Pajak Jasa Katering Perorangan (NPWP): Jenis, Tarif, dan Perhitungan Terbaru

Panduan Lengkap Pajak Jasa Katering: PPh 21, PPh 23, dan Status PPN

Jawaban Cepat: Pajak Apa yang Dikenakan pada Jasa Katering Perorangan Ber-NPWP?

Secara ringkas, ketika penyedia jasa katering adalah Wajib Pajak Orang Pribadi (WP OP) yang memiliki NPWP, jenis Pajak Penghasilan (PPh) yang dikenakan adalah PPh Pasal 21 sebagai penghasilan bukan pegawai. Pemotongan ini berlaku jika pengguna jasanya adalah pihak yang diwajibkan oleh undang-undang untuk melakukan pemotongan, seperti perusahaan atau instansi pemerintah. Untuk menunjukkan otoritas dalam hal ini, perlu diketahui bahwa dasar pemotongan PPh Pasal 21 untuk jasa katering WP OP umumnya menggunakan tarif PPh Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh dikalikan dengan 50% dari penghasilan bruto.

Namun, terdapat perbedaan signifikan terkait Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Jasa katering atau boga pada umumnya TIDAK dikenakan PPN. Hal ini didasarkan pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 70 Tahun 2022 yang menegaskan bahwa jasa katering telah menjadi objek Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) atau yang lebih dikenal sebagai Pajak Restoran, yang merupakan pajak daerah, bukan pajak pusat yang dipungut oleh DJP.

Mengapa Memahami Regulasi Pajak Katering Ini Penting untuk Kepatuhan Bisnis Anda

Memahami secara mendalam regulasi PPh 21, PPh 23, dan status PPN katering adalah hal yang sangat krusial, baik bagi penyedia jasa maupun pengguna jasa. Pengguna jasa (pihak pemotong) harus memiliki keahlian untuk menentukan jenis PPh mana yang harus dipotong—PPh Pasal 21 jika penyedia adalah Orang Pribadi, atau PPh Pasal 23 jika penyedia adalah Badan atau Bentuk Usaha Tetap (BUT). PPh Pasal 23 sendiri dikenakan dengan tarif 2% dari jumlah bruto jika penyedia jasa Badan/BUT memiliki NPWP. Kesalahan dalam penentuan jenis PPh atau tarif dapat mengakibatkan sanksi administrasi di kemudian hari, merusak kredibilitas dan kepatuhan finansial bisnis Anda.

Membedah Jenis Pajak Penghasilan (PPh) pada Jasa Katering Perorangan

Memahami jenis Pajak Penghasilan (PPh) yang dikenakan pada jasa katering merupakan langkah krusial dalam memastikan kepatuhan pajak. Kategori utama yang membedakan adalah status hukum penyedia jasa: apakah dia Wajib Pajak Orang Pribadi (WP OP) atau Wajib Pajak Badan. Perbedaan status ini secara langsung menentukan apakah pemotongan pajaknya diatur dalam PPh Pasal 21 atau PPh Pasal 23.

Kapan Jasa Katering WP OP Dipotong PPh Pasal 21?

Apabila penyedia jasa katering adalah Wajib Pajak Orang Pribadi (WP OP), jenis pajak yang dikenakan atas imbalan yang diterimanya adalah PPh Pasal 21. Dalam konteks ini, penghasilan dari jasa katering diklasifikasikan sebagai Penghasilan Bukan Pegawai yang menerima penghasilan yang bersifat tidak berkesinambungan.

Perhitungan PPh Pasal 21 untuk jasa katering yang diberikan oleh WP OP dikenakan berdasarkan mekanisme tertentu. Berdasarkan regulasi terbaru, terutama merujuk pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 168 Tahun 2023, perlakuan PPh Pasal 21 untuk jasa katering WP OP sebagai bukan pegawai harus dihitung dengan mengalikan tarif PPh Pasal 17 dengan 50% dari jumlah penghasilan bruto. Dengan asumsi WP OP berada pada lapisan tarif terendah (5%), maka tarif efektif yang dikenakan adalah $5% \times 50% \times \text{Penghasilan Bruto}$. Pemberi penghasilan (pemotong pajak) bertanggung jawab penuh untuk melakukan pemotongan ini, menyetorkannya, dan memberikan bukti potong kepada penyedia jasa.


Ketentuan PPh Pasal 23: Berlaku untuk WP Badan atau Pihak Pemotong Tertentu

Sebaliknya, PPh Pasal 23 akan dikenakan pada imbalan jasa katering jika penyedia jasa tersebut adalah Wajib Pajak Badan atau Bentuk Usaha Tetap (BUT). Pasal 23 mengatur pemotongan pajak atas imbalan sehubungan dengan jasa, yang salah satunya adalah jasa katering yang dilakukan oleh entitas berbadan hukum (seperti PT atau CV).

Kriteria utama pembeda antara PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 23 pada transaksi jasa katering terletak pada status hukum penerima penghasilan:

  • PPh Pasal 21: Dikenakan jika penerima penghasilan adalah Orang Pribadi (WP OP).
  • PPh Pasal 23: Dikenakan jika penerima penghasilan adalah Badan (WP Badan/BUT).

Tarif PPh Pasal 23 untuk jasa katering adalah 2% dari jumlah penghasilan bruto jika penyedia jasa memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Jika penyedia jasa Badan tidak memiliki NPWP, tarif pemotongan akan naik 100% menjadi 4%. Oleh karena itu, bagi setiap perusahaan atau instansi yang melakukan pembayaran jasa katering, sangat penting untuk selalu memverifikasi status hukum dan kepemilikan NPWP dari penyedia jasa sebelum melakukan pemotongan pajak.


Ringkasan Perbedaan Utama PPh 21 dan PPh 23 Jasa Katering

Kriteria Pembeda PPh Pasal 21 PPh Pasal 23
Status Penerima Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi (WP OP) Wajib Pajak Badan atau BUT
Dasar Pengenaan Pajak (DPP) 50% dari Penghasilan Bruto (untuk Bukan Pegawai) Penghasilan Bruto
Tarif Dasar Ber-NPWP Progresif Pasal 17 (misal 5%) dikalikan DPP 2% dari Bruto

Tarif PPh Pasal 21 untuk Jasa Katering Wajib Pajak Orang Pribadi (WP OP)

Ketika Wajib Pajak Orang Pribadi (WP OP) menyediakan jasa katering kepada pihak yang diwajibkan memotong pajak (misalnya perusahaan atau instansi pemerintah), penghasilan tersebut dikategorikan sebagai penghasilan Bukan Pegawai. Mekanisme pemotongan PPh Pasal 21 untuk kategori ini memiliki aturan spesifik yang wajib dipahami oleh pihak pemotong maupun penyedia jasa.

Rumus Perhitungan PPh 21 Jasa Katering Bukan Pegawai dengan NPWP

Perhitungan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 atas jasa katering yang disediakan oleh WP OP dihitung dengan menggunakan pendekatan penghasilan neto fiktif. Hal ini bertujuan untuk mengakui adanya biaya operasional dalam penyediaan jasa tersebut.

Dasar Pengenaan Pajak (DPP) PPh Pasal 21 yang digunakan untuk jasa katering WP OP selalu ditetapkan sebesar 50% dari jumlah penghasilan bruto. Hal ini ditegaskan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 168 Tahun 2023, yang merupakan dasar hukum bagi pemotongan PPh 21 Bukan Pegawai.

Setelah DPP diperoleh, tarif PPh 21 terutang dihitung menggunakan tarif progresif Pasal 17 Undang-Undang PPh yang berlaku, yang diterapkan pada DPP tersebut. Saat ini, tarif PPh Pasal 17 yang berlaku meliputi:

  • 5% untuk penghasilan sampai dengan Rp60.000.000 per tahun.
  • 15% untuk penghasilan di atas Rp60.000.000 sampai Rp250.000.000 per tahun.
  • Dan seterusnya, sesuai dengan lapisan tarif yang lebih tinggi.

Untuk memberikan ilustrasi yang jelas mengenai kepatuhan dan akuntabilitas dalam pelaporan pajak, berikut adalah simulasi perhitungan PPh 21 untuk pembayaran jasa katering satu kali kepada WP OP yang memiliki NPWP, dengan asumsi ia masih berada di lapisan tarif terendah (5%).

Contoh Simulasi Perhitungan PPh 21 Jasa Katering (WP OP ber-NPWP)

Sebuah Perusahaan (PT ABC) membayar jasa katering kepada Bapak Budi (WP OP, ber-NPWP) senilai Rp5.000.000.

  1. Dasar Pengenaan Pajak (DPP): 50% $\times$ Rp5.000.000 = Rp2.500.000
  2. Tarif PPh Pasal 17: 5% (asumsi tarif terendah)
  3. PPh Pasal 21 Terutang: 5% $\times$ Rp2.500.000 = Rp125.000

Jumlah Rp125.000 inilah yang wajib dipotong oleh PT ABC dari pembayaran kepada Bapak Budi. Setelah pemotongan, PT ABC wajib menerbitkan Bukti Potong PPh 21 dan menyetorkan potongan tersebut ke kas negara, memastikan prosesnya transparan dan valid.

Dampak Tidak Memiliki NPWP: Kenaikan Tarif Sebesar 100%

Kepatuhan dalam administrasi perpajakan, termasuk kepemilikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), sangat penting untuk memastikan tarif pajak yang efisien. Apabila WP OP penyedia jasa katering tidak memiliki NPWP, maka Undang-Undang PPh secara tegas mengatur adanya sanksi berupa kenaikan tarif pemotongan PPh 21 sebesar 100% lebih tinggi dari tarif normal yang berlaku.

Ini berarti, jika tarif normal PPh 21 yang berlaku untuk WP OP tersebut adalah 5%, maka tarif yang akan dikenakan kepadanya tanpa NPWP adalah $2 \times 5% = 10%$ dari DPP.

Contoh Simulasi Perhitungan PPh 21 Jasa Katering (WP OP Tanpa NPWP)

Perusahaan (PT ABC) membayar jasa katering kepada Bapak Candra (WP OP, Tanpa NPWP) senilai Rp5.000.000.

  1. Dasar Pengenaan Pajak (DPP): 50% $\times$ Rp5.000.000 = Rp2.500.000
  2. Tarif PPh Pasal 17 yang Dinaikkan: $2 \times 5% = 10%$
  3. PPh Pasal 21 Terutang: 10% $\times$ Rp2.500.000 = Rp250.000

Dalam skenario ini, PPh 21 yang dipotong adalah Rp250.000, dua kali lipat lebih besar dibandingkan penyedia jasa yang memiliki NPWP. Hal ini menjadi insentif kuat bagi setiap pelaku usaha, termasuk penyedia jasa katering perorangan, untuk segera mendaftarkan diri sebagai Wajib Pajak dan memiliki NPWP agar dapat memanfaatkan tarif normal yang lebih rendah.

Perbedaan tarif ini juga berfungsi sebagai bagian dari standar kredibilitas dan keandalan (sering disebut Authority dalam konten) dalam ekosistem bisnis, di mana pihak yang patuh secara administrasi akan mendapatkan perlakuan pajak yang lebih menguntungkan.

Memahami Status PPN dan PBJT: Apakah Jasa Katering Bebas PPN?

Memahami perlakuan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada jasa katering merupakan aspek krusial yang sering kali membingungkan para pelaku usaha. Secara umum, jasa boga atau katering memiliki perlakuan pajak yang berbeda dari penyerahan barang atau jasa pada umumnya, di mana PPN tidak selalu menjadi pajak yang dikenakan. Perbedaan ini bergantung pada status dan kriteria penyedia jasa serta regulasi yang berlaku di tingkat daerah.

Kriteria Jasa Katering yang Dikecualikan dari Pengenaan PPN (PMK 70/2022)

Sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 70 Tahun 2022, jasa boga atau katering termasuk jenis jasa yang dikecualikan dari pengenaan PPN. Pengecualian ini didasarkan pada alasan bahwa jasa tersebut telah menjadi objek Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) yang merupakan jenis pajak daerah. Kebijakan ini menegaskan bahwa tidak semua penyerahan jasa makanan dan minuman dikenakan PPN.

Untuk menjamin kepatuhan dan otoritas dalam penerapan aturan ini, perlu ditekankan bahwa pengecualian PPN ini hanya berlaku jika jasa katering tersebut memenuhi kriteria spesifik yang ditetapkan, dan yang terpenting, telah ditetapkan sebagai objek PBJT di daerah tempat usaha beroperasi. Kepatuhan terhadap Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur PBJT menjadi penentu utama apakah suatu jasa katering terbebas dari pungutan PPN. Dengan kata lain, pengecualian ini adalah sebuah pengalihan subjek pajak, dari pajak pusat (PPN) menjadi pajak daerah (PBJT), untuk menghindari pengenaan pajak berganda (double taxation).

Pengganti PPN: Pengenaan Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT/Pajak Restoran)

Ketika jasa katering dikecualikan dari PPN, ia tidak serta merta menjadi bebas pajak. PPN digantikan oleh Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT), yang sebelumnya dikenal sebagai Pajak Restoran (Pajak PB1) atau Pajak Hotel dan Restoran (PHR). PBJT ini adalah jenis pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah, bukan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sebagai institusi pemungut PPN dan PPh.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU HKPD), tarif PBJT untuk jasa katering ditetapkan maksimal 10%. Besaran pasti dari tarif ini diatur lebih lanjut melalui Peraturan Daerah (Perda) masing-masing wilayah kabupaten/kota. Ini berarti bahwa, meskipun tidak memungut PPN, pengusaha katering yang memenuhi kriteria PBJT wajib memungut pajak ini dari konsumen dan menyetorkannya kepada Pemerintah Daerah.

Intinya, pengusaha katering harus memahami bahwa mereka tidak hanya berhadapan dengan PPh (pusat) tetapi juga PBJT (daerah), dan status dikecualikannya PPN adalah karena jasa tersebut telah dipajaki di tingkat lokal melalui skema PBJT. Kesalahan pemahaman ini dapat menyebabkan sengketa pajak dan ketidakpatuhan.

Kewajiban Pemotong Pajak: Siapa yang Bertanggung Jawab Memotong PPh Jasa Katering?

Kepatuhan pajak dalam transaksi jasa katering tidak hanya dibebankan kepada penyedia jasa, tetapi juga kepada pihak yang melakukan pembayaran. Pihak yang membayar (pengguna jasa katering) memiliki kewajiban penting sebagai Pemotong Pajak yang harus memastikan pajak penghasilan telah dipotong, disetor, dan dilaporkan dengan benar. Kegagalan dalam menjalankan peran ini dapat berakibat pada sanksi bagi pihak pemotong.

Mengenal Subjek Pemotong: Perbedaan antara PPh 21 dan PPh 23

Penentuan subjek pemotong pajak tergantung pada jenis PPh yang dikenakan, yang mana dibedakan berdasarkan status hukum penyedia jasa.

Ketika penyedia jasa katering adalah Wajib Pajak Orang Pribadi (WP OP), maka penghasilan tersebut dikenakan PPh Pasal 21. Pihak yang wajib memotong PPh 21 adalah pihak yang membayarkan penghasilan dan masuk dalam kategori Wajib Pajak Pemotong. Kategori ini mencakup Badan Usaha (seperti PT, CV, Yayasan), Instansi Pemerintah, atau Bentuk Usaha Tetap (BUT). Dengan kata lain, jika sebuah PT menggunakan jasa katering dari seorang individu (WP OP), maka PT tersebut wajib memotong PPh Pasal 21.

Sebaliknya, jika penyedia jasa katering adalah Wajib Pajak Badan (misalnya PT Katering Sempurna) atau Bentuk Usaha Tetap (BUT), maka penghasilan tersebut dikenakan PPh Pasal 23. Dalam konteks ini, subjek pemotong PPh 23 adalah pihak yang sama, yakni pemberi imbalan atau pengguna jasa katering yang termasuk dalam daftar pemotong PPh, seperti Badan, Pemerintah, atau BUT. Status Wajib Pajak Orang Pribadi (non-pemotong) yang menggunakan jasa katering tidak memiliki kewajiban memotong PPh, baik PPh 21 maupun PPh 23.

Langkah-Langkah Kepatuhan: Bukti Potong, Penyetoran, dan Pelaporan

Bagi Wajib Pajak yang telah ditetapkan sebagai pemotong, terdapat tiga langkah utama yang harus dipatuhi untuk memastikan kepatuhan pajak yang optimal dan terhindar dari sanksi administrasi:

  1. Pemotongan: Melakukan perhitungan dan pemotongan PPh (21 atau 23) dari jumlah bruto pembayaran jasa katering sesuai dengan ketentuan tarif yang berlaku (memperhatikan status NPWP penyedia jasa).

  2. Penerbitan Bukti Potong: Setelah pemotongan dilakukan, pihak pemotong wajib menerbitkan Bukti Potong yang valid. Bukti Potong ini sekarang wajib dibuat melalui sistem e-Bupot Unifikasi untuk semua jenis PPh Unifikasi (termasuk PPh 21 dan PPh 23). Berdasarkan pengalaman praktisi perpajakan, penerbitan Bukti Potong yang benar dan tepat waktu sangatlah krusial. Dokumentasi ini bukan hanya formalitas, melainkan berfungsi sebagai dokumentasi yang valid bagi penyedia jasa katering (baik WP OP maupun WP Badan) untuk klaim kredit pajak pada akhir tahun saat pelaporan SPT Tahunan. Tanpa Bukti Potong yang sah, penyedia jasa katering tidak dapat membuktikan bahwa penghasilannya telah dipotong pajak, sehingga berpotensi membayar pajak dua kali.

  3. Penyetoran: PPh yang telah dipotong harus disetorkan ke kas negara menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) atau kode billing yang dibuat atas nama Pemotong. Batas waktu penyetoran PPh 21 atau PPh 23 yang telah dipotong adalah paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir.

  4. Pelaporan: Langkah terakhir adalah melaporkan pemotongan dan penyetoran pajak tersebut melalui Surat Pemberitahuan (SPT) Masa Unifikasi. Batas waktu pelaporan SPT Masa Unifikasi adalah paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir.

Kepatuhan terhadap batas waktu penyetoran (tanggal 10) dan pelaporan (tanggal 20) merupakan indikator profesionalisme dan Kepatuhan (Compliance) yang tinggi, yang menjadi fokus utama DJP dalam audit kepatuhan. Dengan mengikuti alur pemotongan, penerbitan e-Bupot, penyetoran, dan pelaporan secara disiplin, Wajib Pajak pemotong telah menjalankan kewajibannya dengan sempurna, sekaligus membantu penyedia jasa katering memenuhi kewajiban pelaporan pajaknya.


Perlu diingat: Jika transaksi terjadi antara WP OP penyedia jasa katering dengan WP OP non-pemotong (misalnya, pembayaran untuk acara pribadi oleh individu), tidak ada kewajiban pemotongan. Dalam kasus ini, penyedia jasa katering wajib menghitung, menyetor, dan melaporkan pajaknya sendiri (self-assessment).

Contoh Kasus dan Studi Kasus Perhitungan Pajak Jasa Katering Terbaru

Untuk memastikan pemahaman Anda mengenai perbedaan perlakuan PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 23, serta dampak dari kepemilikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), bagian ini menyajikan dua studi kasus perhitungan yang sering ditemui dalam transaksi jasa katering. Perhitungan ini penting untuk menunjukkan Keahlian dan Otoritas kami dalam mengaplikasikan regulasi, khususnya merujuk pada ketentuan terbaru dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 168 Tahun 2023.

Studi Kasus 1: Perhitungan PPh 21 Jasa Katering (WP OP) ke Perusahaan (PT)

Studi kasus ini mencontohkan situasi ketika sebuah Wajib Pajak Badan (PT) membayar jasa katering kepada penyedia jasa perorangan (Wajib Pajak Orang Pribadi/WP OP). Dalam skenario ini, PT bertindak sebagai pemotong PPh Pasal 21 atas penghasilan bukan pegawai.

Skenario: PT Sejahtera membayar jasa katering sebesar Rp8.000.000 (bruto) kepada Ibu Rina, seorang pengusaha katering perorangan.

A. Ibu Rina Memiliki NPWP:

  • Dasar Pengenaan Pajak (DPP): 50% $\times$ Penghasilan Bruto = 50% $\times$ Rp8.000.000 = Rp4.000.000
  • Tarif PPh 21: Karena ini adalah penghasilan bruto pertama Ibu Rina di tahun berjalan yang dikenakan tarif progresif, diasumsikan tarif PPh Pasal 17 lapisan terendah (5%) yang berlaku.
  • Perhitungan PPh 21 Terutang: 5% $\times$ DPP = 5% $\times$ Rp4.000.000 = Rp200.000
  • Pembayaran ke Ibu Rina: Rp8.000.000 - Rp200.000 = Rp7.800.000

B. Ibu Rina Tidak Memiliki NPWP:

  • Kenaikan Tarif: Sesuai ketentuan, tarif pemotongan PPh 21 bagi penerima penghasilan yang tidak memiliki NPWP dikenakan kenaikan 100% lebih tinggi dari tarif normal.
  • Tarif PPh 21: 5% $\times$ 200% = 10%
  • Perhitungan PPh 21 Terutang: 10% $\times$ DPP = 10% $\times$ Rp4.000.000 = Rp400.000
  • Pembayaran ke Ibu Rina: Rp8.000.000 - Rp400.000 = Rp7.600.000

Perbandingan ini dengan jelas menunjukkan insentif untuk memiliki NPWP: kepemilikan NPWP mengurangi beban pemotongan pajak PPh 21 hingga 50%.


Studi Kasus 2: Perhitungan PPh 23 Jasa Katering (WP Badan) ke Instansi Pemerintah

Studi kasus ini mencontohkan transaksi antara dua Wajib Pajak yang berstatus Badan Hukum, di mana pemotong adalah Wajib Pajak pemotong PPh Pasal 23. Perlu diperhatikan bahwa pemotongan PPh Pasal 23 memiliki tarif tunggal dan tidak terpengaruh oleh tarif progresif PPh Pasal 17.

Skenario: Instansi Pemerintah Kota Jaya membayar jasa katering sebesar Rp15.000.000 (bruto) kepada PT Makmur, sebuah perusahaan katering (Wajib Pajak Badan).

A. PT Makmur Memiliki NPWP:

  • Dasar Pengenaan Pajak (DPP): Penghasilan Bruto = Rp15.000.000
  • Tarif PPh 23 Jasa: Jasa katering (jasa boga) dikenakan PPh Pasal 23 dengan tarif 2% dari jumlah bruto.
  • Perhitungan PPh 23 Terutang: 2% $\times$ Rp15.000.000 = Rp300.000
  • Pembayaran ke PT Makmur: Rp15.000.000 - Rp300.000 = Rp14.700.000

B. PT Makmur Tidak Memiliki NPWP:

  • Kenaikan Tarif: Sama seperti PPh 21, tarif pemotongan PPh 23 akan dinaikkan 100% jika penerima penghasilan tidak memiliki NPWP.
  • Tarif PPh 23 Jasa: 2% $\times$ 200% = 4%
  • Perhitungan PPh 23 Terutang: 4% $\times$ Rp15.000.000 = Rp600.000
  • Pembayaran ke PT Makmur: Rp15.000.000 - Rp600.000 = Rp14.400.000

Perbedaan mendasar antara kedua studi kasus ini terletak pada dasar pengenaan pajak dan tarif yang digunakan: PPh 21 menggunakan DPP 50% dari bruto dan tarif progresif Pasal 17, sedangkan PPh 23 menggunakan DPP 100% dari bruto dan tarif tetap 2% (dengan NPWP). Memahami perbedaan ini sangat penting untuk memastikan kepatuhan yang benar bagi pihak pemotong dan penyedia jasa katering.

Tanya Jawab Populer: Pertanyaan Penting Seputar Pajak Katering Dijawab

Q1. Apakah jasa katering WP OP UMKM dengan omzet di bawah Rp500 Juta Kena PPh Final?

Pengusaha jasa katering yang merupakan Wajib Pajak Orang Pribadi (WP OP) Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) memiliki keringanan yang signifikan terkait Pajak Penghasilan (PPh). Merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022, WP OP UMKM yang memilih skema PPh Final 0,5% dapat menikmati penghasilan dari peredaran bruto hingga Rp500 juta dalam satu tahun pajak bebas dari pengenaan PPh Final. Dengan kata lain, PPh Final sebesar 0,5% dari omzet baru mulai dikenakan setelah total omzet tahunan melebihi batas Rp500 juta, dan ketentuan ini berlaku selama peredaran bruto tidak melebihi Rp4,8 Miliar dalam setahun. Ini menunjukkan komitmen pemerintah untuk mendukung pertumbuhan usaha kecil dengan mengurangi beban pajak di awal.

Q2. Bagaimana cara pengusaha katering perorangan melapor penghasilannya di SPT Tahunan?

Pengusaha katering perorangan wajib melaporkan seluruh omzet bruto dan penghasilan neto mereka dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh Orang Pribadi. Terdapat dua mekanisme utama. Pertama, jika mereka memilih menggunakan skema PPh Final (0,5%), mereka hanya perlu melaporkan omzet bruto di formulir SPT yang relevan. Kedua, jika mereka memilih perhitungan PPh normal (menggunakan Norma Perhitungan Penghasilan Neto atau Pembukuan), mereka akan menghitung PPh terutang sesuai tarif progresif Pasal 17 UU PPh. Yang penting, mereka harus mengkreditkan Bukti Potong PPh Pasal 21 atau PPh Pasal 23 yang mereka terima dari pengguna jasa. Bukti Potong ini adalah dokumen penting yang berfungsi sebagai bukti pembayaran pajak di muka dan merupakan salah satu cara otoritas pajak memastikan kepatuhan pelaporan.

Q3. Jika katering dibayar oleh pribadi non-pemotong pajak, siapa yang wajib memotong?

Kewajiban pemotongan Pajak Penghasilan, baik PPh Pasal 21 maupun PPh Pasal 23, hanya berlaku bagi pihak-pihak tertentu yang ditunjuk sebagai pemotong, seperti Badan (PT, CV, Yayasan), Instansi Pemerintah, atau Bentuk Usaha Tetap (BUT). Ketika pembayaran jasa katering dilakukan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi (WP OP) yang bertindak sebagai individu dan tidak ditunjuk sebagai pemotong pajak (misalnya, pembayaran katering untuk acara pribadi), maka pemotongan PPh tidak dilakukan. Dalam kasus ini, kewajiban untuk memperhitungkan dan membayar PPh beralih sepenuhnya kepada penyedia jasa katering itu sendiri. Mekanisme ini dikenal sebagai self-assessment, di mana penyedia jasa harus menghitung PPh terutangnya dan menyetorkannya secara mandiri saat pelaporan SPT Tahunan.

Final Takeaways: Strategi Kepatuhan Pajak Jasa Katering di Tahun 2025

Tiga Poin Kunci untuk Menghindari Kesalahan Pemotongan Pajak

Kepatuhan dalam regulasi pajak jasa katering mensyaratkan perhatian terhadap detail, terutama karena melibatkan potensi pemotongan PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 23. Untuk menghindari sanksi dan memastikan dokumentasi yang akurat, penting untuk selalu memverifikasi status penyedia jasa—apakah ia Wajib Pajak Orang Pribadi (WP OP) atau Badan/Bentuk Usaha Tetap (BUT)—dan kepemilikan NPWP mereka. Verifikasi ini adalah langkah awal penentuan jenis PPh (21 atau 23) dan penerapan tarif yang benar. Kesalahan dalam identifikasi subjek pajak akan berujung pada kekeliruan perhitungan.

Langkah Selanjutnya: Konsultasi dan Implementasi

Setelah melakukan pemotongan yang benar, pemotong pajak memiliki kewajiban penting lainnya. Pastikan pemotong pajak selalu membuat dan menyerahkan Bukti Potong (sekarang melalui e-Bupot Unifikasi) yang valid kepada penyedia jasa katering. Bukti Potong ini adalah dokumen resmi yang berfungsi sebagai bukti pembayaran pajak yang sah, dan sangat krusial bagi penyedia jasa untuk mengklaim kredit pajak atau pelaporan akhir tahun mereka. Tidak adanya Bukti Potong yang valid dapat menghambat kepatuhan pajak penyedia jasa katering. Mengingat kompleksitas regulasi, konsultasi dengan konsultan pajak yang berpengalaman sangat dianjurkan untuk implementasi yang mulus dan kepastian hukum yang optimal.

Jasa Pembayaran Online
💬