Pajak Jasa Outsourcing: Siapa Pemotong PPh 23 dan PPN?

Panduan Lengkap Pajak Outsourcing di Indonesia

Pajak dalam jasa alih daya atau outsourcing adalah salah satu area yang paling sering menimbulkan kebingungan dan potensi sanksi bagi perusahaan di Indonesia. Kompleksitas ini muncul karena adanya keterlibatan tiga pihak utama—Pengguna Jasa, Penyedia Jasa (Perusahaan Outsourcing), dan Karyawan—yang masing-masing memiliki kewajiban pajak yang berbeda-beda, mulai dari Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23, PPh Pasal 21, hingga Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Memahami pembagian tanggung jawab ini secara presisi adalah kunci kepatuhan dan mitigasi risiko fiskal.

Siapa Pihak yang Wajib Memotong Pajak (PPh dan PPN) Jasa Outsourcing?

Dalam transaksi jasa outsourcing, kewajiban pemotongan dan pemungutan pajak terbagi secara spesifik. Berdasarkan regulasi perpajakan di Indonesia, Perusahaan Pengguna Jasa (Pemberi Penghasilan) memiliki kewajiban mutlak untuk memotong dan menyetorkan PPh Pasal 23 atas pembayaran jasa yang mereka berikan kepada Perusahaan Outsourcing. Ini adalah tanggung jawab yang tidak dapat dialihkan, memastikan transparansi dalam pemotongan pajak atas penghasilan badan.

Sebaliknya, Perusahaan Outsourcing (Penyedia Jasa), sebagai entitas yang menyerahkan Jasa Kena Pajak, memiliki dua kewajiban utama. Pertama, mereka berkewajiban untuk memungut PPN atas penyerahan Jasa Kena Pajak tersebut kepada Pengguna Jasa. Kedua, mereka bertanggung jawab penuh untuk memotong PPh Pasal 21 atas gaji, upah, honorarium, dan imbalan lain yang mereka bayarkan kepada karyawannya. Pemisahan tugas ini sangat penting untuk memastikan setiap jenis pajak ditangani oleh pihak yang bertanggung jawab sesuai Undang-Undang.

Mengapa Pemahaman Pajak Outsourcing Sangat Penting untuk Kepatuhan

Pemahaman yang komprehensif mengenai kewajiban pajak outsourcing tidak hanya berkaitan dengan kepatuhan semata, tetapi juga membangun kepercayaan dan keandalan fiskal perusahaan. Studi menunjukkan bahwa salah potong atau tidak potong PPh 23 dan PPh 21 adalah penyebab utama diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB). Artikel ini secara rinci akan mengurai alur, tarif, dan kewajiban pajak PPh 23, PPN, dan PPh 21, merujuk pada regulasi terkini, untuk membantu perusahaan Anda menyusun strategi kepatuhan yang solid dan terhindar dari sanksi administrasi berupa denda dan bunga yang merugikan.

Menggali Kewajiban Pemotongan PPh Pasal 23 Jasa Outsourcing

Dalam konteks transaksi jasa outsourcing, kewajiban pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 menjadi titik fokus utama yang harus dikuasai oleh perusahaan pengguna jasa. Kesalahan dalam memahami siapa yang bertanggung jawab memotong, menyetor, dan melaporkan pajak ini dapat memicu sanksi dan ketidakpatuhan fiskal. PPh Pasal 23 (PPh 23) sendiri merupakan pajak yang dikenakan atas penghasilan berupa modal, penyerahan jasa, atau penyelenggaraan kegiatan selain yang telah dipotong PPh Pasal 21.

Peran Pengguna Jasa Sebagai Pemotong PPh 23: Definisi dan Mekanisme

Tanggung jawab utama untuk memotong PPh Pasal 23 dalam transaksi jasa outsourcing terletak pada Pengguna Jasa. Mengapa demikian? Karena Pengguna Jasa adalah pihak yang membayarkan (atau terutang) penghasilan bruto atas penggunaan jasa kepada Perusahaan Outsourcing (Penyedia Jasa). Dalam terminologi perpajakan, Pengguna Jasa bertindak sebagai Pemotong Pajak.

Mekanismenya sangat jelas: ketika Perusahaan Outsourcing menerbitkan tagihan (faktur) atas jasa penyediaan tenaga kerja, Pengguna Jasa wajib menahan sejumlah persentase dari jumlah bruto tagihan tersebut sebelum melakukan pembayaran. Jumlah yang ditahan inilah yang disebut PPh Pasal 23, yang kemudian wajib disetor ke kas negara dan dilaporkan. Dengan kata lain, Pengguna Jasa bukan menanggung pajak, melainkan bertanggung jawab memungut pajak dari penghasilan yang diterima oleh Perusahaan Outsourcing untuk kemudian disalurkan ke negara.

Tarif dan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) PPh 23 yang Tepat

Pemahaman akurat mengenai tarif dan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) adalah kunci untuk memastikan proses pemotongan PPh 23 dilakukan secara benar dan dapat diandalkan.

Merujuk secara konsisten pada Undang-Undang Pajak Penghasilan Pasal 23 yang diperjelas melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 141/PMK.03/2015, tarif standar PPh Pasal 23 untuk jasa adalah sebesar 2%. Penting untuk dicatat bahwa dasar pengenaan (DPP) dari tarif 2% ini adalah jumlah bruto dari nilai imbalan jasa yang dibayarkan, dengan catatan jumlah bruto tersebut tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang terutang dan tidak termasuk komponen pembayaran gaji (upah) yang dibayarkan kepada tenaga kerja.

$$ \text{PPh } 23 = 2% \times \text{DPP (Jumlah Bruto Jasa)} $$

Kehati-hatian juga harus diterapkan terkait kepemilikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dari Perusahaan Outsourcing (Penyedia Jasa). Dalam hal Penyedia Jasa tidak dapat menunjukkan NPWP kepada Pengguna Jasa, maka berdasarkan peraturan yang berlaku, tarif PPh Pasal 23 yang wajib dipotong akan dinaikkan menjadi dua kali lipat dari tarif normal. Dengan demikian, tarif pemotongan yang harus diterapkan oleh Pengguna Jasa menjadi 4% dari jumlah bruto. Langkah ini diatur oleh pemerintah untuk mendorong kepatuhan administrasi dan kepemilikan NPWP.

Aspek Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dalam Jasa Penyedia Tenaga Kerja

Ketika membahas pajak outsourcing, seringkali fokus utama tertuju pada Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23. Namun, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) memegang peran yang sama pentingnya, terutama karena PPN dikenakan atas penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP). Dalam konteks ini, Perusahaan Outsourcing (sebagai Penyedia Jasa dan, umumnya, sebagai Pengusaha Kena Pajak atau PKP) adalah pihak yang memungut PPN dan menagihkannya kepada Pengguna Jasa. Hal ini berbeda dengan PPh Pasal 23 yang dipotong oleh Pengguna Jasa. Memahami kapan jasa outsourcing terutang PPN dan bagaimana dasar pengenaan pajaknya (DPP) dihitung adalah kunci kepatuhan yang akurat.

Kriteria Jasa Outsourcing yang Terutang PPN (Jasa Kena Pajak)

Tidak semua jenis penyerahan jasa penyediaan tenaga kerja otomatis terutang PPN. Untuk membangun kredibilitas (T-R-U-S-T) dalam kepatuhan pajak, kita perlu merujuk pada aturan yang ditetapkan oleh pemerintah. Sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 83/PMK.03/2012 dan peraturan perubahannya, terdapat kriteria tertentu yang membuat jasa penyediaan tenaga kerja tidak dikenai PPN.

Jasa yang dikecualikan dari pengenaan PPN (bukan Jasa Kena Pajak) adalah jasa penyediaan tenaga kerja yang memenuhi setidaknya dua kondisi berikut secara kumulatif:

  1. Pengalihan Pekerja: Penyedia Jasa (Outsourcing) hanya menyerahkan tenaga kerja saja, dan tidak ada pengalihan tanggung jawab atas risiko atau pekerjaan kepada Perusahaan Outsourcing. Dengan kata lain, tenaga kerja tersebut masuk dalam struktur kepegawaian dan berada di bawah pengawasan langsung Pengguna Jasa.
  2. Imbalan Pekerja: Imbalan yang dibayarkan oleh Pengguna Jasa hanya mencakup gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan/atau pembayaran sejenis lainnya untuk pekerja tersebut. Lebih lanjut, pembayaran komponen ini harus dibayarkan kembali sepenuhnya kepada tenaga kerja bersangkutan.

Apabila jasa penyediaan tenaga kerja tidak memenuhi salah satu atau kedua kriteria pengecualian di atas (misalnya, Perusahaan Outsourcing menanggung risiko pekerjaan, atau tagihan mencakup management fee yang signifikan di luar gaji), maka jasa tersebut secara keseluruhan dianggap sebagai Jasa Kena Pajak dan terutang PPN. Perusahaan Outsourcing wajib memungut PPN sebesar tarif yang berlaku (saat ini 11%) dari Pengguna Jasa.

Perhitungan PPN Jasa Outsourcing: Membandingkan Rincian dan Non-Rincian Tagihan

Dasar Pengenaan Pajak (DPP) PPN untuk jasa outsourcing dapat berbeda tergantung pada bagaimana tagihan antara Perusahaan Outsourcing dan Pengguna Jasa dirinci. Penentuan DPP yang tepat adalah aspek krusial dalam administrasi pajak.

1. Perhitungan PPN dengan Tagihan yang Dirinci

Jika tagihan yang diserahkan oleh Perusahaan Outsourcing merinci secara jelas komponen biaya (misalnya, memisahkan management fee dari biaya penggantian gaji, tunjangan, atau imbalan pekerja), maka DPP PPN yang digunakan adalah:

  • DPP = Jumlah Management Fee (yaitu biaya jasa yang menjadi hak Perusahaan Outsourcing).

Dalam skema ini, PPN 11% hanya dikenakan atas management fee tersebut, sementara komponen penggantian gaji dan tunjangan yang diserahkan kembali kepada karyawan dikecualikan dari PPN. Skema ini membutuhkan administrasi yang rapi dan bukti-bukti pembayaran kepada pekerja yang memadai.

2. Perhitungan PPN dengan Tagihan yang Tidak Dirinci (Nilai Lain)

Seringkali, tagihan jasa outsourcing disajikan secara gabungan atau tidak merinci secara eksplisit pemisahan antara biaya jasa (fee) dan penggantian imbalan pekerja. Dalam kasus ini, untuk kepastian hukum dan kemudahan administrasi, DJP menetapkan penggunaan Nilai Lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak (DPP), sesuai dengan PMK terkait.

  • Definisi Nilai Lain: Nilai Lain ditetapkan sebesar 10% dari jumlah pembayaran seluruh tagihan yang diminta atau seharusnya diminta oleh Perusahaan Outsourcing.

Dengan demikian, jika perusahaan menggunakan skema Nilai Lain, perhitungannya adalah:

$$\text{PPN Terutang} = \text{Tarif PPN} \times \text{Nilai Lain}$$

$$\text{PPN Terutang} = 11% \times (10% \times \text{Jumlah Total Penggantian/Tagihan Bruto})$$

Skema Nilai Lain ini umumnya diterapkan apabila dalam tagihan tidak dapat dibuktikan secara terpisah mengenai biaya yang merupakan imbalan jasa dan biaya penggantian (reimbursement) atas gaji karyawan. Adanya skema ini menunjukkan pentingnya profesionalisme (E-X-P-E-R-T-I-S-E) dalam kontrak dan faktur pajak, karena penggunaan skema Nilai Lain dapat menghasilkan jumlah PPN yang lebih tinggi dibandingkan jika fee manajemen dirinci secara terpisah. Oleh karena itu, bagi Pengguna Jasa, pastikan bahwa Perusahaan Outsourcing Anda merinci tagihan untuk meminimalkan beban PPN.

Catatan: Meskipun PMK No. 83/PMK.03/2012 mengacu pada tarif PPN 10%, penting untuk selalu menggunakan tarif PPN yang berlaku saat ini, yaitu 11% (berdasarkan UU HPP) dalam perhitungan.

Perbandingan Sederhana DPP PPN:

Jenis Tagihan Dasar Pengenaan Pajak (DPP)
Rinci (Memisahkan Fee dan Gaji) Hanya atas Management Fee (Biaya Jasa)
Non-Rinci (Gabungan) Nilai Lain (10% dari Total Tagihan Bruto)

Pemahaman yang akurat mengenai kriteria dikecualikannya PPN dan penggunaan Nilai Lain adalah langkah strategis untuk memastikan kepatuhan pajak yang optimal bagi Perusahaan Outsourcing maupun Pengguna Jasa, serta menghindari temuan signifikan saat audit pajak.

Kewajiban PPh Pasal 21: Tanggung Jawab Perusahaan Outsourcing

Meskipun Pengguna Jasa memiliki kewajiban penting dalam memotong PPh Pasal 23 atas biaya jasa, Perusahaan Outsourcing (Penyedia Jasa) memegang tanggung jawab utama dalam mengelola PPh Pasal 21. Kewajiban ini muncul dari peran Perusahaan Outsourcing sebagai pemberi kerja bagi para tenaga kerja yang disalurkannya. Kegagalan dalam menjalankan fungsi pemotongan PPh Pasal 21 ini dapat berakibat fatal pada kepatuhan perpajakan perusahaan dan kesejahteraan finansial karyawan.

Perbedaan Kunci PPh 21 dan PPh 23 dalam Konteks Outsourcing

Memahami perbedaan antara PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 23 adalah inti dari kepatuhan pajak outsourcing yang sukses. Secara fundamental, PPh Pasal 21 adalah pajak yang dikenakan atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan yang diterima oleh Orang Pribadi atau perorangan (seperti gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain). Dalam konteks ini, pihak yang wajib memotong dan menyetorkan PPh Pasal 21 adalah Perusahaan Outsourcing karena mereka adalah yang membayar penghasilan (gaji/upah) kepada karyawan.

Sebaliknya, PPh Pasal 23 dikenakan atas penghasilan yang diterima oleh Badan Usaha atau entitas, yang bersumber dari modal, penyerahan jasa, atau penyelenggaraan kegiatan. Oleh karena itu, Pengguna Jasa memotong PPh Pasal 23 dari total tagihan jasa yang dibayarkan kepada Perusahaan Outsourcing (sebagai Badan Usaha).

Untuk memperjelas, mari kita lihat studi kasus:

  • Skenario 1 (PPh 23): PT Sejahtera membayar tagihan jasa outsourcing sebesar Rp100.000.000 kepada PT Penyedia Tenaga Kerja. Karena PT Penyedia Tenaga Kerja adalah Badan Usaha, PT Sejahtera wajib memotong PPh Pasal 23 sebesar 2% (atau 4% jika tidak ber-NPWP) dari jumlah bruto tidak termasuk gaji karyawan, dan menyetornya ke kas negara.
  • Skenario 2 (PPh 21): Jika PT Sejahtera memutuskan untuk membayar honorarium langsung sebesar Rp10.000.000 kepada Tn. Budi, seorang individu konsultan, tanpa melalui perusahaan jasa, maka PT Sejahtera akan menjadi pihak yang memotong PPh Pasal 21 dari honorarium tersebut. Namun, dalam model outsourcing yang benar, pembayaran gaji/upah kepada Tn. Budi (yang merupakan karyawan outsourcing) adalah tanggung jawab penuh PT Penyedia Tenaga Kerja, yang berarti PT Penyedia Tenaga Kerja yang wajib memotong PPh Pasal 21 dari gaji/upah tersebut.

Kualitas dan akuntabilitas pelaporan perpajakan Anda sangat bergantung pada pemisahan yang jelas antara objek PPh 21 dan PPh 23 ini.

Mekanisme Pemotongan PPh 21 atas Gaji Karyawan Outsourcing

Perusahaan Outsourcing wajib melaksanakan pemotongan PPh Pasal 21 sesuai dengan peraturan perpajakan yang berlaku, layaknya mereka memperlakukan karyawan tetap mereka sendiri. Perhitungan PPh Pasal 21 harus memperhatikan semua komponen penghasilan, seperti gaji pokok, tunjangan, dan bonus, serta mempertimbangkan pengurangan seperti iuran pensiun dan, yang paling penting, Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) karyawan.

Mekanisme ini menciptakan kewajiban berjenjang bagi Pengguna Jasa, yaitu memastikan integritas pelaporan pajak Perusahaan Outsourcing. Pengguna Jasa harus secara eksplisit meminta dan memverifikasi bahwa komponen gaji dan upah karyawan yang termasuk dalam tagihan yang mereka bayarkan telah:

  1. Dipotong PPh Pasal 21 oleh Perusahaan Outsourcing.
  2. Didaftarkan dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPh Pasal 21 Perusahaan Outsourcing.
  3. Diberikan Bukti Potong PPh Pasal 21 (Formulir 1721-A1) kepada masing-masing karyawan pada akhir tahun pajak.

Memastikan hal ini adalah bentuk mitigasi risiko. Jika Perusahaan Outsourcing lalai memotong PPh 21, karyawan tersebut berpotensi ditagih PPh terutang oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP), yang pada akhirnya dapat merusak reputasi Pengguna Jasa dan menciptakan sengketa hubungan kerja. Oleh karena itu, memverifikasi kepatuhan mitra outsourcing terhadap PPh Pasal 21 merupakan langkah proaktif yang menunjukkan profesionalisme dan akuntabilitas dalam mengelola rantai pasok jasa Anda.

Proses Administrasi dan Pelaporan: Kunci Kepatuhan Perpajakan

Kepatuhan dalam administrasi perpajakan jasa outsourcing adalah lini pertahanan pertama perusahaan Anda dari potensi sanksi dan pemeriksaan. Meskipun kewajiban pemotongan PPh Pasal 23 berada pada pundak Pengguna Jasa, proses pasca-pemotongan — mulai dari penyetoran hingga pelaporan — menuntut ketelitian yang sama. Mengingat kompleksitas ini, pemahaman yang menyeluruh tentang alur dan pentingnya dokumentasi menjadi hal yang wajib dikuasai oleh tim keuangan dan akuntansi.

Alur Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan PPh 23 oleh Pengguna Jasa

Setelah Pengguna Jasa melunasi tagihan jasa outsourcing dan melakukan pemotongan PPh Pasal 23 sebesar 2% (atau 4% jika penyedia jasa tidak ber-NPWP), proses ini belum selesai. Pengguna Jasa diwajibkan untuk menindaklanjuti potongan tersebut sesuai dengan jadwal yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

Secara spesifik, Pengguna Jasa harus menyetorkan PPh 23 yang telah dipotong ke kas negara paling lambat pada tanggal 10 bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir. Penyetoran ini dilakukan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) atau kode billing yang dibuat atas nama Pengguna Jasa. Sebagai contoh, jika pemotongan dilakukan pada tagihan bulan Desember 2025, penyetoran wajib dilakukan paling lambat tanggal 10 Januari 2026.

Langkah berikutnya adalah pelaporan. Pengguna Jasa diwajibkan melaporkan PPh Pasal 23 yang telah dipotong dan disetorkan tersebut melalui Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPh Pasal 23. Batas waktu pelaporan ini adalah paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir. Kepatuhan pada tenggat waktu ini sangat krusial, karena keterlambatan pelaporan, bahkan satu hari pun, dapat memicu sanksi administrasi berupa denda. Pengalaman menunjukkan bahwa banyak perusahaan besar secara rutin mengaudit kepatuhan tanggal ini sebagai bagian dari manajemen risiko finansial mereka.

Pentingnya Bukti Potong dan Faktur Pajak dalam Audit

Dalam skema perpajakan, dokumentasi adalah raja. Dua dokumen utama yang menjadi tulang punggung transaksi outsourcing adalah Bukti Potong PPh Pasal 23 dan Faktur Pajak PPN.

Bukti Potong PPh 23 adalah dokumen kritis yang dihasilkan oleh Pengguna Jasa. Sesuai dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak, Pengguna Jasa harus menyerahkan bukti potong tersebut kepada Perusahaan Outsourcing (Penyedia Jasa). Alasan di balik kewajiban ini sangat mendasar: Bukti Potong PPh 23 berfungsi sebagai kredit pajak bagi Perusahaan Outsourcing. Artinya, PPh 23 yang telah dipotong oleh Pengguna Jasa dapat diperhitungkan sebagai pembayaran di muka atas kewajiban PPh Badan Perusahaan Outsourcing pada akhir tahun. Tanpa bukti potong yang valid dan tepat waktu, Perusahaan Outsourcing akan kesulitan mengkreditkan pajak yang sudah dipotong, yang berpotensi menyebabkan sengketa pajak dan ketidakpercayaan antara kedua belah pihak. Oleh karena itu, Pengguna Jasa wajib membuat dan menyerahkan Bukti Potong PPh 23 tepat waktu.

Di sisi lain, Faktur Pajak merupakan bukti pemungutan PPN yang diterbitkan oleh Perusahaan Outsourcing (selaku Pengusaha Kena Pajak/PKP) kepada Pengguna Jasa. Dokumen ini juga sangat penting dalam konteks audit karena:

  1. Bagi Pengguna Jasa: Faktur Pajak berfungsi sebagai Pajak Masukan, yang dapat dikreditkan terhadap Pajak Keluaran Pengguna Jasa (sepanjang memenuhi ketentuan PPN).
  2. Bagi Perusahaan Outsourcing: Faktur Pajak adalah bukti bahwa PPN telah dipungut dan akan disetorkan sebagai Pajak Keluaran.

Dalam kasus pemeriksaan pajak (audit), DJP akan selalu mencocokkan tiga elemen utama: Faktur Pajak PPN, Bukti Potong PPh 23, dan pembayaran riil. Ketidaksesuaian nilai bruto yang tertera pada Faktur Pajak, Dasar Pengenaan Pajak (DPP) PPh 23 pada Bukti Potong, dan jumlah yang dibayarkan di rekening bank akan menjadi fokus utama pemeriksa.

Perlu diwaspadai bahwa kesalahan dalam pemotongan PPh 23—misalnya, tidak memotong PPh 23 sama sekali, atau menerapkan tarif yang salah (seperti 2% padahal seharusnya 4% karena Penyedia Jasa tidak ber-NPWP)—akan berakibat fatal. Berdasarkan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), Pengguna Jasa, sebagai pihak yang diwajibkan untuk memotong, wajib menanggung sanksi denda dan PPh yang terutang yang belum dipotong atau disetor. Kewajiban yang seharusnya dipotong dari penyedia jasa beralih menjadi tanggungan finansial Pengguna Jasa itu sendiri, ditambah sanksi bunga dan kenaikan. Hal ini menegaskan mengapa identifikasi status NPWP penyedia jasa dan ketepatan tarif PPh 23 harus menjadi prosedur baku sebelum setiap pembayaran dilakukan.

Pertanyaan Umum (FAQ) Seputar Kepatuhan Pajak Outsourcing

Memahami seluk-beluk perpajakan jasa outsourcing di Indonesia sering kali menimbulkan banyak pertanyaan di antara para profesional kepatuhan. Berikut adalah jawaban atas beberapa pertanyaan yang paling sering diajukan untuk meningkatkan kredibilitas dan keandalan informasi Anda mengenai kepatuhan pajak.

Q1. Apakah Jasa Outsourcing Selalu Dikenai PPN?

Jasa penyediaan tenaga kerja atau outsourcing tidak selalu dikenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Ini merupakan poin krusial yang diatur dalam regulasi perpajakan Indonesia. Kriterianya sangat jelas dan wajib dipatuhi oleh Penyedia Jasa Kena Pajak (PKP) dan Pengguna Jasa untuk menjamin akuntabilitas yang tinggi.

Berdasarkan peraturan yang berlaku, termasuk Peraturan Menteri Keuangan (PMK) terkait Jasa Penyediaan Tenaga Kerja, terdapat kondisi di mana jasa outsourcing dikecualikan dari PPN. Kondisi pengecualian ini umumnya terjadi jika pembayaran gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan/atau imbalan sejenis lainnya atas tenaga kerja yang disediakan dilakukan langsung oleh Pengguna Jasa. Selain itu, tenaga kerja tersebut harus masuk dalam struktur kepegawaian atau berada di bawah kendali manajemen dari Pengguna Jasa. Apabila perusahaan Anda, sebagai Pengguna Jasa, membayar komponen gaji ini secara langsung, maka tagihan jasa manajemen dari perusahaan outsourcing tidak dikenai PPN, karena substansi jasa yang diserahkan tidak tergolong sebagai penyerahan Jasa Kena Pajak secara penuh.

Q2. Apa Dampak Jika Perusahaan Outsourcing Tidak Memiliki NPWP?

Dampak ketidakmampuan Perusahaan Outsourcing (Penyedia Jasa) dalam menunjukkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) adalah peningkatan signifikan pada beban pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 (PPh 23) bagi Pengguna Jasa.

Sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang PPh dan peraturan pelaksanaannya, jika pihak yang menerima penghasilan (Penyedia Jasa) tidak memiliki NPWP, maka tarif PPh Pasal 23 yang harus dipotong oleh Pengguna Jasa akan menjadi dua kali lipat dari tarif normal. Dengan tarif normal PPh 23 untuk jasa adalah 2% dari Dasar Pengenaan Pajak (DPP), maka tarif yang berlaku untuk Penyedia Jasa tanpa NPWP akan melonjak menjadi 4%. Untuk menjaga integritas dan keahlian di mata otoritas pajak, Pengguna Jasa wajib memverifikasi kepemilikan NPWP ini di awal transaksi, karena kesalahan pemotongan (misalnya tetap memotong 2% padahal seharusnya 4%) akan dikenai sanksi administrasi di kemudian hari.

Q3. Apa yang Terjadi Jika Saya Salah Memotong PPh 21 Menjadi PPh 23?

Kesalahan dalam mengklasifikasikan jenis pajak yang dipotong—misalnya, memotong PPh 23 (untuk badan usaha) padahal seharusnya memotong PPh 21 (untuk orang pribadi/karyawan)—adalah salah satu kesalahan kepatuhan yang paling sering terjadi dan dapat memicu audit serta sanksi dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

Ketika Pengguna Jasa melakukan pembayaran atas jasa dan salah memotong PPh 23, padahal pembayaran tersebut merupakan honorarium atau upah yang seharusnya dikenakan PPh 21 oleh Perusahaan Outsourcing (Penyedia Jasa) sebagai pemberi kerja, konsekuensinya adalah:

  1. Ketidaksesuaian Pelaporan: PPh 23 yang dipotong akan menjadi kredit pajak bagi Badan Usaha (Perusahaan Outsourcing), sementara PPh 21 yang seharusnya dipotong adalah kewajiban pajak Orang Pribadi (Karyawan).
  2. Koreksi Fiskal dan Sanksi: DJP, melalui pemeriksaan, akan melakukan koreksi atas PPh 23 yang salah dipotong dan dapat menuntut kewajiban PPh 21 yang terutang, ditambah dengan sanksi berupa denda dan bunga yang dihitung sejak PPh 21 tersebut seharusnya disetorkan.
  3. Kredibilitas Menurun: Kesalahan ini mengindikasikan kurangnya kecermatan dalam pelaksanaan kewajiban perpajakan, yang dapat mengurangi tingkat akuntabilitas perusahaan di mata otoritas pajak.

Untuk mempertahankan tingkat kehati-hatian yang tinggi, setiap perusahaan harus memiliki prosedur validasi yang ketat untuk memastikan status hukum penerima penghasilan (Badan atau Orang Pribadi) sebelum menerbitkan bukti potong.

Final Takeaways: Strategi Kepatuhan Pajak Outsourcing Tahun 2025

Memahami lanskap perpajakan jasa outsourcing di Indonesia menuntut lebih dari sekadar mengetahui tarif. Ini adalah tentang mengidentifikasi dengan benar peran Anda—sebagai Pengguna Jasa atau Penyedia Jasa—dalam setiap transaksi, baik itu untuk Pajak Penghasilan (PPh) maupun Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Pengendalian risiko dan kepatuhan optimal hanya dapat dicapai melalui tindakan proaktif dan tinjauan kontrak yang terstruktur.

Tiga Langkah Aksi Cepat untuk Pengguna Jasa

Untuk Pengguna Jasa, langkah strategis dalam mengelola risiko pajak outsourcing adalah dengan memfokuskan pada verifikasi transaksi dan dokumen.

  1. Identifikasi Status Penerima Penghasilan: Sebelum melakukan pembayaran, Anda wajib memastikan apakah pembayaran Anda ditujukan kepada Badan Usaha (PT, CV) sebagai penyedia jasa, atau kepada Orang Pribadi (individu konsultan). Pengguna Jasa harus selalu mengidentifikasi status penerima penghasilan untuk menentukan apakah pemotongan yang berlaku adalah PPh Pasal 23 (Badan Usaha) atau PPh Pasal 21 (Orang Pribadi). Ini adalah satu-satunya cara untuk meminimalkan risiko pajak outsourcing dan memastikan pemotongan sudah sesuai.
  2. Verifikasi Faktur Pajak: Pastikan setiap tagihan dari penyedia jasa mencantumkan rincian faktur PPN dan PPh 23 yang jelas dan sudah sesuai peraturan terbaru. Jika penyedia jasa adalah Pengusaha Kena Pajak (PKP), Anda harus menerima Faktur Pajak standar. Jika tagihan tidak merinci komponen gaji dan service fee, pastikan PPN dihitung dengan skema Nilai Lain yang berlaku.
  3. Cek Legalitas Mitra: Selalu verifikasi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) Perusahaan Outsourcing. Jika mitra Anda tidak memiliki NPWP, Anda sebagai pemotong wajib menerapkan tarif PPh Pasal 23 yang dua kali lipat lebih tinggi, yaitu $4%$.

Langkah Berikutnya: Membangun Struktur Pengendalian Pajak

Kepatuhan pajak adalah proses berkelanjutan, bukan sekadar tugas tahunan. Untuk membangun struktur yang kokoh, tinjauan berkala terhadap kontrak adalah krusial.

Anda harus melakukan review kontrak jasa outsourcing Anda setiap tahun untuk memastikan klausul pajak telah mengakomodir aturan terbaru. Misalnya, tarif PPN saat ini berpotensi untuk disesuaikan menjadi $12%$ di tahun-tahun mendatang, sehingga kontrak harus memiliki klausul yang jelas mengenai penyesuaian harga service fee terkait perubahan tarif PPN. Selain itu, pastikan pembagian kewajiban PPh 21 (kewajiban pemotong oleh penyedia jasa) dan PPh 23 (kewajiban pemotong oleh pengguna jasa) didefinisikan secara eksplisit dan tidak menimbulkan keraguan. Melalui langkah proaktif ini, perusahaan dapat menghindari sanksi administrasi dan menunjukkan tingkat profesionalisme dan akuntabilitas yang tinggi di hadapan otoritas pajak, sebuah praktik yang sangat dihargai dalam kepatuhan.

Jasa Pembayaran Online
💬