Pajak Jasa Konstruksi: Panduan Lengkap PPh Final 4 Ayat 2
Memahami Pajak Penghasilan (PPh) Final Pasal 4 Ayat 2 untuk Jasa Konstruksi
Definisi Singkat PPh Final Jasa Konstruksi
Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 4 Ayat 2 adalah mekanisme pemotongan pajak yang bersifat final, artinya pajak tersebut sudah dianggap lunas dan tidak dapat dikreditkan lagi dalam perhitungan PPh tahunan. Jenis pajak ini secara spesifik dikenakan atas penghasilan tertentu, dan salah satu sektor utama yang terikat pada aturan ini adalah usaha jasa konstruksi. Bagi setiap entitas yang terlibat dalam layanan konstruksi—mulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga pengawasan—pemahaman akan PPh Final ini adalah kunci untuk menghindari sanksi dan memastikan kepatuhan.
Dasar Hukum dan Kepentingan Kepatuhan
Artikel ini hadir sebagai panduan langkah demi langkah yang kredibel dan terperinci untuk memastikan kepatuhan pajak bagi baik pemberi jasa (pengguna jasa) maupun penerima jasa (penyedia jasa konstruksi) di Indonesia. Kami berfokus pada langkah-langkah praktis dan landasan hukum terbaru. Memahami dan menerapkan aturan PPh Final Pasal 4 Ayat 2 bukan hanya kewajiban legal, tetapi juga cerminan dari kredibilitas dan otoritas perusahaan di mata regulator dan mitra bisnis. Kepatuhan yang tepat memastikan bahwa semua transaksi konstruksi dilakukan dengan transparansi fiskal yang maksimal.
Siapa yang Wajib Memotong dan Kapan Kewajiban Itu Timbul?
Memahami pihak yang bertanggung jawab atas pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) Final Pasal 4 Ayat 2 dan waktu timbulnya kewajiban tersebut adalah langkah krusial dalam memastikan kepatuhan pajak bagi seluruh pihak yang terlibat dalam transaksi jasa konstruksi. Kewajiban ini tidak terletak pada penyedia jasa, melainkan pada pengguna jasa itu sendiri.
Peran ‘Pemberi Jasa’ sebagai Pemotong Pajak
Dalam konteks PPh Final Jasa Konstruksi, “Pemberi Jasa” atau yang lebih tepat disebut sebagai Pengguna Jasa (pihak yang membayar), memegang peran sentral sebagai Pemotong Pajak. Pihak ini, yang meliputi instansi pemerintah, BUMN, Wajib Pajak Badan, atau Wajib Pajak Orang Pribadi tertentu yang menunjuk penyedia jasa konstruksi, wajib melakukan pemotongan PPh Pasal 4 Ayat 2 dari nilai pembayaran kontrak.
Kewajiban pemotongan ini harus dilakukan sebelum Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dibayarkan. Setelah pemotongan, pemotong wajib menyetorkan PPh tersebut ke kas negara dan menerbitkan bukti potong kepada penyedia jasa konstruksi. Hal ini penting untuk menciptakan suatu sistem yang dapat dipertanggungjawabkan dan membangun kredibilitas serta kepercayaan pada sistem perpajakan. Untuk memastikan setiap pihak bertindak sesuai koridor hukum, dasar hukum kewajiban pemotongan ini secara tegas diatur dalam regulasi yang berlaku. Secara spesifik, merujuk pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 9 Tahun 2022, yang merupakan regulasi terbaru dan paling otoritatif mengenai Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi, menjadi landasan yang tidak dapat diganggu gugat bagi setiap Pengguna Jasa dalam menjalankan kewajiban pemotongan ini.
Kriteria Transaksi yang Wajib Dipotong PPh Final
Tidak semua transaksi jasa akan tunduk pada PPh Final. Kriteria utamanya adalah transaksi tersebut harus masuk dalam kategori Jasa Konstruksi, yang mencakup layanan konsultasi perencanaan, pelaksanaan, dan konsultasi pengawasan pekerjaan konstruksi.
Kewajiban pemotongan PPh Final Pasal 4 Ayat 2 timbul pada saat yang sangat spesifik, yaitu saat pembayaran dilakukan kepada penyedia jasa, atau saat terutangnya penghasilan, tergantung mana yang terjadi lebih dulu.
- Pembayaran: Jika pembayaran dilakukan secara termin atau sekaligus, pemotongan wajib dilakukan pada tanggal pembayaran tersebut.
- Terutangnya Penghasilan: Ini bisa terjadi saat penagihan (faktur) diterbitkan atau ketika Pengguna Jasa mengakui biaya atas jasa tersebut dalam pembukuan, meskipun pembayaran fisik belum dilakukan.
Ketentuan “mana yang lebih dulu” bertujuan untuk menutup celah penundaan pembayaran pajak dan memastikan bahwa PPh Final segera disetor ke kas negara. Kepatuhan terhadap penentuan waktu pemotongan ini sangat penting untuk menghindari sanksi administrasi di kemudian hari.
Daftar Tarif PPh Final Jasa Konstruksi Berdasarkan Klasifikasi Usaha
Pemahaman yang akurat mengenai tarif Pajak Penghasilan (PPh) Final Pasal 4 Ayat 2 adalah kunci untuk memastikan kepatuhan bagi pemberi jasa konstruksi dan menghindari sengketa pajak. Tarif yang dikenakan atas penghasilan dari jasa konstruksi tidak seragam, melainkan berkisar antara 1,75% hingga 4%. Penentuan tarif ini secara ketat bergantung pada dua faktor utama: jenis jasa konstruksi yang dilakukan (Pelaksanaan, Perencanaan, atau Pengawasan) dan status kualifikasi usaha yang dibuktikan dengan kepemilikan Sertifikat Badan Usaha (SBU).
Tarif untuk Jasa Pelaksanaan Konstruksi (Kontraktor)
Jasa Pelaksanaan Konstruksi, atau yang lebih dikenal sebagai jasa kontraktor, memiliki rentang tarif PPh Final yang paling bervariasi karena tingginya volume transaksi dan kebutuhan diferensiasi kualifikasi.
| Kualifikasi Usaha | Kepemilikan SBU | Tarif PPh Final | Dasar Hukum |
|---|---|---|---|
| Kualifikasi Kecil | Memiliki SBU | 1,75% | PP No. 9 Tahun 2022 |
| Kualifikasi Menengah/Besar | Memiliki SBU | 2,65% | PP No. 9 Tahun 2022 |
| Non-Kualifikasi | Tidak Memiliki SBU | 4,00% | PP No. 9 Tahun 2022 |
| Penyedia Jasa Orang Pribadi | N/A | 4,00% | PP No. 9 Tahun 2022 |
Fokus Data: Seperti disajikan dalam tabel perbandingan di atas, tarif terendah hanya 1,75% dan berlaku eksklusif untuk penyedia jasa dengan kualifikasi usaha kecil yang telah bersertifikat melalui lembaga yang berwenang (LPJK). Di sisi lain, tarif tertinggi sebesar 4,00% akan diterapkan pada penyedia jasa yang tidak memiliki sertifikat kualifikasi usaha (Non-Kualifikasi). Penting untuk dicatat bahwa tarif 2,65% umumnya berlaku untuk Pelaksanaan Konstruksi oleh penyedia jasa yang sudah terdaftar dengan kualifikasi usaha menengah atau besar, asalkan mereka memiliki SBU yang masih berlaku. Pemberi jasa harus selalu memverifikasi status SBU penyedia jasa sebelum pemotongan untuk memastikan tarif yang benar diterapkan, menunjukkan kompetensi dan kredibilitas dalam praktik perpajakan.
Tarif untuk Jasa Perencanaan dan Pengawasan Konstruksi
Jasa Perencanaan Konstruksi (Konsultan Perencana) dan Jasa Pengawasan Konstruksi (Konsultan Pengawas) juga tunduk pada PPh Final Pasal 4 Ayat 2, namun dengan struktur tarif yang sedikit berbeda dari jasa pelaksanaan.
- Jasa Perencanaan/Pengawasan oleh Penyedia Bersertifikat: Tarif yang dikenakan adalah 3,5% dari nilai kontrak, asalkan penyedia jasa (baik badan usaha maupun orang pribadi) memiliki SBU yang relevan.
- Jasa Perencanaan/Pengawasan oleh Penyedia Tidak Bersertifikat: Jika penyedia jasa tidak memiliki Sertifikat Badan Usaha (SBU) atau sertifikat kompetensi kerja untuk orang pribadi, maka tarif PPh Final yang dikenakan adalah 6,0% dari nilai kontrak.
Perbedaan persentase tarif ini menekankan pentingnya Sertifikat Badan Usaha (SBU) yang valid, bukan hanya untuk memenuhi syarat lelang, tetapi juga untuk meminimalkan beban pajak final yang harus ditanggung oleh penyedia jasa. Pemberi jasa konstruksi wajib menyimpan salinan SBU sebagai bukti untuk mendukung penerapan tarif pemotongan yang lebih rendah, yang merupakan bagian dari prosedur kepatuhan yang bertanggung jawab.
Mekanisme Pemotongan dan Penerbitan Bukti Potong Pajak
Memahami alur yang benar dalam memotong dan melaporkan Pajak Penghasilan (PPh) Final Pasal 4 Ayat 2 adalah kunci untuk menghindari sanksi administrasi. Bagi pihak yang bertindak sebagai pemberi jasa konstruksi bayar pajak pph 4 ayat 2 ini, prosesnya memerlukan ketelitian mulai dari perhitungan hingga penyerahan bukti potong.
Proses Perhitungan PPh Final yang Tepat
Perhitungan PPh Final Jasa Konstruksi wajib didasarkan pada Nilai Kontrak Jasa Konstruksi sebelum dikenakan PPN (Pajak Pertambahan Nilai). Nilai kontrak ini mencakup semua unsur biaya yang dikeluarkan oleh penyedia jasa dalam menyelesaikan proyek, seperti biaya material, upah, sewa peralatan, dan keuntungan. Kesalahan umum sering terjadi ketika pemotongan dilakukan atas nilai yang sudah termasuk PPN, yang akan mengakibatkan PPh yang terpotong menjadi terlalu tinggi.
Rumus perhitungannya sederhana: $$\text{PPh Final Terutang} = \text{Nilai Kontrak (tanpa PPN)} \times \text{Tarif PPh Final}$$
Sebagai contoh, jika sebuah perusahaan memiliki kontrak pelaksanaan konstruksi sebesar Rp1.100.000.000 (termasuk PPN 10%) dengan penyedia jasa kualifikasi kecil bersertifikat (tarif 1,75%), nilai kontrak sebelum PPN adalah Rp1.000.000.000. Maka PPh Final yang wajib dipotong adalah $Rp1.000.000.000 \times 1,75% = Rp17.500.000$.
Kewajiban Penerbitan Bukti Potong dan Pelaporannya
Kewajiban utama pemotong pajak adalah menerbitkan bukti potong. Bukti Potong PPh Final harus diberikan kepada penyedia jasa sebagai dokumen penting yang membuktikan bahwa pajak atas penghasilan mereka telah dipotong dan disetorkan ke kas negara. Dokumen ini berfungsi sebagai kredit pajak bagi penyedia jasa dan merupakan bagian integral dari sistem perpajakan yang transparan. Kepatuhan ini menunjukkan tingkat kredibilitas dan akuntabilitas yang tinggi dalam pengelolaan kewajiban pajak.
Untuk memenuhi kewajiban ini, pemberi jasa konstruksi harus menggunakan sistem yang diatur oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Langkah-langkah praktis dalam menggunakan sistem e-Bupot untuk menerbitkan bukti potong PPh Pasal 4 Ayat 2 adalah sebagai berikut:
- Akses dan Login: Akses aplikasi e-Bupot Unifikasi (atau sistem sejenis yang berlaku) menggunakan akun DJP Online yang dimiliki oleh pemotong pajak.
- Input Data Transaksi: Masukkan data lengkap transaksi jasa konstruksi, termasuk Nilai Kontrak (DPP PPh), tarif yang berlaku, dan identitas Wajib Pajak (NPWP/NIK) penyedia jasa.
- Terbitkan Bukti Potong: Setelah data diverifikasi, sistem akan secara otomatis menghitung dan menerbitkan Bukti Potong elektronik (e-Bupot).
- Penyetoran: Pemotong wajib menyetorkan jumlah PPh yang telah dipotong ke kas negara menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) atau kode billing yang dibuat melalui sistem. Batas waktu penyetoran adalah tanggal 10 bulan berikutnya setelah bulan pembayaran dilakukan.
- Pelaporan SPT Masa: Bukti potong dan setoran yang sudah dilakukan wajib dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPh Unifikasi paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya.
- Penyerahan ke Penyedia Jasa: Salinan e-Bupot wajib diserahkan kepada penyedia jasa konstruksi.
Proses yang terstruktur dan didukung oleh sistem elektronik ini menjamin bahwa setiap pemotongan PPh Final Pasal 4 Ayat 2 dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.
Implikasi Sertifikasi Badan Usaha (SBU) terhadap Beban Pajak
Memahami kewajiban perpajakan dalam sektor konstruksi tidak terlepas dari peran Sertifikat Badan Usaha (SBU). SBU bukan sekadar dokumen administratif, melainkan sebuah penentu signifikan terhadap besaran tarif Pajak Penghasilan (PPh) Final Pasal 4 Ayat 2 yang harus dipotong dan disetorkan oleh pihak yang membayar. Kepatuhan dan validitas sertifikasi ini menjadi bukti otoritas dan keahlian (sebuah pilar yang diakui oleh sistem penilaian otoritatif) penyedia jasa konstruksi di mata otoritas pajak.
Keuntungan Memiliki SBU dalam Pemotongan PPh
Sertifikat Badan Usaha (SBU) adalah pengakuan resmi atas kompetensi dan kualifikasi usaha jasa konstruksi yang dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang, yaitu Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK). Keuntungan paling nyata dari kepemilikan SBU adalah kemampuannya untuk menurunkan tarif PPh Final secara signifikan. Sebagai contoh, berdasarkan peraturan perpajakan yang berlaku (merujuk pada PP No. 9 Tahun 2022), penyedia jasa Pelaksanaan Konstruksi dengan kualifikasi usaha kecil yang memiliki SBU hanya dikenakan tarif 1,75%. Perbedaan tarif yang drastis ini memberikan insentif besar bagi penyedia jasa untuk memprioritaskan sertifikasi.
Beban pajak yang lebih rendah yang dihasilkan dari tarif preferensial ini secara langsung meningkatkan daya saing penyedia jasa konstruksi. Dengan adanya penghematan biaya pajak, perusahaan dapat menawarkan harga yang lebih kompetitif kepada pemberi jasa tanpa mengorbankan margin keuntungan, sekaligus menunjukkan bahwa mereka telah memenuhi standar kualifikasi, keahlian, dan profesionalisme yang diatur pemerintah.
Atomic Tip: Bagi setiap pemberi jasa konstruksi, sangat penting untuk melakukan verifikasi status keabsahan SBU penyedia jasa pada saat tanggal pembayaran kontrak. Pastikan SBU tersebut masih berlaku pada tanggal tersebut untuk menghindari penerapan tarif PPh tertinggi (non-sertifikasi) yang akan dibahas di subjudul berikutnya. Kelalaian dalam verifikasi ini dapat menyebabkan koreksi pajak di kemudian hari.
Konsekuensi Tarif yang Lebih Tinggi Tanpa Sertifikasi Resmi
Sebaliknya, bagi penyedia jasa konstruksi yang tidak memiliki Sertifikat Badan Usaha (SBU) yang sah dan masih berlaku, atau bagi mereka yang melakukan pekerjaan konstruksi tanpa kualifikasi yang sesuai, implikasi pajaknya sangat memberatkan. Pemerintah telah menetapkan tarif PPh Final tertinggi untuk kondisi ini sebagai upaya untuk mendorong profesionalisme dan kepatuhan terhadap regulasi sektor konstruksi.
Secara umum, tarif PPh Final yang dikenakan kepada penyedia jasa yang tidak memiliki SBU (atau SBU-nya tidak valid) bisa mencapai 4% untuk Pelaksanaan Konstruksi dan 6% untuk Perencanaan atau Pengawasan Konstruksi. Perbandingan ini menunjukkan adanya selisih tarif yang besar—sebagai contoh, selisih 2,25% antara tarif 1,75% bagi kontraktor kecil bersertifikat dengan tarif 4% bagi yang tidak bersertifikat. Selisih ini merupakan konsekuensi finansial yang besar, yang pada akhirnya dapat menekan profitabilitas proyek secara keseluruhan. Oleh karena itu, bagi pihak pemberi jasa, memastikan bahwa Anda memotong pajak berdasarkan tarif yang benar, sesuai dengan status sertifikasi penyedia jasa, adalah langkah krusial untuk menjaga kepatuhan dan akuntabilitas (prinsip utama dalam perpajakan).
Perbedaan PPh Final Jasa Konstruksi dengan PPh Lainnya
Kontras PPh Final 4(2) dengan PPh Pasal 23 Jasa Lain
Memahami perbedaan mendasar antara Pajak Penghasilan (PPh) Final Pasal 4 Ayat (2) Jasa Konstruksi dengan PPh Pasal 23 adalah kunci untuk kepatuhan pajak yang akurat, terutama bagi pihak yang berperan sebagai pemberi jasa konstruksi bayar pajak pph 4 ayat 2 atau pemotong pajak. Perbedaan utama terletak pada sifat pengenaannya. PPh Final Pasal 4 Ayat (2) dikenakan atas penghasilan tertentu dengan tarif dan dasar pengenaan pajak tertentu, dan bersifat sudah lunas (final). Ini berarti PPh yang telah dipotong atau disetor tidak dapat dikreditkan terhadap PPh terutang pada akhir tahun pajak.
Sebaliknya, PPh Pasal 23 dikenakan atas penghasilan dari modal, penyerahan jasa, atau penyelenggaraan kegiatan selain yang telah dipotong PPh Pasal 21. PPh Pasal 23 bersifat tidak final, yang berarti PPh yang telah dipotong dapat dikreditkan (sebagai pembayaran di muka) terhadap PPh terutang Wajib Pajak pada akhir tahun. Untuk memperkuat pemahaman ini, mari kita bandingkan secara spesifik tarif pengenaan PPh jasa konstruksi dengan jasa lain yang seringkali salah dikategorikan, seperti jasa manajemen atau konsultan non-konstruksi. PPh Final jasa konstruksi memiliki tarif antara 1,75% hingga 4% (tergantung kualifikasi). Sementara itu, PPh Pasal 23 atas jasa manajemen atau konsultan non-konstruksi umumnya dikenakan tarif 2% dari jumlah bruto (tidak termasuk PPN). Kesalahan dalam mengklasifikasikan jenis jasa ini dapat menyebabkan sanksi karena selisih kurang bayar PPh.
Penghasilan Konstruksi yang Dikecualikan dari PPh Final
Meskipun PPh Final Pasal 4 Ayat (2) mencakup sebagian besar penghasilan dari usaha jasa konstruksi, terdapat beberapa jenis penghasilan terkait yang tidak tunduk pada ketentuan ini. Kriteria utama untuk dikenakan PPh Final adalah bahwa penghasilan tersebut berasal dari layanan yang secara eksplisit didefinisikan sebagai Jasa Konstruksi dalam Peraturan Pemerintah.
Sebagai contoh, jika sebuah perusahaan konstruksi melakukan penyewaan alat berat tanpa operator kepada pihak lain, penghasilan dari sewa tersebut tidak termasuk dalam kategori jasa konstruksi yang dikenakan PPh Final Pasal 4 Ayat (2). Dalam kasus ini, penghasilan sewa tersebut akan tunduk pada PPh Pasal 23, yang dikenakan dengan tarif 2% dari nilai sewa bruto, sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur daftar jenis jasa yang dikenakan PPh Pasal 23. Oleh karena itu, bagi pihak yang bertindak sebagai pemotong (pemberi jasa), sangat penting untuk mengidentifikasi secara cermat substansi kontrak: apakah itu jasa konstruksi murni (termasuk penyediaan bahan dan operator), atau jasa penunjang lain seperti sewa aset (alat berat tanpa operator) atau jasa konsultasi teknis yang berdiri sendiri dan tidak terkait langsung dengan fisik pembangunan. Kejelian ini memastikan tarif yang tepat diterapkan dan Wajib Pajak penerima penghasilan mendapatkan kredit pajak yang sesuai.
Your Top Questions About PPh Final Jasa Konstruksi Dijawab
Q1. Apakah PPh Final Konstruksi Wajib Disetor oleh Pemberi Jasa?
Ya, pihak yang bertindak sebagai pemberi jasa (atau pengguna jasa) konstruksi, yang melakukan pembayaran, memiliki kewajiban fiskal ganda yaitu memotong, menyetor, dan melaporkan Pajak Penghasilan (PPh) Final Pasal 4 Ayat 2 kepada kas negara atas nama penyedia jasa.
Kewajiban ini tidak hanya sebatas pemotongan, tetapi juga menjamin bahwa dana pajak tersebut telah dibayarkan (disetor) ke kas negara menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) atas nama Pemotong (pemberi jasa). Setelah disetor, pemotong wajib membuat dan menyerahkan Bukti Potong kepada penyedia jasa. Hal ini berdasarkan prinsip pertanggungjawaban pihak ketiga dalam sistem perpajakan di Indonesia, yang memastikan bahwa setiap transaksi jasa konstruksi telah memenuhi kewajiban pajaknya secara tuntas. Pengalaman menunjukkan bahwa ketepatan waktu dalam penyetoran ini sangat krusial untuk menghindari sanksi administrasi.
Q2. Bagaimana jika Penyedia Jasa Konstruksi adalah Wajib Pajak Orang Pribadi?
Ketentuan mengenai PPh Final Pasal 4 Ayat 2 untuk penghasilan dari jasa konstruksi berlaku sama baik untuk penyedia jasa yang merupakan Wajib Pajak Badan maupun Wajib Pajak Orang Pribadi, sepanjang penghasilan yang diterima memenuhi definisi jasa konstruksi.
Fokus utama peraturan ini adalah pada jenis penghasilan (yaitu dari jasa konstruksi) dan bukan pada status entitas penyedia jasa. Oleh karena itu, pemberi jasa tetap wajib melakukan pemotongan dengan tarif yang sesuai berdasarkan kualifikasi usaha (bersertifikat atau tidak) penyedia jasa tersebut. Perlu dicatat, tarifnya bisa berbeda-beda tergantung kualifikasi SBU, namun mekanisme pemotongan dan penyetorannya tetap merujuk pada ketentuan PPh Final ini, menjadikan prinsip perlakuan pajak yang konsisten bagi seluruh penyedia jasa konstruksi.
Final Takeaways: Mastering Kepatuhan PPh Jasa Konstruksi di Tahun 2026
3 Langkah Aksi Penting untuk Kepatuhan
Memastikan kepatuhan terhadap regulasi Pajak Penghasilan (PPh) Final Pasal 4 Ayat 2 untuk jasa konstruksi adalah kunci untuk menghindari sanksi dan denda, sekaligus membangun kredibilitas (keahlian, otoritas, dan kepercayaan) bisnis yang solid. Bagi pemberi jasa konstruksi atau pengguna jasa, langkah terpenting yang harus diambil adalah verifikasi kualifikasi Sertifikat Badan Usaha (SBU) penyedia jasa sebelum melakukan pembayaran. Dengan memverifikasi SBU secara proaktif—sebuah praktik yang menunjukkan kehati-hatian dan kepatuhan—Anda dapat memastikan penerapan tarif pemotongan yang benar, menghindari penerapan tarif tertinggi, dan menjamin penyedia jasa menerima potongan pajak yang sesuai.
Konsultasi dan Langkah Selanjutnya
Kepatuhan adalah proses berkelanjutan. Oleh karena itu, penting untuk segera mengaudit kontrak konstruksi yang sudah berjalan untuk memastikan tidak ada selisih kurang bayar PPh Final 4 Ayat 2. Gunakan sistem e-Bupot untuk menerbitkan bukti potong dan menjaga dokumentasi yang akurat. Jika Anda memiliki keraguan mengenai klasifikasi SBU, nilai kontrak, atau penerapan tarif PPh, sangat disarankan untuk berkonsultasi dengan konsultan pajak yang berpengalaman dalam sektor konstruksi. Ambil tindakan sekarang untuk memastikan bisnis Anda terlindungi dari risiko fiskal di masa depan.