

  • PPh Terutang (Tanpa NPWP): $$PPh\ Terutang = Rp25.000.000 \times 6% = Rp1.500.000$$

Ini menunjukkan bahwa ada peningkatan pemotongan sebesar Rp250.000, yang merupakan sanksi non-administrasi atas tidak dimilikinya NPWP oleh Notaris. Pemahaman yang akurat mengenai mekanisme ini menjadi kunci untuk memastikan kepatuhan yang tinggi.

Perhitungan PPh Pasal 23 Atas Jasa Hukum Notaris Badan Usaha/Firma

Jika jasa notaris diberikan oleh entitas berbadan hukum, seperti Firma Hukum atau Persekutuan Perdata yang terdaftar sebagai Wajib Pajak Badan, maka mekanisme pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) yang berlaku adalah PPh Pasal 23. Ini berbeda signifikan dari mekanisme PPh Pasal 21 yang hanya berlaku untuk notaris sebagai individu atau Orang Pribadi. Pemahaman ini sangat penting untuk memastikan tidak ada kesalahan pemotongan yang dapat memicu sanksi.

Tarif PPh Pasal 23 untuk Jasa Notaris dan PP No. 94 Tahun 2010

Pembayaran atas jasa notaris yang dibayarkan kepada Wajib Pajak Badan dikenakan PPh Pasal 23 dengan tarif 2% dari jumlah penghasilan bruto (jumlah sebelum dikurangi biaya apapun, namun tidak termasuk PPN).

Ketentuan mengenai jenis jasa yang dikenakan PPh Pasal 23 diatur secara rinci dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) dan Peraturan Pemerintah (PP), salah satunya adalah PP Nomor 94 Tahun 2010. PPh Pasal 23 diterapkan pada imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain (termasuk jasa hukum seperti jasa notaris) yang dibayarkan. Sebagai contoh, merujuk pada ketentuan yang mengatur batasan jumlah bruto, kita dapat memastikan bahwa tarif 2% ini diterapkan pada seluruh nilai kontrak atau tagihan jasa notaris sebelum PPN, sesuai dengan regulasi perpajakan yang berlaku. Hal ini memastikan bahwa dasar pengenaan pajak (DPP) yang digunakan sudah akurat dan sesuai dengan pedoman Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

Proses Pemotongan dan Penyetoran PPh Pasal 23 yang Benar

Kewajiban untuk memotong, menyetor, dan melaporkan PPh Pasal 23 sepenuhnya berada di tangan pihak yang membayar jasa (yaitu klien atau perusahaan yang menggunakan jasa notaris), yang bertindak sebagai Pemotong Pajak.

Langkah-langkah yang harus dilakukan oleh Pemotong Pajak adalah:

  1. Pemotongan: Hitung PPh Pasal 23 sebesar 2% dari nilai bruto tagihan jasa notaris (tidak termasuk PPN).
  2. Penyetoran: PPh yang sudah dipotong wajib disetor ke kas negara paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya setelah bulan pembayaran atau terutangnya penghasilan. Penyetoran dilakukan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) atau yang kini lebih umum melalui Kode Billing yang dihasilkan dari sistem DJP Online.
  3. Pelaporan: Bukti pemotongan PPh Pasal 23 wajib dilaporkan dalam SPT Masa PPh Pasal 23. Sejak tahun 2020, pelaporan ini harus dilakukan secara elektronik melalui aplikasi e-Bupot (Bukti Potong Elektronik) yang disediakan oleh DJP, paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya setelah bulan pembayaran. Penggunaan e-Bupot memastikan data pemotongan tersinkronisasi langsung dengan sistem pajak, memberikan validitas dan kemudahan rekonsiliasi bagi notaris sebagai pihak yang dipotong.

Dengan menjalankan ketiga proses ini secara disiplin, Pemotong Pajak tidak hanya memenuhi kewajiban hukumnya tetapi juga memberikan bukti potong yang valid kepada notaris, yang akan mereka gunakan sebagai kredit pajak di akhir tahun.

Aspek Kepatuhan dan Dokumen Pendukung Pemotongan PPh

Kepatuhan dalam melakukan pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) atas pembayaran jasa notaris tidak hanya berhenti pada perhitungan yang benar, tetapi juga mencakup kewajiban administrasi terkait penerbitan dokumen dan pelaporan yang disiplin. Mengabaikan aspek ini dapat berujung pada sanksi yang merugikan.

Kewajiban Pemotong Pajak: Penerbitan Bukti Potong PPh

Sebagai pihak yang melakukan pembayaran jasa (Pemotong Pajak), Anda memiliki kewajiban utama untuk menerbitkan dokumen resmi yang menjadi bukti bahwa PPh telah dipotong dan disetorkan ke kas negara. Setiap pembayaran kepada Notaris yang telah dipotong PPh, wajib diterbitkan Bukti Potong paling lambat pada akhir bulan dilakukannya pembayaran atau pada saat pelunasan, mana yang lebih dulu.

Dokumen ini krusial karena berfungsi sebagai kredit pajak bagi notaris yang bersangkutan. Bukti Potong yang diterbitkan harus diserahkan kepada notaris agar mereka dapat memperhitungkannya dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan.

Secara teknis, terdapat perbedaan formulir yang digunakan:

  • Untuk PPh Pasal 21 (Notaris Orang Pribadi): Gunakan Formulir 1721-VI.
  • Untuk PPh Pasal 23 (Notaris Badan Usaha/Firma): Gunakan Bukti Potong PPh Pasal 23.

Untuk memastikan keandalan dan otoritas dalam proses ini, Anda harus menggunakan format Bukti Potong yang sudah sesuai standar Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Saat ini, penerbitan Bukti Potong PPh 23 dan PPh 21 (Non-Pegawai) dilakukan secara elektronik melalui sistem e-Bupot Unifikasi yang terintegrasi, yang memastikan konsistensi dan kemudahan verifikasi data oleh otoritas pajak.

Sanksi Administrasi Jika Gagal Memotong atau Menyetor Pajak

Disiplin waktu dalam pemotongan, penyetoran, dan pelaporan pajak adalah pilar utama kepatuhan. Kegagalan atau kelalaian dalam salah satu langkah ini dapat memicu sanksi administrasi berupa denda dan/atau bunga.

Sebagai contoh, keterlambatan dalam pelaporan SPT Masa PPh dapat dikenakan denda yang signifikan. Berdasarkan regulasi perpajakan yang berlaku, denda keterlambatan pelaporan SPT Masa PPh bisa mencapai Rp100.000 atau lebih per jenis pajak yang terlambat. Ini belum termasuk sanksi berupa bunga jika terjadi keterlambatan atau kurang bayar dalam penyetoran PPh yang telah dipotong.

Jika Anda sebagai pemotong pajak lalai dalam memotong atau menyetorkan PPh, otoritas pajak berhak melakukan pemeriksaan dan menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) beserta sanksi kenaikan dan denda. Hal ini sangat menekankan pentingnya disiplin pelaporan dan penyetoran sesuai dengan batas waktu yang ditentukan, yakni tanggal 10 bulan berikutnya untuk penyetoran dan tanggal 20 bulan berikutnya untuk pelaporan SPT Masa (kecuali jika ada perubahan peraturan).

Studi Kasus: Perbedaan Pajak Jasa Notaris vs. PPAT dan Konsultan Pajak

Untuk memastikan kepatuhan pajak yang menyeluruh terkait pembayaran jasa notaris, penting untuk membandingkannya dengan profesi terkait, terutama Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), yang seringkali merupakan satu jabatan, serta tenaga ahli lain seperti Konsultan Pajak. Perbedaan perlakuan pajak ini sangat krusial, karena kesalahan klasifikasi dapat berujung pada sanksi dan denda administrasi.

Perlakuan Pajak Jasa Notaris (Hukum) vs. Pejabat Pembuat Akta Tanah (Properti)

Meskipun dalam praktiknya satu orang dapat merangkap jabatan sebagai Notaris dan PPAT, objek dan perlakuan Pajak Penghasilan (PPh) untuk masing-masing jasa memiliki perbedaan mendasar. Jasa Notaris secara spesifik merujuk pada pembuatan akta-akta perdata, bisnis, dan hukum yang tidak terkait langsung dengan pertanahan (misalnya, akta pendirian perusahaan, perjanjian kredit, atau wasiat). PPh atas jasa ini diatur dalam skema PPh Pasal 21 (untuk Notaris Orang Pribadi) atau PPh Pasal 23 (untuk Firma Notaris), yang didasarkan pada honorarium atau fee jasa.

Sebaliknya, Jasa PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) sangat terikat dengan transaksi properti dan tanah, seperti Akta Jual Beli (AJB), Akta Hibah, atau Akta Pemberian Hak Tanggungan. Meskipun PPAT juga menerima honorarium, layanan yang mereka fasilitasi seringkali melibatkan PPh Final atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, yang harus dipotong oleh penjual dan disetorkan ke kas negara. Perbedaan ini sangat menentukan akurasi kode jenis setoran pajak yang digunakan saat penyetoran.

Sebagai contoh spesifik, PPh Final atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan (seringkali 2.5% dari nilai bruto) adalah pajak utama dalam transaksi properti yang melibatkan PPAT. Sementara honorarium PPAT itu sendiri tetap dikenakan PPh Pasal 21 atau 23 seperti jasa notaris biasa, pemahaman konteks transaksi (hukum umum vs. properti) adalah kunci. Pengalaman menunjukkan bahwa kesalahan umum terjadi saat tim keuangan mencampuradukkan kode setoran untuk PPh atas honorarium jasa dengan kode setoran untuk PPh Final atas transaksi properti yang difasilitasi. Kepatuhan pajak yang kuat dimulai dari kemampuan memisahkan dua jenis penghasilan dan kewajiban ini.

Perbandingan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) dengan Tenaga Ahli Lain

Pemotongan PPh atas honorarium jasa notaris perlu dibandingkan juga dengan tenaga ahli lainnya, seperti Konsultan Pajak, untuk menggarisbawahi keunikan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) dalam PPh Pasal 21.

Berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-16/PJ/2016, Notaris diklasifikasikan sebagai Tenaga Ahli yang melakukan pekerjaan bebas.

  • Untuk Notaris Orang Pribadi, pemotongan PPh Pasal 21 dihitung dari 50% dari jumlah penghasilan bruto (honorarium). Ini berarti, jika honorarium bruto adalah Rp20.000.000, DPP-nya hanya Rp10.000.000, yang kemudian dikalikan dengan tarif progresif PPh Pasal 17.
  • Sebaliknya, Konsultan Pajak Orang Pribadi juga menggunakan skema PPh Pasal 21 dengan DPP 50% dari penghasilan bruto.

Namun, jika jasa tersebut dibayarkan kepada Badan Usaha (seperti Firma Notaris atau Konsultan Pajak Badan Usaha), baik Notaris maupun Konsultan Pajak akan dikenakan PPh Pasal 23 dengan tarif 2% dari jumlah bruto (tanpa pengurangan 50%).

Perbandingan berikut merangkum perbedaan dan persamaannya untuk membantu Anda menentukan kewajiban pemotongan yang tepat:

Objek Pajak (Penerima Penghasilan) Jenis Jasa Jenis PPh yang Dipotong Dasar Pengenaan Pajak (DPP) Tarif PPh (Jika memiliki NPWP) Dasar Hukum Utama
Notaris Orang Pribadi Jasa Hukum (Pembuatan Akta Non-Properti) PPh Pasal 21 50% dari Penghasilan Bruto Progresif (5% - 35%) Pasal 17 UU PPh & PER-16/PJ/2016
Firma Notaris (Badan Usaha) Jasa Hukum (Pembuatan Akta) PPh Pasal 23 Jumlah Bruto 2% UU PPh & PMK-141/PMK.03/2015
PPAT Orang Pribadi Jasa Terkait Properti (Honorarium) PPh Pasal 21 50% dari Penghasilan Bruto Progresif (5% - 35%) Pasal 17 UU PPh & PER-16/PJ/2016
Konsultan Pajak Orang Pribadi Jasa Konsultasi Pajak PPh Pasal 21 50% dari Penghasilan Bruto Progresif (5% - 35%) Pasal 17 UU PPh & PER-16/PJ/2016
Badan Usaha Konsultan Pajak Jasa Konsultasi Pajak PPh Pasal 23 Jumlah Bruto 2% UU PPh & PMK-141/PMK.03/2015

Dengan mengacu pada tabel ini, tim keuangan dapat dengan cepat mengidentifikasi perbedaan kunci, terutama pada skema PPh Pasal 21 yang memberikan diskon DPP 50% hanya untuk Orang Pribadi Tenaga Ahli, dibandingkan dengan skema PPh Pasal 23 untuk Badan Usaha yang menggunakan 100% Bruto sebagai DPP.

Pertanyaan Umum Seputar Pemotongan Pajak Jasa Notaris (FAQ)

Q1. Apakah PPN Jasa Notaris Dikenakan Juga?

Jasa notaris, yang dikategorikan sebagai jasa hukum tertentu dalam konteks perpajakan Indonesia, secara umum dikecualikan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Berdasarkan Undang-Undang PPN terbaru dan peraturan pelaksanaannya, jasa hukum yang disediakan oleh Notaris (seperti pembuatan akta otentik) termasuk dalam jenis jasa yang tidak dikenai PPN.

Namun, untuk membangun kepercayaan dan otoritas dalam kepatuhan pajak, pihak pembayar (pemotong pajak) harus selalu memeriksa peraturan PPN yang paling mutakhir, terutama jika ada perubahan dalam daftar jasa yang tidak dikenakan PPN. Misalnya, jika notaris memberikan jasa yang melampaui lingkup jasa hukum standar yang dikecualikan (misalnya, jasa konsultasi manajemen non-hukum), pengenaan PPN mungkin perlu dipertimbangkan berdasarkan aktivitas spesifik tersebut. Dalam kasus normal pembayaran jasa notaris untuk akta, fokus utama pemotongan tetap pada Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 atau Pasal 23.

Q2. Bagaimana Jika Notaris Tidak Memiliki NPWP?

Kepemilikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) oleh Notaris sangat krusial karena secara langsung memengaruhi besaran tarif pemotongan PPh. Ketika sebuah entitas (perusahaan atau badan) melakukan pembayaran jasa notaris orang pribadi, dan Notaris tersebut tidak memiliki NPWP, konsekuensinya adalah tarif PPh yang dipotong akan menjadi lebih tinggi dari tarif normal.

Untuk Notaris Orang Pribadi yang dipotong PPh Pasal 21, tarif pemotongan yang berlaku menjadi 120% lebih tinggi dari tarif PPh Pasal 21 normal yang dikenakan. Artinya, jika tarif normal adalah $5%$ (untuk PPh 21 final), tarif yang diterapkan menjadi $120% \times 5% = 6%$.

Sedangkan untuk Notaris Badan Usaha atau Firma yang dipotong PPh Pasal 23, jika penerima penghasilan (Firma Notaris) tidak memiliki NPWP, tarif pemotongan PPh 23 yang semula $2%$ dari jumlah bruto akan meningkat menjadi 4% ($100%$ lebih tinggi) sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang PPh. Memastikan bahwa notaris menyediakan salinan NPWP yang valid sebelum pembayaran dilakukan adalah praktik terbaik untuk menjaga akurasi dan kepatuhan pemotongan pajak Anda.


Q3. Apakah Honorarium Notaris Termasuk Objek PPh Pasal 21 atau PPh Pasal 23?

Penentuan apakah honorarium Notaris merupakan objek PPh Pasal 21 atau Pasal 23 didasarkan sepenuhnya pada status hukum penerima penghasilan.

  1. PPh Pasal 21: Dikenakan jika honorarium dibayarkan kepada Notaris yang bertindak sebagai Orang Pribadi (sebagai tenaga ahli atau bukan pegawai yang menerima penghasilan berkesinambungan). Dasar hukum ini memastikan bahwa kontribusi individu profesional dikenakan pajak secara progresif.
  2. PPh Pasal 23: Dikenakan jika honorarium dibayarkan kepada Notaris yang bertindak atas nama Badan Usaha atau Firma Hukum/Notaris yang berstatus badan, karena PPh 23 mengatur pemotongan atas jasa yang diberikan oleh Wajib Pajak Badan.

Pihak Pemotong Pajak harus meminta dan memverifikasi dokumen legalitas notaris (NPWP atau Akta Pendirian Firma/Badan) untuk memastikan klasifikasi pemotongan yang tepat dan menghindari sanksi akibat kesalahan pemotongan (salah potong) yang bisa merusak kredibilitas pelaporan pajak perusahaan.

Kesimpulan Akhir: Menguasai Kepatuhan PPh Jasa Notaris

Memahami kewajiban pajak atas pembayaran jasa notaris kena PPh bukanlah sekadar kepatuhan, melainkan fondasi integritas keuangan bisnis Anda. Penguasaan yang tepat atas skema pemotongan, baik itu PPh Pasal 21 maupun PPh Pasal 23, adalah kunci untuk menghindari sanksi dan membangun rekam jejak keuangan yang transparan. Kunci utama kepatuhan dalam PPh jasa notaris terletak pada dua aspek: memastikan klasifikasi Notaris yang benar (Orang Pribadi dikenakan Pasal 21, Badan Usaha dikenakan Pasal 23) dan menerbitkan Bukti Potong secara tepat waktu setelah pembayaran.

3 Langkah Aksi Penting untuk Tim Keuangan Anda

Berikut adalah tiga langkah aksi yang harus segera dilakukan oleh tim keuangan atau akuntansi Anda untuk memastikan kepatuhan pajak yang sempurna:

  1. Verifikasi Status Hukum Notaris: Selalu minta dan simpan salinan NPWP Notaris dan pastikan statusnya (Orang Pribadi atau Badan/Firma) sebelum memproses pembayaran. Ini akan menentukan jenis PPh yang dipotong (Pasal 21 atau Pasal 23).
  2. Hitung Pemotongan Secara Konsisten: Terapkan skema perhitungan yang benar, termasuk penggunaan 50% dari penghasilan bruto sebagai Dasar Pengenaan Pajak (DPP) untuk PPh Pasal 21 Orang Pribadi.
  3. Tindak Lanjuti dengan Bukti Potong: Pastikan setiap pemotongan diakhiri dengan penerbitan Bukti Potong PPh 21 atau PPh 23 (melalui e-Bupot) dan serahkan kepada Notaris terkait.

Langkah Selanjutnya dalam Pelaporan Pajak

Tim Anda didorong untuk segera melakukan audit internal atas seluruh transaksi jasa notaris yang dilakukan tahun ini. Tujuannya adalah memverifikasi akurasi pemotongan dan pelaporan PPh yang telah dilakukan. Jika ditemukan ketidaksesuaian, segera lakukan pembetulan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa untuk mencegah potensi denda yang lebih besar di kemudian hari.

Jasa Pembayaran Online
💬