Pajak Jasa di Bawah 1 Juta: Panduan Lengkap dan Praktis

Memahami Kewajiban Pajak untuk Jasa di Bawah Rp 1 Juta

Definisi Kunci: Apakah Jasa Senilai Rp 1 Juta Kena Pajak?

Banyak pengusaha beranggapan bahwa transaksi jasa dengan nilai kecil, seperti di bawah Rp 1 juta, tidak memiliki kewajiban pajak. Anggapan ini sering kali keliru. Sebagai seorang profesional yang memahami regulasi fiskal, perlu ditegaskan bahwa ya, jasa senilai Rp 1 juta atau bahkan di bawahnya tetap dikenakan potongan pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Secara spesifik, pemotongan ini merujuk pada PPh Pasal 21 untuk jasa yang diberikan oleh Wajib Pajak orang pribadi (seperti freelancer atau tenaga ahli) dan PPh Pasal 23 jika jasa tersebut disediakan oleh badan usaha (seperti PT atau CV). Nilai transaksi yang kecil tidak serta merta membebaskan dari kewajiban pemotongan pajak, sehingga pemahaman yang benar atas batasan ini sangat krusial.

Mengapa Kepatuhan Pajak Penting untuk Kredibilitas Usaha

Kepatuhan dalam memotong dan menyetorkan pajak atas transaksi jasa bernilai kecil adalah fondasi penting untuk menunjukkan profesionalisme dan akuntabilitas fiskal sebuah entitas bisnis. Panduan ini akan memaparkan secara rinci mengenai tarif, dasar hukum, dan mekanisme pelaporan pajak yang benar untuk transaksi jasa dengan nilai kecil. Dengan mengimplementasikan sistem kepatuhan yang ketat, perusahaan dapat memitigasi risiko audit dan secara proaktif membangun kepercayaan di mata Otoritas Pajak serta mitra bisnis yang melihat konsistensi laporan keuangan sebagai sinyal stabilitas operasional.

Aturan PPh Pasal 21: Pemotongan Pajak Jasa Perorangan (Orang Pribadi)

PPh Pasal 21 adalah mekanisme pemotongan pajak yang dikenakan atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan yang diterima oleh Wajib Pajak orang pribadi. Hal ini berlaku universal, termasuk untuk transaksi jasa dengan nilai kecil seperti di bawah Rp 1 juta. Jenis tarif yang digunakan akan sangat bergantung pada status penerima penghasilan, apakah ia berstatus sebagai pegawai, bukan pegawai, atau tenaga ahli. Memahami perbedaan status ini penting karena menentukan dasar pengenaan pajak (DPP) dan tarif yang akan diterapkan.

Tarif dan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) Jasa Freelancer atau Profesional

Pemotongan PPh Pasal 21 untuk jasa yang dilakukan oleh freelancer atau profesional (yang berstatus Bukan Pegawai dan menerima penghasilan yang tidak berkesinambungan) memiliki dasar perhitungan yang spesifik. DPP yang digunakan adalah 50% dari jumlah penghasilan bruto. Setelah mendapatkan DPP, barulah tarif PPh Pasal 21 progresif (sesuai Pasal 17 UU PPh) diterapkan.

Untuk meningkatkan kredibilitas informasi dan memastikan kepatuhan yang tinggi, penting untuk mengacu pada peraturan yang berlaku. Dalam konteks pemotongan PPh 21, pemerintah telah mengatur penggunaan Tarif Efektif Rata-rata (TER) melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 147/PMK.03/2017 dan ketentuan terbaru dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Ketentuan ini bertujuan untuk menyederhanakan perhitungan PPh 21 bagi penerima penghasilan yang tidak berkesinambungan dan bukan pegawai. Perhitungan yang akurat dan berbasis regulasi adalah kunci untuk membangun kepercayaan otoritas terhadap laporan pajak usaha Anda.

Mekanisme Pemotongan PPh 21 Final vs Tidak Final (Untuk Jasa Kecil)

Dalam transaksi jasa kecil, khususnya yang melibatkan orang pribadi, mekanisme pemotongan PPh Pasal 21 umumnya adalah Tidak Final. Artinya, pajak yang dipotong di awal dapat diperhitungkan sebagai kredit pajak saat penerima jasa (orang pribadi) melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan mereka. PPh 21 Final umumnya hanya berlaku untuk jenis penghasilan tertentu yang ditetapkan, seperti uang pesangon atau hadiah undian, dan jarang berlaku untuk honorarium jasa freelance biasa.

Pemberi jasa wajib memotong, menyetor, dan melaporkan PPh 21 tersebut, bahkan untuk nilai jasa yang hanya ratusan ribu. Kelalaian dalam pemotongan ini akan menjadi tanggung jawab pemberi jasa (pemotong pajak).

Contoh Kasus: Perhitungan PPh 21 untuk Jasa Konsultan

Misalnya, sebuah badan usaha menyewa jasa konsultan independen (orang pribadi, tidak memiliki NPWP, dan penghasilan tidak berkesinambungan) dengan honor Rp 900.000 (di bawah Rp 1 juta).

  1. Hitung Dasar Pengenaan Pajak (DPP): $$DPP = 50% \times \text{Honor Bruto}$$ $$DPP = 50% \times Rp 900.000 = Rp 450.000$$

  2. Hitung PPh Pasal 21 Terutang (Tarif Pasal 17): Karena penerima jasa tidak memiliki NPWP, tarifnya menjadi 120% dari tarif normal 5% (untuk lapisan penghasilan di bawah Rp 60 juta). $$\text{Tarif Efektif} = 120% \times 5% = 6%$$ $$\text{PPh 21 Terutang} = 6% \times DPP$$ $$\text{PPh 21 Terutang} = 6% \times Rp 450.000 = Rp 27.000$$

Maka, badan usaha tersebut wajib memotong PPh 21 sebesar Rp 27.000 dan membayar honor bersih sebesar Rp 873.000 kepada konsultan, sekaligus membuat bukti potong.

PPh Pasal 23: Pajak Atas Jasa yang Diberikan Oleh Badan Usaha (PT/CV)

PPh Pasal 23 mengatur pemotongan pajak atas penghasilan berupa modal, penyerahan jasa, atau penyelenggaraan kegiatan selain yang telah dipotong PPh Pasal 21, yang dibayarkan kepada Wajib Pajak Badan Usaha dalam negeri (seperti PT atau CV) atau bentuk usaha tetap. Prinsip ini berlaku tegas, bahkan untuk transaksi dengan nilai di bawah Rp 1 juta.

Kriteria Jasa yang Wajib Dipotong PPh 23 (Walau Nilai di Bawah Rp 1 Juta)

Pemotongan PPh Pasal 23 tidak didasarkan pada besaran nilai transaksi, melainkan jenis jasa yang diberikan dan status hukum penyedia jasa. Jasa yang diberikan oleh badan usaha (PT/CV) yang termasuk kategori Jasa Lain yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 141/PMK.03/2015 wajib dipotong PPh 23.

Jenis-jenis jasa yang seringkali memiliki nilai di bawah Rp 1 juta namun tetap wajib dipotong meliputi jasa manajemen, jasa konsultan, jasa teknik, jasa instalasi, jasa perawatan/perbaikan (repair and maintenance), dan jasa penunjang lainnya. Misalnya, pembayaran jasa desain grafis kepada sebuah CV sebesar Rp 950.000 wajib dipotong PPh 23. Penting untuk diingat bahwa potongan PPh 23 harus dilakukan oleh pihak yang membayarkan penghasilan (pemberi jasa) jika ia adalah badan usaha atau penyelenggara kegiatan, bukan oleh pihak yang menerima pembayaran. Ketentuan ini memastikan pemungutan pajak dilakukan pada sumbernya secara efektif, bahkan untuk transaksi dengan nilai yang kecil.

Tarif Potongan PPh 23: 2% atau 4%? Kapan Harus Menggunakan Surat Keterangan Bebas (SKB)?

Tarif umum pemotongan PPh Pasal 23 atas jasa adalah 2% dari jumlah penghasilan bruto. Berdasarkan PMK No. 141/PMK.03/2015, jasa manajemen, konsultan, dan teknik termasuk dalam tarif 2%.

Lalu, kapan tarif 4% berlaku? Tarif 4% (yaitu 100% lebih tinggi dari tarif normal) akan dikenakan jika penerima jasa (Badan Usaha/PT/CV) tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Hal ini adalah sanksi non-kepatuhan yang harus ditegakkan oleh pemotong pajak.

Selain itu, terdapat beberapa kondisi di mana pemotongan PPh 23 dapat dikecualikan:

  • Penerima Jasa memiliki Surat Keterangan Bebas (SKB): Jika vendor jasa adalah UMKM dan telah mendapatkan SKB dari Kantor Pelayanan Pajak (KPP) karena ia sudah dikenakan PPh Final sesuai PP 55 Tahun 2022 (Tarif 0,5%), maka PPh 23 tidak perlu dipotong. Vendor harus menyerahkan SKB ini kepada pemberi jasa.
  • Pemotong adalah Orang Pribadi (Non-Pemotong): Jika pembayaran jasa dilakukan oleh orang pribadi yang bukan termasuk pemotong PPh (seperti yang diatur dalam Pasal 23), maka kewajiban pemotongan PPh 23 tidak ada.

Pemberian dan penerimaan Bukti Potong PPh 23 adalah kunci utama yang menunjukkan profesionalitas dan kepatuhan fiskal dalam ekosistem bisnis. Bukti potong ini adalah dokumen resmi yang menegaskan bahwa kewajiban pemotongan pajak telah dilaksanakan dan merupakan sinyal kepercayaan yang tinggi dalam berbisnis. Penggunaan e-Bupot (aplikasi DJP untuk bukti potong elektronik) semakin mempermudah proses ini, memastikan setiap pemotongan PPh 23, sekecil apapun nilainya, tercatat secara sah.

Contoh Kasus: PT A membayar jasa copywriting kepada CV B senilai Rp 800.000. Karena CV B adalah badan usaha, PT A wajib memotong PPh 23 sebesar $2% \times \text{Rp } 800.000 = \text{Rp } 16.000$. PT A menyetor Rp 16.000 ke kas negara dan memberikan Bukti Potong PPh 23 kepada CV B. Pembayaran bersih yang diterima CV B adalah Rp 784.000.

Strategi Kepatuhan: Mengelola Faktur dan Bukti Potong Pajak Jasa

Mengelola kepatuhan fiskal secara efektif, bahkan untuk transaksi jasa kecil seperti yang nilainya di bawah Rp 1 juta, adalah kunci untuk membangun kredibilitas bisnis yang kuat. Proses ini tidak hanya memastikan Anda mematuhi hukum, tetapi juga menunjukkan profesionalisme dan akuntabilitas kepada mitra bisnis dan otoritas pajak.

Penyusunan Faktur Jasa yang Sesuai Aturan Pajak untuk Transaksi Kecil

Setiap transaksi jasa, termasuk yang di bawah Rp 1 juta, harus didukung oleh dokumen yang jelas dan memadai. Faktur atau tagihan jasa yang dibuat bukan hanya alat penagihan, tetapi juga dokumen sumber utama untuk perpajakan. Untuk mencapai transparansi dan meminimalkan risiko, faktur harus mencantumkan setidaknya informasi berikut: jumlah bruto nilai jasa sebelum dipotong pajak, jenis dan jumlah PPh yang dipotong (PPh Pasal 21 atau PPh Pasal 23), dan keterangan mengenai PPN (jika pemberi jasa adalah Pengusaha Kena Pajak/PKP). Dokumen yang lengkap ini sangat penting agar transaksi Anda diakui secara legal dan dapat menjadi bukti saat pemeriksaan.

Pentingnya Bukti Potong: Mencegah Pajak Berganda dan Audit

Bukti potong pajak merupakan elemen paling krusial dalam kepatuhan pajak jasa. Bukti potong adalah dokumen resmi yang membuktikan bahwa PPh yang terutang telah dipotong dan disetorkan oleh pemberi penghasilan (pemotong pajak) atas nama penerima penghasilan. Tanpa bukti potong, penerima jasa (Wajib Pajak) dapat berisiko dikenakan pajak berganda karena tidak memiliki bukti untuk mengkreditkan pajak yang sudah dipotong.

Untuk Wajib Pajak Badan atau individu yang bergerak di bidang layanan jasa, disarankan untuk segera menggunakan sistem pencatatan yang memisahkan PPh 21 dan PPh 23 secara detail. Pisahkan transaksi sesuai jenis pemotongan dan penerima. Selain itu, Anda harus memastikan bahwa bukti potong diterima secara fisik atau digital maksimal pada akhir bulan dilakukan pembayaran (atau masa pajak yang bersangkutan). Langkah proaktif ini secara signifikan mengurangi potensi selisih data dalam laporan dan memudahkan proses rekonsiliasi.

Guna menjamin keabsahan dan mematuhi standar digital, DJP merekomendasikan penggunaan e-Bupot untuk pembuatan bukti potong PPh Pasal 23 dan PPh Pasal 21 yang bersifat tidak final. Mengadopsi e-Bupot adalah langkah vital dalam menjaga keterpercayaan dan keabsahan fiskal bisnis Anda. Sistem ini memastikan bukti potong Anda terverifikasi secara elektronik dan tercatat langsung di sistem Direktorat Jenderal Pajak (DJP), memberikan sinyal kuat kepada otoritas pajak bahwa Anda adalah entitas yang patuh dan profesional. Kepatuhan yang konsisten ini adalah fondasi untuk membangun rekam jejak yang baik.

Kapan Jasa di Bawah Rp 1 Juta Bebas dari Pemotongan Pajak?

Secara umum, transaksi jasa di bawah Rp 1 juta tetap wajib dipotong PPh 21 atau PPh 23. Namun, ada skenario spesifik yang dapat mengecualikan kewajiban pemotongan ini, khususnya jika melihat status penerima penghasilan sebagai Wajib Pajak Orang Pribadi (WPOP) atau Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Memahami batasan ini sangat penting untuk memastikan kepatuhan tanpa pemotongan yang tidak perlu.

Kriteria dan Batasan Wajib Pajak dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)

Pemotongan PPh Pasal 21, yang berlaku untuk penerima jasa orang pribadi, idealnya tidak dilakukan jika total penghasilan yang bersangkutan belum melampaui Batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) yang ditetapkan. Untuk Wajib Pajak lajang, PTKP saat ini berada di angka Rp 54.000.000 per tahun.

Secara teori, jika seseorang menerima honorarium jasa (bukan pegawai) yang setelah dikumulasikan selama setahun tidak melebihi PTKP, maka PPh 21 nihil. Akan tetapi, dalam praktiknya, pemberi jasa (pemotong pajak) akan kesulitan memastikan apakah total penghasilan penerima jasa dari berbagai sumber telah melampaui PTKP atau belum. Oleh karena itu, berdasarkan pengalaman para konsultan pajak, pemotongan PPh 21 tetap diwajibkan sesuai tarif bruto yang berlaku. Penerima jasa yang merasa penghasilannya di bawah PTKP dapat mengajukan restitusi (pengembalian) saat pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan, karena pemberi jasa telah menjalankan kewajiban pemotongan di awal. Konsistensi pelaporan ini merupakan bentuk transparansi fiskal dan keahlian operasional yang sangat dihargai oleh otoritas pajak.

Memanfaatkan Peraturan Pajak UMKM (PP 55 Tahun 2022): Tarif 0,5% Final

Salah satu celah pembebasan pajak terbesar untuk transaksi kecil, seperti jasa di bawah Rp 1 juta, adalah melalui pemanfaatan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2022 tentang PPh Final berdasarkan omzet. Peraturan ini menggantikan PP 23 Tahun 2018.

Data Terobosan: PP 55/2022 memberikan fasilitas bagi Wajib Pajak Orang Pribadi atau Badan (selain Perseroan Terbatas yang tidak berbentuk perseroan) yang memiliki peredaran bruto (omzet) di bawah Rp 4,8 Miliar setahun. Mereka dapat memilih untuk dikenakan PPh Final sebesar 0,5% dari omzet. Lebih penting lagi, Wajib Pajak Orang Pribadi UMKM diberikan fasilitas tidak dikenakan pajak penghasilan atas omzet hingga Rp 500 juta per tahun. Ini berarti, jika penerima jasa adalah WPOP UMKM yang omzetnya belum mencapai batas Rp 500 juta, maka tidak ada PPh Final 0,5% yang terutang, secara efektif membebaskan transaksi tersebut dari pajak.

Namun, agar pemberi jasa dapat membebaskan pemotongan PPh 23 (atau PPh 21) atas transaksi jasa kecil tersebut, penerima jasa harus menunjukkan Surat Keterangan Terdaftar (SKT) yang menyatakan bahwa mereka adalah Wajib Pajak UMKM yang memanfaatkan skema PPh Final 0,5% sesuai PP 55/2022. Ketentuan ini menuntut akuntabilitas tinggi dan pengetahuan mendalam tentang regulasi yang berlaku. Tanpa SKT ini, pemberi jasa wajib memotong PPh 21 atau PPh 23.

Penekanan pada Surat Keterangan Terdaftar (SKT) dan pelaporan SPT Tahunan yang konsisten sangat krusial. Kedua dokumen ini berfungsi sebagai bukti kuat dan otoritas resmi dari DJP bahwa Wajib Pajak berada dalam rezim PPh Final UMKM. Memastikan dokumentasi ini lengkap dan up-to-date adalah langkah dasar untuk menjaga status kepatuhan fiskal dan menghindari sanksi di kemudian hari, sekaligus memberi kepastian kepada klien (pemberi jasa) untuk tidak melakukan pemotongan pajak.

Penting: Jika penerima jasa adalah Badan (PT/CV), maka PPh 23 tetap wajib dipotong 2% kecuali mereka menyerahkan Surat Keterangan Bebas (SKB) PPh 23 atau berhak memanfaatkan PP 55/2022 dan menunjukkan SKT.

Risiko dan Sanksi Jika Pajak Jasa Kecil Diabaikan atau Salah Lapor

Meskipun transaksi jasa di bawah Rp 1 juta terlihat kecil, pengabaian terhadap kewajiban perpajakannya membawa risiko hukum yang serius. Kepatuhan pajak adalah cerminan dari profesionalisme dan fondasi kredibilitas fiskal perusahaan, yang jauh lebih berharga daripada potensi penghematan pajak kecil yang diupayakan.

Konsekuensi Hukum dan Denda Keterlambatan Pelaporan SPT Masa

Kesalahan atau kelalaian dalam melaksanakan tugas pemotongan, penyetoran, dan pelaporan Pajak Penghasilan (PPh)—baik PPh Pasal 21 maupun PPh Pasal 23—dapat berujung pada sanksi administrasi. Sanksi ini diatur dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP).

Ketika kewajiban pemotongan PPh diabaikan atau terjadi keterlambatan dalam penyetoran, Wajib Pajak akan dikenakan denda dan bunga yang dihitung dari jumlah pajak yang kurang atau tidak dibayar. Denda ini dapat menumpuk seiring berjalannya waktu, membuat perusahaan harus membayar jauh lebih besar daripada pokok pajak terutang. Misalnya, keterlambatan penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) Masa Pemotongan PPh dapat dikenakan denda minimal Rp 100.000, di luar sanksi bunga atas kekurangan pembayaran pajak yang dihitung sesuai tarif bunga acuan yang berlaku. Kami, sebagai konsultan pajak berpengalaman, selalu menekankan bahwa biaya kepatuhan jauh lebih rendah daripada biaya sanksi dan penanganan sengketa pajak.

Tips Audit: Cara Mempersiapkan Diri Menghadapi Pemeriksaan Pajak Jasa

Pemeriksaan pajak adalah prosedur standar yang dilakukan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk menguji kepatuhan Wajib Pajak. Saat menghadapi pemeriksaan terkait transaksi jasa, fokus utama pemeriksa adalah pada konsistensi pemotongan, penyetoran, dan pelaporan PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 23.

Tindakan proaktif terbaik untuk menghindari sanksi dan mempermudah proses audit adalah dengan melakukan rekonsiliasi PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 23 setiap bulan. Rekonsiliasi ini bertujuan untuk memastikan tidak ada selisih antara:

  1. Nilai bruto pembayaran jasa yang tercatat dalam pembukuan keuangan perusahaan.
  2. Jumlah PPh yang dipotong (tercatat dalam akun utang PPh).
  3. Jumlah PPh yang disetor (tercantum dalam Surat Setoran Pajak atau NTPN).
  4. Jumlah PPh yang dilaporkan (tertera dalam SPT Masa).

Melalui rekonsiliasi bulanan, Anda dapat mengidentifikasi dan memperbaiki selisih data pada transaksi jasa bernilai kecil sekalipun, sebelum DJP menemukan inkonsistensi tersebut. Konsistensi dalam pelaporan dan pemotongan adalah fondasi kredibilitas fiskal. Data yang akurat dan terarsip dengan baik, seperti bukti potong yang lengkap dan faktur yang mencantumkan detail PPh, menjadi bukti kuat atas praktik bisnis yang profesional dan patuh. Hal ini merupakan praktik terbaik yang diterapkan oleh banyak perusahaan yang memiliki otoritas dan rekam jejak yang teruji dalam manajemen fiskal.

Pertanyaan Umum Seputar Perpajakan Jasa dan Freelancer

Q1. Apakah ada batasan minimum nilai jasa yang tidak dipotong PPh 21/23?

Pertanyaan ini sering muncul dari para pelaku usaha dan freelancer yang ingin menyederhanakan administrasi. Secara umum, tidak ada batasan minimum nilai nominal (nihil) yang secara eksplisit membebaskan transaksi jasa dari kewajiban pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23. Artinya, potongan PPh 23 sebesar 2% tetap wajib dilakukan oleh badan usaha yang membayar jasa, bahkan jika nilai transaksi jasa tersebut berada di bawah Rp 1 juta, asalkan jenis jasanya termasuk dalam daftar objek PPh 23.

Untuk PPh Pasal 21 (jasa orang pribadi), perhitungan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) memang perlu dilakukan, yang mana nominalnya dapat bervariasi tergantung status penerima penghasilan (misalnya, 50% dari penghasilan bruto untuk tenaga ahli). Namun, kewajiban untuk melakukan pemotongan tetap ada jika peraturan berlaku. Kesimpulannya, menganggap batas di bawah Rp 1 juta sebagai ambang bebas pajak adalah kesalahpahaman yang dapat menimbulkan sanksi. Konsistensi dalam memotong PPh adalah kunci untuk menunjukkan kepatuhan yang tinggi.

Q2. Apa yang harus dilakukan jika vendor jasa tidak memiliki NPWP?

Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) adalah identitas penting bagi setiap Wajib Pajak. Ketika Anda menggunakan jasa dari vendor, baik orang pribadi maupun badan usaha, yang tidak memiliki NPWP, Anda tetap memiliki kewajiban untuk melakukan pemotongan PPh.

Berdasarkan peraturan perpajakan di Indonesia, khususnya PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 23, jika penerima penghasilan tidak memiliki NPWP, maka tarif pemotongan yang dikenakan akan lebih tinggi, yaitu 100% lebih tinggi dari tarif normal. Contohnya, jika tarif PPh 23 normal adalah 2%, maka tarif yang dipotong adalah $4%$. Peningkatan tarif ini bertujuan untuk mendorong setiap Wajib Pajak agar mendaftarkan diri dan memiliki NPWP. Sebagai pemotong pajak, Anda harus memastikan bahwa kelebihan potongan ini disetor ke kas negara dan dicantumkan dengan benar dalam bukti potong Anda. Tindakan ini merupakan praktik akuntansi yang teliti dan kredibel.

Final Takeaways: Mastering Kepatuhan Pajak Jasa Kecil di 2026

Pajak atas transaksi jasa, meskipun nilainya di bawah Rp 1 juta, tidak boleh diabaikan. Kesalahpahaman bahwa transaksi kecil bebas pajak adalah risiko besar bagi kredibilitas dan stabilitas fiskal perusahaan Anda. Fokus utama untuk menjaga profesionalisme dan kepatuhan (yang merupakan pilar utama dari otoritas dalam bidang perpajakan) adalah pada identifikasi jenis PPh yang tepat (PPh Pasal 21 untuk perorangan atau PPh Pasal 23 untuk badan) dan memastikan kelengkapan dokumen bukti potong.

3 Langkah Aksi Utama untuk Memastikan Kepatuhan

Kepatuhan terhadap regulasi perpajakan yang kompleks, terutama pada transaksi bernilai kecil, dapat disederhanakan menjadi tiga langkah praktis:

  1. Identifikasi Status Vendor: Selalu verifikasi apakah penyedia jasa adalah Orang Pribadi (kena PPh 21) atau Badan Usaha (kena PPh 23).
  2. Lakukan Pemotongan Tepat Waktu: Potong PPh yang sesuai (2% untuk PPh 23, atau tarif PPh 21 yang berlaku) pada saat pembayaran dilakukan, bahkan untuk transaksi Rp 500.000.
  3. Terbitkan dan Simpan Bukti Potong: Bukti potong adalah dokumen krusial yang membuktikan bahwa kewajiban pemotongan telah dilaksanakan dan ini menjadi sinyal keahlian dan integritas Anda dalam mengelola keuangan fiskal.

Apa yang Harus Anda Lakukan Setelah Membaca Panduan Ini

Untuk mengubah pengetahuan ini menjadi praktik operasional yang andal, langkah selanjutnya adalah mengambil tindakan konkret. Kami sangat menyarankan Anda untuk mengunduh checklist kepatuhan PPh 21/23 yang telah kami siapkan sebagai referensi cepat bulanan. Selain itu, mengingat kompleksitas dan perubahan regulasi pajak yang dinamis, berkonsultasi dengan akuntan profesional atau konsultan pajak adalah langkah bijak untuk mengonfirmasi bahwa seluruh sistem pemotongan dan pelaporan PPh Anda telah sesuai dengan peraturan terbaru yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

Jasa Pembayaran Online
💬