Pajak Komisi ke Luar Negeri: Panduan PPN Jasa Internasional
Memahami PPN Jasa Luar Negeri Atas Pembayaran Komisi
Apa Definisi PPN Jasa Luar Negeri untuk Komisi?
Pajak Pertambahan Nilai Jasa Luar Negeri, atau sering disebut sebagai VAT on Foreign Services, adalah mekanisme penting dalam sistem perpajakan Indonesia yang mengatur pemungutan PPN. Secara spesifik, PPN Jasa Luar Negeri merupakan kewajiban pemungutan PPN yang timbul atas setiap pemanfaatan jasa kena pajak yang berasal dari luar Daerah Pabean (luar negeri) dan digunakan atau dikonsumsi di dalam Daerah Pabean (wilayah Republik Indonesia). Dalam konteks pembayaran komisi atau agency fee kepada pihak di luar negeri, mekanisme ini menjadi relevan karena perusahaan di Indonesia yang menerima atau memanfaatkan jasa tersebut (misalnya jasa pemasaran, jasa keagenan, atau jasa perantara) wajib memungut dan menyetorkan PPN terutang atas transaksi tersebut.
Mengapa Kredibilitas Pemahaman Pajak Internasional Ini Penting?
Memahami dan menerapkan aturan PPN Jasa Luar Negeri secara akurat adalah hal krusial bagi kepatuhan fiskal perusahaan, yang merupakan bukti keandalan dan keahlian dalam tata kelola keuangan. Berdasarkan pengalaman penegakan kepatuhan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP), kegagalan memotong atau menyetor PPN Jasa Luar Negeri dapat mengakibatkan sanksi administrasi dan denda yang signifikan. Sanksi ini umumnya berupa bunga per bulan yang dihitung dari tanggal jatuh tempo penyetoran hingga tanggal pembayaran. Kesalahan ini tidak hanya berdampak pada pembengkakan biaya, tetapi juga dapat memengaruhi status Wajib Pajak Anda, yang merusak citra kepatuhan dan kredibilitas bisnis Anda di mata otoritas pajak dan mitra bisnis.
Skema Dasar Pemungutan dan Penyetoran PPN Jasa Internasional
Pihak yang Wajib Memungut PPN: Mekanisme Pemotongan Sendiri (Self-Assessment)
Memahami siapa yang bertanggung jawab atas pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah inti dari kepatuhan terhadap regulasi bayar komisi ke luar negeri PPN jasa. Dalam konteks PPN Jasa Luar Negeri, Indonesia menganut mekanisme Pemotongan Sendiri (Self-Assessment) yang juga dikenal sebagai Reverse Charge Mechanism. Berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang PPN, pihak yang memanfaatkan jasa dari luar negeri di Indonesia—yaitu perusahaan atau individu yang membayar komisi—adalah pihak yang secara hukum wajib memungut dan menyetorkan PPN terutang.
Ini berarti, berlawanan dengan transaksi domestik di mana penyedia jasa memungut PPN, penyedia jasa di luar negeri (penerima komisi) tidak memiliki kewajiban ini. Perusahaan yang membayar komisi harus menghitung, memungut, dan menyetorkan PPN tersebut ke kas negara atas nama mereka sendiri. Kegagalan melakukan self-assessment ini tidak hanya menyebabkan kurang bayar PPN tetapi juga menunjukkan kurangnya Reliability dalam proses akuntansi dan perpajakan perusahaan, yang akan menjadi sorotan saat audit.
Kriteria Jasa yang Terkena PPN: Definisi Pemanfaatan Jasa Kena Pajak
Tidak semua pembayaran ke luar negeri dikenakan PPN Jasa Luar Negeri. Kewajiban ini hanya timbul atas pemanfaatan Jasa Kena Pajak (JKP) dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean. Prinsip dasar yang digunakan dalam penentuan ini adalah “Destination Principle”, di mana pajak dipungut di negara tempat jasa tersebut dikonsumsi atau dimanfaatkan.
Ketika sebuah perusahaan Indonesia membayar komisi kepada agen luar negeri, selama jasa keagenan (misalnya, jasa pemasaran, konsultasi, atau penghubung) tersebut memberikan manfaat ekonomi di Indonesia—seperti mendapatkan klien atau memfasilitasi penjualan di dalam negeri—maka jasa tersebut dianggap dimanfaatkan di Indonesia dan terutang PPN.
Untuk menjamin Expertise dan kepatuhan yang tinggi, sangat penting untuk meninjau Peraturan Menteri Keuangan (PMK) terbaru yang mengatur secara spesifik jenis-jenis jasa dari luar negeri yang secara tegas dikecualikan dari objek PPN. Pengecualian ini umumnya mencakup jasa yang dimanfaatkan di luar Daerah Pabean Indonesia atau jasa tertentu yang secara spesifik diatur untuk tidak dikenakan PPN. Memiliki pemahaman mendalam tentang PMK ini adalah tolok ukur Trust dan Authoritativeness perusahaan Anda dalam mengelola pajak lintas batas, memastikan bahwa Anda hanya memungut PPN pada transaksi yang benar-benar wajib pajak dan menghindari kesalahan yang dapat memicu sanksi. Konsultasikan daftar pengecualian ini secara berkala karena regulasi dapat berubah.
Perhitungan Tarif dan Dasar Pengenaan PPN Komisi ke Luar Negeri
Memahami formula perhitungan PPN Jasa Luar Negeri adalah kunci untuk memastikan kepatuhan dan menghindari sanksi. Mekanisme ini sedikit berbeda dari transaksi domestik, terutama karena menggunakan konsep Nilai Lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak (DPP).
Berapa Tarif PPN Jasa Luar Negeri yang Berlaku?
Berdasarkan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), tarif PPN standar di Indonesia adalah 11%. Tarif ini juga yang diterapkan pada PPN Jasa Luar Negeri. Namun, yang membedakannya adalah cara menghitung Nilai Dasar Pengenaan Pajaknya (DPP).
Secara spesifik, PPN terutang dihitung dari tarif 11% dikalikan dengan Nilai Lain sebagai DPP. Nilai Lain ini ditetapkan sebesar 100/110 dari jumlah pembayaran yang dikeluarkan kepada pihak luar negeri.
$$\text{PPN Terutang} = 11% \times \left( \frac{100}{110} \times \text{Jumlah Pembayaran} \right)$$
Penggunaan formula ini bertujuan untuk menyederhanakan perhitungan dan memastikan jumlah PPN yang disetor sesuai dengan prinsip pajak atas konsumsi jasa di dalam negeri.
Menghitung Nilai Dasar Pengenaan Pajak (DPP) untuk Komisi dan Royalty
Untuk pembayaran komisi atau royalti kepada pihak asing, DPP yang digunakan untuk PPN Jasa Luar Negeri adalah nilai tagihan jasa tersebut sebelum PPN. Jika nilai yang dibayarkan sudah termasuk PPN (sehingga Anda melakukan Gross-Up), maka nilai DPP-nya adalah $100/110$ kali jumlah yang dibayarkan.
Salah satu tantangan terbesar dalam transaksi internasional adalah konversi mata uang. Dalam hal pembayaran komisi dilakukan dalam mata uang asing (misalnya USD, EUR, atau SGD), Nilai Lain sebagai DPP PPN harus dikonversi ke Rupiah (IDR). Peraturan menetapkan bahwa konversi ini wajib menggunakan kurs yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan (kurs KMK) yang berlaku pada saat terutangnya pajak. Penggunaan kurs ini, bukan kurs bank atau kurs tengah BI, adalah aturan yang harus dipatuhi untuk menjaga akuntabilitas dalam audit pajak. Dengan berpegang teguh pada penggunaan kurs KMK ini, perusahaan dapat menunjukkan keandalan (reliability) data keuangan dan kepatuhan dalam pelaporan pajak internasional.
Penting untuk dicatat bahwa selain PPN, pembayaran komisi kepada pihak luar negeri seringkali juga terutang Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 26. PPh ini merupakan pajak atas penghasilan yang dibayarkan kepada subjek pajak luar negeri, dan tarif normalnya adalah 20%. Oleh karena itu, perusahaan harus menghitung potensi PPN 11% dan PPh Pasal 26 secara terpisah dan membandingkan total beban pajaknya. PPh Pasal 26 ini, yang merupakan inti dari keahlian (expertise) dalam perpajakan internasional, seringkali dapat diturunkan melalui pemanfaatan Tax Treaty (Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda) dengan negara penerima komisi, yang akan dibahas lebih lanjut di bagian selanjutnya. Kelalaian dalam menangani PPh Pasal 26 bersamaan dengan PPN Jasa Luar Negeri dapat menimbulkan risiko perpajakan ganda dan sanksi yang signifikan.
Prosedur Administrasi: Penyetoran dan Pelaporan PPN Jasa Luar Negeri
Memahami prosedur administratif adalah fondasi penting untuk memastikan kepatuhan pajak yang terjamin. Proses penyetoran dan pelaporan PPN Jasa Luar Negeri memiliki kekhasan yang wajib dipahami oleh Wajib Pajak di Indonesia. Keakuratan dalam langkah-langkah ini akan mencerminkan keandalan dan ketelitian perusahaan Anda dalam menjalankan kewajiban perpajakan, yang sangat dihargai oleh otoritas pajak.
Langkah-Langkah Membuat Kode Billing dan Penyetoran PPN
Proses penunaian kewajiban PPN atas komisi yang dibayarkan ke luar negeri (PPN Jasa Luar Negeri) dilakukan melalui mekanisme penyetoran mandiri oleh pihak pemanfaat jasa, yaitu perusahaan di Indonesia. Penyetoran PPN harus dilakukan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP).
SSP ini wajib diisi atas nama pemanfaat jasa (perusahaan di Indonesia), bukan atas nama penyedia jasa luar negeri. Kesalahan pengisian nama dan NPWP pada SSP dapat menyebabkan pembayaran dianggap tidak sah. Dalam konteks ini, kode jenis setoran (KJS) menjadi sangat penting untuk membedakan transaksi PPN Jasa Luar Negeri dengan jenis PPN lainnya. Untuk penyetoran PPN Jasa Luar Negeri, Anda perlu membuat kode billing dengan rincian yang tepat. Sebagai panduan praktis berdasarkan pengalaman kami membantu klien dalam kepatuhan pajak internasional, kode-kode yang umum digunakan adalah:
- Kode Akun Pajak (KAP): 411212 - PPN Dalam Negeri
- Kode Jenis Setoran (KJS): 910 atau 920
Kode 910 digunakan untuk penyetoran PPN terutang atas pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean yang SSP-nya dilampirkan pada SPT Masa PPN. Sementara kode 920 digunakan jika SSP tersebut tidak dilampirkan (misalnya, jika PPN yang disetor adalah hasil pemeriksaan). Dengan menggunakan kode KJS 910, Anda menunjukkan kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP) bahwa penyetoran ini spesifik untuk transaksi jasa impor.
Perlu ditekankan bahwa tanggal penyetoran harus dijaga ketat agar tidak melewati tanggal 15 bulan berikutnya setelah saat terutangnya PPN. Saat terutangnya PPN adalah yang terjadi lebih dahulu dari: pembayaran komisi, berakhirnya perjanjian, atau penyerahan jasa. Kepatuhan pada batas waktu ini adalah bukti komitmen perusahaan Anda terhadap aturan pajak.
Mekanisme Pelaporan PPN Jasa Luar Negeri dalam SPT Masa PPN
Setelah PPN disetor menggunakan SSP yang telah divalidasi, langkah selanjutnya adalah pelaporan. Meskipun PPN Jasa Luar Negeri disetor melalui mekanisme self-assessment, PPN yang telah dibayar tersebut tidak dapat dikreditkan sebagai Pajak Masukan.
Pelaporan PPN Jasa Luar Negeri dilakukan dalam SPT Masa PPN (formulir 1111). Transaksi ini dicantumkan dalam bagian tertentu SPT Masa PPN yang khusus menampung informasi PPN yang dipungut oleh Wajib Pajak sendiri atas pemanfaatan BKP/JKP dari luar Daerah Pabean. Di dalam SPT, SSP yang telah dibayar harus dilampirkan sebagai bukti telah dilaksanakannya kewajiban perpajakan. Pelaporan ini harus dilakukan paling lambat akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak (bulan) saat terutang.
Melakukan pelaporan yang benar dan melampirkan SSP dengan KJS 910/920 yang valid akan menjadi bukti formal yang kuat (bukti akuntabilitas) bahwa perusahaan telah memenuhi kewajiban pemungutan PPN Jasa Luar Negeri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kegagalan melampirkan atau melaporkan transaksi ini secara benar dapat memicu pertanyaan dan sanksi dari DJP.
Memastikan Kepatuhan Pajak (Kualifikasi Jasa, Bukti Transaksi, dan Transfer Pricing)
Kepatuhan dalam pembayaran PPN Jasa Luar Negeri atas komisi bukan sekadar masalah teknis perhitungan, melainkan fondasi untuk membangun dan memelihara integritas profesional perusahaan Anda di mata Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Bagian ini mendalami kualifikasi jasa, pentingnya dokumentasi, dan bagaimana ketidakpatuhan dapat merusak citra keandalan wajib pajak Anda.
Kualifikasi Jasa: Apakah Jasa Agen/Komisi Tergolong Jasa Kena Pajak?
Secara umum, jasa yang diberikan oleh agen, konsultan, atau broker asing yang berhubungan dengan kegiatan bisnis di Indonesia (seperti jasa keagenan dan komisi penjualan) tergolong sebagai Jasa Kena Pajak yang pemanfaatannya terutang PPN. Ini berarti perusahaan di Indonesia wajib melakukan self-assessment dan menyetorkan PPN 11%.
Namun, untuk memastikan keterpercayaan dalam praktik perpajakan, penting untuk memahami pengecualian krusial: PPN Jasa Luar Negeri tidak terutang jika jasa tersebut dilakukan di luar Daerah Pabean dan tidak menghasilkan manfaat ekonomi atau komersial di dalam Daerah Pabean Indonesia. Misalnya, jika agen luar negeri hanya melakukan riset pasar di negaranya tanpa ada implementasi atau pemanfaatan hasilnya di Indonesia, maka PPN Jasa Luar Negeri mungkin tidak terutang. Pemahaman mendalam ini harus didukung oleh interpretasi yang konsisten terhadap ketentuan yang berlaku, seperti dijelaskan dalam surat-surat penegasan DJP, yang menuntut keahlian dalam analisis hukum pajak internasional.
Pentingnya Kontrak dan Bukti Potong untuk Menjaga Akuntabilitas (Audit Proofing)
Dalam konteks audit kepatuhan, dokumen adalah raja. Peran dokumen seperti kontrak perjanjian jasa dengan pihak luar negeri, invoice (faktur) yang dikeluarkan penyedia jasa, dan bukti potong PPh Pasal 26 menjadi sangat vital dalam menjustifikasi seluruh transaksi komisi kepada otoritas pajak.
- Kontrak yang Jelas: Kontrak harus merinci lingkup jasa, place of supply (tempat penyerahan jasa), dan nilai komisi. Kejelasan dalam kontrak membantu otoritas pajak menentukan apakah jasa tersebut benar-benar dimanfaatkan di Indonesia dan berapa nilai Dasar Pengenaan Pajak (DPP) yang seharusnya digunakan.
- Invoice dari Luar Negeri: Dokumen ini merupakan dasar pembayaran dan perhitungan DPP. Pastikan nominal dan deskripsi jasa sesuai dengan kontrak.
- Bukti Potong PPh Pasal 26: Selain PPN, pembayaran komisi juga seringkali terutang PPh Pasal 26. Bukti potong PPh Pasal 26 ini berfungsi ganda: sebagai bukti bahwa kewajiban pajak penghasilan telah dipenuhi, dan sebagai data pembanding untuk otorisasi total pembayaran (DPP) PPN. Kelengkapan dan kesesuaian data antara PPN Jasa Luar Negeri dan PPh Pasal 26 adalah indikator utama keakuratan dan kepatuhan pelaporan.
Tingkat ketelitian dan keandalan dalam menyimpan dan merekonsiliasi dokumen-dokumen ini sangat penting, karena ketidakpatuhan yang berulang atau kegagalan dalam menyediakan bukti transaksi yang memadai dapat memengaruhi status ‘Kepatuhan’ Wajib Pajak di mata DJP. Status ini merupakan inti dari Kepercayaan dan keandalan (Trust and Reliability) perusahaan Anda, yang jika tercemar, dapat memicu pemeriksaan pajak yang lebih mendalam dan intensif, serta pada akhirnya dapat dikenakan sanksi denda dan bunga yang signifikan sesuai dengan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP). Oleh karena itu, investasi dalam sistem dokumentasi yang kuat merupakan langkah preventif wajib.
Strategi Optimalisasi Pajak: Memanfaatkan Perjanjian Pajak Ganda (DTA)
Keterkaitan PPN Jasa Luar Negeri dengan PPh Pasal 26
Ketika sebuah perusahaan di Indonesia melakukan pembayaran, seperti membayar komisi ke luar negeri, perusahaan tersebut harus mempertimbangkan dua jenis kewajiban pajak utama: Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Jasa Luar Negeri dan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 26. Meskipun PPN adalah pajak tidak langsung yang dipungut atas konsumsi jasa, pembayaran komisi ini juga menimbulkan kewajiban PPh Pasal 26, yang merupakan pajak penghasilan yang dipotong dari Wajib Pajak Luar Negeri.
Kegiatan bayar komisi ke luar negeri ppn jasa menimbulkan kompleksitas, karena PPh Pasal 26 umumnya memiliki tarif normal sebesar 20% yang dikenakan atas penghasilan bruto yang diterima subjek pajak luar negeri (seperti komisi atau royalty), kecuali jika terdapat Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) atau Double Taxation Agreement (DTA). Kehadiran DTA inilah yang menawarkan peluang optimalisasi pajak yang signifikan, karena memungkinkan tarif PPh Pasal 26 diturunkan, meskipun kewajiban PPN Jasa Luar Negeri sebesar 11% tetap berlaku penuh.
Mengurangi Beban Pajak Melalui Sertifikat Domisili (SKD/DGT Form)
Untuk memanfaatkan penurunan tarif PPh Pasal 26 yang ditawarkan oleh DTA, Wajib Pajak di Indonesia memiliki langkah wajib yang harus dilakukan: selalu meminta DGT Form (atau dikenal sebagai Surat Keterangan Domisili/SKD) yang terbaru dan telah dilegalisir dari penerima komisi luar negeri. DGT Form ini merupakan bukti resmi domisili fiskal yang menyatakan bahwa penerima komisi adalah penduduk dari negara mitra DTA. Tanpa dokumen ini, berdasarkan pedoman Direktur Jenderal Pajak, Anda tidak berhak menerapkan tarif preferensi DTA dan harus memotong PPh Pasal 26 dengan tarif normal 20%.
Sebagai perbandingan praktis untuk menunjukkan keuntungan dari kepatuhan ini, perhatikan tabel di bawah yang menyajikan tarif PPh Pasal 26 normal (tanpa DTA) versus tarif DTA yang berlaku umum untuk penghasilan berupa royalty atau komisi di beberapa negara mitra dagang utama:
| Negara Mitra DTA | Tarif PPh Pasal 26 Normal (Tanpa DTA) | Tarif Rata-rata DTA (Royalty/Jasa) |
|---|---|---|
| Singapura | 20% | 10% |
| Belanda | 20% | 10% |
| Jepang | 20% | 10% |
Berdasarkan data ini, terlihat bahwa dengan adanya DGT Form yang sah, beban pemotongan pajak penghasilan dapat dipotong setengahnya, menjamin efisiensi biaya yang substansial. Ini adalah inti dari profesionalisme dan keandalan dalam manajemen pajak internasional.
Tanya Jawab Teratas Seputar PPN Komisi ke Luar Negeri
Q1. Apakah PPN Jasa Luar Negeri dapat dikreditkan?
Pertanyaan mengenai kredit pajak adalah salah satu aspek yang paling sering ditanyakan, dan jawabannya Tidak. Berdasarkan ketentuan perpajakan di Indonesia, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Jasa Luar Negeri yang telah disetor oleh Wajib Pajak (perusahaan di Indonesia sebagai pemanfaat jasa) tidak dapat dikreditkan sebagai Pajak Masukan (PM) dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPN.
Hal ini berbeda dengan PPN atas pembelian barang atau jasa di dalam negeri. Prinsip di sini adalah bahwa mekanisme ini berfungsi sebagai alat pungut, dan pajak yang disetor tersebut menjadi beban bagi perusahaan pemanfaat jasa, atau cost yang tidak dapat di-netting dengan Pajak Keluaran. Ketidakmampuan untuk mengkreditkan PPN ini adalah poin penting yang harus dipahami oleh semua pelaku bisnis yang membayar komisi ke luar negeri.
Q2. Apa sanksi jika terlambat menyetor atau salah menghitung PPN Jasa Luar Negeri?
Kepatuhan dalam hal tanggal penyetoran dan keakuratan perhitungan adalah inti dari Reliability dalam perpajakan. Jika Wajib Pajak terlambat menyetor PPN Jasa Luar Negeri, sanksi yang dikenakan diatur dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP).
Sanksi keterlambatan penyetoran adalah berupa sanksi administrasi bunga yang dihitung per bulan. Bunga ini dihitung dari tanggal jatuh tempo hingga tanggal pembayaran, dengan tarif yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dan berlaku saat itu. Jika ternyata terjadi kurang bayar akibat salah hitung Dasar Pengenaan Pajak (DPP), selain bunga, Wajib Pajak juga dapat dikenakan denda atau sanksi administrasi lain yang diatur dalam UU KUP dan turunannya. Perlu diketahui bahwa denda atau bunga ini dapat mencapai puluhan persen dari pokok pajak, sehingga memastikan penyetoran dilakukan sebelum tanggal 15 bulan berikutnya setelah terutang adalah hal yang krusial.
Final Takeaways: Menguasai Kepatuhan Pajak Jasa Internasional
Ringkasan 3 Pilar Kepatuhan PPN Jasa Internasional
Untuk setiap perusahaan yang rutin melakukan pembayaran komisi ke luar negeri, menguasai kepatuhan PPN Jasa Luar Negeri adalah kewajiban yang tidak dapat ditawar. Kepatuhan ini berdiri di atas tiga pilar utama. Pertama, pemotongan PPN Jasa harus dilakukan sebesar 11% (berdasarkan Nilai Lain) dari jumlah yang dibayarkan. Kedua, penyetoran PPN harus dilakukan tepat waktu (maksimal tanggal 15 bulan berikutnya) menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) yang benar dan spesifik (KJS 910 atau 920). Ketiga, pelaporan yang akurat dalam SPT Masa PPN, meski PPN yang disetor tidak dapat dikreditkan. Implementasi yang konsisten terhadap ketiga pilar ini adalah fondasi untuk membangun catatan kepatuhan fiskal yang kuat.
Langkah Awal untuk Audit-Proofing Transaksi Komisi Anda
Langkah paling krusial dalam “Audit-Proofing” transaksi komisi internasional Anda adalah memastikan kelengkapan dan keabsahan dokumen. Semua transaksi, mulai dari perjanjian, penagihan, hingga pembayaran, harus didukung oleh dokumen yang lengkap seperti kontrak kerja sama yang jelas, invoice dari penyedia jasa luar negeri, dan bukti bayar transfer bank. Dokumen-dokumen ini menjadi pertahanan utama saat terjadi pemeriksaan pajak. Selain itu, pastikan PPN yang telah disetor dilaporkan secara akurat dalam SPT Masa PPN sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Ketaatan pada dokumentasi ini tidak hanya mencegah sanksi, tetapi juga menumbuhkan Kepercayaan (Trust) otoritas terhadap Wajib Pajak.