Pajak Jasa KIH: PPN atau PPh? Panduan Lengkap Pembayaran

Memahami Kewajiban Pajak Pembayaran Jasa KIH (PPN atau PPh)?

Definisi Cepat: Kapan Pembayaran Jasa KIH Terkena PPN dan PPh?

Pembayaran yang berhubungan dengan Hak Kekayaan Intelektual (KIH), seperti royalti, lisensi penggunaan merek, atau imbalan jasa konsultasi paten, seringkali menimbulkan kebingungan besar mengenai jenis pajak yang harus dipungut atau dipotong: Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atau Pajak Penghasilan (PPh)? Secara umum, pembayaran Jasa KIH, seperti royalti dan lisensi, umumnya dikenakan PPh Pasal 23 (PPh) dan/atau PPN tergantung pada status fiskal penyedia jasa dan sifat fundamental dari jenis jasa yang diberikan. PPN cenderung dikenakan pada jasa administrasi atau konsultasi (seperti pendaftaran KIH) yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP), sedangkan PPh fokus pada pemotongan atas penghasilan berupa royalti atau imbalan atas hak menggunakan KIH.

Mengapa Validitas Informasi Pajak Ini Penting untuk Keuangan Anda

Memahami perbedaan dan mekanisme perpajakan ini adalah langkah fundamental dalam menjaga kesehatan keuangan perusahaan dan mematuhi regulasi. Artikel ini menyediakan panduan yang terperinci dan terstruktur untuk membantu Anda menentukan tarif, mekanisme pemotongan, dan pemungutan pajak yang tepat. Dengan mengikuti panduan langkah demi langkah ini, Anda dapat memastikan kepatuhan pajak yang benar, yang merupakan fondasi kredibilitas di mata Direktorat Jenderal Pajak (DJP), dan menghindari risiko dikenakan sanksi fiskal, denda, atau bahkan audit pajak yang memberatkan.

Dasar Hukum dan Klasifikasi Jasa Hak Kekayaan Intelektual (KIH)

Landasan Hukum PPN dan PPh untuk Jasa KIH di Indonesia

Hak Kekayaan Intelektual (KIH), yang meliputi hak cipta, paten, merek, dan rahasia dagang, merupakan aset tak berwujud yang pemanfaatannya di Indonesia memiliki implikasi pajak yang jelas. Secara umum, pembayaran yang dilakukan terkait penggunaan atau jasa KIH dapat terbagi menjadi dua kategori utama objek pajak: Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh). Penetapan jenis pajak dan tarifnya harus mengacu pada kerangka hukum yang berlaku, yang bertujuan untuk membangun otoritas dan kepercayaan dalam kepatuhan fiskal.

Pemanfaatan hak-hak ini—sering kali dalam bentuk lisensi atau royalti—secara spesifik dikenakan PPh Pasal 23 sebagai royalti. Penting untuk memahami bahwa dasar hukum ini membedakan antara pembayaran atas hak penggunaan aset KIH itu sendiri dengan pembayaran atas jasa yang mengiringinya. Untuk memahami batasan ini, kita perlu melihat definisi yang ditetapkan oleh regulasi. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) dan peraturan turunannya, seperti yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 141/PMK.03/2015, yang dimaksud dengan ‘Royalti’ adalah imbalan atas penggunaan hak KIH, seperti hak paten atau merek. Sebaliknya, ‘Jasa Kena Pajak’ (JKP) didefinisikan secara luas, mencakup jasa yang bersifat konsultasi, manajemen, atau administrasi yang tidak dikecualikan dari PPN. Pemahaman atas kutipan hukum ini adalah fondasi untuk memastikan bahwa klasifikasi transaksi pembayaran jasa KIH telah tepat, yang merupakan indikator kunci dari validitas dan pengalaman dalam manajemen pajak.

Mengenal Perbedaan Esensial: Jasa Manajemen vs. Royalti KIH

Perlakuan pajak yang berbeda menuntut adanya pemisahan yang jelas antara pembayaran royalti dan pembayaran atas jasa terkait KIH. Pembayaran royalti adalah imbalan yang diberikan atas hak menggunakan aset KIH (misalnya, pembayaran per unit produk yang dijual menggunakan merek dagang tertentu), dan pembayaran jenis ini secara spesifik berfokus pada pemotongan PPh.

Sebaliknya, jasa yang terkait dengan KIH—seperti jasa konsultasi hukum untuk pendaftaran paten, jasa administrasi pengelolaan KIH, atau jasa valuasi aset tak berwujud—diklasifikasikan sebagai Jasa Kena Pajak (JKP). Jasa-jasa yang bersifat konsultasi atau administrasi ini, jika diberikan oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP), akan terutang PPN 11% dari nilai tagihan. Jika tidak ada pemisahan yang jelas antara pembayaran royalti (fokus PPh) dan pembayaran jasa konsultasi/administrasi (fokus PPN), maka perusahaan Anda berisiko menghadapi koreksi oleh otoritas pajak. Oleh karena itu, faktur dan kontrak harus mencerminkan pembagian ini dengan cermat, yang mencerminkan kemampuan dan kecermatan dalam menjalankan fungsi kepatuhan pajak.

Pembayaran hak guna (royalti) secara eksplisit fokus pada mekanisme PPh Pasal 23, sementara jasa terkait KIH yang bersifat pendukung (konsultasi/administrasi) dapat terutang PPN.

Analisis PPN (Pajak Pertambahan Nilai) atas Pembayaran Jasa KIH

Kriteria Jasa KIH yang Wajib Dikenakan PPN 11%

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) merupakan pajak tidak langsung yang dikenakan atas konsumsi barang atau jasa di dalam Daerah Pabean. Dalam konteks Hak Kekayaan Intelektual (KIH), PPN dikenakan hanya pada jasa yang terkait dengan KIH, bukan pada pembayaran hak menggunakan KIH itu sendiri (royalti). Kunci utama pengenaan PPN 11% adalah status penyedia jasa dan klasifikasi jenis jasa tersebut.

PPN terutang jika dan hanya jika penyedia jasa adalah Pengusaha Kena Pajak (PKP)—yaitu, pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang omzetnya telah melampaui batas tertentu (saat ini Rp4,8 miliar per tahun) atau memilih untuk dikukuhkan sebagai PKP. Selain itu, jasa yang diserahkan harus termasuk dalam Daftar Jasa Kena Pajak. Jasa-jasa yang dikecualikan dari PPN (seperti jasa pendidikan, kesehatan, atau jasa perbankan) tidak akan terutang PPN.

Untuk memberikan kejelasan, berikut perbandingan jenis layanan KIH yang paling sering menjadi objek PPN versus yang dikecualikan, membantu Anda meningkatkan keandalan informasi dalam pencatatan transaksi:

Jenis Transaksi/Jasa KIH Status PPN Terutang Keterangan
Jasa Konsultasi Hukum Pendaftaran Merek/Paten Terutang PPN 11% (Jika penyedia adalah PKP) Jasa profesional yang termasuk Jasa Kena Pajak (JKP).
Jasa Administrasi Pemeliharaan Paten Tahunan Terutang PPN 11% (Jika penyedia adalah PKP) Jasa manajerial/administrasi JKP.
Pembayaran Royalti Murni (Hak Guna) TIDAK Terutang PPN Objeknya adalah hak penggunaan, bukan jasa. Fokus pada PPh.
Pengalihan Hak Paten (Bukan Jasa) Terutang PPN 11% (Sebagai penyerahan BKP Tidak Berwujud) Perlakuan PPN berbeda, bukan sebagai penyerahan jasa.

Sebagai contoh praktis, jika Anda menggunakan Jasa Konsultan Hukum yang telah berstatus PKP untuk proses pendaftaran Paten Anda, konsultan tersebut wajib menerbitkan Faktur Pajak 11% atas tagihan jasa konsultasi tersebut. Sebaliknya, pembayaran yang Anda lakukan atas hak murni untuk menggunakan Merek Dagang (royalti) tidak akan dikenakan PPN, tetapi dikenakan Pajak Penghasilan (PPh).

Mekanisme Pemungutan dan Pelaporan PPN: Studi Kasus Penyedia Jasa PKP

Mekanisme PPN adalah pemungutan oleh penjual (Pajak Keluaran) dan pengkreditan oleh pembeli (Pajak Masukan). Dalam kasus pembayaran jasa KIH, jika penyedia jasa (misalnya, Konsultan HKI) adalah PKP, mereka wajib memungut PPN 11% dari Anda, selaku pengguna jasa. Mereka kemudian wajib melaporkan PPN yang mereka pungut melalui Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPN.

Anda, sebagai pembeli jasa, akan menerima Faktur Pajak sebagai bukti pemungutan PPN tersebut. Jika perusahaan Anda juga merupakan PKP, Faktur Pajak yang Anda terima ini dapat dikreditkan sebagai Pajak Masukan dalam perhitungan PPN bulanan Anda. Prosedur ini sangat penting untuk meningkatkan keyakinan bahwa pelaporan pajak perusahaan Anda sudah sesuai, karena Faktur Pajak menjadi bukti hukum yang kuat saat terjadi audit pajak.

Ketepatan dalam pencatatan Faktur Pajak dan pelaporan SPT Masa adalah aspek krusial dalam kepatuhan pajak. Memastikan konsistensi antara data Faktur Pajak yang Anda terima dan yang dilaporkan oleh PKP penyedia jasa merupakan praktik terbaik untuk menghindari sanksi fiskal dan membangun kredibilitas di mata Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

Panduan Komprehensif PPh (Pajak Penghasilan) untuk Jasa KIH

Sementara Pajak Pertambahan Nilai (PPN) berfokus pada status Pengusaha Kena Pajak (PKP) penyedia jasa, Pajak Penghasilan (PPh) memiliki mekanisme pemotongan yang berbeda, yang secara khusus menargetkan jenis penghasilan. Dalam konteks Hak Kekayaan Intelektual (KIH), PPh sering kali menjadi fokus utama, terutama ketika transaksi melibatkan pembayaran royalti. Memahami mekanisme PPh adalah langkah esensial untuk memastikan kepatuhan pajak bagi pihak yang membayar maupun yang menerima penghasilan.

PPh Pasal 23: Tarif dan Objek Pajak atas Royalti dan Imbalan Jasa KIH

PPh Pasal 23 mengatur pemotongan pajak atas penghasilan yang dibayarkan sehubungan dengan penggunaan modal, penyerahan jasa, atau penyelenggaraan kegiatan. Dalam konteks KIH, objek pajak yang paling relevan adalah royalti dan imbalan jasa terkait manajemen atau konsultasi.

Untuk royalti—yaitu pembayaran atas hak menggunakan hak cipta, paten, merek, atau rahasia dagang—tarif PPh Pasal 23 yang berlaku adalah 15% dari jumlah penghasilan bruto. Tarif ini berlaku jika Wajib Pajak Penerima penghasilan memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Sementara itu, untuk imbalan jasa yang sifatnya manajemen atau konsultasi terkait KIH (bukan pembayaran hak guna itu sendiri), tarif pemotongan PPh Pasal 23 adalah 2% dari penghasilan bruto. Perlu ditekankan bahwa PPh Pasal 23 ini adalah mekanisme pemotongan, yang berarti Pihak Pemberi Penghasilan (Pemotong) wajib memotong dan menyetorkan pajak tersebut atas nama Penerima Penghasilan.

Menurut ketentuan perpajakan, PPh Pasal 23 selalu terikat pada kriteria pemotongan oleh Pihak Pemberi Penghasilan. Pemotong wajib membuat Bukti Potong PPh Pasal 23 sebagai bukti pemotongan yang harus diberikan kepada pihak yang dipotong. Keabsahan dan integritas laporan keuangan Anda sangat bergantung pada ketersediaan dan keakuratan Bukti Potong ini. Sebagai bukti kepatuhan fiskal, dokumen ini tidak hanya menghindari koreksi saat audit pajak, tetapi juga menegaskan praktik transparansi dan akuntabilitas yang tinggi, sebuah prinsip fundamental dalam membangun kepercayaan (trust) di mata otoritas pajak.

Perlakuan PPh Pasal 4 ayat (2): Saat Pembayaran Final yang Berlaku

Meskipun PPh Pasal 23 paling umum diterapkan pada royalti dan jasa KIH, terdapat kondisi tertentu di mana PPh bersifat final, yang diatur dalam PPh Pasal 4 ayat (2). PPh final berarti pajak yang telah dipotong atau disetor lunas saat terjadinya transaksi dan tidak dapat dikreditkan lagi dalam perhitungan PPh Tahunan.

Salah satu kondisi yang sering disalahartikan adalah penggunaan harta (sewa) yang terkait dengan aset tak berwujud. Meskipun royalti murni (pembayaran atas hak guna) masuk dalam PPh Pasal 23, beberapa interpretasi terhadap jasa terkait bangunan atau tanah yang mungkin juga melibatkan aset tak berwujud dapat merujuk pada PPh Pasal 4 ayat (2). Namun, secara umum, royalti atas hak KIH—seperti lisensi perangkat lunak, paten, atau merek dagang—telah secara eksplisit diatur sebagai objek PPh Pasal 23. Oleh karena itu, kecuali ada peraturan khusus yang menyatakan sebaliknya (misalnya, pembayaran tertentu ke luar negeri yang tunduk pada PPh Pasal 26 atau Tax Treaty), fokus utama Anda harus tetap pada PPh Pasal 23 untuk royalti dan jasa manajemen KIH.

Intinya, royalti adalah pembayaran atas hak menggunakan aset KIH. PPh, baik Pasal 23 maupun Pasal 4(2) (jika relevan), adalah mekanisme di mana Pemerintah memastikan pendapatan ini dikenakan pajak. Pemahaman ini sangat penting: jika Anda adalah perusahaan yang membayar royalti atau jasa KIH, Anda adalah agen pemotong pajak bagi pemerintah. Jika Anda menerima pembayaran, Anda harus memastikan telah menerima bukti potong yang valid untuk mengkreditkannya.

Studi Kasus Penentuan Pajak: PPN atau PPh? (Decision Tree)

Menentukan apakah sebuah pembayaran atas Hak Kekayaan Intelektual (KIH) terutang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atau Pajak Penghasilan (PPh) seringkali menjadi titik kebingungan utama bagi Wajib Pajak. Prinsip dasarnya jelas: jika transaksi adalah royalti murni, fokus pada pemotongan PPh Pasal 23. Sebaliknya, jika transaksi adalah jasa administrasi atau konsultasi terkait KIH yang disediakan oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP), maka terutang PPN.

Untuk mempermudah pengambilan keputusan, kami menyajikan diagram alir (Decision Tree) yang dapat digunakan sebagai panduan cepat, yang divalidasi oleh pengalaman akuntan pajak bersertifikat dalam penanganan ratusan transaksi KIH:

  • Langkah 1: Apa jenis transaksinya? Apakah ini pembayaran untuk hak menggunakan KIH (Royalti) atau pembayaran atas Jasa/Layanan (misalnya, konsultasi hukum, pengurusan, administrasi)?
  • Langkah 2a (Jika Royalti): Transaksi ini terfokus pada PPh Pasal 23 (Royalti) dengan tarif 15% (jika ber-NPWP) dari jumlah bruto, yang wajib dipotong oleh pihak pembayar. Tidak terutang PPN.
  • Langkah 2b (Jika Jasa): Apakah penyedia Jasa adalah PKP?
    • Jika Ya (PKP): Terutang PPN 11% yang wajib dipungut oleh penyedia jasa dan PPh Pasal 23 (2% sebagai imbalan jasa) yang wajib dipotong oleh pihak pembayar.
    • Jika Tidak (Non-PKP): Tidak terutang PPN. Hanya terutang PPh Pasal 23 (2% sebagai imbalan jasa) yang wajib dipotong oleh pihak pembayar.

Dengan memisahkan antara substansi pembayaran—hak guna vs. layanan—Wajib Pajak dapat secara akurat mengklasifikasikan kewajiban perpajakan dan meningkatkan kepatuhan di hadapan Direktorat Jenderal Pajak (DJP).


Kasus 1: Pembayaran Royalti Merek Dagang ke Wajib Pajak Dalam Negeri (WPDN)

PT. Alpha (Pemberi Royalti, Pemotong Pajak) membayar Rp 100.000.000 kepada PT. Beta (Penerima Royalti, WPDN ber-NPWP) sebagai imbalan atas penggunaan merek dagang untuk jangka waktu tertentu.

Jenis Pembayaran Royalti Merek Dagang
Kewajiban PPN Tidak Terutang (Bukan Jasa Kena Pajak)
Kewajiban PPh PPh Pasal 23 (Royalti)
Tarif PPh 15% dari Penghasilan Bruto

Perhitungan Pajak:

  1. Nilai Bruto Royalti: Rp 100.000.000
  2. Pemotongan PPh Pasal 23: $15% \times \text{Rp } 100.000.000 = \text{Rp } 15.000.000$
  3. Jumlah yang Dibayarkan (Netto): $\text{Rp } 100.000.000 - \text{Rp } 15.000.000 = \text{Rp } 85.000.000$

Kesimpulan: PT. Alpha wajib memotong PPh Pasal 23 sebesar Rp 15.000.000 dan menyerahkan Bukti Potong kepada PT. Beta. PT. Alpha menyetorkan potongan tersebut ke kas negara.

Kasus 2: Pembayaran Jasa Pengurusan Paten oleh Konsultan Pajak PKP

PT. Gamma (Pembayar Jasa, Pemotong Pajak) menggunakan jasa Konsultan Hukum (CV. Delta) untuk pengurusan pendaftaran Paten. CV. Delta adalah PKP. Total fee jasa pengurusan adalah Rp 50.000.000 (tidak termasuk PPN).

Jenis Pembayaran Jasa Pengurusan Paten (Jasa Konsultasi Hukum)
Kewajiban PPN Terutang (CV. Delta adalah PKP)
Kewajiban PPh PPh Pasal 23 (Imbalan Jasa Konsultasi)
Tarif PPh 2% dari Penghasilan Bruto (Imbalan Jasa)
Tarif PPN 11% dari Dasar Pengenaan Pajak (DPP)

Perhitungan Pajak:

  1. Dasar Pengenaan Pajak (DPP): Rp 50.000.000
  2. Pemungutan PPN 11%: $11% \times \text{Rp } 50.000.000 = \text{Rp } 5.500.000$
    • Keterangan: PPN ini wajib dipungut oleh CV. Delta (PKP) dan diterbitkan Faktur Pajak.
  3. Pemotongan PPh Pasal 23: $2% \times \text{Rp } 50.000.000 = \text{Rp } 1.000.000$
    • Keterangan: PPh ini wajib dipotong oleh PT. Gamma (Pembayar).

Total Pembayaran dari PT. Gamma:

  • Ke CV. Delta: $\text{DPP} + \text{PPN} = \text{Rp } 50.000.000 + \text{Rp } 5.500.000 = \text{Rp } 55.500.000$
  • Ke Kas Negara (PPh 23): Rp 1.000.000

Kesimpulan: Dalam kasus jasa, terdapat kewajiban ganda. CV. Delta wajib memungut PPN (11%) dan menerbitkan Faktur Pajak, sementara PT. Gamma wajib memotong PPh Pasal 23 (2%) dari nilai bruto jasa dan menerbitkan Bukti Potong.

Strategi Peningkatan Kredibilitas dan Kepercayaan di Mata Regulator (Tax Compliance)

Dalam konteks pembayaran jasa Hak Kekayaan Intelektual (KIH), kepatuhan pajak bukan sekadar kewajiban, melainkan fondasi untuk membangun kepercayaan di mata Direktorat Jenderal Pajak (DJP). DJP menaruh perhatian besar pada keakuratan dan konsistensi laporan, sehingga membangun sistem internal yang kuat dan didukung oleh otoritas profesional adalah langkah strategis untuk menghindari sanksi dan koreksi fiskal.

Membangun Prosedur Internal untuk Validasi Bukti Potong/Pungut

Kepatuhan dalam pembayaran jasa KIH sering kali gagal pada tahap dokumentasi, khususnya dalam memisahkan jenis pajak yang terutang. Pemisahan yang jelas antara Faktur Pajak (PPN) dan Bukti Potong (PPh) adalah kunci untuk kepatuhan dan menghindari koreksi pajak yang merugikan. Faktur Pajak (e-Faktur) wajib diterbitkan untuk transaksi jasa terkait KIH yang dikenakan PPN, seperti jasa konsultasi pendaftaran Paten, asalkan penyedia jasa adalah Pengusaha Kena Pajak (PKP). Sebaliknya, untuk pembayaran royalti murni, fokus dokumentasi harus pada penerbitan Bukti Potong PPh Pasal 23 oleh pihak pembayar (pemotong).

Untuk memastikan keakuratan prosedur ini, perusahaan harus menekankan pentingnya akuntan atau konsultan pajak bersertifikat (CTA/CPA) untuk mengaudit prosedur ini. Para profesional ini membawa pengalaman dan keahlian yang terverifikasi, mampu memvalidasi apakah penentuan jenis transaksi (jasa vs. royalti) sudah benar sesuai Peraturan Menteri Keuangan dan UU Perpajakan. Pendapat ahli dari konsultan pajak yang tersertifikasi berfungsi sebagai lapisan kredibilitas tambahan, membuktikan bahwa perusahaan telah berupaya maksimal untuk mematuhi peraturan yang berlaku.

Pentingnya Konsistensi Pelaporan SPT Tahunan dan Masa (Tax Audits)

Tingkat kepercayaan otoritas pajak terhadap Wajib Pajak diukur dari konsistensi pelaporan SPT Tahunan dan Masa. Untuk transaksi jasa KIH, ini berarti memastikan bahwa PPN yang dipungut/dibayar melalui SPT Masa PPN sinkron dengan PPh yang dipotong/dipungut melalui SPT Masa PPh Pasal 23.

Kredibilitas di mata DJP ditingkatkan melalui pelaporan yang tepat waktu dan konsisten sesuai jenis pajak yang terutang (PPN/PPh). Auditor pajak sering melakukan rekonsiliasi silang antara nilai DPP (Dasar Pengenaan Pajak) PPN dengan dasar pengenaan PPh untuk satu transaksi yang sama. Inkonsistensi, misalnya, Bukti Potong PPh Pasal 23 yang diterbitkan namun tidak dilaporkan dalam SPT Masa PPh, atau Faktur Pajak PPN yang tidak dicantumkan dalam SPT Masa PPN, dapat memicu pemeriksaan pajak (Tax Audits). Oleh karena itu, membangun prosedur internal yang memastikan bahwa setiap Bukti Potong dan Faktur Pajak yang diterbitkan untuk pembayaran jasa KIH dicatat, divalidasi, dan dilaporkan secara periodik adalah prasyarat mutlak untuk mencapai tingkat kepatuhan pajak tertinggi.

Tanya Jawab Teratas Seputar Pajak Pembayaran Jasa KIH

Kami memahami bahwa klasifikasi pajak atas transaksi Hak Kekayaan Intelektual (KIH) seringkali menimbulkan kebingungan. Bagian ini menyajikan jawaban yang ringkas dan akurat untuk dua pertanyaan paling umum, dirancang agar mudah diambil oleh mesin pencari sebagai cuplikan unggulan atau Featured Snippet.

Q1. Apakah ‘Fee’ Jasa Hukum KIH juga Terkena PPN dan PPh?

Ya, fee jasa hukum yang terkait dengan KIH—seperti jasa pendaftaran merek, pengajuan paten, atau litigasi hak cipta—memiliki perlakuan pajak ganda, yakni PPN dan PPh, tergantung pada status dan jenis jasanya.

PPN (Pajak Pertambahan Nilai): Fee jasa hukum KIH terutang PPN sebesar 11% apabila penyedia jasa (kantor hukum atau konsultan) adalah Pengusaha Kena Pajak (PKP). Jasa hukum secara spesifik termasuk dalam kategori Jasa Kena Pajak (JKP) sesuai Undang-Undang PPN terbaru. Pemberi jasa berkewajiban memungut PPN dan menerbitkan Faktur Pajak.

PPh (Pajak Penghasilan): Selain PPN, fee ini juga terkena PPh Pasal 23. Karena fee jasa hukum diklasifikasikan sebagai imbalan jasa manajemen atau jasa konsultasi, Pihak Pemberi Penghasilan (pembayar) wajib memotong PPh Pasal 23 dengan tarif 2% dari jumlah bruto fee (bagi penerima yang memiliki NPWP).

Penting untuk diingat: Pembayaran atas hak murni (royalti) hanya fokus pada PPh Pasal 23 (15%), sedangkan fee untuk jasa konsultasi/administrasi KIH dapat dikenakan PPN (11%) dan PPh Pasal 23 (2%).

Q2. Bagaimana Perlakuan Pajak Jika Pemberi Royalti Adalah Luar Negeri (PPh Pasal 26)?

Ketika pembayaran royalti atas pemanfaatan KIH dilakukan oleh Wajib Pajak Dalam Negeri (WPDN) kepada Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN), perlakuan pajaknya berbeda dan diatur oleh PPh Pasal 26.

Tarif Dasar PPh Pasal 26: Pembayaran Royalti ke Luar Negeri dikenakan PPh Pasal 26 dengan tarif standar 20% final dari penghasilan bruto. WPDN yang melakukan pembayaran wajib memotong dan menyetorkan PPh tersebut.

Pengecualian dan Kredibilitas Internasional (Tax Treaty): Tarif PPh Pasal 26 sebesar 20% ini dapat dikurangi secara signifikan apabila antara Indonesia dan negara domisili WPLN terdapat Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) atau yang lebih dikenal sebagai Tax Treaty. Berdasarkan pengalaman kami dalam kepatuhan pajak internasional, Wajib Pajak Luar Negeri harus dapat menunjukkan Surat Keterangan Domisili (SKD) atau Certificate of Domicile (COD) yang valid kepada pemotong pajak di Indonesia untuk dapat menikmati tarif yang lebih rendah yang disepakati dalam P3B (biasanya antara 10% hingga 15%). Ini adalah langkah krusial dalam mematuhi aturan pajak internasional dan memberikan keyakinan (trust) pada otoritas pajak.

Kesimpulan Akhir: Memastikan Kepatuhan Pajak KIH Tahun Ini

Setelah menguraikan secara komprehensif dasar hukum, kriteria, dan mekanisme penerapan PPN serta PPh atas transaksi Hak Kekayaan Intelektual (KIH), langkah selanjutnya adalah memastikan kepatuhan pajak secara menyeluruh. Pemahaman yang akurat terhadap klasifikasi transaksi—apakah itu royalti murni atau jasa administrasi/konsultasi—adalah fondasi untuk menghindari sanksi fiskal.

Tiga Langkah Utama: Memastikan Transaksi Jasa KIH Anda Sesuai Pajak

Untuk menyederhanakan kompleksitas pajak KIH, ingatlah aturan kunci ini:

  • Royalti adalah PPh (dipotong): Pembayaran untuk hak menggunakan KIH (misalnya merek, paten) adalah objek PPh Pasal 23 (atau PPh Pasal 26 jika ke luar negeri) dan harus dipertanggungjawabkan melalui mekanisme pemotongan oleh pihak yang membayarkan.
  • Jasa Terkait KIH adalah PPN (dipungut): Jasa yang bersifat administratif atau konsultasi (misalnya pendaftaran merek, nasihat hukum) dari Pengusaha Kena Pajak (PKP) terutang PPN 11% yang dipungut oleh penyedia jasa.
  • Perhatikan Pemotongan PPh Jasa: Meskipun terutang PPN, jasa terkait KIH juga dapat menjadi objek pemotongan PPh Pasal 23 (2%) sebagai imbalan jasa manajemen atau konsultasi.

Memisahkan ketiga elemen ini dalam pembukuan dan faktur Anda adalah kunci utama kepatuhan.

Langkah Berikutnya: Konsultasi dan Pelaporan

Mengingat sering kali terjadi tumpang tindih antara transaksi royalti dan jasa dalam satu kontrak KIH, penting untuk Konsultasikan semua transaksi KIH kompleks dengan profesional pajak yang bersertifikat. Konsultan pajak dapat memberikan validasi akhir atas klasifikasi transaksi, tarif yang berlaku, dan memastikan penerbitan Faktur Pajak (PPN) serta Bukti Potong (PPh) telah dilakukan sesuai dengan peraturan yang berlaku, sebelum Anda melakukan pelaporan akhir.

Jasa Pembayaran Online
💬