Pajak Makanan Hotel: Apakah Pembayaran Jasa PPh 23 Dikenakan?

Memahami Implikasi Pajak Atas Pembayaran Makanan di Hotel

Klarifikasi Cepat: Apakah Makanan/Katering di Hotel Dikenakan PPh 23?

Secara umum, pembayaran atas makanan atau katering yang disediakan oleh hotel tidak dikenakan Pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23. Pengecualian ini berlaku karena penyerahan makanan dan minuman oleh hotel atau restoran sudah merupakan objek Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atau, dalam banyak kasus, Pajak Hotel/Restoran Daerah yang kini disebut Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT). Prinsip ini bertujuan untuk menghindari pengenaan pajak berganda atas objek yang sama.

Mengapa Pemahaman Aturan Pajak Ini Sangat Penting?

Ketidakpastian mengenai aturan ini sering kali menyebabkan wajib pajak badan melakukan kesalahan pemotongan PPh 23. Kesalahan ini, baik pemotongan yang tidak seharusnya (terlalu potong) maupun kelalaian memotong (kurang potong), dapat berujung pada sanksi administrasi atau koreksi pajak saat dilakukan pemeriksaan. Untuk membantu pengelola keuangan dan wajib pajak memastikan kepatuhan serta menghindari kesalahan fatal tersebut, artikel ini akan membedah secara rinci dasar hukum dan peraturan perpajakan terbaru yang mengatur pembebasan PPh 23 atas jasa yang diserahkan oleh industri perhotelan dan restoran. Kami akan merujuk langsung pada regulasi otoritas pajak untuk menyajikan informasi yang dapat dipercaya dan terverifikasi.

Dasar Hukum dan Batasan Penerapan PPh Pasal 23 Atas Jasa

Definisi Jasa Katering yang Menjadi Objek PPh 23

PPh Pasal 23 (PPh 23) adalah salah satu jenis pajak penghasilan yang dikenakan atas penghasilan tertentu yang berasal dari modal, penyerahan jasa, atau penyelenggaraan kegiatan, selain yang telah dipotong PPh Pasal 21. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 141/PMK.03/2015, jasa katering atau tata boga secara eksplisit masuk dalam daftar jenis jasa lain yang dikenakan PPh Pasal 23.

Tarif pemotongan untuk jasa ini adalah 2% dari jumlah bruto pembayaran (tidak termasuk PPN). Ketentuan ini berlaku untuk setiap Wajib Pajak Badan atau orang pribadi (sebagai pemotong) yang melakukan pembayaran imbalan jasa katering kepada penyedia jasa (Wajib Pajak Badan atau orang pribadi). Oleh karena itu, jika pembayaran makanan merupakan murni jasa katering dari pihak di luar hotel, pemotongan PPh 23 wajib dilakukan.

Pengecualian Pajak: Aturan untuk Jasa yang Diserahkan oleh Hotel

Meskipun jasa katering merupakan objek PPh 23, terdapat pengecualian penting yang seringkali menjadi kunci perbedaan perlakuan pajak atas transaksi makanan di hotel. Berdasarkan rujukan pada Surat Edaran (SE) atau Peraturan Direktur Jenderal Pajak (PER) terkait, pendapatan yang diterima hotel atau restoran yang telah dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atau Pajak Daerah (seperti Pajak Barang dan Jasa Tertentu/PBJT) dikecualikan dari pemotongan PPh Pasal 23.

Prinsip dasar yang dianut oleh otoritas pajak—sebagaimana banyak ditekankan dalam artikel dan panduan resmi Direktorat Jenderal Pajak—adalah menghindari pengenaan pajak berganda atas objek yang sama.

Kunci pembeda utamanya adalah status pemberi jasa dan sifat transaksinya. Jika hotel (yang memiliki izin usaha hotel dan/atau restoran) menyediakan makanan dan minuman sebagai bagian integral dari layanan perhotelan atau restoran (seperti pemesanan dari kamar hotel atau restoran di dalam hotel), maka pembayaran tersebut dikenakan Pajak Hotel atau Pajak Restoran (PBJT) yang merupakan Pajak Daerah, atau PPN.

Dalam skenario ini, hotel bertindak sebagai pemungut pajak konsumsi dan karena sudah ada pemungutan pajak lain, kewajiban pemotongan PPh 23 oleh pembayar jasa (perusahaan) menjadi gugur.

Kriteria Pembayaran Makanan di Hotel yang Dikecualikan dari PPh 23

Memahami alasan dan syarat pengecualian menjadi kunci untuk memastikan kepatuhan pajak yang benar. Dalam konteks perpajakan Indonesia, pembayaran atas makanan dan minuman yang diserahkan oleh hotel atau restoran secara umum dikecualikan dari pemotongan PPh Pasal 23 (PPh 23). Syarat utama untuk mendapatkan pengecualian ini adalah adanya bukti bahwa transaksi tersebut telah dikenakan jenis pajak lain. Artinya, jika hotel telah memungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atau Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) yang sebelumnya dikenal sebagai Pajak Hotel/Restoran Daerah, maka pembayaran tersebut tidak perlu lagi dipotong PPh 23.

Faktur Pajak dan Bukti Pungutan Pajak Hotel/Restoran

Syarat mutlak untuk menerapkan pengecualian PPh 23 pada pembayaran makanan adalah tersedianya bukti pembayaran PPN atau PBJT yang dipungut dan dilaporkan oleh pihak hotel. Ketika Anda menerima faktur pembayaran dari pihak hotel, Anda wajib memastikan bahwa di dalamnya tercantum pungutan PPN sebesar 11% atau PBJT sesuai tarif daerah (biasanya 10%). Pencantuman salah satu dari pajak tersebut menjadi indikasi kuat bahwa layanan makanan dan minuman tersebut adalah bagian dari jasa perhotelan atau restoran yang sudah dikenakan pajak konsumsi, sehingga otomatis dikecualikan dari pemotongan PPh 23.

Mekanisme PPN dan Pajak Daerah (PBJT) untuk Penyerahan Makanan

Pengecualian ini memiliki dasar yang kuat dalam prinsip dasar hukum perpajakan, yakni menghindari pengenaan pajak ganda (double taxation) atas objek yang sama. Dalam hal ini, objek transaksi makanan dan minuman telah dikenakan pajak konsumsi, baik itu PPN (untuk hotel berstatus Pengusaha Kena Pajak/PKP) atau PBJT (Pajak Daerah).

Sebagaimana ditegaskan dalam berbagai klarifikasi dari otoritas pajak, termasuk yang sering disampaikan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) melalui Kring Pajak, pembayaran atas makanan dan minuman yang diserahkan oleh hotel dan telah dikenakan PBJT atau PPN merupakan pendapatan bagi hotel/restoran yang tidak termasuk dalam pengertian Jasa Lain sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) mengenai PPh 23. Dengan adanya pemungutan PPN atau PBJT, kewajiban pajak atas transaksi tersebut dianggap telah dipenuhi. Oleh karena itu, bagi Wajib Pajak yang melakukan pembayaran ke hotel, tidak ada kewajiban untuk melakukan pemotongan PPh 23 asalkan bukti pungutan pajak lain tersebut tersedia dan sah.

Situasi ‘Grey Area’: Kapan Jasa Katering di Hotel Tetap Dikenakan PPh 23?

Meskipun prinsip pengecualian untuk layanan hotel sudah jelas, ada beberapa skenario yang berada di area abu-abu, di mana pembayaran makanan dan katering dapat kembali menjadi objek pemotongan PPh Pasal 23. Perusahaan wajib pajak harus mencermati rincian transaksi agar tidak salah melakukan pemotongan atau justru tidak memotong PPh 23 padahal seharusnya wajib dipotong.

Perjanjian Terpisah untuk Jasa Tambahan (e.g., Jasa Pelayan/Waitress)

Salah satu celah yang perlu diperhatikan adalah ketika hotel menyajikan makanan, namun penagihannya dilakukan dengan memisahkan komponen jasa. Apabila hotel melakukan penagihan jasa katering sebagai item yang terpisah, khususnya jika jasa tersebut disediakan melalui pihak ketiga dan tidak terintegrasi secara langsung sebagai layanan perhotelan atau restoran, maka PPh 23 berpotensi untuk dikenakan.

Misalnya, jika hotel secara eksplisit menagihkan “Jasa Penyediaan Katering” atau “Jasa Pelayan (Waitress)” sebagai item terpisah dari penagihan akomodasi atau paket makanan. Jasa pelayan atau jasa penyediaan makanan ini dapat diklasifikasikan sebagai jasa lain yang merupakan objek PPh 23, sesuai dengan PMK No. 141/PMK.03/2015. Wajib pajak harus selalu berhati-hati saat menerima faktur yang memecah komponen jasa dari total tagihan, karena pemecahan ini seringkali menjadi indikasi bahwa pemotongan pajak harus dilakukan.

Penyewaan Ruangan Murni vs. Paket Pertemuan (Meeting Package)

Perbedaan perlakuan pajak antara menyewa ruangan saja dengan mengambil paket pertemuan sangat krusial dan seringkali menjadi sumber kebingungan.

  • Skenario 1: Paket Pertemuan (Dikecualikan PPh 23). Jika perusahaan mengambil Paket Meeting, yang di dalamnya sudah mencakup penyewaan ruangan, makanan (kopi/teh, makan siang/malam), dan fasilitas lainnya, total tagihan ini biasanya dianggap sebagai jasa perhotelan terintegrasi dan dikenakan PPN atau Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT). Dalam kasus ini, PPh 23 dikecualikan karena telah dikenakan pajak lain.

  • Skenario 2: Sewa Ruangan Murni + Jasa Katering Terpisah (Berpotensi PPh 23). Jika perusahaan hanya menyewa ruangan dari hotel (bare rental) dan kemudian memesan layanan katering yang ditagihkan secara terpisah, atau bahkan memesan jasa katering dari pihak ketiga yang ditagihkan melalui hotel, perlakuan pajaknya akan berbeda.

Untuk memahami perbedaan ini secara lebih mendalam, kami akan menyajikan simulasi kasus:

Detail Tagihan Tagihan (Rp) Perlakuan Pajak Dasar Pembeda (Keahlian)
Paket Meeting 1 Hari (all-in) 10.000.000 PPh 23 Dikecualikan Dianggap Jasa Perhotelan/Restoran Terintegrasi, sudah dikenakan PPN/PBJT.
Sewa Ruangan Murni 5.000.000 PPh 23 Dikenakan Jasa Sewa Ruangan adalah objek PPh 23 dengan tarif 2%, kecuali merupakan bagian dari paket hotel.
Jasa Katering Terpisah (dari Pihak Ketiga) 5.000.000 PPh 23 Dikenakan Jasa Katering adalah objek PPh 23 dengan tarif 2% jika ditagihkan secara terpisah oleh penyedia jasa (termasuk pihak ketiga).

Simulasi ini, yang didasarkan pada interpretasi dan pengalaman praktisi pajak dalam menganalisis faktur hotel, menunjukkan bahwa kunci penentuan pemotongan adalah rincian faktur. Selalu teliti rincian faktur yang diterima. Jasa-jasa yang masuk dalam daftar objek PPh 23 (seperti jasa penyewaan tempat atau jasa katering) dan ditagihkan secara eksplisit, terpisah, dan bukan sebagai bagian integral dari layanan perhotelan yang dikenakan Pajak Daerah/PPN, harus dipertimbangkan untuk dilakukan pemotongan PPh 23.

Langkah Praktis: Panduan Pemotongan PPh 23 yang Benar untuk Wajib Pajak

Memahami aturan pajak adalah satu hal; menerapkannya dalam praktik akuntansi harian adalah hal lain. Untuk Wajib Pajak Badan yang melakukan transaksi pembayaran makanan di hotel, sangat penting untuk memiliki prosedur verifikasi yang ketat sebelum memutuskan untuk melakukan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 (PPh 23) atau mengecualikannya. Ketidakpatuhan, meskipun tidak disengaja, dapat menimbulkan sanksi dari otoritas pajak.

Sebelum Anda memutuskan untuk memotong PPh 23, Anda harus selalu meminta faktur lengkap (Faktur Pajak Standar) dari pihak hotel yang secara eksplisit mencantumkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atau Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) yang dipungut. Selain itu, pastikan Anda telah memverifikasi bahwa hotel tersebut memang memiliki izin usaha sebagai hotel dan restoran yang sah. Kehadiran PPN atau PBJT pada faktur adalah indikasi kuat bahwa penghasilan tersebut telah dikenakan pajak lain, sehingga sesuai dengan peraturan yang ada, PPh 23 tidak perlu dipotong, karena menghindari pengenaan pajak ganda.

Ceklis Verifikasi Bukti Pemungutan PPN/PBJT Hotel

Untuk meminimalkan risiko kesalahan dan memperkuat validitas pengecualian, ikuti panduan 3 langkah praktis ini untuk setiap transaksi pembayaran makanan/katering di hotel:

  1. Verifikasi Status Hotel (Pemberi Jasa): Pastikan pihak yang menagih adalah entitas yang beroperasi sebagai hotel, yang berarti mereka menyediakan akomodasi dan juga layanan makanan/restoran terintegrasi.
  2. Periksa Rincian Tagihan: Teliti item-item dalam faktur atau invoice. Fokus pada bukti pemungutan PPN (jika output hotel sudah PPN) atau Pajak Daerah (PBJT, yang dulunya Pajak Hotel/Restoran). Jika tagihan makanan sudah mencantumkan salah satu dari pajak tersebut, pembayaran tersebut dikecualikan dari pemotongan PPh 23.
  3. Putuskan Pemotongan PPh 23: Jika kedua langkah di atas terpenuhi (Hotel + Bukti PPN/PBJT), Anda tidak perlu melakukan pemotongan PPh 23. Jika rincian makanan ditagihkan secara terpisah, tanpa pajak tersebut, atau ditagihkan oleh entitas pihak ketiga (bukan hotel), pemotongan PPh 23 mungkin diperlukan.

Proses Pembuatan Bukti Potong PPh 23 (E-Bupot)

Pencatatan yang akurat adalah bukti kepatuhan fiskal yang baik. Dalam pembukuan perusahaan Anda, transaksi ini harus dicatat dengan jelas. Dalam pengalaman praktisi, jika Anda memutuskan bahwa transaksi tersebut dikecualikan dari PPh 23, simpan salinan faktur hotel lengkap (yang mencantumkan PPN/PBJT) bersama dengan bukti pembayaran Anda. Dokumen ini adalah dasar hukum yang kuat saat audit pajak dilakukan.

Sebaliknya, jika Anda menemukan bahwa layanan tersebut memang dikenakan PPh 23 (misalnya, jasa katering yang ditagihkan secara terpisah oleh pihak ketiga yang beroperasi di dalam hotel), maka Wajib Pajak sebagai pembayar wajib:

  • Melakukan pemotongan PPh 23 sebesar 2% dari Dasar Pengenaan Pajak.
  • Membuat Bukti Potong PPh 23 melalui sistem e-Bupot (Bukti Potong Elektronik) yang disediakan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
  • Menyetorkan PPh 23 yang dipotong tersebut ke kas negara.
  • Melaporkan pemotongan tersebut dalam SPT Masa PPh Pasal 23.

Ketelitian pada tahap verifikasi faktur adalah kunci efisiensi dan kepatuhan dalam menangani kasus pembayaran makanan di hotel apakah jasa pph 23 ini.

Pertanyaan Umum Seputar PPh 23 Atas Pembayaran Makanan dan Katering

Q1. Apakah PPh 23 Dikenakan untuk Pembayaran Makanan di Restoran Umum?

Prinsip pengecualian pajak berganda tidak hanya berlaku untuk hotel, tetapi juga untuk restoran umum. Berdasarkan ketentuan perpajakan saat ini, pembayaran untuk pembelian makanan di restoran umum yang telah memungut Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) atau yang lebih dikenal sebagai Pajak Restoran Daerah, dikecualikan dari pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 (PPh 23). Ini berarti, jika Anda membayar makanan kepada penyedia jasa boga yang statusnya adalah restoran atau rumah makan dan mereka telah menyertakan PBJT (Pajak Restoran) dalam tagihan, maka tidak perlu dilakukan pemotongan PPh 23. Keputusan ini didasarkan pada argumen otoritas pajak bahwa objek pajak yang sama tidak dapat dikenakan dua jenis pajak secara bersamaan di tingkat pusat dan daerah, yang mana ini menunjukkan kepatuhan dan kejelasan dalam aturan fiskal.

Q2. Bagaimana Jika Hotel Tidak Mencantumkan PPN atau Pajak Daerah?

Ini adalah situasi yang menuntut kehati-hatian dalam proses pemotongan pajak. Syarat utama untuk pengecualian PPh 23 adalah adanya bukti bahwa transaksi tersebut telah dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atau Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) oleh pihak hotel/restoran. Jika faktur atau bukti pembayaran dari hotel tidak mencantumkan pemungutan PPN atau PBJT, pemotong (Wajib Pajak yang membayar) harus segera meminta klarifikasi dan bukti pendukung yang jelas dari pihak hotel. Tanpa adanya bukti pemungutan pajak lain (PPN atau PBJT), risiko pemotongan PPh 23 atas jasa katering tersebut menjadi lebih tinggi. Kami menyarankan Wajib Pajak untuk selalu melakukan verifikasi ini guna menghindari sengketa dan potensi koreksi pajak di kemudian hari, sebuah praktik yang sangat ditekankan oleh para konsultan pajak.

Q3. Apakah PPh 23 Berlaku untuk Jasa Penyewaan Ruangan Meeting Saja?

Ya, PPh 23 dapat berlaku untuk jasa penyewaan ruangan meeting, tetapi ada nuansa penting yang harus dipahami. Secara spesifik, PPh 23 dikenakan atas jasa penyewaan tempat, yang merupakan salah satu objek PPh 23 dengan tarif 2% dari jumlah bruto. Namun, pengecualian berlaku jika penyewaan ruangan tersebut merupakan bagian integral dari jasa perhotelan yang terintegrasi, misalnya, termasuk dalam “paket meeting” yang di dalamnya sudah dikenakan Pajak Hotel atau PBJT secara keseluruhan. Jika hotel secara eksplisit menagih jasa penyewaan ruangan murni sebagai item yang berdiri sendiri dan tidak ada pengenaan Pajak Hotel/PBJT, maka pemotongan PPh 23 atas sewa ruangan tersebut wajib dilakukan. Ketelitian dalam memeriksa rincian penagihan sangat krusial untuk menentukan perlakuan pajak yang tepat.

Final Takeaways: Menguasai Aturan Pajak Makanan Hotel di Tahun 2025

Tiga Poin Kepatuhan Pajak Kunci

Memahami perlakuan pajak atas pembayaran makanan di hotel sangat penting untuk memastikan kepatuhan dan menjaga kredibilitas bisnis di mata otoritas perpajakan. Prinsip utama yang harus dipegang teguh adalah: Pembayaran makanan atau katering yang disediakan oleh hotel dan sudah dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atau Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT—Pajak Daerah) dikecualikan dari pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23. Pengecualian ini bertujuan untuk menghindari pengenaan pajak berganda atas objek yang sama. Berdasarkan pengalaman kami dalam menyusun laporan keuangan, fokus pada bukti transaksi yang jelas adalah fondasi kepatuhan.

Langkah Berikutnya untuk Pengelola Keuangan Anda

Untuk praktik terbaik, pastikan Anda selalu menyimpan faktur pajak dan bukti pembayaran yang lengkap dari pihak hotel, yang secara eksplisit mencantumkan PPN atau PBJT yang telah dipungut. Dokumen ini adalah dasar hukum yang kuat untuk pengecualian PPh 23. Selanjutnya, pengelola keuangan wajib mematuhi mekanisme pelaporan pajak digital, khususnya dalam menggunakan sistem E-Bupot (Bukti Potong Elektronik) jika ada transaksi jasa lain yang memang terutang PPh 23. Pendekatan yang terstruktur dan didukung dokumentasi yang kuat merupakan sistem yang andal untuk memitigasi risiko audit.

Jasa Pembayaran Online
💬