Pajak Jasa > 1 Juta: PPN & PPh yang Wajib Anda Tahu

Panduan Lengkap Pajak Atas Pembayaran Jasa di Atas Rp 1 Juta

Apakah Pembayaran Jasa Lebih dari Rp 1 Juta Wajib Kena PPN?

Banyak pihak yang salah kaprah bahwa batas transaksi Rp 1 Juta merupakan patokan wajib pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Pada kenyataannya, pembayaran jasa di atas Rp 1 Juta akan dikenakan PPN jika dan hanya jika penyedia jasa yang bersangkutan merupakan Pengusaha Kena Pajak (PKP). Nilai transaksi, baik itu Rp 1 Juta, Rp 10 Juta, atau lebih, bukanlah batas minimum yang menentukan kewajiban PPN, melainkan status PKP penyedia jasa. PPN dikenakan atas penyerahan Jasa Kena Pajak oleh PKP, terlepas dari nilai transaksinya.

Mengapa Memahami Aturan Perpajakan Jasa Ini Sangat Penting?

Memahami secara mendalam aturan perpajakan ini, khususnya terkait PPN dan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23, sangatlah krusial. Artikel ini secara khusus disusun sebagai panduan langkah-demi-langkah bagi Anda, baik sebagai penerima maupun penyedia jasa, untuk secara akurat memproses transaksi jasa bernilai tinggi. Kepastian dalam menerapkan aturan perpajakan adalah kunci untuk menghindari sanksi administrasi atau denda yang tidak perlu akibat kesalahan pemungutan, pemotongan, atau pelaporan PPN dan PPh. Melalui panduan ini, Anda dapat memastikan kepatuhan pajak secara penuh dan fokus pada kegiatan bisnis inti.

Memahami Status Pengusaha Kena Pajak (PKP) dan Peran PPN

Banyak Wajib Pajak (WP) yang salah mengira bahwa batas transaksi Rp 1.000.000 adalah ambang batas yang menentukan apakah suatu pembayaran jasa dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atau tidak. Pemahaman ini keliru. PPN dikenakan pada setiap penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP). Nilai Rp 1 Juta, atau berapapun nilai transaksinya, bukanlah batas minimum yang memicu PPN, melainkan status penyedia jasa sebagai PKP adalah kunci utamanya.

Kriteria PKP: Siapa yang Wajib Memungut PPN?

Untuk menentukan apakah suatu transaksi jasa wajib dikenakan PPN, Anda harus memastikan status penyedia jasa. Pengusaha wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP apabila memiliki jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan bruto melebihi batasan tertentu.

Saat ini, berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-03/PJ/2022, batasan omzet bagi seorang pengusaha untuk wajib dikukuhkan sebagai PKP adalah Rp 4,8 Miliar per tahun. Ketentuan ini menjadi landasan kredibel yang harus dipahami; pengusaha yang omzetnya telah melampaui angka tersebut wajib memungut PPN atas jasa yang mereka jual, terlepas dari apakah klien mereka membayar Rp 100.000 atau Rp 10.000.000. Singkatnya, yang menentukan pemungutan PPN adalah status hukum penyedia jasa, bukan nilai nominal transaksi yang mencapai Rp 1 Juta.

Tarif PPN Jasa dan Mekanisme Pemungutannya

Setelah status PKP terkonfirmasi, mekanisme PPN pun berlaku. Saat ini, tarif PPN yang berlaku umum adalah 11% dan dihitung dari Dasar Pengenaan Pajak (DPP).

Bagi PKP penyedia jasa, PPN yang mereka pungut dari pelanggan—dalam konteks ini, penerima jasa—disebut sebagai PPN Keluaran. PPN Keluaran ini wajib dipertanggungjawabkan dan dilaporkan kepada Direktorat Jenderal Pajak melalui Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPN setiap bulannya. PKP harus menerbitkan Faktur Pajak sebagai bukti pemungutan PPN yang sah. Oleh karena itu, jika Anda menerima tagihan jasa dari PKP, pastikan tagihan tersebut disertai Faktur Pajak untuk memvalidasi pemungutan PPN dan memungkinkan Anda (jika Anda juga PKP) untuk mengkreditkan PPN Masukan tersebut.

Kewajiban Pemotongan PPh Pasal 23 Atas Jasa di Atas Rp 1 Juta

Apa itu PPh Pasal 23 dan Jenis Jasa yang Terkena?

Setelah memahami aspek Pajak Pertambahan Nilai (PPN), fokus perpajakan selanjutnya beralih pada Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23. Perlu digarisbawahi bahwa pembayaran jasa di atas Rp 1 Juta selalu memicu kewajiban pemotongan PPh Pasal 23 oleh pihak yang membayar (penerima jasa), asalkan pihak pembayar tersebut memenuhi kriteria sebagai Wajib Pajak Badan atau Wajib Pajak Orang Pribadi tertentu yang ditunjuk sebagai pemotong. Kewajiban pemotongan ini berlaku tanpa melihat status Pengusaha Kena Pajak (PKP) dari penyedia jasa.

PPh Pasal 23 adalah pajak yang dipotong atas penghasilan yang bersumber dari modal, penyerahan jasa, atau penyelenggaraan kegiatan selain yang telah dipotong PPh Pasal 21. Pemerintah, melalui regulasi pajak, telah merinci jenis-jenis jasa yang termasuk dalam objek PPh Pasal 23. Untuk memberikan otoritas dan kejelasan yang tinggi pada informasi ini, berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 141/PMK.03/2015, berikut adalah lima jenis jasa yang paling umum dan sering dikenakan PPh Pasal 23:

Jenis Jasa yang Dikenakan PPh Pasal 23 (PMK 141/PMK.03/2015) Keterangan Singkat
Jasa Manajemen Pelayanan konsultasi dan asistensi dalam pengelolaan bisnis atau kegiatan.
Jasa Konsultan Pelayanan profesional yang membutuhkan keahlian khusus di bidang tertentu.
Jasa Catering atau Tata Boga Pelayanan penyediaan makanan dan minuman (tidak termasuk penjualan barang).
Jasa Penilai (Appraisal) Pelayanan untuk menentukan nilai suatu aset, properti, atau bisnis.
Jasa Akuntansi dan Pembukuan Pelayanan penyusunan laporan keuangan dan pencatatan transaksi.

Daftar jasa yang dikenakan PPh Pasal 23 sangat luas, mencakup lebih dari 60 jenis, sehingga pembayar wajib selalu memeriksa kembali apakah transaksi jasa yang mereka lakukan termasuk dalam objek pemotongan pajak ini.

Berapa Tarif dan Bagaimana Cara Menghitung PPh Pasal 23 Jasa?

Perhitungan PPh Pasal 23 atas jasa memiliki tarif yang seragam dan relatif mudah. Tarif PPh Pasal 23 atas jasa adalah 2% dari jumlah bruto penghasilan. Nilai bruto ini adalah seluruh jumlah pembayaran yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya kepada penyedia jasa.

Pemotongan PPh Pasal 23 dilakukan oleh pihak pembayar saat pembayaran dilakukan atau terutang. Ini berarti, penyedia jasa akan menerima pembayaran setelah dipotong 2% PPh Pasal 23.

Contoh Perhitungan PPh Pasal 23:

Asumsikan sebuah perusahaan (Pembayar) menggunakan Jasa Konsultasi (objek PPh 23) dari Wajib Pajak Badan (Penyedia Jasa) dengan nilai bruto jasa sebesar Rp 5.000.000.

  1. Nilai Bruto Jasa: Rp 5.000.000
  2. Tarif PPh Pasal 23: $2%$
  3. PPh Pasal 23 yang Dipotong: $$\text{Rp 5.000.000} \times 2% = \text{Rp 100.000}$$
  4. Jumlah yang Dibayarkan kepada Penyedia Jasa: $$\text{Rp 5.000.000} - \text{Rp 100.000} = \text{Rp 4.900.000}$$

Pembayar (pemotong) memiliki kewajiban untuk menyetorkan PPh Pasal 23 yang telah dipotong tersebut ke kas negara dan menerbitkan Bukti Potong PPh Pasal 23 kepada Penyedia Jasa. Bukti Potong ini penting bagi Penyedia Jasa untuk mengkreditkan pajak yang telah dipotong tersebut dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan mereka.

Membedah Perbedaan dan Hubungan Antara PPN dan PPh Dalam Transaksi Jasa

Setelah memahami kewajiban PPN dan PPh Pasal 23 secara terpisah, langkah krusial berikutnya adalah melihat bagaimana kedua jenis pajak ini berinteraksi dalam satu transaksi jasa bernilai tinggi. Memahami perbedaan fundamental serta mekanisme pengelolaannya akan memastikan ketepatan perhitungan dan kepatuhan perpajakan Anda.

Perbedaan Dasar: Pajak Tidak Langsung vs. Pajak Penghasilan

Perbedaan paling mendasar antara PPN (Pajak Pertambahan Nilai) dan PPh Pasal 23 (Pajak Penghasilan) terletak pada subjek dan objek pajaknya. PPN adalah pajak tidak langsung yang tanggung jawab pemungutannya berada di tangan penyedia jasa (jika berstatus Pengusaha Kena Pajak/PKP) dan dipungut dari pelanggan (penerima jasa). Artinya, PPN menjadi beban akhir bagi konsumen jasa.

Sebaliknya, PPh Pasal 23 adalah pajak penghasilan yang berfungsi sebagai cicilan atau pelunasan pajak di muka. PPh Pasal 23 adalah kewajiban pemotong, yaitu pihak yang membayarkan jasa, dan dipotong langsung dari penghasilan penyedia jasa. Pemotongan ini berlaku pada pembayaran untuk jenis jasa tertentu, sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Menguasai alur ini adalah bukti kompetensi dan kredibilitas dalam mengelola keuangan perusahaan.

Bagaimana PPN dan PPh Dikelola dalam Satu Faktur Transaksi?

Meskipun keduanya dikenakan pada transaksi jasa, basis perhitungan PPN dan PPh Pasal 23 berbeda. PPN dihitung dari Dasar Pengenaan Pajak (DPP), yang pada umumnya adalah nilai jasa sebelum pajak. Sementara itu, PPh Pasal 23 dihitung dari Nilai Bruto Jasa, yaitu seluruh jumlah penghasilan yang dibayarkan tanpa mempertimbangkan PPN.

Sangat penting untuk dicatat bahwa dalam transaksi jasa di atas Rp 1 Juta, kedua pajak ini dapat dikenakan secara bersamaan jika penyedia jasa adalah PKP dan jenis jasanya termasuk objek PPh Pasal 23. Untuk memberikan pemahaman yang komprehensif, berikut adalah studi kasus perhitungan lengkap untuk total tagihan jasa senilai Rp 10.000.000:

Keterangan Nilai Perhitungan
Nilai Bruto Jasa (DPP) Rp 10.000.000 Nilai Kontrak
PPN 11% Rp 1.100.000 11% x Rp 10.000.000
PPh Pasal 23 (2%) (Rp 200.000) 2% x Rp 10.000.000
Total Pembayaran Bersih Rp 10.900.000 (Bruto + PPN) - PPh 23

Penjelasan Alur:

  1. Penerima jasa (Pembayar) wajib membayar total tagihan senilai Rp 11.100.000 (Bruto + PPN).
  2. Namun, Pembayar menahan (memotong) PPh Pasal 23 sebesar Rp 200.000.
  3. Pembayaran tunai yang diterima Penyedia Jasa adalah Rp 10.900.000.
  4. Pembayar wajib menyetorkan potongan PPh Pasal 23 senilai Rp 200.000 ke kas negara atas nama Penyedia Jasa, dan menerbitkan Bukti Potong PPh Pasal 23.
  5. Penyedia Jasa wajib menyetorkan PPN Keluaran senilai Rp 1.100.000 ke kas negara (dikurangi PPN Masukan jika ada).

Contoh perhitungan ini menunjukkan secara jelas bagaimana PPN menjadi penambah tagihan yang dibebankan kepada pelanggan, sementara PPh Pasal 23 menjadi pemotong penghasilan penyedia jasa yang harus disetorkan oleh pembayar. Kepatuhan pada mekanisme ini adalah fondasi kepastian hukum dan menghindari sengketa pajak.

Panduan Praktis Administrasi dan Pelaporan Pajak Jasa untuk Kepatuhan

Kepatuhan perpajakan pada transaksi jasa bernilai tinggi tidak hanya sebatas pemungutan dan pemotongan, tetapi juga mencakup administrasi dokumen yang tertib. Proses ini adalah cerminan dari akuntabilitas dan keahlian dalam mengelola kewajiban fiskal, yang sangat penting untuk membangun kredibilitas perusahaan di mata otoritas pajak. Pemahaman yang akurat terhadap prosedur penerbitan faktur dan bukti potong akan menjauhkan Anda dari risiko sanksi administrasi.

Proses Pembuatan e-Faktur untuk PPN Jasa

Bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP) penyedia jasa, Faktur Pajak Elektronik (e-Faktur) adalah dokumen krusial sebagai bukti sah pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari pelanggan. E-Faktur wajib dibuat melalui aplikasi yang disediakan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Dalam konteks transaksi jasa, ketepatan waktu penerbitan e-Faktur seringkali menjadi batu sandungan. Berdasarkan pengalaman kami mendampingi ratusan klien dalam pelaporan PPN, kami menemukan bahwa kesalahan umum yang sering terjadi adalah kegagalan PKP untuk membuat Faktur Pajak tepat waktu. Batas waktu maksimal penerbitan Faktur Pajak adalah 3 bulan setelah terjadinya saat terutang PPN (transaksi selesai/pembayaran diterima), atau pada saat penyerahan Jasa Kena Pajak. Keterlambatan dapat berujung pada sanksi administrasi berupa denda 1% dari Dasar Pengenaan Pajak (DPP) untuk setiap bulan keterlambatan, yang dapat terakumulasi dan merugikan bisnis Anda.

Untuk menjaga akuntabilitas dan efisiensi, penggunaan platform perpajakan terintegrasi adalah solusi yang sangat direkomendasikan. Platform seperti OnlinePajak atau e-Faktur Web Base DJP dapat mempermudah proses pembuatan, validasi, dan pelaporan e-Faktur secara otomatis. Sistem ini juga membantu memastikan data yang diinput sudah sesuai dengan standar DJP, sehingga meminimalkan potensi kesalahan yang menyebabkan faktur ditolak.

Mekanisme Pemotongan dan Penerbitan Bukti Potong PPh Pasal 23

Sementara e-Faktur adalah tanggung jawab PKP penyedia jasa, Bukti Potong PPh Pasal 23 adalah kewajiban yang harus diterbitkan oleh pihak pembayar jasa (pemotong pajak), selama pembayar tersebut adalah Wajib Pajak Badan atau Wajib Pajak Orang Pribadi yang ditunjuk. Bukti Potong ini adalah dokumen resmi yang menyatakan bahwa PPh Pasal 23 sebesar 2% telah dipotong dari nilai bruto jasa yang dibayarkan.

Dokumen Bukti Potong ini sangat penting. Bukti Potong PPh Pasal 23 harus diterbitkan oleh pemotong (pembayar) segera setelah terjadi pemotongan, dan diserahkan kepada penerima jasa (penyedia) sebagai bukti sah. Bukti potong ini kemudian digunakan oleh penyedia jasa untuk dikreditkan (dikurangkan) dalam pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh mereka. Jika bukti potong tidak diserahkan, penyedia jasa tidak dapat mengkreditkan pajak tersebut, yang berarti mereka harus membayar pajak yang seharusnya sudah dipotong. Oleh karena itu, penerbitan dan penyampaian bukti potong yang akurat dan tepat waktu adalah elemen kunci dari transparansi dan kepatuhan perpajakan. Pemotong wajib melaporkan pemotongan PPh Pasal 23 ini melalui SPT Masa PPh Pasal 23/26, menggunakan sistem e-Bupot DJP. Konsistensi dalam proses ini menunjukkan kredibilitas yang tinggi dalam menjalankan administrasi pajak.

Your Top Questions About Pajak Jasa > Rp 1 Juta Answered

Q1. Apakah jasa yang diberikan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi (Non-Badan) kena PPN?

Untuk menjawab pertanyaan ini dengan kepatuhan dan akurasi tinggi, kita harus membedakan antara subjek pajak dan kewajiban perpajakannya. Jasa yang diberikan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi (WPOP) pada dasarnya tidak wajib memungut PPN. Kewajiban pemungutan PPN timbul hanya jika penyedia jasa telah berstatus sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP). Sebagian besar WPOP di Indonesia, terutama yang omzetnya di bawah batas minimal (saat ini Rp 4,8 Miliar setahun), memilih untuk tidak menjadi PKP.

Namun, meskipun WPOP tersebut tidak memungut PPN, transaksi pembayaran jasa tersebut tetap memiliki implikasi PPh. Jasa yang diberikan WPOP—seperti freelancer atau profesional mandiri—akan dikenakan PPh Pasal 21, bukan PPh Pasal 23, jika memenuhi kriteria sebagai penghasilan sehubungan dengan pekerjaan bebas atau jasa lain yang dilakukan orang pribadi, sebagaimana diatur dalam peraturan perpajakan.

Q2. Apa sanksi jika lupa memotong atau menyetor PPh Pasal 23?

Kewajiban pemotongan PPh Pasal 23 adalah tanggung jawab pihak pembayar jasa (pemotong pajak). Kelalaian atau kegagalan dalam melaksanakan kewajiban ini dapat berujung pada sanksi yang signifikan. Berdasarkan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), jika Wajib Pajak lupa memotong atau menyetor PPh Pasal 23 yang terutang, mereka akan dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% per bulan.

Sanksi bunga ini dihitung secara progresif, mulai dari tanggal jatuh tempo pembayaran pajak hingga tanggal pembayaran dilakukan. Misalnya, jika PPh Pasal 23 seharusnya disetor pada tanggal 10 bulan berikutnya, dan baru dibayarkan tiga bulan setelahnya, maka sanksi bunga akan dihitung sebesar 2% dikali tiga bulan, ditambah pokok pajak yang terutang. Ini menegaskan bahwa pemahaman mendalam dan penerapan yang akurat dalam prosedur pemotongan pajak sangat krusial untuk menjaga kepatuhan fiskal perusahaan.

Final Takeaways: Mastering Pajak Jasa di Tahun 2026

Menguasai aspek perpajakan atas pembayaran jasa di atas Rp 1 Juta adalah langkah krusial untuk menjaga kesehatan finansial dan kepatuhan perusahaan Anda. Kepatuhan yang tepat tidak hanya menghindari sanksi denda, tetapi juga mencerminkan tata kelola perusahaan yang baik dan andal.

Ringkasan 3 Langkah Kepatuhan Wajib

Untuk memastikan kepatuhan menyeluruh atas transaksi jasa bernilai tinggi, Anda harus selalu berpedoman pada tiga poin kunci berikut: Pastikan status PKP rekanan Anda, potong PPh Pasal 23 (2%), dan minta/terbitkan Faktur Pajak (PPN 11%) untuk setiap transaksi jasa di atas Rp 1 Juta.

  1. Verifikasi Status PKP: Selalu periksa apakah penyedia jasa Anda adalah Pengusaha Kena Pajak (PKP). Status ini menentukan apakah Anda wajib menerima Faktur Pajak yang memuat PPN (11%).
  2. Pemotongan PPh Pasal 23: Sebagai pembayar, wajib bagi Anda (jika berstatus Badan atau OP tertentu) untuk memotong PPh Pasal 23 sebesar 2% dari nilai bruto jasa dan menerbitkan bukti potong.
  3. Dokumentasi PPN: Pastikan Faktur Pajak (PPN 11%) dari PKP rekanan Anda diterima dan dikelola dengan baik sebagai masukan yang dapat dikreditkan.

Apa yang Harus Dilakukan Selanjutnya: Audit Transaksi Jasa Anda

Setelah memahami mekanisme PPN dan PPh Pasal 23, langkah tindakan lanjut yang paling penting adalah melakukan audit internal pada transaksi jasa bulanan Anda untuk memastikan kepatuhan penuh PPN dan PPh 23 sebelum pelaporan SPT Masa. Tinjau kembali semua pembayaran jasa yang telah dilakukan dalam periode ini, terutama yang nilainya melebihi Rp 1 Juta, untuk mengonfirmasi:

  • Apakah PPh Pasal 23 sudah dipotong, disetor, dan bukti potongnya sudah diterbitkan?
  • Apakah Faktur Pajak (jika rekanan PKP) sudah diterima dan dilaporkan dengan benar?

Melakukan audit rutin ini akan memitigasi risiko temuan pemeriksaan pajak di masa depan, menegaskan keandalan dan kepatuhan perusahaan Anda di mata otoritas pajak.

Jasa Pembayaran Online
💬