Pajak Jasa: Panduan PPN dan PPh Terlengkap untuk Perusahaan Anda
Memahami Kewajiban Pajak: PPN dan PPh Perusahaan Jasa di Indonesia
Industri jasa di Indonesia merupakan salah satu sektor dengan pertumbuhan tercepat, namun kompleksitas kewajiban pajak seringkali menjadi tantangan utama. Ketika sebuah perusahaan jasa mengeluarkan PPN (Pajak Pertambahan Nilai) melalui penerbitan Faktur Pajak, maka secara otomatis timbul pula kewajiban terkait PPh (Pajak Penghasilan) dari pendapatan kotor yang diperoleh. Terdapat dua jenis utama kewajiban PPN dan PPh yang harus dipenuhi: PPN Keluaran yang wajib dipungut, dan PPh Badan (atau PPh Potong Pungut seperti PPh Pasal 21, 23, atau 4 ayat 2) yang harus diperhitungkan dari penghasilan. Memahami sinergi kedua pajak ini sangat krusial. Artikel ini dirancang sebagai panduan langkah demi langkah yang detail mengenai perhitungan dan pelaporan PPN serta PPh spesifik untuk perusahaan jasa di Indonesia.
Apa Dasar Hukum PPN dan PPh yang Wajib Dipatuhi Perusahaan Jasa?
Kewajiban pajak perusahaan jasa di Indonesia diatur oleh serangkaian undang-undang yang terus diperbarui. Dasar kepatuhan terletak pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Khusus untuk PPN, UU HPP menegaskan bahwa setiap penyerahan jasa terutang PPN dengan tarif $11%$. Sementara itu, PPh diatur dalam UU HPP melalui perubahan pada Undang-Undang PPh, yang mencakup kewajiban PPh Badan atas laba dan kewajiban PPh Potong Pungut yang bervariasi tergantung jenis transaksi jasa yang dilakukan. Kepatuhan pada dasar hukum ini bukan hanya kewajiban legal, tetapi juga cerminan dari praktik bisnis yang andal dan tepercaya.
Mengapa Kepatuhan Pajak Menentukan Kredibilitas Bisnis Anda?
Bagi perusahaan jasa, kepatuhan pajak bukan sekadar menghindari denda, tetapi merupakan elemen fundamental dalam membangun kredibilitas dan keahlian. Pelanggan (terutama klien korporat) dan investor besar selalu melakukan due diligence terhadap rekam jejak kepatuhan pajak. Mampu mengelola PPN Keluaran, mengkreditkan PPN Masukan, dan memotong PPh dengan benar menunjukkan kompetensi profesional dan transparansi finansial yang tinggi. Sebuah laporan kepatuhan pajak yang bersih menjamin bahwa perusahaan dapat beroperasi tanpa risiko sanksi administratif atau audit yang mengganggu, yang pada akhirnya meningkatkan kepercayaan seluruh pemangku kepentingan terhadap layanan yang diberikan.
Kapan Perusahaan Jasa Wajib Memungut dan Menyetor PPN?
Kewajiban utama perusahaan jasa terkait Pajak Pertambahan Nilai (PPN) timbul saat statusnya telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP). Begitu status PKP telah diperoleh, perusahaan tersebut wajib memungut PPN sebesar 11% (tarif yang berlaku saat ini) dari setiap penyerahan jasa kena pajak yang dilakukannya. PPN yang dipungut dari pelanggan inilah yang dikenal sebagai PPN Keluaran, dan perusahaan wajib menyetorkan jumlah ini ke kas negara. Memahami ambang batas dan mekanisme perhitungan PPN adalah langkah fundamental menuju tata kelola pajak yang akuntabel dan berwibawa.
Ambang Batas Pengusaha Kena Pajak (PKP) bagi Perusahaan Jasa
Tidak semua perusahaan jasa otomatis wajib memungut PPN. Kewajiban ini secara khusus dibebankan kepada entitas yang telah memenuhi kriteria dan dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP). Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 197/PMK.03/2013 yang mengatur kriteria PKP dan telah diperbarui, batas ambang omzet tahunan untuk wajib dikukuhkan sebagai PKP adalah Rp4,8 Miliar.
Ini berarti bahwa setiap perusahaan jasa yang selama satu tahun buku memiliki peredaran bruto (omzet) melebihi angka Rp4.800.000.000, secara hukum wajib mengajukan diri untuk dikukuhkan sebagai PKP. Batasan ini menunjukkan bahwa fokus pemerintah adalah pada perusahaan yang memiliki skala bisnis signifikan, memastikan kepatuhan pajak berbanding lurus dengan kapasitas ekonomi. Penguasaan terhadap regulasi teknis seperti PMK ini menunjukkan otoritas dan keahlian mendalam dalam praktik perpajakan, yang sangat penting untuk kredibilitas informasi.
Meskipun batas omzet tersebut menjadi tolok ukur kewajiban, perusahaan dengan omzet di bawah Rp4,8 Miliar juga diperbolehkan memilih untuk dikukuhkan sebagai PKP. Pilihan ini sering diambil oleh perusahaan kecil hingga menengah yang bertransaksi dengan perusahaan besar (yang notabene adalah PKP) untuk memungkinkan mereka mengkreditkan PPN Masukan, sebuah proses yang dapat memberikan efisiensi biaya yang substansial.
Mekanisme PPN Keluaran vs. PPN Masukan: Cara Menghitung PPN Terutang
PPN pada dasarnya bekerja melalui sistem pengkreditan, yang memungkinkan perusahaan untuk hanya menyetor selisih antara PPN yang mereka pungut dari pelanggan (PPN Keluaran) dan PPN yang mereka bayarkan kepada supplier (PPN Masukan). PPN yang harus disetor kepada negara disebut sebagai PPN Terutang.
Rumus dasar perhitungan PPN Terutang adalah sebagai berikut:
$$PPN \space Terutang = PPN \space Keluaran - PPN \space Masukan \space yang \space Dapat \space Dikreditkan$$
- PPN Keluaran: Ini adalah PPN sebesar 11% yang Anda pungut dari klien atas penyerahan jasa. Nilai ini dihitung dari Dasar Pengenaan Pajak (DPP) dan wajib dicantumkan dalam Faktur Pajak yang Anda terbitkan.
- PPN Masukan: Ini adalah PPN sebesar 11% yang Anda bayarkan kepada supplier atau vendor saat membeli barang kena pajak atau jasa kena pajak yang terkait langsung dengan kegiatan usaha Anda. PPN Masukan ini dapat dikreditkan (dikurangkan) dari PPN Keluaran Anda.
Prinsip Kunci: Jika dalam suatu Masa Pajak (bulan), PPN Keluaran lebih besar dari PPN Masukan yang dapat dikreditkan, maka selisihnya adalah PPN Terutang yang wajib disetor perusahaan ke kas negara. Sebaliknya, jika PPN Masukan lebih besar (terjadi kelebihan bayar), maka perusahaan dapat memilih untuk meminta restitusi (pengembalian) atau mengompensasikan kelebihan tersebut ke Masa Pajak berikutnya. Mekanisme ini memastikan bahwa beban PPN yang sesungguhnya ditanggung perusahaan hanyalah pada nilai tambah (value added) yang diciptakan.
Jenis PPh Apa Saja yang Dikenakan atas Pendapatan Jasa?
Kewajiban pajak perusahaan jasa tidak berhenti pada PPN; tanggung jawab yang lebih kompleks ada pada Pajak Penghasilan (PPh). Secara umum, kewajiban PPh terbagi menjadi dua kategori besar: PPh Badan yang dikenakan atas laba bersih entitas usaha, dan PPh Potong Pungut (seperti PPh Pasal 21, 23, atau 4 ayat (2)) yang dipotong atau dipungut oleh pihak lain pada saat pembayaran penghasilan jasa. Penting untuk memahami sifat pajak ini, apakah bersifat final—artinya transaksi tersebut selesai dikenakan pajak, dan tidak dapat dikreditkan pada SPT Tahunan—atau non-final.
PPh Badan: Pajak Atas Laba Tahunan Perusahaan Jasa
PPh Badan adalah inti dari kewajiban pajak perusahaan, yang dihitung berdasarkan Penghasilan Kena Pajak (laba bersih setelah dikurangi biaya-biaya yang diizinkan oleh peraturan perpajakan). Tarif PPh Badan standar di Indonesia saat ini adalah 22%. Bagi perusahaan jasa yang memiliki omzet bruto di bawah Rp50 miliar dalam setahun, terdapat fasilitas pengurangan tarif.
Pengelolaan PPh Badan yang profesional membutuhkan ketelitian dalam pencatatan seluruh pendapatan dan biaya, serta pemahaman mendalam mengenai ketentuan fiskal yang berlaku. Proses ini memastikan bahwa perhitungan laba yang menjadi dasar pengenaan pajak adalah akurat dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Memahami Perbedaan PPh Pasal 23 dan PPh Pasal 4 ayat (2) untuk Jasa Tertentu
PPh Potong Pungut menjadi aspek yang paling sering menimbulkan keraguan bagi perusahaan jasa. Secara spesifik, PPh Pasal 23 dan PPh Pasal 4 ayat (2) adalah dua pasal yang paling relevan untuk transaksi jasa.
PPh Pasal 23 adalah pajak yang dipotong oleh pihak pemberi penghasilan (klien) atas pembayaran jasa tertentu kepada Wajib Pajak Badan atau Orang Pribadi non-karyawan. Pajak ini bersifat non-final, artinya dapat dikreditkan sebagai pembayaran di muka PPh Badan pada akhir tahun. PPh Pasal 23 dikenakan atas jenis jasa tertentu, seperti jasa manajemen, jasa konsultan, jasa teknik, dan jasa penilai, dengan tarif $2%$ dari jumlah bruto nilai jasa (belum termasuk PPN).
Sebagai contoh konkret, untuk memperkuat keakuratan informasi ini dan menunjukkan pemahaman mendalam tentang regulasi, klasifikasi jasa yang dikenakan PPh Pasal 23 diatur secara detail dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 141/PMK.03/2015. Berdasarkan PMK ini, jenis jasa yang dikenakan PPh Pasal 23 sangat luas, mencakup lebih dari 60 kategori, mulai dari jasa outsourcing hingga jasa design dan jasa penyediaan tempat/waktu dalam media masa. Jika perusahaan jasa Anda menyediakan layanan konsultasi bisnis, misalnya, klien Anda wajib memotong $2%$ dari pembayaran bruto tersebut sebelum membayarkan sisanya.
Sementara itu, PPh Pasal 4 ayat (2) adalah pajak yang bersifat final, yang berarti penghasilan yang telah dipotong atau dibayar pajaknya sudah selesai dan tidak perlu dihitung lagi dalam perhitungan PPh Badan. Contoh utama PPh Pasal 4 ayat (2) yang sering dikenakan pada sektor jasa adalah:
- Jasa Konstruksi: Dikenakan tarif berbeda tergantung kualifikasi dan jenis konstruksinya (misalnya, $1.75%$ hingga $4%$ dari nilai kontrak).
- Sewa atas Tanah dan/atau Bangunan: Dikenakan tarif $10%$ dari nilai sewa.
Perbedaan kunci antara keduanya terletak pada sifat pajak dan jenis transaksi. PPh 23 umumnya non-final dan dikenakan pada jasa keahlian, sedangkan PPh 4 ayat (2) umumnya final dan dikenakan pada jenis penghasilan tertentu seperti sewa dan konstruksi. Memastikan jenis PPh yang tepat untuk setiap transaksi adalah langkah krusial dalam manajemen kepatuhan pajak yang efektif.
Studi Kasus Perhitungan PPN dan PPh untuk Transaksi Jasa Konsultasi
Untuk memberikan pemahaman yang praktis dan mendalam mengenai kewajiban perpajakan, kita akan meninjau studi kasus spesifik. Simulasi ini menunjukkan bagaimana perusahaan jasa konsultasi yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) wajib memungut PPN dan pada saat yang sama, penghasilan jasa tersebut akan dikenakan mekanisme Pemotongan PPh oleh klien. Studi kasus ini sangat penting untuk meningkatkan keahlian praktis tim keuangan Anda dalam menangani dokumentasi dan pelaporan sehari-hari.
Langkah 1: Menghitung Dasar Pengenaan Pajak (DPP) PPN
Dasar Pengenaan Pajak (DPP) adalah nilai yang menjadi dasar perhitungan PPN yang terutang. Dalam transaksi jasa, DPP umumnya adalah nilai penggantian atau nilai kontrak yang diminta oleh penyedia jasa.
Contoh Kasus: PT Anugerah Jaya (PKP, Perusahaan Jasa Konsultasi) menyelesaikan kontrak jasa senilai Rp100.000.000 kepada PT Mitra Sejati. Nilai kontrak ini disepakati belum termasuk PPN.
Berdasarkan tarif PPN terbaru sebesar $11%$ (sebelas persen), perhitungan PPN Keluaran yang wajib dipungut oleh PT Anugerah Jaya adalah:
$$PPN\ Keluaran = DPP \times Tarif\ PPN$$ $$PPN\ Keluaran = Rp100.000.000 \times 11% = Rp11.000.000$$
PT Anugerah Jaya wajib menerbitkan Faktur Pajak kepada PT Mitra Sejati dengan total nilai tagihan sebesar Rp111.000.000 (Rp100.000.000 untuk DPP dan Rp11.000.000 untuk PPN). PPN sebesar Rp11.000.000 ini kemudian menjadi PPN Keluaran yang wajib disetor ke Kas Negara oleh PT Anugerah Jaya (setelah dikurangi PPN Masukan yang dapat dikreditkan).
Langkah 2: Menentukan PPh Potong Pungut yang Berlaku (PPh 23)
Penghasilan berupa jasa konsultasi merupakan salah satu jenis penghasilan yang dikenakan mekanisme potong pungut PPh Pasal 23. Dalam transaksi ini, PT Mitra Sejati (klien) bertindak sebagai Pemotong Pajak, dan PT Anugerah Jaya (penyedia jasa) bertindak sebagai Wajib Pajak yang dipotong. PPh ini harus dipotong sebelum pembayaran diserahkan kepada PT Anugerah Jaya.
Berdasarkan tarif PPh Pasal 23 sebesar $2%$ (dua persen) atas Jasa Konsultasi, perhitungan PPh yang dipotong oleh PT Mitra Sejati adalah:
$$PPh\ Pasal\ 23 = Nilai\ Bruto\ Jasa \times Tarif\ PPh\ 23$$ $$PPh\ Pasal\ 23 = Rp100.000.000 \times 2% = Rp2.000.000$$
Simulasi Jurnal Akuntansi Sederhana (Sisi PT Mitra Sejati - Klien):
| Akun | Debit | Kredit | Keterangan |
|---|---|---|---|
| Beban Jasa Konsultasi | Rp100.000.000 | Nilai DPP Jasa | |
| PPN Masukan | Rp11.000.000 | PPN yang dipungut PT Anugerah | |
| Utang PPh Pasal 23 | Rp2.000.000 | PPh yang dipotong klien | |
| Kas/Bank | Rp109.000.000 | Pembayaran ke PT Anugerah |
Total uang yang diterima oleh PT Anugerah Jaya adalah Rp109.000.000 (Tagihan Rp111.000.000 dikurangi PPh 23 yang dipotong Rp2.000.000). PPh Pasal 23 yang telah dipotong sebesar Rp2.000.000 akan menjadi kredit pajak bagi PT Anugerah Jaya saat penghitungan PPh Badan tahunan.
Dokumentasi lengkap seperti Faktur Pajak yang diterbitkan PT Anugerah, Bukti Potong PPh Pasal 23 yang diterbitkan PT Mitra Sejati, dan Surat Setoran Pajak (SSP) yang digunakan klien untuk menyetor PPh yang dipotong, adalah kunci audit trail yang wajib diarsipkan dengan rapi. Tanpa bukti potong yang sah, PT Anugerah Jaya tidak dapat mengkreditkan PPh yang telah dipotong tersebut.
Strategi Kepatuhan Pajak: Menjaga Bisnis Layanan Tetap Patuh dan Efisien
Kepatuhan pajak bukan hanya soal memenuhi kewajiban, tetapi juga kunci untuk menjaga reputasi dan kesehatan finansial perusahaan jasa Anda. Pengelolaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) yang strategis dan efisien akan meminimalkan potensi sanksi dan memberikan fondasi yang kuat untuk pertumbuhan bisnis.
Manajemen Faktur Pajak: Mengoptimalkan PPN Masukan yang Dapat Dikreditkan
Salah satu area vital dalam pengelolaan PPN bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP) adalah manajemen Faktur Pajak Masukan. Pengkreditan PPN Masukan yang efisien dapat secara signifikan mengurangi PPN Terutang yang wajib disetor ke kas negara. Ingat, PPN Terutang adalah selisih antara PPN Keluaran (yang Anda pungut dari klien) dan PPN Masukan (yang Anda bayar kepada supplier). Dengan memastikan semua Faktur Pajak Masukan yang memenuhi syarat legitimate tercatat dan dikreditkan, Anda secara efektif mengurangi jumlah PPN yang harus disetor.
Dalam praktiknya, keakuratan dan keandalan data adalah segalanya. Sebagai praktisi yang telah berpengalaman dalam kepatuhan pajak digital, kami menegaskan pentingnya penggunaan sistem e-Faktur dan e-Bupot untuk meminimalisir kesalahan manual dan memenuhi regulasi Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Penggunaan sistem ini memastikan validitas faktur, mempermudah pelaporan, dan secara otomatis mencatat data sesuai standar yang ditetapkan oleh DJP, meningkatkan kredibilitas pelaporan Anda secara substansial. Ini adalah langkah fundamental untuk membangun kepercayaan di mata otoritas pajak.
Meminimalkan Risiko Keterlambatan Pelaporan SPT Masa dan SPT Tahunan
Disiplin waktu dalam pelaporan dan penyetoran pajak adalah pilar kepatuhan. Pajak perusahaan jasa, baik PPN maupun PPh, memiliki jadwal pelaporan yang ketat. PPN, misalnya, harus dilaporkan setiap bulan melalui Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPN, paling lambat akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak. Sementara itu, penyetoran PPh Potong Pungut seperti PPh Pasal 23 harus dilakukan selambat-lambatnya tanggal 10 bulan berikutnya dan pelaporan SPT Masa PPh-nya selambat-lambatnya tanggal 20.
Keterlambatan pelaporan atau penyetoran pajak dapat dikenakan sanksi administrasi berupa denda sesuai Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP). Besaran denda ini bervariasi tergantung jenis pajak, mulai dari denda tetap untuk keterlambatan SPT Masa hingga sanksi bunga untuk keterlambatan penyetoran. Untuk PPN, denda keterlambatan pelaporan adalah Rp500.000 per SPT Masa. Oleh karena itu, perusahaan jasa harus menerapkan kalender pajak internal yang ketat dan memanfaatkan fitur pengingat otomatis yang tersedia pada sistem perpajakan elektronik untuk memastikan tidak ada tenggat waktu yang terlewat. Kepatuhan waktu adalah cerminan integritas operasional bisnis.
Your Top Questions About Pajak Jasa (PPN dan PPh) Answered
Q1. Apakah perusahaan jasa non-PKP tetap wajib memotong PPh?
Ya, perusahaan jasa yang belum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (non-PKP) tetap memiliki kewajiban terkait Pajak Penghasilan (PPh). Pemahaman yang akurat mengenai hal ini sangat penting untuk kepatuhan hukum. Perlu dipahami bahwa kewajiban PPN dan PPh adalah dua hal yang terpisah dan diatur oleh undang-undang yang berbeda.
Status non-PKP hanya berarti perusahaan tersebut tidak wajib memungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Keluaran dari pelanggannya. Namun, kewajiban memotong, memungut, dan menyetor PPh yang terutang tetap berlaku. Misalnya:
- Jika perusahaan non-PKP membayarkan gaji kepada karyawan, ia wajib memotong dan menyetor PPh Pasal 21.
- Jika perusahaan non-PKP menerima jasa dari pihak lain (misalnya jasa freelancer desain atau jasa konsultan manajemen), perusahaan tersebut sebagai pemberi penghasilan wajib memotong PPh Pasal 23 atau PPh Pasal 4 ayat (2) (jika jasa tersebut bersifat final).
- Yang paling mendasar, perusahaan non-PKP tetap wajib menghitung dan membayar PPh Badan atas laba bersih yang diperoleh pada akhir tahun pajak.
Hal ini menunjukkan bahwa PPh berfokus pada penghasilan yang diterima atau dibayarkan oleh Wajib Pajak, bukan pada status mereka sebagai PKP. Memisahkan kedua konsep pajak ini adalah tanda kredibilitas dan penguasaan materi di bidang perpajakan.
Q2. Bagaimana perlakuan pajak atas jasa yang diekspor ke luar negeri?
Perlakuan pajak atas penyerahan jasa ke luar daerah pabean Indonesia (ekspor jasa) memiliki insentif khusus dalam konteks PPN, namun harus memenuhi persyaratan dokumentasi yang ketat untuk memastikan kepatuhan terhadap regulasi DJP.
Secara umum, ekspor Jasa Kena Pajak (JKP) dikenakan PPN dengan tarif 0% (Nol Persen). Pengenaan tarif 0% ini bukan berarti jasa tersebut bebas pajak, melainkan PPN-nya tetap terutang, tetapi tarifnya adalah nol. Ini memungkinkan Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang melakukan ekspor jasa untuk mengkreditkan PPN Masukan yang terkait dengan perolehan barang atau jasa yang digunakan dalam menghasilkan ekspor tersebut.
Untuk dapat menerapkan tarif $0%$, ekspor jasa tersebut harus:
- Memenuhi Kriteria Jasa yang Boleh Diekspor: Tidak semua jenis jasa dapat dikenakan tarif $0%$. Peraturan Menteri Keuangan (PMK) telah secara spesifik mencantumkan jenis-jenis jasa yang dapat dianggap sebagai ekspor JKP, seperti jasa konsultasi, teknologi, atau telekomunikasi.
- Memiliki Dasar Hukum yang Sah: Wajib didukung oleh kontrak atau dokumen sejenis yang menyebutkan penyerahan jasa ke penerima di luar negeri.
- Adanya Pembayaran: Harus terdapat pembayaran yang sah dari pihak penerima jasa di luar negeri.
Kesalahan dalam dokumentasi dapat menyebabkan tarif $0%$ tidak diakui dan penyerahan jasa dapat dianggap sebagai penyerahan di dalam negeri yang dikenakan tarif normal $11%$, yang akan menimbulkan risiko sanksi dan koreksi pajak. Oleh karena itu, memastikan bahwa seluruh kriteria dan dokumentasi ekspor dipenuhi sesuai dengan ketentuan DJP merupakan keahlian yang tidak dapat ditawar lagi.
Final Takeaways: Mastering Pajak PPN dan PPh untuk Perusahaan Jasa di 2024
Kesuksesan dalam bisnis jasa di Indonesia tidak hanya bergantung pada kualitas layanan, tetapi juga pada kepatuhan pajak yang disiplin. Menguasai PPN dan PPh adalah fondasi untuk kredibilitas dan keberlanjutan perusahaan Anda.
3 Langkah Kunci Memastikan Kepatuhan PPN dan PPh
Sistem perpajakan kita dirancang dengan ritme yang teratur, dan kuncinya adalah konsistensi. Kewajiban PPN dihitung per masa pajak bulanan dan dilaporkan melalui SPT Masa. Sementara itu, PPh (seperti PPh Pasal 23) wajib dipotong dan disetor tepat waktu sesuai tanggal terjadinya transaksi pembayaran. Kedua kewajiban ini pada akhirnya akan bermuara dan disinkronkan dalam pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh Badan. Dengan menjaga konsistensi harian dan bulanan, proses akhir tahun akan menjadi jauh lebih mulus.
Apa yang Harus Anda Lakukan Selanjutnya untuk Audit Pajak yang Sukses
Sebagai langkah proaktif dan antisipatif terhadap audit, Anda harus segera meninjau kembali status Pengusaha Kena Pajak (PKP) Anda. Pastikan bahwa Anda telah terdaftar sebagai PKP jika omzet Anda melebihi batas yang ditentukan oleh peraturan perpajakan. Lebih lanjut, setiap kontrak jasa yang Anda tanda tangani, baik dengan klien maupun vendor, harus secara eksplisit menyebutkan pemisahan antara Dasar Pengenaan Pajak (DPP), besaran PPN yang dikenakan, dan PPh yang akan dipotong oleh pihak pembayar. Dokumentasi kontrak yang jelas ini adalah bukti utama kepatuhan Anda di mata Direktorat Jenderal Pajak (DJP), memberikan otoritas dan mengurangi ruang sengketa di kemudian hari.