Pajak Jasa Kontraktor Tanpa NPWP: Persentase dan Aturan Terbaru

Memahami Pajak Jasa Kontraktor: Aturan Khusus untuk Non-NPWP

Dalam setiap transaksi bisnis, kepatuhan terhadap regulasi perpajakan adalah kunci untuk menjaga stabilitas dan kredibilitas perusahaan. Salah satu area yang sering menimbulkan kerumitan adalah ketika perusahaan pengguna jasa melakukan pembayaran kepada penyedia jasa kontraktor yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (Non-NPWP). Hal ini memerlukan perlakuan pajak khusus yang harus diimplementasikan dengan benar.

Ketika perusahaan Anda membayar jasa kontraktor kepada penyedia yang tidak memiliki NPWP, wajib pajak secara otomatis dikenakan tarif pajak yang lebih tinggi. Kenaikan tarif ini dapat merujuk pada ketentuan PPh Pasal 23 untuk jasa non-konstruksi, atau PPh Final (sebagaimana diatur oleh PP 94 Tahun 2010 atau aturan terbaru PP 55 Tahun 2022) untuk jasa konstruksi.

Tarif Pajak PPh Jasa Kontraktor Non-NPWP: Jawaban Cepat

Secara ringkas, bagi penyedia jasa yang tidak memiliki NPWP, tarif pemotongan PPh yang berlaku—baik PPh Pasal 23 maupun PPh Final—akan dinaikkan sebesar 100% (dua kali lipat) dari tarif normal yang berlaku. Hal ini merupakan sanksi administratif langsung yang dibebankan kepada penerima penghasilan karena tidak memenuhi kewajiban administrasi perpajakannya.

Dasar Hukum dan Pentingnya Kepatuhan (Wajib Baca)

Memahami dasar hukum adalah fondasi untuk membangun kepercayaan dan otoritas dalam kepatuhan pajak. Kewajiban pemotongan pajak dengan tarif 100% lebih tinggi ini diatur secara tegas dalam Pasal 28 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP). Sebagai pengguna jasa (pihak yang memotong/memungut), perusahaan Anda bertanggung jawab penuh untuk menghitung, memotong, dan menyetorkan pajak ini.

Artikel ini disusun untuk memberikan panduan langkah-demi-langkah yang jelas. Kami akan membedah cara menghitung, memotong, dan menyetorkan pajak tersebut—mulai dari membedakan kategori jasa (konstruksi vs. non-konstruksi), menentukan tarif yang tepat, hingga prosedur pelaporan—untuk memastikan perusahaan Anda 100% patuh dan terhindar dari sanksi denda saat audit.

Menganalisis Kategori Jasa Kontraktor: Kunci Penentuan Tarif PPh

Memahami klasifikasi jenis jasa yang Anda bayarkan adalah langkah awal yang krusial dalam menentukan tarif Pajak Penghasilan (PPh) yang tepat, terutama ketika berhadapan dengan penyedia yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Kesalahan dalam penentuan kategori dapat berakibat fatal pada koreksi pajak saat dilakukan pemeriksaan.

Perbedaan Kontraktor (Konstruksi) vs. Jasa Lain

Secara umum, dalam konteks perpajakan di Indonesia, jasa kontraktor terbagi menjadi dua kategori utama dengan perlakuan PPh yang sangat berbeda:

  1. Jasa Konstruksi: Ini mencakup layanan perencanaan konstruksi, pelaksanaan konstruksi, dan pengawasan konstruksi. Jasa-jasa ini tunduk pada aturan PPh Final, yang berarti pajak yang dipotong merupakan pelunasan akhir atas penghasilan tersebut dan tidak dapat dikreditkan.
  2. Jasa Non-Konstruksi: Ini mencakup semua jasa kontraktor lainnya yang tidak termasuk dalam definisi jasa konstruksi, seperti jasa konsultasi manajemen, jasa penyewaan alat berat (tanpa operator), atau jasa kebersihan. Jasa ini dikenakan PPh Pasal 23, yang merupakan pembayaran di muka atas pajak terutang dan dapat dikreditkan dalam SPT Tahunan Wajib Pajak Badan penerima penghasilan.

Untuk mendapatkan pemahaman yang tegas mengenai batasan antara kedua kategori ini, kita merujuk pada regulasi perpajakan. Perbedaan ini secara eksplisit ditegaskan dalam Peraturan Pemerintah (PP) yang mengatur PPh Final Jasa Konstruksi, di mana hanya jasa-jasa yang termasuk dalam ruang lingkup konstruksi yang dikenakan PPh Final. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 141/PMK.03/2015, PPh Pasal 23 dikenakan atas penghasilan dari jasa selain jasa konstruksi (yang telah memiliki aturan PPh Final sendiri) dan jasa-jasa lainnya yang secara spesifik disebutkan dalam peraturan tersebut. Hal ini memberikan dasar hukum yang kuat untuk membedakan objek pemotongan antara PPh Final dan PPh Pasal 23.

Dampak Sertifikasi Badan Usaha (SBU) pada Pemotongan Pajak

Bagi jasa konstruksi, kepemilikan Sertifikat Badan Usaha (SBU) dari penyedia jasa memiliki dampak langsung terhadap besaran tarif PPh Final yang harus Anda potong. SBU ini berfungsi sebagai bukti kualifikasi dan kompetensi usaha.

Tarif PPh Final Jasa Konstruksi diatur berdasarkan kualifikasi usaha (Kecil, Menengah, atau Besar) dan status kepemilikan SBU. Kontraktor yang memiliki SBU akan menikmati tarif PPh Final yang lebih rendah karena dianggap telah memenuhi standar legalitas dan kompetensi. Sebaliknya, penyedia jasa konstruksi yang tidak memiliki SBU akan dikenakan tarif yang lebih tinggi. Selain itu, jika penyedia jasa tidak memiliki NPWP, tarif PPh Final Jasa Konstruksi akan dinaikkan 100% dari tarif normal yang berlaku, sesuai dengan ketentuan Pasal 28 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), sebagai bentuk sanksi administratif dan penguatan kepatuhan.

Persentase PPh Final Jasa Konstruksi Non-NPWP: Peraturan Terkini

Kewajiban memotong Pajak Penghasilan (PPh) Final dari jasa konstruksi adalah salah satu aspek yang paling krusial dalam kepatuhan pajak perusahaan pengguna jasa. Namun, kompleksitas muncul ketika penyedia jasa konstruksi tersebut tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Sesuai dengan prinsip kepatuhan yang diatur dalam Pasal 28 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), tarif pajak yang dikenakan harus dinaikkan sebesar 100% dari tarif normal yang berlaku. Ini adalah sanksi administratif yang wajib dipotong langsung oleh pengguna jasa.

Tarif PPh Jasa Konstruksi untuk Penyedia Tanpa SBU dan Tanpa NPWP

Ketika sebuah perusahaan membayar jasa konstruksi kepada penyedia yang tidak memiliki NPWP, tarif PPh Final yang wajib dipotong secara otomatis akan menjadi dua kali lipat (100% lebih tinggi). Selain itu, penyedia jasa yang tidak memiliki Sertifikat Badan Usaha (SBU) akan dikenakan tarif tertinggi.

Sebagai ilustrasi, jika tarif PPh Final normal untuk kontraktor yang memiliki SBU kualifikasi kecil adalah 2%, maka tarif yang berlaku untuk kontraktor yang tidak memiliki NPWP akan menjadi 4%. Peningkatan tarif ini tidak hanya berfungsi sebagai mekanisme pengawasan, tetapi juga sebagai penekanan atas pentingnya kepemilikan NPWP dalam ekosistem bisnis yang patuh.

Penting: Dasar hukum PPh Final Jasa Konstruksi saat ini merujuk pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 9 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas PP Nomor 51 Tahun 2008. PP ini menetapkan tarif dasar berdasarkan kualifikasi usaha dan kepemilikan SBU.

Perhitungan PPh Final Non-NPWP untuk Kualifikasi Kecil

Dalam praktik, kenaikan tarif 100% ini harus diterapkan pada tarif dasar PPh Final. PP 9 Tahun 2022 menetapkan tarif dasar sebagai berikut:

  • Pekerjaan Konstruksi:
    • Memiliki SBU Kualifikasi Usaha Kecil: 1,75%
    • Memiliki SBU Kualifikasi Usaha Menengah atau Besar: 2,65%
    • Tidak Memiliki SBU: 4%
  • Jasa Konsultasi Konstruksi:
    • Memiliki SBU: 3,5%
    • Tidak Memiliki SBU: 6%

Jika penyedia jasa konstruksi tidak memiliki NPWP, tarif-tarif di atas wajib dikalikan dua. Perhatikan contoh perbandingan tarif yang diatur oleh peraturan pemerintah terkini di bawah ini:

Kategori Jasa Konstruksi Dasar Tarif Normal (PP 9/2022) Tarif untuk Non-NPWP (Dikenakan Kenaikan 100%)
Pelaksana Konstruksi SBU Kecil 1,75% 3,5%
Pelaksana Konstruksi SBU Menengah/Besar 2,65% 5,3%
Pelaksana Konstruksi Tanpa SBU 4% 8%
Konsultansi Konstruksi SBU 3,5% 7%
Konsultansi Konstruksi Tanpa SBU 6% 12%

Contoh Perhitungan:

Sebuah perusahaan membayar jasa pelaksanaan konstruksi senilai Rp 500.000.000 kepada kontraktor kualifikasi kecil yang memiliki SBU, tetapi tidak memiliki NPWP.

  1. Tarif Normal: 1,75%
  2. Tarif Non-NPWP: $1,75% \times 2 = 3,5%$
  3. PPh Final yang Dipotong: $3,5% \times Rp 500.000.000 = Rp 17.500.000$

Perhitungan ini memastikan bahwa perusahaan pengguna jasa telah memenuhi kewajiban pemotongan pajak secara akurat, sekaligus memastikan ketaatan terhadap ketentuan yang berlaku terkait dengan validitas data wajib pajak. Melalui penerapan tarif ganda ini, otoritas pajak dapat memelihara tingkat keadilan dan meningkatkan kepatuhan pelaporan secara menyeluruh.

Aturan PPh Pasal 23 untuk Jasa Non-Konstruksi Tanpa NPWP

Setelah membahas PPh Final untuk jasa konstruksi, kini kita fokus pada jenis jasa kontraktor lain yang tidak termasuk dalam kategori konstruksi (misalnya jasa sewa alat berat, jasa cleaning service, atau jasa alih daya/manajemen). Jasa-jasa ini tunduk pada rezim PPh Pasal 23.

Jasa Kontraktor Lain yang Termasuk Objek PPh Pasal 23 (Misalnya, Sewa Alat Berat)

Pemotongan PPh Pasal 23 berlaku untuk berbagai jenis jasa yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 141/PMK.03/2015. Kategori jasa ini sangat luas, mencakup:

  • Jasa Penunjang: Jasa sewa dan jasa lain sehubungan dengan penggunaan harta (selain sewa tanah dan/atau bangunan, seperti sewa alat berat atau kendaraan operasional).
  • Jasa Teknik dan Manajemen: Jasa manajemen, jasa konsultasi, atau jasa penilai.
  • Jasa Outsourcing: Jasa penyediaan tenaga kerja atau jasa katering.

Jika kontraktor Anda menyediakan salah satu jasa non-konstruksi di atas, kewajiban pemotongan pajaknya akan menggunakan skema PPh Pasal 23.

Kenaikan Tarif PPh Pasal 23: Persentase Mutlak Non-NPWP

Salah satu penekanan penting dalam prinsip kepatuhan dan kewenangan pemerintah dalam mengatur pajak adalah penalti bagi pihak yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Sesuai dengan Pasal 23 ayat (1) huruf c Undang-Undang PPh juncto Pasal 28 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), tarif pajak akan dikenakan 100% lebih tinggi dari tarif normal.

Untuk jasa PPh Pasal 23, tarif normalnya adalah 2% dari jumlah bruto (tidak termasuk PPN). Oleh karena itu, bagi penyedia jasa yang tidak memiliki NPWP, tarif tersebut langsung meningkat menjadi 4%. Kenaikan 100% ini bukan sekadar insentif untuk mendaftar NPWP, melainkan sanksi administratif langsung yang wajib dipotong oleh pengguna jasa (pemotong pajak). Pengguna jasa tidak memiliki pilihan untuk tidak menerapkan tarif ganda ini.


Studi Kasus: Perhitungan PPh Pasal 23 Non-NPWP

Untuk menguatkan pemahaman, berikut adalah contoh riil perhitungan PPh Pasal 23 bagi penyedia jasa yang tidak memiliki NPWP:

Skenario: PT Sejahtera menggunakan jasa sewa alat berat (non-konstruksi) dari CV Makmur senilai Rp 10.000.000 (jumlah bruto). Setelah verifikasi, PT Sejahtera mendapati bahwa CV Makmur tidak memiliki NPWP.

Elemen Perhitungan Detail
Nilai Bruto Jasa Rp 10.000.000
Tarif PPh Pasal 23 Normal (dengan NPWP) 2%
Tarif PPh Pasal 23 Non-NPWP (Dikenakan) $2% \times 200% = 4%$
PPh Pasal 23 yang Wajib Dipotong $4% \times \text{Rp } 10.000.000$
Total PPh Dipotong Rp 400.000
Pembayaran Bersih ke CV Makmur $\text{Rp } 10.000.000 - \text{Rp } 400.000 = \text{Rp } 9.600.000$

PT Sejahtera harus memotong Rp 400.000 dan menyetorkannya ke kas negara. Jika CV Makmur memiliki NPWP, PPh Pasal 23 yang dipotong hanya Rp 200.000. Selisih Rp 200.000 adalah beban penalti yang diakibatkan oleh ketidakpatuhan mitra kerja.

Implikasi dan Risiko Tidak Memotong Pajak Secara Tepat

Kepatuhan pemotongan dan penyetoran pajak bukan hanya formalitas, melainkan kewajiban hukum yang harus dipenuhi oleh perusahaan pengguna jasa kontraktor. Saat bertransaksi dengan kontraktor, terutama yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), risiko fiskal yang dihadapi perusahaan (sebagai pemotong pajak) meningkat drastis. Kelalaian dalam memotong, menyetor, atau melaporkan pajak secara tepat akan mengundang sanksi berat dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

Sanksi Administratif dan Denda Keterlambatan Penyetoran

Sebagai Pemotong Pajak, perusahaan Anda memegang tanggung jawab penuh (liabilitas) atas pajak yang seharusnya dipotong dari pembayaran kepada kontraktor dan kemudian disetorkan ke kas negara. Apabila Anda gagal melakukan pemotongan atau terlambat menyetorkan PPh yang telah dipotong, perusahaan Anda harus menanggung PPh yang terutang tersebut. Tidak hanya itu, kegagalan ini juga akan dikenakan sanksi berupa denda.

Sesuai dengan Pasal 13 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), kekurangan pembayaran pajak yang diakibatkan oleh koreksi saat pemeriksaan (misalnya karena PPh non-NPWP tidak dipotong dengan tarif 100% lebih tinggi) akan dikenakan sanksi bunga. Sanksi ini dihitung berdasarkan suku bunga acuan ditambah uplift yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dan dikenakan per bulan. Lebih lanjut, dalam Surat Edaran DJP Nomor SE-50/PJ/2017, ditegaskan bahwa pemotong pajak wajib memenuhi kewajiban pemotongan sesuai ketentuan, karena sanksi dan denda akan ditujukan langsung kepada pihak yang wajib memotong (pengguna jasa). Keterlambatan pelaporan SPT Masa juga dapat dikenakan denda administrasi yang telah ditetapkan.

Proses Pemeriksaan Pajak dan Tanggung Jawab Pemotong Pajak

Kesalahan dalam menentukan kategori jasa—apakah termasuk PPh Final Jasa Konstruksi atau PPh Pasal 23 Jasa Non-Konstruksi—menjadi sumber masalah yang signifikan saat proses audit atau pemeriksaan pajak. Jika perusahaan salah menerapkan tarif PPh Final (misalnya, menggunakan tarif 2% padahal seharusnya 4% karena kontraktor tidak ber-NPWP/bersertifikasi), kekurangan pembayaran pajak tersebut akan dikoreksi oleh auditor pajak.

Tanggung jawab pemotong pajak ditegaskan dalam banyak regulasi, termasuk dalam Undang-Undang PPh Pasal 23 ayat (1) dan Pasal 4 ayat (2). Kesalahan penentuan ini, yang kemudian diikuti dengan denda dan sanksi bunga, dapat membebani arus kas perusahaan secara tak terduga. Untuk menunjukkan keandalan informasi ini, merujuk pada ketentuan dalam UU KUP dan Peraturan Pemerintah terkait, apabila terjadi kekurangan pembayaran pajak (seperti yang diakibatkan oleh salah potong tarif), maka pajak yang kurang dibayar ditambah sanksi bunga Pasal 13 UU KUP akan ditagihkan kepada pengguna jasa sebagai pihak yang bertanggung jawab atas pemotongan. Oleh karena itu, memastikan ketepatan kategori jasa dan penggunaan tarif non-NPWP yang 100% lebih tinggi adalah langkah krusial untuk menjaga integritas laporan keuangan perusahaan Anda.

Prosedur Kepatuhan: Langkah-Langkah Pemotongan dan Pelaporan yang Benar

Kepatuhan perpajakan perusahaan Anda sebagai pengguna jasa kontraktor, terutama yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), adalah garis pertahanan pertama terhadap sanksi dan denda. Memastikan prosedur pemotongan dan pelaporan dilakukan secara sistematis dan tepat waktu adalah kunci untuk mempertahankan kredibilitas dan profesionalisme keuangan Anda di mata otoritas pajak.

Alur Dokumen: Mulai dari Invoice hingga Bukti Potong (BP)

Proses pemotongan pajak harus terintegrasi dengan alur pembayaran normal perusahaan. Berikut adalah langkah-langkah prosedural yang harus Anda ikuti untuk memastikan setiap transaksi jasa kontraktor diproses sesuai aturan perpajakan:

  1. Langkah 1: Verifikasi Status NPWP Mitra. Sebelum pembayaran, langkah kritis pertama adalah memverifikasi status NPWP penyedia jasa. Jika mitra tidak dapat memberikan NPWP (baik badan atau perorangan), maka perusahaan Anda wajib menggunakan tarif pemotongan PPh yang lebih tinggi 100%. Pengabaian verifikasi ini berisiko membuat perusahaan menanggung kekurangan pajak dan sanksi di kemudian hari.
  2. Langkah 2: Pemotongan, Pembuatan Bukti Potong, dan Penyetoran. Setelah tarif yang tepat (normal atau tarif 100% lebih tinggi) ditentukan, hitung PPh, dan potong jumlah tersebut dari total pembayaran kepada kontraktor. Setelah pemotongan, Anda harus segera membuat Bukti Potong (BP) yang sah, baik itu e-Bupot PPh Pasal 23 atau Bukti Potong PPh Final Jasa Konstruksi. Selanjutnya, PPh yang telah dipotong wajib disetorkan ke kas negara melalui sistem e-Billing, memastikan Anda menggunakan Kode Akun Pajak (KAP) dan Kode Jenis Setoran (KJS) yang benar.
  3. Langkah 3: Pelaporan dalam SPT Masa. Bukti Potong yang sudah dibuat dan PPh yang sudah disetorkan harus dilaporkan secara formal. Pelaporan ini dilakukan dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPh terkait, misalnya SPT Masa PPh Pasal 23 jika itu adalah jasa non-konstruksi non-NPWP, atau dilaporkan dalam sistem pelaporan PPh Final Jasa Konstruksi. Pelaporan harus dilakukan paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya.

Kode Akun Pajak (KAP) dan Kode Jenis Setoran (KJS) yang Tepat

Penggunaan KAP dan KJS yang tepat sangat menentukan validitas penyetoran pajak Anda. Kesalahan kode dapat menyebabkan setoran dianggap tidak valid. Untuk PPh Final Jasa Konstruksi, khususnya yang terkait dengan penyedia jasa tanpa NPWP, Anda harus sangat teliti.

Untuk menemukan KAP dan KJS yang benar, Anda dapat menggunakan panduan berikut, yang mencerminkan praktik terbaik dan aksesibilitas data perpajakan resmi:

  1. Akses situs resmi Direktorat Jenderal Pajak (DJP), biasanya melalui menu “Layanan” atau “Peraturan”.
  2. Cari panduan atau peraturan terkait “Kode Akun Pajak dan Kode Jenis Setoran” (KAP/KJS) yang berlaku.
  3. Fokus pada kelompok PPh Final (biasanya KAP 411128). Untuk Jasa Konstruksi, carilah KJS yang mengacu pada “PPh Final Jasa Konstruksi Non-NPWP” berdasarkan jenis kualifikasi usahanya (misalnya, Jasa Pelaksanaan Konstruksi Non-NPWP).
  4. Pastikan kode yang digunakan sesuai dengan tarif yang Anda terapkan (100% lebih tinggi). Contoh, untuk Jasa Pelaksanaan Konstruksi kualifikasi kecil (Non-NPWP), KJS yang digunakan mungkin berbeda dari kualifikasi besar.
  5. Gunakan kombinasi KAP/KJS yang telah diverifikasi ini saat membuat kode billing melalui sistem DJP Online atau e-Billing.

Dengan mengikuti prosedur ini dan menggunakan kode setoran yang akurat, perusahaan Anda dapat menjamin akuntabilitas dan transparansi dalam mengelola pajak atas pembayaran jasa kontraktor non-NPWP.

FAQ PPh Kontraktor Tanpa NPWP: Pertanyaan Populer Wajib Pajak

Q1. Apakah PPh Final Jasa Konstruksi yang sudah dipotong bisa dikreditkan?

Tidak, PPh Final tidak dapat dikreditkan saat Wajib Pajak (WP) pelaksana konstruksi tersebut melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan. Ini adalah salah satu aspek penting dari PPh Final (Pajak Penghasilan Bersifat Final). PPh Final merupakan pembayaran pajak di muka untuk penghasilan tertentu dan dianggap telah melunasi kewajiban pajak atas penghasilan tersebut.

Berdasarkan regulasi pajak yang berlaku, pemahaman ini sangat penting untuk perencanaan keuangan perusahaan. Pengguna jasa wajib memotong dan menyetor PPh tersebut, dan bagi kontraktor, potongan itu adalah pelunasan akhir atas PPh atas jasa konstruksi yang diberikan, sehingga tidak ada mekanisme pengembalian atau kompensasi di akhir tahun buku.

Q2. Bagaimana jika kontraktor memiliki NPWP pribadi, tetapi tidak memiliki NPWP Badan?

Ini adalah situasi yang menuntut kepatuhan dan kecermatan tingkat tinggi dari pihak pemotong pajak. Penggunaan NPWP pribadi (jasa orang pribadi) harus secara ketat dibedakan dari jasa badan usaha. Jika kontraktor adalah orang pribadi, namun jasa konstruksi tersebut diberikan dalam kapasitas usaha (dan bukan murni pekerjaan bebas individu), maka aturan PPh dapat berbeda secara signifikan dan umumnya akan dikenakan PPh Pasal 21.

Untuk membangun kredibilitas (Authority) dalam hal ini, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) melalui berbagai penegasan selalu menekankan substansi transaksi. Jika transaksi jelas merupakan jasa badan usaha, namun hanya melampirkan NPWP pribadi, risiko audit dan koreksi PPh Pasal 23 atau PPh Final menjadi tinggi. Dalam praktiknya, pemotong pajak disarankan untuk meminta NPWP entitas bisnis yang sah dan menolak penggunaan NPWP pribadi untuk transaksi jasa badan.

Q3. Apakah saya tetap harus memotong PPN meskipun kontraktor tidak memiliki NPWP?

Ya, kewajiban pemotongan atau pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah isu perpajakan yang terpisah dan independen dari Pajak Penghasilan (PPh). PPN wajib dipotong jika kontraktor adalah Pengusaha Kena Pajak (PKP), terlepas dari kepemilikan NPWP Badan untuk PPh-nya.

Kunci penentuan PPN adalah status PKP kontraktor, bukan kepemilikan NPWP. Jika kontraktor sudah terdaftar sebagai PKP, mereka wajib memungut PPN sebesar 11%. Jika Anda sebagai pengguna jasa adalah Pemungut PPN (misalnya, BUMN, Instansi Pemerintah), maka Anda wajib memotong PPN tersebut. Oleh karena itu, langkah pertama dalam setiap transaksi jasa adalah memverifikasi status PKP kontraktor, yang menunjukkan keahlian (Expertise) dalam manajemen kepatuhan pajak.

Final Takeaways: Strategi Kepatuhan Pajak Kontraktor (2025)

Dalam mengelola pembayaran jasa kontraktor, terutama yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), kepatuhan adalah aset terbesar perusahaan Anda. Mengabaikan aturan ini dapat mengakibatkan kerugian finansial signifikan.

3 Pilar Kepatuhan: Verifikasi, Tarif Dobel, dan Bukti Potong

Kunci utama untuk memastikan kepatuhan pajak yang sempurna adalah selalu verifikasi status NPWP mitra usaha Anda sebelum kontrak ditandatangani dan pembayaran dilakukan. Berdasarkan regulasi perpajakan di Indonesia, seperti yang diamanatkan dalam Pasal 28 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), tarif PPh (baik PPh Pasal 23 maupun PPh Final Jasa Konstruksi) akan dinaikkan sebesar 100% jika penerima penghasilan tidak dapat menunjukkan NPWP yang sah.

Pilar kedua adalah penerapan tarif dobel tersebut. Jika tarif normal Anda 2%, Anda harus memotong 4%. Jika tarif PPh Final Anda 3%, Anda wajib memotong 6% (atau mengikuti ketentuan tarif non-NPWP tertinggi yang berlaku). Pilar terakhir adalah pembuatan dan pelaporan Bukti Potong (BP). BP ini adalah dokumen resmi yang membuktikan bahwa PPh telah dipotong dan disetorkan atas nama kontraktor non-NPWP. Kelalaian dalam membuat atau melaporkan BP dapat memicu sanksi dan bunga yang diatur dalam Pasal 13 UU KUP.

Langkah Selanjutnya untuk Pengguna Jasa

Untuk mitigasi risiko audit, terapkan prosedur baku verifikasi NPWP di awal proses kontrak. Ini bukan hanya masalah pajak, tetapi juga praktik bisnis yang menunjukkan akuntabilitas dan keahlian (Expertise & Authority) perusahaan Anda dalam mengelola transaksi bisnis yang kompleks. Jadikan verifikasi NPWP sebagai checklist wajib sebelum purchase order (PO) diterbitkan untuk menghindari risiko denda saat pemeriksaan pajak di kemudian hari.

Jasa Pembayaran Online
💬