Pajak Jasa Rp 2 Juta: Panduan PPN dan PPh Pasal 23 Terbaru
Memahami Batas Pembayaran Jasa Rp 2 Juta: Bebas PPN atau PPh?
Kerap kali, informasi yang beredar di kalangan pelaku usaha adalah anggapan bahwa setiap pembayaran jasa yang nilainya berada di bawah Rp 2 Juta otomatis “bebas pajak” atau lebih spesifik, “tidak kena PPN.” Kesalahpahaman ini dapat berdampak serius pada kepatuhan fiskal perusahaan Anda. Untuk memastikan akurasi pembukuan dan pelaporan, pemahaman yang tepat mengenai batasan ini adalah hal yang fundamental, terutama dalam membedakan antara Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh).
Jawaban Cepat: Batasan PPN dan PPh Terkait Pembayaran Jasa
Batasan nilai Rp 2 juta yang sering diperbincangkan sebagai batas non-PPN umumnya merujuk pada ketentuan PPh Pasal 23, BUKAN PPN (Pajak Pertambahan Nilai). PPh Pasal 23 adalah pajak atas penghasilan tertentu, sedangkan PPN adalah pajak atas konsumsi barang atau jasa. PPN terutang pada transaksi jasa yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP), dan kewajiban ini berlaku tanpa melihat batasan nilai transaksi Rp 2 juta atau berapa pun nilainya.
Dasar Hukum dan Kepercayaan Informasi Pajak
Untuk memberikan informasi yang terpercaya dan memiliki otoritas, perlu ditekankan bahwa sumber acuan utama adalah Undang-Undang perpajakan yang berlaku. PPN, sebagai pajak yang melekat pada barang dan jasa, memiliki mekanisme yang berbeda sama sekali dengan PPh. Apabila penyedia jasa adalah PKP, maka PPN wajib dipungut, tidak peduli apakah pembayaran jasa tersebut bernilai Rp 500.000 atau Rp 5.000.000. Pengusaha yang sukses memastikan mereka memiliki keahlian dan pengetahuan yang solid mengenai hal ini, karena kelalaian dalam pemungutan PPN dapat berujung pada koreksi fiskal yang signifikan.
Aturan PPN (Pajak Pertambahan Nilai) untuk Jasa Kena Pajak
Banyak pelaku usaha yang secara keliru menghubungkan batas nilai Rp 2 juta dengan pembebasan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Padahal, aturan PPN beroperasi pada prinsip yang sama sekali berbeda dengan PPh Pasal 23. Untuk semua Pengusaha Kena Pajak (PKP), kewajiban PPN mutlak terjadi pada setiap penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP). PPN adalah jenis pajak yang dikenakan atas konsumsi barang atau jasa, dan persentase tarif saat ini ditetapkan sebesar 11%.
Secara spesifik, setiap penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) oleh PKP, berapapun nilainya, wajib memungut PPN sebesar 11%. Batas nilai transaksi tidak relevan dalam penentuan terutangnya PPN. Jika penyedia jasa adalah PKP, maka PPN 11% harus ditambahkan pada harga jual jasa, baik transaksinya senilai Rp 500.000 maupun Rp 50 juta.
Kriteria Jasa Kena Pajak (JKP) dan Kewajiban PKP
Kewajiban untuk memungut PPN sepenuhnya bergantung pada status penyedia jasa. Jasa Kena Pajak (JKP) didefinisikan sebagai setiap kegiatan pelayanan berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang, fasilitas, kemudahan, atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dari pengguna jasa.
Seorang pengusaha (baik orang pribadi maupun badan) yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) memiliki kewajiban fiskal untuk memungut, menyetor, dan melaporkan PPN yang terutang atas Jasa Kena Pajak yang mereka serahkan. Hal ini merupakan landasan kepatuhan perpajakan yang diatur dengan jelas dalam regulasi. Sebagai rujukan yang kredibel, Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang PPN Barang dan Jasa dan PPnBM sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) Pasal 4 ayat (1) huruf c, PPN dikenakan atas penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha. Ini memperkuat bahwa status PKP-lah yang menentukan kewajiban PPN, bukan nominal transaksi.
Mekanisme Penerbitan Faktur Pajak dan Nilai Transaksi
Mekanisme utama untuk membuktikan pemungutan PPN adalah melalui penerbitan Faktur Pajak. PKP wajib menerbitkan Faktur Pajak atas setiap penyerahan Jasa Kena Pajak. Faktur Pajak ini berfungsi sebagai bukti pungutan PPN dan merupakan dokumen penting yang harus dimiliki oleh pembeli jasa (sebagai Pajak Masukan) dan penjual jasa (sebagai Pajak Keluaran).
Penting untuk menghilangkan kesalahan umum yang kerap terjadi, yaitu mencampuradukkan PPN dengan PPh. PPN adalah pajak atas konsumsi/nilai tambah, dan tidak terkait dengan besaran penghasilan. Oleh karena itu, batasan nilai Rp 2 juta yang mungkin relevan dalam konteks Pajak Penghasilan Pasal 23 (PPh 23), sama sekali tidak berlaku untuk PPN. Penerapan aturan yang benar menunjukkan tingkat keahlian dan kepatuhan yang tinggi dalam pelaporan pajak perusahaan. Faktur Pajak harus dibuat dan PPN dipungut, bahkan jika nilai transaksi jasa hanya Rp 100.000, selama penyedia jasanya berstatus PKP.
Batasan Kritis PPh Pasal 23 (Pajak Penghasilan) untuk Jasa
Pemahaman yang keliru mengenai batas Rp 2 juta dalam transaksi jasa sebagian besar berakar pada ketentuan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23, bukan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). PPh Pasal 23 adalah pajak yang dipotong atas penghasilan berupa dividen, bunga, royalti, sewa, dan imbalan sehubungan dengan jasa tertentu, yang dibayarkan atau terutang kepada Wajib Pajak dalam negeri (Badan Usaha atau Orang Pribadi tertentu).
PPh Pasal 23 adalah mekanisme pemotongan pajak yang berbeda sepenuhnya dari PPN. Fokusnya adalah pada penghasilan yang diterima oleh penyedia jasa, bukan pada nilai tambah atau konsumsi.
Jenis-jenis Jasa yang Wajib Dipotong PPh Pasal 23
Pemotongan PPh Pasal 23 wajib dilakukan oleh pemberi jasa (pihak yang membayarkan penghasilan), asalkan pemberi jasa tersebut merupakan Badan Usaha atau Wajib Pajak Orang Pribadi (WP OP) tertentu yang ditunjuk. PPh Pasal 23 dikenakan pada penghasilan yang berasal dari jasa-jasa tertentu yang tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) terkait.
Untuk memberikan gambaran yang jelas mengenai kewajiban ini, penting untuk merujuk pada tarif dan jenis jasa yang diatur oleh pemerintah. Sebagai contoh yang kredibel berdasarkan referensi PMK terbaru mengenai jenis-jenis jasa:
| Jenis Penghasilan (Jasa) | Dasar Hukum | Tarif Potongan PPh Pasal 23 |
|---|---|---|
| Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta (kecuali sewa tanah dan/atau bangunan) | UU PPh, PMK terkait | 2% dari jumlah bruto |
| Imbalan Jasa Manajemen, Jasa Konsultan, Jasa Teknik, Jasa Akuntansi/Pembukuan | PMK terkait | 2% dari jumlah bruto |
| Jasa Penilai, Jasa Aktuaris, Jasa Hukum | PMK terkait | 2% dari jumlah bruto |
| Dividen, Bunga, Royalti | UU PPh | 15% dari jumlah bruto |
Catatan: Tarif 2% berlaku untuk sebagian besar jasa. Dengan memiliki data yang akurat dan terperinci, sebuah bisnis dapat membangun landasan kepatuhan yang kuat. Kewajiban pemotongan ini langsung mengarah pada akurasi pembukuan dan pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan, yang merupakan bukti nyata keahlian dan kepatuhan.
Mekanisme dan Batasan Nilai Rp 2 Juta dalam Konteks PPh 23
Dalam konteks PPh Pasal 23, seringkali muncul pertanyaan mengenai batas nilai Rp 2 juta. Namun, penting untuk dicatat bahwa tidak ada aturan baku dalam Undang-Undang PPh yang secara eksplisit menyatakan bahwa transaksi jasa di bawah Rp 2 juta secara otomatis dikecualikan dari pemotongan PPh Pasal 23. Pemotongan PPh Pasal 23 umumnya berlaku atas setiap pembayaran imbalan jasa yang menjadi objek PPh 23, berapapun nilainya.
Kesalahpahaman batas Rp 2 juta ini mungkin berasal dari ketentuan pengecualian atau kebijakan khusus, misalnya:
- Pengecualian Jasa Katering: Jasa katering/tata boga adalah salah satu jenis jasa yang dikecualikan dari pemotongan PPh Pasal 23, karena penghasilan dari jasa katering telah dikenai PPh Pasal 4 ayat (2) final.
- Ketentuan Non-Subjektif: PPh Pasal 23 tidak dipotong jika penerima penghasilan adalah Wajib Pajak Orang Pribadi (WP OP) yang hanya menyerahkan jasa dan tidak ditunjuk sebagai pemotong pajak (meskipun WP OP tersebut wajib melaporkan penghasilan tersebut dalam SPT Tahunan PPh OP-nya).
Pemotong PPh 23 (pihak yang membayar jasa) wajib memotong, menyetor, dan melaporkan PPh 23 yang dipotong tersebut menggunakan Bukti Potong (saat ini melalui E-Bupot). Kelalaian dalam memotong PPh 23 dapat mengakibatkan koreksi fiskal dan sanksi denda bagi pembayar jasa, terlepas dari apakah nilai transaksi jasa tersebut di bawah Rp 2 juta atau tidak. Oleh karena itu, perusahaan harus selalu mencermati jenis jasa dan status penerima penghasilan sebelum melakukan pembayaran.
Memetakan Kewajiban Pajak: PPN vs PPh 23 dalam Transaksi Jasa
Memahami perbedaan mendasar antara Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 adalah kunci untuk kepatuhan fiskal yang akurat. Secara ringkas, kewajiban PPN terletak pada status Pengusaha Kena Pajak (PKP) dari penyedia jasa, sedangkan kewajiban PPh Pasal 23 terletak pada jenis jasa dan status pemotong/pembayar—umumnya badan usaha atau orang pribadi tertentu yang ditunjuk. Batasan nilai Rp 2 juta hanya sering disalahartikan dan dikaitkan dengan pengecualian PPh, tetapi hampir tidak relevan sama sekali untuk PPN.
Studi Kasus 1: Perusahaan PKP Menyewa Jasa Desain Grafis Rp 1.5 Juta
PT Cipta Kreasi (PKP) menyewa jasa desain grafis dari CV Media Visual (PKP). Nilai transaksi adalah Rp 1.500.000.
-
Kewajiban PPN: Karena CV Media Visual adalah PKP, mereka wajib memungut PPN sebesar 11% atas nilai transaksi, meskipun nilainya di bawah Rp 2 juta. CV Media Visual menerbitkan Faktur Pajak.
- Nilai Jasa: Rp 1.500.000
- PPN (11%): Rp 165.000
- Total Pembayaran (Sebelum PPh 23): Rp 1.665.000
-
Kewajiban PPh Pasal 23: Jasa desain grafis termasuk jenis jasa yang dikenakan PPh Pasal 23. PT Cipta Kreasi sebagai pembayar (badan usaha) wajib memotong PPh 23 dari penghasilan yang dibayarkan.
- Tarif PPh 23: 2%
- Potongan PPh 23: 2% x Rp 1.500.000 = Rp 30.000
-
Kesimpulan Pembayaran: PT Cipta Kreasi membayar Rp 1.635.000 kepada CV Media Visual (Rp 1.665.000 dikurangi PPh 23 Rp 30.000) dan menyetorkan PPh 23 sebesar Rp 30.000 ke kas negara atas nama CV Media Visual, lalu menerbitkan Bukti Potong. Nilai di bawah Rp 2 juta tidak membatalkan kewajiban PPN maupun PPh 23.
Studi Kasus 2: Individu Non-PKP Menjual Jasa Pelatihan Rp 3 Juta
Seorang Individu (Bapak Dodi, bukan PKP) memberikan jasa pelatihan IT kepada PT Maju Terus. Nilai transaksi adalah Rp 3.000.000.
-
Kewajiban PPN: Bapak Dodi bukan PKP, sehingga ia tidak wajib memungut PPN. Tidak ada Faktur Pajak yang diterbitkan. Batasan Rp 2 juta atau Rp 3 juta tidak relevan dalam konteks PPN karena status Non-PKP.
-
Kewajiban PPh Pasal 23: Jasa pelatihan termasuk jenis jasa yang dikenakan PPh Pasal 23. PT Maju Terus sebagai pembayar (badan usaha) wajib memotong PPh 23.
- Tarif PPh 23: 2%
- Potongan PPh 23: 2% x Rp 3.000.000 = Rp 60.000
-
Kesimpulan Pembayaran: PT Maju Terus membayar Rp 2.940.000 kepada Bapak Dodi (Rp 3.000.000 dikurangi PPh 23 Rp 60.000) dan menyetorkan PPh 23 sebesar Rp 60.000 ke kas negara atas nama Bapak Dodi, lalu menerbitkan Bukti Potong (E-Bupot).
Untuk menyederhanakan proses pengambilan keputusan, kami menyajikan proses internal yang dirancang oleh tim ahli pajak kami, yaitu Flowchart Keputusan ‘Cek Pajak Jasa’ yang dapat digunakan oleh perusahaan untuk menentukan kewajiban PPN dan PPh 23 secara simultan:
- Langkah 1: Cek Status PPN Penyedia Jasa. Apakah Penyedia Jasa adalah PKP?
- Ya (PKP): PPN terutang 11%.
- Tidak (Non-PKP): PPN tidak terutang.
- Langkah 2: Cek Jenis Jasa dan Status Pembayar. Apakah jasa termasuk objek PPh Pasal 23 dan Pembayar adalah Badan Usaha/OP tertentu?
- Ya: PPh 23 wajib dipotong oleh Pembayar (berapapun nilainya, kecuali ada pengecualian).
- Tidak: PPh 23 tidak dipotong.
Pemahaman yang tepat atas kedua pajak ini adalah fondasi yang fundamental bagi akurasi pembukuan dan pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan, terutama saat menghadapi audit. Kegagalan memotong atau memungut pajak dengan benar dapat berujung pada sanksi administrasi berupa denda dan bunga yang signifikan.
Strategi Kepatuhan dan Dokumen Pendukung Pajak yang Benar
Kepatuhan pajak bukan hanya soal membayar, tetapi juga soal dokumentasi yang kuat untuk memverifikasi setiap transaksi. Dokumen yang tepat adalah benteng pertahanan perusahaan Anda saat menghadapi koreksi fiskal atau audit pajak. Memahami peran masing-masing dokumen, mulai dari kontrak hingga bukti potong elektronik, adalah inti dari manajemen pajak yang kredibel dan dapat dipertanggungjawabkan.
Pentingnya Kontrak dan Invoice dalam Penentuan Objek Pajak
Kepatuhan dimulai dari tahap kesepakatan. Kontrak jasa harus secara eksplisit mendefinisikan jenis layanan, nilai total, dan status pihak penyedia (apakah Pengusaha Kena Pajak/PKP atau bukan). Kejelasan ini menjadi dasar penentuan apakah transaksi tersebut termasuk Objek PPN (jika penyedia adalah PKP) dan/atau Objek PPh Pasal 23 (berdasarkan jenis jasanya).
Pada tahap penagihan, invoice memegang peran krusial. Pastikan setiap invoice yang Anda terima atau terbitkan sudah mencantumkan PPN (sebesar 11%) jika penyedia adalah PKP, serta mencantumkan pemotongan PPh Pasal 23 (jika termasuk dalam objek PPh 23, misalnya $2%$ untuk jasa manajemen atau konsultasi). Kelengkapan dan keakuratan data pada invoice sangat penting untuk meminimalisir risiko koreksi fiskal. Ketika invoice tidak secara eksplisit mencantumkan komponen pajak yang seharusnya, auditor dapat berasumsi bahwa pajak tersebut belum dipungut atau dipotong, yang berujung pada sanksi administrasi.
Kesalahan Fatal dalam Pelaporan PPN dan PPh 23 yang Harus Dihindari
Dalam era perpajakan digital, kredibilitas dan kepatuhan perusahaan sangat bergantung pada dokumen elektronik. Kementerian Keuangan secara konsisten menekankan pentingnya E-Faktur (untuk PPN) dan Bukti Potong Elektronik (E-Bupot) (untuk PPh 23) sebagai satu-satunya bukti resmi atas pemungutan dan pemotongan pajak. Mengacu pada peraturan terbaru Direktorat Jenderal Pajak, penggunaan E-Faktur dan E-Bupot bukan lagi pilihan, melainkan kewajiban bagi setiap PKP dan Pemotong Pajak. Kelalaian dalam penerbitan kedua dokumen digital ini adalah kesalahan fatal yang dapat merusak riwayat kepatuhan pajak perusahaan Anda.
Selain itu, dokumen pendukung lainnya, seperti kontrak, surat jalan, dan bahkan timesheet untuk jasa tertentu, berfungsi sebagai landasan pertanggungjawaban perusahaan. Saat audit, dokumen-dokumen ini akan diverifikasi silang dengan data yang tercantum dalam SPT PPN (dengan E-Faktur sebagai credit input) dan SPT Masa PPh Pasal 23 (dengan E-Bupot sebagai bukti pemotongan). Kekurangan atau ketidaksesuaian salah satu dokumen ini akan memicu pertanyaan dari otoritas pajak. Oleh karena itu, memastikan bahwa faktur pajak dan bukti potong pajak telah diterbitkan, diterima, dan diarsipkan dengan baik adalah langkah esensial untuk membuktikan kepatuhan sistematis dan mengurangi potensi sengketa pajak.
Tanya Jawab Seputar Pembayaran Jasa di Bawah Rp 2 Juta
Q1. Apakah non-PKP wajib memungut PPN untuk jasa di atas Rp 2 Juta?
Tidak, Pengusaha non-PKP (Pengusaha Tidak Kena Pajak) tidak memiliki kewajiban untuk memungut PPN, bahkan jika nilai transaksi jasa tersebut jauh di atas Rp 2 Juta. Kewajiban memungut, menyetor, dan melaporkan PPN secara eksklusif melekat pada status Pengusaha Kena Pajak (PKP). Hal ini sesuai dengan prinsip otoritas perpajakan yang menyatakan bahwa PPN adalah pajak atas konsumsi barang dan jasa, yang dipertanggungjawabkan oleh entitas yang secara resmi terdaftar sebagai PKP, yang telah memenuhi syarat omzet dan mengajukan diri.
Q2. Apa perbedaan utama antara PPN dan PPh 23 dalam transaksi jasa?
Memahami perbedaan antara PPN (Pajak Pertambahan Nilai) dan PPh Pasal 23 (Pajak Penghasilan) adalah kunci untuk memastikan akurasi pembukuan.
-
PPN adalah pajak atas konsumsi barang atau jasa, atau dikenal sebagai pajak tidak langsung. PPN dikenakan pada nilai tambah dari suatu produk atau jasa dan pada akhirnya ditanggung oleh konsumen akhir. Dalam konteks jasa, PPN dipungut oleh penyedia jasa (jika PKP) dan disetorkan ke negara. Tidak ada batasan nilai transaksi yang membebaskan PPN; yang menentukan adalah status PKP penyedia jasa.
-
PPh Pasal 23 adalah pajak yang dikenakan atas penghasilan tertentu dari modal, penyerahan jasa, atau penyelenggaraan kegiatan. Ini adalah pajak langsung karena dikenakan langsung pada pihak yang menerima penghasilan. PPh 23 tidak ditanggung oleh konsumen, melainkan dipotong oleh pihak pemberi penghasilan/pembayar jasa (pemotong PPh) dan disetorkan atas nama penerima jasa. Kewajiban pemotongan PPh 23 tidak berkaitan dengan status PKP penyedia jasa, melainkan jenis jasa dan status pemotongnya.
Ringkasnya, PPN berfokus pada nilai transaksi dan status PKP penjual/penyedia jasa, sementara PPh 23 berfokus pada penghasilan yang diperoleh dan wajib dipotong oleh pembayar jasa. Pemahaman ini merupakan fondasi dalam menghindari koreksi fiskal yang dapat mengurangi kredibilitas dan kepatuhan perpajakan perusahaan.
Final Takeaways: Menguasai Aturan Pajak Jasa di Tahun 2025
3 Langkah Kunci Memastikan Kepatuhan Pajak Jasa Anda
Menguasai aturan pajak jasa, khususnya terkait batasan nilai transaksi, adalah fondasi untuk laporan keuangan yang akurat dan terhindar dari sanksi. Untuk memastikan kepatuhan yang optimal, Anda perlu memisahkan secara tegas dua jenis kewajiban pajak.
Selalu pisahkan status PPN (Pengusaha Kena Pajak atau non-PKP) dari kewajiban PPh Pasal 23 (jenis jasa dan status pemotong/pembayar) untuk menghindari salah perhitungan.
Seringkali, kesalahpahaman muncul karena menyamakan batas non-PPN dengan batasan PPh Pasal 23. Pendekatan yang kredibel dalam perpajakan adalah selalu memverifikasi status penyedia jasa (apakah PKP atau tidak) sebelum menilai objek PPh. Hal ini menunjukkan keahlian dalam menangani administrasi pajak secara berlapis.
Rekomendasi Tindakan Lanjutan
Untuk transaksi jasa dengan nilai berapapun, termasuk yang bernilai kecil, perhatian terhadap PPh Pasal 23 harus ditingkatkan.
Periksa ulang semua kontrak jasa yang bernilai kecil (di bawah Rp 2 Juta) untuk memastikan tidak ada kelalaian PPh Pasal 23, meskipun PPN tidak terutang.
Berdasarkan pengalaman kami dalam menangani audit fiskal, kelalaian pemotongan PPh Pasal 23 atas jasa-jasa kecil—seperti jasa perbaikan ringan atau jasa konsultan lepas yang nilainya di bawah Rp 2 Juta—sering menjadi temuan koreksi. Memastikan kepatuhan PPh 23, melalui bukti potong yang tepat, adalah langkah otoritatif untuk menunjukkan bahwa perusahaan Anda memiliki kepercayaan pada sistem perpajakan yang berlaku.