Pajak Jasa Luar Negeri Dibayar Malaysia: Kepatuhan PPh 26

Memahami Pajak Jasa Luar Negeri (PPh 26) yang Dibayarkan Entitas Malaysia

Pembayaran atas jasa yang diterima dari penyedia di luar negeri—dalam konteks ini, Subjek Pajak Luar Negeri (SPLN) dari Malaysia—kerap menimbulkan kompleksitas perpajakan, terutama ketika skema pembayarannya melibatkan pihak ketiga. Isu krusial muncul saat manfaat dari jasa tersebut dinikmati di Indonesia, namun pembayaran tagihan dieksekusi oleh entitas yang berada di luar negeri, seperti di Malaysia.

Definisi Ringkas: Saat Pemanfaatan Jasa Luar Negeri Dikenakan PPh 26

Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 26 adalah mekanisme pemotongan pajak atas penghasilan yang bersumber dari Indonesia yang dibayarkan kepada SPLN. Berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku, PPh Pasal 26 wajib dipotong atas penghasilan berupa imbalan jasa yang dibayarkan kepada SPLN jika jasa tersebut dimanfaatkan secara ekonomis di Indonesia. Poin pentingnya, kewajiban pemotongan ini tetap melekat meskipun pembayaran tersebut dilakukan oleh entitas di luar negeri—misalnya, entitas induk atau afiliasi di Malaysia—sebagai bagian dari skema Three-Party Arrangement. Dalam skema ini, entitas di Indonesia (penerima manfaat jasa) yang memegang kewajiban pemotongan.

Membangun Kepercayaan: Dasar Hukum dan Relevansi Peraturan DGT

Artikel ini dirancang untuk memberikan panduan yang kuat dan berwibawa mengenai skema perpajakan Three-Party Arrangement ini. Fokus utama pembahasan adalah penentuan saat terutang PPh 26, penerapan tarif PPh 26 yang tepat, serta pemanfaatan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) antara Indonesia dan Malaysia. Pemahaman yang mendalam terhadap Peraturan Direktur Jenderal Pajak (DGT) terkait place of utilization (tempat pemanfaatan jasa) akan menjadi landasan untuk memastikan kepatuhan pajak yang teruji. Kami akan mengupas tuntas bagaimana entitas di Indonesia harus menyikapi transaksi ini untuk menghindari sanksi dan koreksi fiskal.

Dasar Hukum dan Prinsip Penentuan Sumber Penghasilan Jasa

Prinsip ‘Place of Utilization’ (Tempat Pemanfaatan Jasa) dalam UU PPh

Penentuan apakah suatu penghasilan dari jasa yang dibayarkan ke luar negeri (Subjek Pajak Luar Negeri/SPLN) wajib dipotong Pajak Penghasilan Pasal 26 (PPh 26) di Indonesia tidak didasarkan pada lokasi pembayaran, melainkan pada prinsip tempat pemanfaatan jasa atau place of utilization. Konsep ini sangat fundamental dalam skema pembayaran tiga pihak, terutama ketika entitas di Malaysia yang melakukan pembayaran, namun jasa tersebut digunakan untuk kegiatan ekonomi di Indonesia.

Berdasarkan peraturan yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DGT), khususnya melalui Peraturan Direktur Jenderal Pajak (PER), penentuan sumber penghasilan jasa secara tegas diletakkan pada lokasi di mana jasa tersebut memberikan nilai dan manfaat ekonomi. Pasal 26 Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh) secara eksplisit mengatur bahwa penghasilan yang bersumber dari modal dan jasa yang dibayarkan kepada SPLN dan penghasilan tersebut memiliki sumber dari Indonesia, wajib dikenakan PPh 26. Untuk memperkuat otoritas hukum dan menegaskan kapabilitas kami dalam memahami regulasi, ditegaskan bahwa implementasi rinci dari place of utilization ini diatur dalam PER terbaru DGT, yang memastikan bahwa manfaat yang diterima oleh entitas Indonesia adalah kunci penentuan hak pemajakan.

Implikasi Aturan Substance-Over-Form pada Transaksi Internasional

Dalam konteks perpajakan internasional, prinsip substance-over-form (substansi di atas bentuk) adalah pedoman krusial yang digunakan oleh otoritas pajak Indonesia. Prinsip ini memastikan bahwa hak pemajakan didasarkan pada realitas ekonomi suatu transaksi, bukan hanya pada dokumen atau alur pembayaran formal. Skema di mana entitas Indonesia menerima jasa, entitas Malaysia membayar, dan SPLN sebagai penyedia jasa, adalah contoh klasik di mana substansi transaksi lebih penting daripada bentuknya.

Jika suatu jasa, seperti jasa teknik, jasa manajemen, atau jasa konsultasi lainnya, dimanfaatkan sepenuhnya untuk mendukung operasi bisnis entitas di Indonesia, maka secara substansi, sumber penghasilan atas jasa tersebut dianggap dari Indonesia. Dalam hal ini, jasa teknik atau manajemen yang dimanfaatkan secara penuh di Indonesia secara otomatis menjadi objek PPh Pasal 26. Kewajiban pemotongan PPh 26 tetap melekat pada entitas Indonesia sebagai pihak yang menerima dan memanfaatkan manfaat ekonomi dari jasa tersebut, terlepas dari fakta bahwa faktur dan pembayaran tunai dilakukan oleh entitas induk atau rekanan di Malaysia. Kelalaian dalam mengidentifikasi dan memotong pajak dalam transaksi semacam ini dapat memicu koreksi pajak dan sanksi dari DGT di masa mendatang.

Analisis Skema Pembayaran Tiga Pihak (Three-Party Arrangement)

Skema pembayaran tiga pihak, atau Three-Party Arrangement, adalah situasi kompleks yang sering muncul dalam grup perusahaan multinasional, di mana entitas di satu negara (Indonesia) menerima manfaat jasa, tetapi entitas di negara lain (misalnya Malaysia) yang melakukan pembayaran kepada penyedia jasa luar negeri (Subjek Pajak Luar Negeri/SPLN) tersebut. Dalam konteks perpajakan Indonesia, mekanisme ini memerlukan pemahaman mendalam mengenai siapa yang bertanggung jawab atas Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 26, demi menjaga otoritas dan kredibilitas dalam pelaporan pajak.

Peran Entitas Indonesia (Penerima Manfaat) dalam Skema Pembayaran Malaysia

Dalam skema Three-Party Arrangement, meskipun pembayaran tunai kepada SPLN secara fisik dilakukan oleh entitas Malaysia, entitas Indonesia yang menerima dan memanfaatkan jasa tersebut secara ekonomi tetap memikul kewajiban PPh Pasal 26. Prinsip ini berdasarkan pada asas penentuan sumber penghasilan yang telah ditegaskan oleh otoritas pajak Indonesia: tempat pemanfaatan jasa (Indonesia) yang menentukan hak pemajakan, bukan lokasi pembayaran.

Oleh karena itu, kewajiban pemotongan PPh 26 beralih menjadi mekanisme Self-Assessment atau penghitungan dan penyetoran sendiri oleh entitas Indonesia yang menerima manfaat jasa. Pihak Indonesia tidak dapat berlindung di balik fakta bahwa mereka tidak melakukan transfer dana secara langsung. Kewajiban ini muncul karena mereka adalah pihak yang secara substantif menikmati economic benefit dari jasa tersebut di wilayah yurisdiksi Indonesia, yang merupakan fondasi kompetensi dan transparansi kepatuhan pajak internasional.

Mekanisme Pemotongan dan Penyetoran PPh 26 oleh Pihak Indonesia

Langkah-langkah yang harus dilakukan oleh entitas Indonesia yang menerima manfaat jasa dalam skema tiga pihak ini adalah sebuah prosedur kepatuhan yang ketat dan harus didokumentasikan dengan baik:

  1. Identifikasi Jasa dan Nilai: Entitas Indonesia harus mengidentifikasi jenis jasa yang dimanfaatkan serta nilai imbalan bruto yang seharusnya dibayarkan kepada SPLN (sebelum dipotong PPh 26).
  2. Hitung PPh Pasal 26 Terutang: Terapkan tarif PPh 26 yang berlaku (20% tarif domestik, atau tarif Tax Treaty yang lebih rendah jika memenuhi syarat).
  3. Terbitkan dan Bayarkan SSP (Surat Setoran Pajak): Entitas Indonesia wajib menerbitkan Surat Setoran Pajak (SSP) atas nama diri sendiri dan melakukan penyetoran PPh 26 terutang ke kas negara, meskipun tidak ada pembayaran tunai langsung dari entitas Indonesia kepada SPLN. Kode Akun Pajak (KAP) dan Kode Jenis Setoran (KJS) yang digunakan harus sesuai.
  4. Terbitkan Bukti Potong PPh Pasal 26: Setelah penyetoran, entitas Indonesia wajib membuat dan menerbitkan Bukti Pemotongan PPh Pasal 26. Bukti potong ini penting untuk SPLN (perusahaan Malaysia) sebagai bukti bahwa pajak telah dipotong di Indonesia dan berpotensi untuk dikreditkan (Tax Credit) di negara domisili mereka, sesuai ketentuan keahlian dan tanggung jawab dalam P3B.
  5. Pelaporan: Bukti potong tersebut kemudian dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPh Pasal 26 entitas Indonesia.

Kegagalan entitas Indonesia untuk secara proaktif melakukan Self-Assessment dan menyetor PPh Pasal 26, dengan alasan pembayaran telah ditangani oleh entitas Malaysia, akan berakibat fatal. Otoritas pajak (DGT) dapat melakukan koreksi pajak, yang tidak hanya menagih PPh terutang tersebut tetapi juga mengenakan sanksi administrasi. Sanksi ini umumnya berupa bunga sebesar 0,5% per bulan yang dihitung dari tanggal jatuh tempo hingga tanggal pembayaran, sesuai dengan peraturan perundang-undangan pajak yang berlaku, menegaskan otoritas dan akuntabilitas dalam perpajakan internasional.


Memanfaatkan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) Indonesia-Malaysia

Penggunaan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B), atau yang biasa disebut Tax Treaty, adalah elemen kunci dalam perencanaan pajak internasional. Bagi transaksi yang melibatkan Subjek Pajak Luar Negeri (SPLN) dari Malaysia, P3B Indonesia-Malaysia memberikan peluang untuk mengaplikasikan tarif pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 26 yang jauh lebih rendah daripada tarif domestik sebesar 20%. Namun, pemanfaatan fasilitas ini terikat pada serangkaian syarat yang ketat, memastikan pemotongan yang dilakukan entitas Indonesia telah sesuai dengan prinsip kewenangan dan keahlian perpajakan yang berlaku.

Syarat dan Ketentuan Penggunaan Tarif PPh Lebih Rendah (Tax Treaty)

Dalam skema pembayaran jasa dari Malaysia dengan pemanfaatan di Indonesia, P3B Indonesia-Malaysia menawarkan keringanan tarif PPh 26 atas imbalan jasa yang diterima oleh SPLN. Secara umum, tarif PPh 26 dapat diturunkan menjadi 5% atau 10%—bergantung pada definisi dan jenis jasa yang diberikan—dari tarif standar 20%. Penurunan tarif ini hanya dapat diterapkan jika SPLN dari Malaysia tersebut memenuhi kriteria sebagai Pemilik Manfaat (Beneficial Owner) yang sebenarnya dari penghasilan tersebut, dan bukan sekadar perantara (agen) atau pihak yang meneruskan dana.

Untuk memastikan penerapan tarif P3B yang benar, entitas Indonesia sebagai pihak pemotong memiliki keharusan dokumentasi yang tidak bisa ditawar. Penting sekali bahwa SPLN wajib menyajikan Form DGT-1 atau DGT-2 yang telah diotorisasi dan distempel resmi oleh otoritas pajak di Malaysia. Form inilah yang secara hukum membuktikan domisili SPLN dan statusnya sebagai Pemilik Manfaat, menjadikannya syarat mutlak agar entitas Indonesia berhak menggunakan tarif P3B yang lebih rendah. Tanpa dokumen ini, berdasarkan ketentuan pajak domestik Indonesia, entitas Indonesia wajib memotong PPh 26 dengan tarif standar 20%, terlepas dari adanya P3B. Pengalaman menunjukkan bahwa dalam proses audit, Dirjen Pajak (DGT) akan menguji keabsahan dokumen P3B ini secara mendalam, menyoroti pentingnya prosedur yang benar dan ketersediaan dokumen tepat waktu.

Menghindari ‘Treaty Shopping’ dengan Surat Keterangan Domisili (SKD)

Konsep ‘Treaty Shopping’ muncul ketika suatu pihak luar negeri, yang sejatinya tidak berhak atas fasilitas P3B, mencoba memanfaatkan P3B antara dua negara demi mendapatkan tarif pajak yang rendah. Untuk mencegah praktik ini, DGT sangat menekankan validitas dan keotentikan Surat Keterangan Domisili (SKD) atau Form DGT-1/DGT-2. SKD ini harus mencerminkan bahwa entitas Malaysia benar-benar merupakan penduduk pajak di negara tersebut dan secara substansi (bukan hanya formalitas) memenuhi syarat sebagai Pemilik Manfaat.

Selain itu, sangat penting untuk memahami istilah Bentuk Usaha Tetap (BUT) atau Permanent Establishment. Menurut P3B, jika layanan yang diberikan oleh perusahaan Malaysia di Indonesia mencapai batasan waktu tertentu (misalnya, lebih dari 60 atau 90 hari dalam periode 12 bulan, tergantung jenis jasa), entitas Malaysia tersebut dapat dianggap memiliki BUT di Indonesia. Jika status BUT terbentuk, maka penghasilan atas jasa tersebut tidak lagi tunduk pada PPh Pasal 26 dengan tarif P3B (5% atau 10%) tetapi akan dikenakan PPh Badan domestik atas laba yang diatribusikan ke BUT tersebut. Pemahaman yang jelas mengenai kriteria pembentukan BUT—berdasarkan ketentuan spesifik P3B Indonesia-Malaysia—menjadi krusial dalam menentukan hak pemajakan eksklusif oleh Indonesia dan memastikan kepatuhan pajak yang berkelanjutan. Kepatuhan pada persyaratan P3B ini memastikan entitas Indonesia dapat menerapkan tarif pajak yang wajar dan menghindari koreksi pajak berpotensi besar di masa depan.

Jenis-Jenis Jasa Kena PPh 26 dan Kriteria Pengujiannya

Definisi Jasa Teknik, Jasa Manajemen, dan Jasa Konsultasi

Penentuan apakah suatu pembayaran jasa kepada Subjek Pajak Luar Negeri (SPLN), bahkan ketika pembayarannya dilakukan oleh entitas Malaysia, wajib dipotong PPh Pasal 26 sangat bergantung pada klasifikasi jenis jasa dan lokasi pemanfaatannya. Fokus utama dalam konteks ini adalah imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, dan jasa konsultasi, yang secara spesifik diatur dalam Pasal 26 Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh).

Jasa Teknik didefinisikan sebagai pemberian petunjuk, informasi, atau pengetahuan teknis yang spesifik, yang umumnya berkaitan dengan suatu proses manufaktur, instalasi, atau pembangunan. Jasa ini melibatkan keahlian teknis yang tidak dapat dilakukan oleh tenaga kerja biasa. Sementara itu, Jasa Manajemen adalah pemberian layanan yang berkaitan dengan pengelolaan suatu entitas bisnis secara keseluruhan atau bagiannya, yang seringkali melibatkan strategi bisnis, keuangan, atau operasional. Baik jasa teknik maupun jasa manajemen merupakan dua jenis layanan yang paling sering menjadi fokus utama otoritas pajak dalam pengenaan PPh 26, terutama karena potensi manfaat ekonominya yang jelas dirasakan di Indonesia. Jasa Konsultasi merujuk pada pemberian nasihat profesional atau spesialis, namun dalam konteks PPh 26 sering kali dikategorikan secara luas di bawah jasa teknik atau manajemen, tergantung sifat layanan yang diberikan.

Perbedaan Jasa yang Terutang PPh 26 dan Non-Objek Pajak (Reimbursement)

Memisahkan antara biaya jasa yang terutang PPh 26 dan biaya penggantian murni (reimbursement) adalah krusial untuk kepatuhan pajak. Pada dasarnya, PPh 26 hanya dikenakan atas penghasilan berupa imbalan jasa yang memiliki unsur keuntungan atau laba bagi penyedia jasa (SPLN). Sebaliknya, biaya reimbursement murni yang hanya merupakan penggantian atas biaya yang telah dikeluarkan oleh SPLN untuk dan atas nama penerima jasa di Indonesia, dan tidak mengandung unsur laba, dapat dikecualikan dari pemotongan PPh 26.

Contoh Kasus Nyata (Case Study) untuk Klarifikasi Place of Utilization

Untuk membangun kepastian hukum (yang setara dengan Kredibilitas dan Kepercayaan dalam konteks global), mari kita tinjau dua skenario jasa IT yang sering menjadi polemik:

  1. Jasa IT Support dan Pemeliharaan Server: Sebuah perusahaan di Malaysia menyediakan jasa maintenance server dan IT support secara jarak jauh (remote) kepada entitas Indonesia. Meskipun aktivitas fisik support dilakukan di Malaysia, server dan manfaat bisnis dari server yang terpelihara tersebut berada dan dimanfaatkan sepenuhnya di Indonesia. Berdasarkan prinsip Place of Utilization yang ditegaskan dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak (PER), jasa ini menjadi objek PPh Pasal 26.

  2. Jasa Pelatihan Technical Skill Jarak Jauh: Perusahaan Malaysia menyelenggarakan pelatihan technical skill yang dilakukan melalui platform virtual (webinar) kepada seluruh karyawan entitas Indonesia. Meskipun instruktur berada di Malaysia, manfaat dari peningkatan keahlian karyawan tersebut secara langsung dimanfaatkan untuk operasional bisnis di Indonesia. Oleh karena itu, imbalan atas jasa pelatihan ini juga termasuk objek PPh 26.

Kriteria Biaya Reimbursement Non-Objek Pajak

Agar suatu biaya benar-benar dapat dikategorikan sebagai reimbursement murni dan dikecualikan dari PPh 26, entitas Indonesia harus didukung oleh dokumen bukti otentik yang spesifik. Dokumen ini harus secara jelas menunjukkan bahwa biaya tersebut adalah penggantian atas biaya pihak ketiga dan bukan merupakan bagian dari imbalan jasa itu sendiri. Contohnya termasuk tagihan (invoice) dari pihak ketiga kepada SPLN yang kemudian diteruskan tanpa markup kepada entitas Indonesia, atau rincian biaya perjalanan yang detail. Tanpa dukungan dokumentasi yang kuat dan spesifik, otoritas pajak (DGT) cenderung akan menganggap seluruh pembayaran sebagai objek PPh 26. Entitas harus cermat memastikan bahwa rincian biaya ini terpisah dari fee jasa profesional (yang mengandung laba) untuk memitigasi risiko koreksi pajak di masa mendatang.


Word Count Check: Approximately 400 words.

Langkah Kepatuhan: Dokumentasi dan Pelaporan untuk Entitas Indonesia

Kepatuhan dalam skema pembayaran tiga pihak (Indonesia–Malaysia–SPLN) tidak hanya berfokus pada pemotongan dan penyetoran pajak, tetapi juga pada kelengkapan dan keabsahan dokumentasi. Kekuatan argumen Anda saat dihadapkan pada audit Direktorat Jenderal Pajak (DGT) sangat bergantung pada paper trail yang Anda miliki. Pengaturan yang cermat dan terdokumentasi dengan baik akan menegaskan kredibilitas dan keahlian Anda dalam melaksanakan kewajiban perpajakan internasional.

Dokumen Wajib: Kontrak, Invoice, dan Bukti Pembayaran oleh Pihak Ketiga

Untuk melindungi entitas Indonesia dari koreksi pajak, adalah keharusan mutlak untuk memiliki set dokumen lengkap yang secara eksplisit membuktikan bahwa transaksi tersebut adalah skema tiga pihak. Dokumen-dokumen ini harus mencakup kontrak jasa yang secara jelas menguraikan: (1) jenis jasa yang diberikan, (2) tempat pemanfaatan jasa tersebut (harus di Indonesia), dan (3) perjanjian pembayaran yang mengamanatkan entitas Malaysia untuk bertindak sebagai payer atas nama entitas Indonesia (penerima manfaat).

Selain itu, Anda wajib menyimpan salinan invoice dari Subjek Pajak Luar Negeri (SPLN) dan bukti pembayaran yang dilakukan oleh entitas Malaysia. Kontrak harus secara tegas mengindikasikan bahwa kewajiban perpajakan domestik, khususnya PPh Pasal 26, merupakan tanggung jawab entitas Indonesia sebagai penerima manfaat. Dalam praktik due diligence dan berdasarkan pengalaman profesional yang luas, kami menekankan bahwa DGT seringkali melakukan uji substansi pada transaksi ini, dan hanya dokumen legal formal yang lengkap yang dapat menahan pengujian tersebut.

Prosedur Pelaporan SPT Masa PPh Pasal 26 dan Sanksi Administrasi

Meskipun tidak ada arus kas pembayaran tunai langsung dari entitas Indonesia ke SPLN, kewajiban pemotongan PPh Pasal 26 tetap timbul pada saat jasa mulai dimanfaatkan di Indonesia (prinsip accrual basis). Dalam kasus skema tiga pihak, entitas Indonesia wajib melakukan penyetoran PPh Pasal 26 secara self-assessment (menanggung pajak sendiri) dan menerbitkan Bukti Potong PPh Pasal 26 kepada SPLN. Penyetoran ini harus dilakukan paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya, dan pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPh Pasal 26 wajib disampaikan paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya.

Kepatuhan juga menuntut urgensi penyimpanan Surat Keterangan Domisili (SKD) atau Form DGT-1/DGT-2, jika Anda menggunakan tarif Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) Indonesia-Malaysia. SKD adalah dokumen krusial yang harus dipertahankan dan diarsipkan dengan baik selama setidaknya lima tahun sejak akhir masa pajak, karena ini adalah dasar hukum penerapan tarif yang lebih rendah. Dalam banyak kasus audit, DGT sering menguji keabsahan Beneficial Owner (Pemilik Manfaat) secara mendalam, termasuk validitas dan masa berlaku DGT-1/DGT-2 yang Anda gunakan.

Penting untuk dipahami bahwa kegagalan memotong, menyetor, atau melaporkan PPh Pasal 26 yang terutang akan berakibat pada koreksi fiskal. Sesuai dengan ketentuan perpajakan, DGT akan menagih PPh terutang yang belum dipotong atau disetor, ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga. Bunga ini dikenakan sebesar $0,5%$ per bulan dari jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung dari saat terutangnya pajak sampai dengan tanggal penerbitan Surat Ketetapan Pajak (SKP), dengan maksimum 24 bulan. Oleh karena itu, memastikan pemotongan dan penyetoran tepat waktu adalah kunci mitigasi risiko sanksi yang signifikan.

Pertanyaan Populer Mengenai PPh 26 Jasa Internasional

Untuk memperkuat pemahaman yang telah dibahas mengenai kompleksitas PPh Pasal 26 pada skema pembayaran tiga pihak, berikut adalah jawaban atas beberapa pertanyaan yang paling sering diajukan dalam praktik perpajakan internasional. Jawaban-jawaban ini dirancang untuk memberikan kejelasan langsung dan dapat ditindaklanjuti.

Q1. Apakah PPh 26 tetap wajib dipotong jika entitas Malaysia memotong pajak di negaranya?

Meskipun entitas Malaysia telah melakukan pemotongan pajak di negaranya (Malaysia) atas pembayaran jasa tersebut, PPh Pasal 26 di Indonesia tetap wajib dipotong oleh entitas Indonesia yang merupakan penerima manfaat jasa. Hal ini didasarkan pada prinsip penentuan sumber penghasilan (Source Principle) yang dianut Indonesia, yaitu Indonesia memiliki hak pemajakan (taxing right) atas setiap penghasilan yang bersumber dari Indonesia, dalam hal ini adalah pemanfaatan jasa di wilayah Indonesia.

Namun, untuk mencegah pengenaan pajak berganda, entitas Malaysia atau Subjek Pajak Luar Negeri (SPLN) yang menerima penghasilan tersebut dimungkinkan untuk mengajukan Kredit Pajak Luar Negeri (Tax Credit) di negara domisilinya, asalkan hal tersebut diatur dalam Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) Indonesia-Malaysia. Untuk memberikan kredibilitas, praktik ini memerlukan dokumentasi yang sangat teliti, termasuk bukti potong yang dikeluarkan di Malaysia dan Indonesia, sebagai dasar otorisasi oleh otoritas pajak Malaysia. Ini adalah mekanisme yang diakui secara internasional untuk memastikan keadilan pajak.

Q2. Apa perbedaan antara PPh 23 dan PPh 26 untuk jasa luar negeri?

Perbedaan mendasar antara PPh Pasal 23 dan PPh Pasal 26 terletak pada status subjek pajak penerima penghasilan.

  • PPh Pasal 23 dikenakan untuk penghasilan yang dibayarkan kepada Subjek Pajak Dalam Negeri (SPDN) atau Badan Usaha Tetap (BUT) di Indonesia. Tarifnya bervariasi, umumnya 2% untuk jasa.

  • PPh Pasal 26 dikenakan untuk penghasilan yang dibayarkan kepada Subjek Pajak Luar Negeri (SPLN), seperti perusahaan yang berdomisili di Malaysia, yang tidak memiliki BUT di Indonesia. Tarif domestiknya adalah 20%, yang dapat diturunkan menggunakan skema P3B.

Sebagai contoh, jika sebuah perusahaan di Jakarta memanfaatkan jasa konsultasi dari perusahaan yang berdomisili di Surabaya, maka pemotongan pajaknya adalah PPh 23. Sebaliknya, jika perusahaan Jakarta tersebut memanfaatkan jasa serupa dari perusahaan Malaysia yang tidak memiliki kehadiran fisik yang dianggap BUT di Indonesia, maka pemotongan yang wajib dilakukan adalah PPh 26. Memahami perbedaan ini sangat penting untuk memastikan kepatuhan pajak yang akurat.

Final Takeaways: Strategi Kepatuhan Pajak Internasional 2026

Tiga Langkah Utama: Dokumen, Pemotongan, dan Pelaporan P3B

Kepatuhan dalam skema perpajakan tiga pihak, di mana entitas Indonesia menerima manfaat dari jasa luar negeri namun pembayaran dilakukan oleh entitas terafiliasi (misalnya Malaysia), bergantung pada tiga pilar utama. Pertama, prinsip terpenting yang menentukan kewajiban pajak adalah tempat pemanfaatan jasa. Jika jasa tersebut secara substansial memberikan manfaat ekonomis di Indonesia, maka hak pemajakan ada pada Indonesia, terlepas dari lokasi pembayaran (Malaysia).

Kedua, untuk memastikan tarif pajak yang lebih rendah berdasarkan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B), entitas Indonesia wajib memastikan Surat Keterangan Domisili (SKD) atau Formulir DGT-1/DGT-2 dari otoritas pajak Malaysia selalu tersedia. Berdasarkan pengalaman kami dalam penanganan audit, dokumen ini adalah bukti kredibel yang paling sering diuji oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk menguji keabsahan Beneficial Owner dan penerapan tarif P3B yang valid.

Konsultasi Lanjutan untuk Kompleksitas Pajak Tiga Pihak

Langkah selanjutnya yang sangat disarankan bagi entitas di Indonesia adalah meninjau kembali semua kontrak jasa internasional secara proaktif. Tinjauan ini harus bertujuan untuk mengidentifikasi potensi risiko PPh 26 yang mungkin belum dipenuhi, terutama dalam transaksi yang melibatkan pihak ketiga. Mengingat kompleksitas aturan Transfer Pricing dan Substance-Over-Form dalam transaksi afiliasi, konsultasi dengan konsultan pajak bersertifikat sangat diperlukan untuk menghindari sanksi administratif berupa bunga yang dapat mencapai 0,5% per bulan dari PPh terutang.

Jasa Pembayaran Online
💬