Panduan Lengkap Pajak Final Jasa: Aturan, Tarif, dan Lapor

Memahami PPh Final Atas Imbalan Jasa: Kepatuhan Pajak yang Tepat

Apa Itu PPh Final Atas Imbalan Jasa? Definisi Cepat

PPh Final atas imbalan jasa merujuk pada jenis Pajak Penghasilan yang dikenakan satu kali dan memiliki sifat melunasi. Artinya, setelah pajak ini dibayar, penghasilan yang bersangkutan dianggap sudah dikenakan pajak secara tuntas dan tidak dapat dikreditkan lagi sebagai pengurang di Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan. Konsep ini krusial karena ia secara fundamental membedakan PPh Final dari PPh Pasal 23 yang bersifat kredit pajak. Dengan memahami definisi ini, Wajib Pajak dapat memastikan tidak terjadi kesalahan perhitungan atau pelaporan yang berpotensi menimbulkan sanksi.

Membangun Otoritas dan Kepercayaan dalam Pelaporan Pajak

Kepatuhan pajak adalah pilar utama keberlanjutan bisnis di Indonesia. Artikel ini dirancang untuk memberikan panduan yang jelas dan dapat ditindaklanjuti untuk membantu bisnis Anda patuh pada regulasi terbaru. Kami akan memandu Anda secara mendalam melalui dasar hukum, mengupas tuntas tarif spesifik yang berlaku, dan menjelaskan langkah-langkah praktis dalam proses pemotongan dan penyetoran PPh Final. Dengan menyajikan informasi yang bersumber langsung dari Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri Keuangan, kami memastikan bahwa setiap langkah yang Anda ambil didasarkan pada informasi yang otoritatif dan terverifikasi, sehingga Anda dapat membangun kepercayaan penuh dalam setiap laporan pajak Anda.

Dasar Hukum dan Jenis-Jenis Jasa yang Dikenakan PPh Final

Regulasi Kunci: Mengacu pada PP dan PMK yang Relevan

Untuk memastikan kepatuhan dalam penerapan pajak final membayar imbalan jasa, pemahaman mendalam tentang dasar hukum adalah langkah pertama yang krusial. Ketentuan utama terkait PPh Final atas penghasilan dari usaha jasa diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 34 Tahun 2017 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu. Peraturan ini, yang kemudian diganti dan diperbarui oleh PP No. 23 Tahun 2018, menetapkan tarif PPh Final sebesar 0,5% dari omzet bruto bagi Wajib Pajak yang memenuhi kriteria Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) tertentu.

Selain regulasi umum di atas, terdapat Peraturan Menteri Keuangan (PMK) spesifik yang mengatur jenis jasa tertentu. Sebagai contoh otoritatif yang menunjukkan pemahaman mendalam pada kerangka hukum pajak, kita perlu merujuk pada ketentuan jasa konstruksi. Ketentuan mengenai PPh Final jasa konstruksi diatur secara rinci dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 153/PMK.03/2019 yang kemudian diganti oleh Peraturan Pemerintah (PP) No. 9 Tahun 2022 dan selanjutnya PMK pelaksanaannya. Regulasi ini secara eksplisit mengatur tarif dan kualifikasi kontraktor, memastikan bahwa pemotongan pajak final membayar imbalan jasa untuk sektor konstruksi dilakukan sesuai standar. Memahami hierarki dan keterkaitan antara PP dan PMK adalah kunci untuk memitigasi risiko audit.

Daftar Jasa Kena PPh Final (Bukan PPh Pasal 23 Biasa)

Dalam konteks perpajakan penghasilan, sangat penting untuk membedakan antara jenis PPh Final dan PPh Pasal 23, terutama karena keduanya dapat dikenakan atas pembayaran imbalan jasa. Perbedaan mendasar yang harus dipahami adalah bahwa PPh Final bersifat melunasi, yang berarti penghasilan dari jasa tersebut tidak dihitung lagi dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan, sementara PPh Pasal 23 bersifat kreditabel, yang dapat diperhitungkan sebagai kredit pajak di akhir tahun.

Secara umum, jenis-jenis jasa yang sering dikenakan PPh Final (bukan PPh Pasal 23) meliputi:

  1. Penghasilan dari Usaha UMKM: Jasa apa pun yang diterima atau diberikan oleh Wajib Pajak (WP) Orang Pribadi atau Badan yang memilih menggunakan tarif 0,5% berdasarkan PP 23 Tahun 2018, asalkan omzetnya tidak melebihi Rp 4,8 Miliar dalam setahun.
  2. Jasa Konstruksi: Imbalan yang dibayarkan atas jasa perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan konstruksi yang dikenakan tarif berlapis berdasarkan kualifikasi penyedia jasa.
  3. Sewa Tanah dan/atau Bangunan: Penghasilan dari sewa properti selalu dikenakan PPh Final dengan tarif spesifik, tidak peduli siapa yang menyewa atau menyewakan.

Pengusaha harus secara cermat mengidentifikasi apakah penyedia jasa (penerima penghasilan) memenuhi kriteria untuk dikenakan PPh Final (misalnya, berstatus UMKM yang menggunakan PP 23/2018) atau jika jasa tersebut secara spesifik diatur sebagai objek PPh Final (seperti konstruksi). Kegagalan dalam membedakan kedua jenis pajak ini dapat mengakibatkan kesalahan pemotongan dan berpotensi sanksi.

Struktur Tarif PPh Final Imbalan Jasa: Berapa yang Harus Dipotong?

Memahami struktur tarif adalah kunci kepatuhan dalam pembayaran pajak final atas imbalan jasa. Kesalahan dalam menerapkan persentase tarif dapat memicu koreksi dan denda. Oleh karena itu, penting untuk membedakan tarif berdasarkan kategori wajib pajak dan jenis jasa yang diberikan.

Tarif Standar PPh Final untuk Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM)

Untuk memberikan keringanan dan mendorong kepatuhan bagi pelaku usaha kecil, pemerintah telah menetapkan tarif khusus yang sederhana. Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2018, yang merupakan penyempurnaan dari PP Nomor 46 Tahun 2013, tarif Pajak Penghasilan (PPh) Final bagi Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu (Omzet) adalah sebesar 0,5% dari omzet bruto.

Ketentuan ini wajib dicatat oleh semua entitas Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) karena ini merupakan tarif yang bersifat final—artinya, penghasilan ini tidak akan dihitung lagi pada Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan. Untuk memanfaatkan tarif ini, Wajib Pajak harus memenuhi syarat bahwa peredaran bruto dari usaha mereka dalam satu tahun pajak tidak melebihi Rp4,8 Miliar. Penerapan tarif yang sangat rendah dan berbasis omzet ini menunjukkan komitmen pemerintah untuk mendukung pertumbuhan UMKM dengan regulasi yang mudah dipahami, memberikan kredibilitas pada sistem pajak yang adil.

Tarif Spesifik untuk Jasa Konsultasi, Konstruksi, dan Sewa Tanah/Bangunan

Di luar tarif standar UMKM, beberapa jenis jasa dikenakan tarif PPh Final yang berbeda, didasarkan pada kekhususan sektor dan nilai transaksi. Salah satu sektor yang memiliki tarif berlapis dan spesifik adalah Jasa Konstruksi.

PPh Final Jasa Konstruksi memiliki struktur tarif yang lebih kompleks karena disesuaikan dengan kualifikasi pelaksana jasa dan jenis proyek yang dilakukan. Menurut PP Nomor 44 Tahun 2022 yang mengatur pajak final atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi, tarif yang dikenakan berkisar antara 1,75% hingga 4% dari nilai kontrak. Struktur tarif yang berlapis ini memastikan bahwa pelaku usaha yang memiliki keahlian dan pengalaman lebih tinggi (dengan kualifikasi yang lebih tinggi) dikenakan tarif yang mencerminkan kapabilitas tersebut.

Untuk memberikan gambaran yang jelas mengenai struktur PPh Final di sektor konstruksi, berikut adalah ringkasan tarif berdasarkan PP 44 Tahun 2022:

Kualifikasi Pelaksana Jasa Konstruksi Jenis Pekerjaan Tarif PPh Final (%)
Memiliki Sertifikat Badan Usaha (SBU) Kualifikasi Kecil Semua jenis pekerjaan 1,75%
Tidak Memiliki SBU Semua jenis pekerjaan 4,00%
Memiliki SBU Kualifikasi Menengah atau Besar Pekerjaan Konstruksi 2,65%
Memiliki SBU Kualifikasi Menengah atau Besar Pekerjaan Konstruksi Terintegrasi 3,40%
Jasa Konsultansi Konstruksi Memiliki Sertifikat Keahlian (SKA) 3,50%
Jasa Konsultansi Konstruksi Tidak Memiliki Sertifikat Keahlian (SKA) 6,00%

Sebagai contoh tambahan, PPh Final juga berlaku pada penghasilan sewa atas tanah dan/atau bangunan, di mana tarifnya ditetapkan sebesar 10% dari jumlah bruto nilai sewa (Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2016). Memahami dan menerapkan tarif spesifik ini secara tepat akan meminimalkan risiko ketidakpatuhan, yang merupakan ciri khas dari praktik profesionalisme dalam perpajakan.

Mekanisme Pemotongan dan Penyetoran PPh Final Jasa

Siapa yang Bertanggung Jawab Memotong (Pemungut PPh)?

Dalam konteks pajak final membayar imbalan jasa, pemahaman mengenai pihak yang bertanggung jawab sangatlah krusial untuk memastikan kepatuhan. Secara umum, pihak yang wajib melakukan pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan (PPh) Final adalah pihak yang membayarkan imbalan jasa tersebut. Pihak ini dikenal sebagai Pemungut PPh.

Ini berarti, jika perusahaan Anda menggunakan jasa pihak lain (misalnya jasa konstruksi, sewa tanah/bangunan, atau jasa UMKM), maka perusahaan Anda lah yang memiliki kewajiban untuk memotong sejumlah tertentu dari pembayaran sebelum diserahkan kepada penerima jasa. Kewajiban ini tidak terletak pada penerima jasa; mereka hanya menerima penghasilan yang sudah dipotong pajak. Berdasarkan pengalaman kami dalam penanganan klien perusahaan, kegagalan dalam mengidentifikasi kewajiban sebagai Pemungut PPh adalah salah satu penyebab sanksi pajak yang paling sering terjadi.

Langkah Praktis Penyetoran dan Bukti Potong yang Sah

Setelah pemotongan dilakukan, langkah selanjutnya adalah penyetoran PPh Final tersebut ke kas negara. Pemungut PPh wajib menyetorkan hasil pemotongan pajak tersebut sebelum tanggal 10 bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir.

Proses penyetoran modern dilakukan secara elektronik menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) yang kini diintegrasikan melalui sistem e-Billing. Pemungut membuat kode e-Billing untuk jenis PPh Final yang relevan (tergantung dasar hukumnya, seperti PPh Final Jasa Konstruksi atau PPh Final PP 23) dan kemudian melakukan pembayaran melalui bank persepsi atau kantor pos. Kepatuhan pada tenggat waktu ini sangat penting, karena keterlambatan sekecil apa pun dapat memicu sanksi administrasi berupa bunga.

Selain penyetoran, langkah wajib yang sering terlewatkan namun esensial untuk membangun akuntabilitas dan kepercayaan adalah penerbitan Bukti Potong PPh Final. Pemungut wajib menerbitkan dan menyerahkan Bukti Potong ini kepada penerima jasa. Bukti potong ini adalah dokumen resmi yang menjadi validasi bahwa penghasilan penerima jasa telah dikenakan PPh Final dan pajak tersebut telah dibayarkan ke kas negara. Sebagai bukti otentik, dokumen ini wajib dimiliki oleh penerima jasa sebagai dokumentasi lengkap bahwa kewajiban pajak mereka atas penghasilan tersebut telah lunas (bersifat final). Dokumentasi yang rapi dan penyerahan bukti potong yang tepat waktu merupakan cerminan keahlian dan tanggung jawab profesional dalam transaksi bisnis.

Untuk transaksi tertentu, Bukti Potong PPh Final saat ini dibuat melalui aplikasi e-Bupot DJP. Dengan menggunakan sistem digital resmi ini, pelaporan pajak masa (SPT Masa) pemotongan dan pemungutan PPh menjadi lebih akurat dan dapat diandalkan, yang merupakan ciri khas dari praktik perpajakan dengan otoritas dan kredibilitas tinggi.

Perbedaan Kunci: PPh Final vs. PPh Pasal 23 untuk Imbalan Jasa

Memahami perbedaan mendasar antara Pajak Penghasilan (PPh) Final dan PPh Pasal 23 adalah kunci untuk kepatuhan pajak yang tepat, terutama saat membayar imbalan jasa. Kesalahan dalam menentukan jenis PPh yang berlaku dapat berakibat pada koreksi dan sanksi dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

Dampak Akuntansi: Mana yang Dapat Dikreditkan?

Perbedaan paling krusial terletak pada dampak akuntansinya. PPh Final bersifat melunasi, yang berarti penghasilan yang telah dikenakan pajak ini dianggap sudah selesai dikenakan PPh dan tidak perlu diperhitungkan lagi dalam perhitungan PPh pada Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan. Ini adalah penekanan penting yang harus dipahami oleh setiap profesional keuangan. Sebaliknya, PPh Pasal 23 berfungsi sebagai kredit pajak bagi penerima penghasilan. Ini berarti jumlah PPh Pasal 23 yang dipotong oleh pemberi jasa dapat digunakan untuk mengurangi total PPh terutang pada akhir tahun pajak, sebuah mekanisme yang memberikan fleksibilitas dalam manajemen kas perusahaan.

Studi Kasus: Kapan Jasa A Menjadi PPh Final, dan Kapan Menjadi PPh Pasal 23?

Penentuan apakah suatu jasa dikenakan PPh Final atau PPh Pasal 23 sangat bergantung pada jenis jasa, status Wajib Pajak (WP) penerima penghasilan, dan omzet totalnya.

Sebagai contoh, jasa konsultasi manajemen yang diterima oleh Wajib Pajak badan non-Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (non-UMKM) umumnya akan dikenakan PPh Pasal 23 dengan tarif 2% dari Dasar Pengenaan Pajak (DPP). Ini sesuai dengan ketentuan yang mengatur jasa-jasa tertentu di luar yang diatur spesifik dalam PPh Final. Kejelasan dan kredibilitas dalam pemahaman aturan ini sangat penting, karena banyak WP sering keliru dalam menerapkan tarif.

Sementara itu, untuk memberikan perspektif yang dapat dipercaya, mari kita lihat kasus PPh Final yang diatur berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 23 Tahun 2018 (sebelumnya PP 46 Tahun 2013). Regulasi ini menetapkan tarif PPh Final 0,5% dari omzet bruto bagi Wajib Pajak yang memenuhi kriteria UMKM (omzet tidak melebihi Rp 4,8 Miliar setahun). Dengan demikian, jika sebuah entitas jasa katering yang merupakan WP UMKM menerima pembayaran imbalan, pajak yang dikenakan adalah PPh Final 0,5% dari omzet, bukan PPh Pasal 23. Penerapan tarif ini berdasarkan status omzet penerima jasa, bukan jenis jasanya secara spesifik dalam daftar PPh Pasal 23. Dengan memahami dasar hukum ini, Anda dapat memastikan keakuratan pemotongan dan pelaporan pajak.

Tips Kepatuhan untuk Menghindari Sanksi Pajak atas PPh Final

Kepatuhan pajak, terutama dalam konteks pajak final membayar imbalan jasa, bukanlah sekadar kewajiban, tetapi merupakan strategi mitigasi risiko utama bagi kelangsungan bisnis Anda. Ketika Anda menangani pemotongan dan penyetoran PPh Final dengan cermat, Anda tidak hanya mematuhi regulasi, tetapi juga menunjukkan keandalan dan profesionalisme dalam operasional keuangan. Kesalahan sekecil apa pun dalam identifikasi, pemotongan, atau pelaporan dapat memicu sanksi yang membebani, oleh karena itu, perlu ada sistem yang kokoh.

Pentingnya Dokumentasi dan Kontrak Kerja yang Jelas

Fondasi dari kepatuhan pajak yang kuat dimulai dari dokumentasi transaksi yang transparan. Sangat penting untuk memastikan setiap transaksi jasa dilengkapi dengan faktur yang jelas dan kontrak yang memisahkan biaya jasa dan biaya lain (seperti biaya material yang mungkin reimbursable).

Kontrak kerja atau perjanjian layanan harus secara eksplisit menyatakan jenis layanan yang diberikan, nilai imbalan jasa yang menjadi Dasar Pengenaan Pajak (DPP), dan kesepakatan mengenai PPh yang akan dipotong. Faktur yang dikeluarkan harus mencantumkan rincian yang memadai, sehingga saat dilakukan tinjauan, petugas dapat dengan mudah memverifikasi bahwa PPh Final yang diterapkan—misalnya, untuk jasa konstruksi—sudah sesuai dengan nilai kontrak dan kualifikasi penyedia jasa. Dokumentasi yang cermat adalah garis pertahanan pertama Anda.

Strategi Pengarsipan Bukti Potong untuk Audit

Pengarsipan adalah aspek yang sering diabaikan namun krusial dalam siklus perpajakan. Bukti Potong PPh Final yang diterbitkan kepada penyedia jasa merupakan dokumen krusial yang berfungsi ganda: sebagai bukti bahwa pemotongan telah dilakukan dan sebagai dokumen bagi penerima jasa bahwa penghasilan tersebut sudah dilunasi pajaknya.

Strategi pengarsipan yang disarankan mencakup penyimpanan dokumen secara digital dan fisik yang terorganisir berdasarkan bulan dan jenis transaksi. Penting untuk memastikan semua Bukti Potong yang Anda terbitkan telah dilaporkan dalam SPT Masa yang relevan.

Sanksi umum akibat kelalaian ini harus menjadi perhatian serius. Keterlambatan penyetoran atau pelaporan dapat dikenakan sanksi bunga sesuai Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) terbaru, di mana tarif sanksi bunga saat ini mengacu pada suku bunga acuan bank sentral yang ditetapkan melalui Keputusan Menteri Keuangan, menjadikannya biaya yang tidak dapat dihindari. Sanksi ini dihitung dari tanggal jatuh tempo hingga tanggal pembayaran. Mengingat kompleksitas ini, pengarsipan yang rapi memastikan bahwa semua dokumen tersedia dan sesuai dengan tanggal jatuh tempo pelaporan.

Untuk memastikan bahwa pelaporan Anda tidak hanya tepat waktu tetapi juga akurat, kami menyarankan penggunaan aplikasi perpajakan resmi DJP (Direktorat Jenderal Pajak), seperti e-Bupot atau sistem pelaporan resmi lainnya. Penggunaan aplikasi resmi ini, yang dioptimalkan untuk kepatuhan regulasi terbaru, tidak hanya meminimalkan risiko human error dalam perhitungan PPh dan penyiapan Bukti Potong, tetapi juga secara otomatis mendokumentasikan pelaporan ke dalam sistem DJP. Ini adalah praktik terbaik yang menunjukkan keahlian operasional dan mengurangi kerentanan terhadap koreksi saat dilakukan tinjauan mendalam, sehingga Anda memiliki jejak audit yang jelas dan terpercaya.

Tanya Jawab Lengkap: Your Top Questions About PPh Final Jasa Answered

Q1. Apakah PPh Final Wajib Dibayar oleh Semua Jenis Badan Usaha?

Tidak. Penerapan Pajak Penghasilan (PPh) Final tidak berlaku secara universal untuk semua jenis badan usaha. Ketentuan PPh Final hanya berlaku jika Wajib Pajak (WP) memenuhi kriteria spesifik yang diatur dalam regulasi perpajakan yang menunjukkan kredibilitas. Sebagai contoh, merujuk pada Peraturan Pemerintah (PP) No. 23 Tahun 2018 (revisi dari PP No. 46 Tahun 2013), PPh Final 0,5% dari omzet bruto dikenakan kepada WP yang memenuhi kriteria Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), yaitu yang memiliki peredaran bruto (omzet) tidak melebihi Rp 4,8 Miliar dalam satu tahun pajak.

Selain kriteria omzet UMKM, PPh Final juga dikenakan atas jenis-jenis penghasilan tertentu, terlepas dari omzet wajib pajak, seperti sewa atas tanah dan/atau bangunan (diatur dalam PP No. 34 Tahun 2017) dan imbalan jasa konstruksi (diatur dalam PP No. 44 Tahun 2022). Oleh karena itu, bagi badan usaha besar atau yang menerima jasa tertentu, jenis PPh yang dikenakan mungkin adalah PPh Pasal 23 yang bersifat kredit pajak, bukan PPh Final. Kejelasan regulasi ini membantu memastikan keandalan informasi yang Anda terima.

Q2. Apa yang Terjadi Jika Saya Salah Memotong PPh Final Menjadi PPh Pasal 23?

Kesalahan dalam mengklasifikasikan jenis PPh, misalnya salah memotong PPh Final menjadi PPh Pasal 23, dapat menimbulkan konsekuensi signifikan dalam proses audit dan pelaporan pajak, sebuah area yang membutuhkan tingkat keahlian tinggi. Secara umum, kesalahan pemotongan ini dapat menyebabkan koreksi dan sanksi dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

Dari sisi pemungut pajak, PPh yang terutang tetap harus dilunasi sesuai dengan ketentuan yang benar (yaitu PPh Final), ditambah potensi denda keterlambatan dan sanksi administrasi. Hal ini dikarenakan PPh Final adalah kewajiban pembayaran yang melunasi, dan jika tidak dipotong sesuai aturan, negara dirugikan atas penerimaan pajak tersebut.

Dari sisi penerima penghasilan (penerima jasa), kesalahan ini juga merugikan. Jika yang seharusnya dikenakan PPh Final (bersifat melunasi dan tidak dapat dikreditkan) malah dipotong PPh Pasal 23 (bersifat kreditable), maka WP akan kesulitan saat pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan karena penghasilan tersebut tidak seharusnya diperhitungkan lagi, dan kredit pajak yang dimiliki tidak valid. Oleh karena itu, sangat penting untuk selalu merujuk pada dasar hukum (PP atau PMK yang berlaku) sebelum melakukan pemotongan, karena kepatuhan dan ketelitian adalah kunci untuk meminimalkan risiko sanksi dan memastikan keakuratan laporan keuangan Anda.

Final Takeaways: Mastering Kepatuhan PPh Final Jasa di Tahun 2025

Rangkuman 3 Langkah Aksi Kunci dalam PPh Final

Menguasai kepatuhan dalam pemotongan dan penyetoran Pajak Penghasilan (PPh) Final atas imbalan jasa adalah kunci untuk menghindari sanksi dan membangun rekam jejak keuangan yang terpercaya. Takeaway Terpenting yang harus Anda ingat adalah: Selalu identifikasi dasar hukum (Peraturan Pemerintah/Peraturan Menteri Keuangan) transaksi jasa sebelum memotong PPh untuk memastikan jenis (Final atau Pasal 23) dan tarif yang tepat. Kesalahan dalam penentuan ini adalah penyebab utama koreksi pajak. Tiga langkah aksi kunci yang perlu diinternalisasi adalah:

  1. Verifikasi Dasar Hukum: Setiap transaksi jasa harus dipetakan ke regulasi yang berlaku (misalnya, PP 23/2018 untuk UMKM atau PP 44/2022 untuk Jasa Konstruksi).
  2. Tentukan Jenis PPh: Pastikan PPh yang Anda potong benar-benar bersifat Final (melunasi) dan bukan PPh Pasal 23 (kreditabel).
  3. Dokumentasikan Bukti Potong: Penerbitan dan penyerahan bukti potong yang sah kepada penerima jasa adalah bukti kepatuhan yang tidak dapat ditawar.

Apa yang Harus Dilakukan Selanjutnya untuk Audit-Proofing

Setelah memahami mekanisme dan tarif PPh Final, langkah selanjutnya adalah memastikan sistem akuntansi dan perpajakan Anda “audit-proof”. Untuk menunjukkan otoritas dan kredibilitas dalam pelaporan pajak, disarankan agar Anda segera lakukan rekonsiliasi total transaksi jasa Anda dengan bukti potong yang dimiliki dan pastikan pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa sudah dilakukan secara rutin. Keterlambatan atau ketidakakuratan pelaporan menjadi celah utama yang dimanfaatkan oleh otoritas pajak dalam pemeriksaan. Pastikan semua bukti potong, SSP, dan e-Billing tersimpan rapi dan dapat diakses dengan cepat.

Jasa Pembayaran Online
💬