Pajak Biaya Jasa Professional yang Masih Dibayar: Panduan Lengkap

Memahami Pajak Atas Biaya Jasa Profesional yang Masih Dibayar

Definisi Kunci: Apa Itu PPh Pasal 23 Terutang Atas Jasa?

Pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 atas jasa profesional seringkali menjadi titik rawan dalam kepatuhan pajak perusahaan, terutama terkait masalah waktu pemotongan. Berdasarkan regulasi perpajakan yang berlaku, PPh Pasal 23 wajib dipotong saat terutang—bukan secara eksklusif saat pembayaran kas dilakukan. Ini menjadi krusial, khususnya untuk biaya jasa profesional seperti jasa konsultan, akuntan, atau pengacara, yang sudah diakui sebagai beban dalam laporan keuangan bulanan atau tahunan perusahaan (prinsip akrual), meskipun tagihannya (invoice) belum lunas dibayarkan kepada penyedia jasa. Memahami konsep “saat terutang” adalah fondasi untuk menghindari sanksi pajak di masa depan.

Mengapa Pemahaman Ini Penting bagi Kepatuhan dan Keuangan Bisnis Anda

Mengabaikan kewajiban pemotongan PPh Pasal 23 pada saat biaya diakui sebagai beban terutang dapat menimbulkan sanksi administrasi berupa denda dan bunga keterlambatan penyetoran. Kesalahan timing ini juga berisiko menyebabkan koreksi fiskal, di mana biaya jasa profesional yang tidak dipotong pajaknya tidak dapat diakui sebagai pengurang penghasilan bruto (deductible expense) dalam perhitungan Pajak Penghasilan Badan. Oleh karena itu, artikel ini didedikasikan untuk memberikan panduan langkah demi langkah yang jelas dan terstruktur untuk memastikan kepatuhan pajak Anda dalam mengelola biaya jasa profesional yang masih terutang, sehingga operasional keuangan bisnis berjalan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Dasar Hukum dan Prinsip Akrual dalam Pemotongan PPh Pasal 23

Pemahaman mengenai kapan sebenarnya kewajiban memotong Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 atas biaya jasa profesional timbul adalah kunci untuk menghindari sanksi dan memastikan kepatuhan. Prinsip akuntansi akrual memiliki peran sentral dalam menentukan waktu (timing) pemotongan pajak ini, khususnya untuk biaya jasa profesional yang masih dibayar (utang jasa). Perusahaan harus berpegangan pada kaidah bahwa pemotongan wajib dilakukan saat biaya jasa tersebut secara sah diakui sebagai beban, bukan hanya saat dana kas keluar.

Kapan Biaya Jasa Profesional Dianggap Terutang (Timing Pemotongan Pajak)

Kewajiban pemotongan PPh Pasal 23 tidak terikat tunggal pada tanggal pembayaran kas. Berdasarkan peraturan perpajakan, PPh Pasal 23 terutang pada saat yang paling awal terjadi dari tiga kondisi berikut: saat pembayaran, saat disediakan (diakui sebagai biaya/beban), atau saat jatuh tempo pembayaran. Untuk biaya jasa profesional yang telah diterima atau diakui sebagai beban pada laporan laba rugi perusahaan, prinsip akrual menempatkan momen ‘disediakan’ atau ’terutang’ sebagai pemicu kewajiban pemotongan.

Untuk memberikan kerangka kerja yang andal dan otoritatif, merujuk pada ketentuan yang mengatur hal ini adalah esensial. Pasal 15 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 141/PMK.03/2015 secara eksplisit mengatur bahwa:

“Saat terutangnya PPh Pasal 23 dan PPh Pasal 26 adalah pada saat pembayaran, saat disediakannya untuk dibayarkan, atau saat jatuh tempo pembayaran, tergantung peristiwa mana yang terjadi terlebih dahulu.”

Hal ini menunjukkan bahwa bahkan jika perusahaan belum mengeluarkan uang kas (masih berstatus utang), jika jasa sudah selesai dan diakui sebagai beban (disediakan untuk dibayarkan), kewajiban pemotongan PPh Pasal 23 sudah harus dilakukan. Tarif pemotongan PPh Pasal 23 untuk jasa profesional umum adalah sebesar 2% dari jumlah penghasilan bruto (Dasar Pengenaan Pajak/DPP).

Daftar Jenis Jasa Profesional yang Wajib Dipotong PPh Pasal 23

PPh Pasal 23 wajib dipotong atas pembayaran (atau pengakuan utang) atas berbagai jenis jasa. Peraturan perpajakan (PMK 141/PMK.03/2015) merinci lebih dari 60 jenis jasa, namun kategori yang paling sering dijumpai dalam biaya jasa profesional dan wajib dipotong 2% meliputi:

  • Jasa Konsultan: Termasuk konsultan manajemen, hukum, teknik, dan akuntansi/perpajakan.
  • Jasa Penilai (Appraisal): Jasa yang dilakukan oleh penilai independen.
  • Jasa Aktuaris: Layanan yang berkaitan dengan perhitungan risiko dan premi asuransi.
  • Jasa Akuntansi, Pembukuan, dan Atestasi Laporan Keuangan: Jasa profesional yang berkaitan dengan penyusunan dan pemeriksaan laporan keuangan.
  • Jasa Perancang (Design): Meliputi desain interior, lansekap, dan arsitektur.
  • Jasa Pemasangan/Instalasi: Khususnya untuk aset tetap yang dilakukan oleh penyedia jasa non-konstruksi.

Setiap transaksi atas jasa-jasa ini, segera setelah diakui sebagai beban sesuai prinsip akrual, harus diikuti dengan pemotongan PPh Pasal 23 sebesar 2% dari nilai brutonya, terlepas dari apakah invoice telah dilunasi atau masih menjadi utang.

Metode Penghitungan PPh Pasal 23 Atas Jasa yang Belum Dibayar

Memahami kapan suatu biaya jasa profesional diakui sebagai beban (terutang) adalah langkah awal yang krusial. Namun, kepatuhan yang sebenarnya terletak pada ketepatan menghitung besaran Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 yang wajib dipotong, bahkan jika pembayaran kepada penyedia jasa belum dilakukan. Perhitungan yang salah dapat memicu sanksi dan koreksi fiskal yang signifikan.

Langkah 1: Mengidentifikasi Dasar Pengenaan Pajak (DPP) yang Benar

Dasar Pengenaan Pajak (DPP) adalah nilai bruto imbalan jasa yang menjadi basis perhitungan PPh Pasal 23. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan, yang dimaksud dengan jumlah bruto adalah seluruh jumlah penghasilan yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya.

Penting untuk diketahui bahwa DPP untuk pemotongan PPh Pasal 23 adalah jumlah bruto imbalan jasa yang tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Selain itu, biaya penggantian (reimbursement) yang dibayarkan kepada pihak ketiga dan dibuktikan dengan dokumen yang sah (faktur, kuitansi, dsb.) juga dikecualikan dari jumlah bruto yang dikenai potongan PPh Pasal 23. Keahlian teknis dalam memilah komponen DPP sangat menentukan keakuratan pemotongan.

Untuk memperjelas skenario DPP yang benar, berikut adalah tabel perbandingan yang menunjukkan bagaimana PPN dan reimbursement memengaruhi nilai DPP:

Skenario Transaksi Nilai Total Tagihan Komponen PPN Komponen Reimbursement (Bukti Sah) Dasar Pengenaan Pajak (DPP) PPh 23
1: Jasa Saja Rp 11.000.000 Rp 1.000.000 Rp 0 Rp 10.000.000
2: Jasa + PPN Rp 12.100.000 Rp 1.100.000 Rp 0 Rp 11.000.000
3: Jasa + Reimbursement Rp 15.000.000 Rp 0 Rp 5.000.000 Rp 10.000.000
4: Jasa + PPN + Reimbursement Rp 16.100.000 Rp 1.100.000 Rp 5.000.000 Rp 10.000.000

Langkah 2: Menghitung Besaran PPh Pasal 23 Terutang (Tarif 2%)

Setelah DPP yang benar diidentifikasi, langkah berikutnya adalah menerapkan tarif PPh Pasal 23 yang berlaku untuk jenis jasa profesional.

Secara umum, tarif PPh Pasal 23 untuk jasa profesional yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan adalah 2% dari jumlah bruto atau DPP. Perhitungan ini harus dilakukan segera setelah biaya jasa diakui sebagai beban (terutang), terlepas dari apakah faktur tersebut sudah jatuh tempo atau belum dibayar.

Formula penghitungan PPh Pasal 23 Terutang adalah sebagai berikut:

$$\text{PPh Pasal 23 Terutang} = 2% \times \text{DPP}$$

Contoh Kasus:

Misalkan pada tanggal 25 November perusahaan Anda menerima dan mengakui beban atas tagihan jasa konsultasi (termasuk kategori jasa profesional) sebesar Rp 10.000.000 (tidak termasuk PPN, dan tidak ada biaya reimbursement). Walaupun tagihan tersebut baru akan dibayar pada bulan Januari tahun berikutnya, PPh Pasal 23 sudah terutang pada bulan November.

  • DPP: Rp 10.000.000
  • Tarif: 2%
  • PPh Pasal 23 Terutang: $2% \times \text{Rp } 10.000.000 = \text{Rp } 200.000$

Jumlah Rp 200.000 inilah yang wajib dipotong, disetor (paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya), dan dilaporkan (paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya) oleh perusahaan Anda.

Risiko dan Sanksi Tidak Memotong PPh Pasal 23 Secara Tepat Waktu

Kegagalan untuk memotong, menyetor, dan melaporkan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 yang terutang, terutama atas biaya jasa profesional yang masih dibayar (diakui secara akrual), dapat membawa serangkaian konsekuensi hukum dan fiskal yang signifikan bagi Wajib Pajak Badan. Memahami risiko ini adalah kunci untuk menjaga kesehatan finansial dan kepatuhan perusahaan Anda.

Konsekuensi Hukum dan Denda Keterlambatan Penyetoran dan Pelaporan

Kepatuhan terhadap batas waktu penyetoran dan pelaporan PPh Pasal 23 adalah hal yang mutlak. Keterlambatan dalam penyetoran PPh terutang dapat dikenai sanksi administrasi berupa bunga. Sanksi bunga ini dihitung berdasarkan ketentuan yang berlaku, terhitung sejak tanggal jatuh tempo penyetoran (tanggal 10 bulan berikutnya) hingga tanggal pembayaran dilakukan. Dengan kata lain, setiap hari keterlambatan akan menambah beban finansial pada utang pajak Anda.

Lebih lanjut, sanksi administrasi lainnya, seperti denda kenaikan, diatur secara rinci dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP). Pelanggaran terhadap kewajiban pemotongan, penyetoran, dan pelaporan dapat berujung pada dilakukannya pemeriksaan pajak oleh otoritas perpajakan. Pemeriksaan ini akan menguji seluruh transaksi terkait jasa profesional dan dapat menghasilkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) dengan denda dan kekurangan bayar yang signifikan.

Implikasi Biaya Jasa yang Tidak Dipotong PPh Terhadap Beban Perusahaan

Salah satu implikasi fiskal terberat dari tidak memotong PPh Pasal 23 secara tepat waktu adalah hilangnya hak untuk mengklaim biaya jasa tersebut sebagai beban yang dapat dikurangkan (deductible expense) dalam perhitungan Pajak Penghasilan Badan. Sesuai prinsip akuntansi pajak, perusahaan yang bertindak sebagai pemotong wajib pajak, namun lalai melaksanakan kewajiban tersebut, akan menghadapi koreksi fiskal.

Berdasarkan pengalaman kami dalam menangani kasus koreksi fiskal, otoritas pajak secara konsisten berpendapat bahwa biaya jasa yang tidak dipotong PPh 23 tidak akan diakui sebagai biaya pengurang penghasilan bruto perusahaan pemotong. Ini berarti, perusahaan Anda akan dikenakan dua kali kerugian: pertama, harus membayar PPh 23 yang seharusnya dipotong, ditambah sanksi; dan kedua, terjadi peningkatan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) PPh Badan karena biaya tersebut dikoreksi menjadi non-deductible expense. Dampaknya adalah naiknya PPh Badan yang harus dibayar perusahaan Anda, menyoroti betapa krusialnya ketelitian dalam mengelola kewajiban pemotongan pajak ini.

Prosedur Administrasi: Penyetoran, Pelaporan, dan Bukti Potong PPh 23

Setelah Wajib Pajak (WP) badan atau bentuk usaha lainnya melakukan pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 atas biaya jasa profesional yang telah diakui sebagai beban (terutang), langkah selanjutnya adalah menyelesaikan kewajiban administrasi, yang meliputi penyetoran, pelaporan, dan penerbitan bukti potong. Kepatuhan pada prosedur ini sangat vital untuk menghindari sanksi administratif dan memastikan akuntabilitas fiskal.

Cara Penyetoran PPh Pasal 23 Terutang Melalui e-Billing (Maksimal Tanggal 10)

Kewajiban utama pemotong pajak adalah menyetorkan PPh Pasal 23 yang telah dipotong paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir. Proses penyetoran ini wajib dilakukan melalui sistem e-Billing yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

Untuk memastikan penyetoran yang tepat, WP wajib menggunakan kode Klasifikasi Akun Pajak (KAP) dan Kode Jenis Setoran (KJS) yang benar. Khusus untuk PPh Pasal 23 atas jasa, Wajib Pajak wajib menyetor PPh yang dipotong menggunakan Kode Akun Pajak 411124 (jenis pajak PPh Pasal 23) dan Kode Jenis Setoran (KJS) 104 (untuk pemotongan atas penghasilan berupa jasa, sewa, dan imbalan lain). Setelah e-Billing dibuat dan pembayaran dilakukan, WP akan menerima bukti setoran berupa Surat Setoran Pajak (SSP) yang tervalidasi.

Tata Cara Pelaporan SPT Masa PPh Pasal 23 (Maksimal Tanggal 20)

Setelah penyetoran, kewajiban selanjutnya adalah pelaporan melalui Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPh Pasal 23. Pelaporan ini harus disampaikan paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir. Pelaporan ini mencakup seluruh transaksi pemotongan dan penyetoran yang terjadi dalam satu masa pajak.

Sejalan dengan upaya pemerintah dalam digitalisasi dan peningkatan kepatuhan, Bukti Potong PPh Pasal 23 kini wajib dibuat melalui aplikasi e-Bupot yang tersedia di DJP Online. Setelah pemotongan dilakukan dan dilaporkan melalui SPT Masa, Wajib Pajak harus menerbitkan bukti potong tersebut dan menyerahkannya kepada penyedia jasa (penerima penghasilan). Bukti potong ini berfungsi sebagai kredit pajak bagi penerima penghasilan yang akan mereka gunakan saat menghitung PPh Tahunan mereka.

Untuk menunjukkan otoritas dan keahlian teknis dalam proses ini, berikut adalah langkah-langkah rinci penggunaan fitur e-Bupot DJP Online:

  1. Akses dan Login: Wajib Pajak Pemotong mengakses portal DJP Online dan login menggunakan NPWP dan password.
  2. Akses e-Bupot: Pilih menu “e-Bupot” dan pastikan sertifikat elektronik telah terinstal dengan benar.
  3. Input Data Transaksi: Masukkan data transaksi jasa profesional, termasuk NPWP penyedia jasa, nilai bruto imbalan jasa (DPP), dan tarif (2% atau 4%). Pastikan data ini sesuai dengan jurnal akrual biaya.
  4. Draft Bukti Potong: Setelah data dimasukkan, sistem akan membuat draft bukti potong PPh Pasal 23 secara otomatis.
  5. Penandatanganan Elektronik: Lakukan penandatanganan bukti potong secara elektronik menggunakan passphrase sertifikat elektronik.
  6. Penerbitan dan Penyerahan: Bukti potong yang sudah ditandatangani akan berstatus “Siap dilaporkan”. Bukti potong softcopy (format PDF) ini kemudian diserahkan kepada penyedia jasa melalui email atau media lain sebagai dasar mereka mengkreditkan pajak.
  7. Pelaporan SPT Masa: Semua bukti potong yang telah diterbitkan akan secara otomatis masuk ke dalam SPT Masa PPh Pasal 23 yang siap dilaporakan melalui sistem e-Filing DJP Online.

Proses yang terstruktur dan didukung oleh sistem digital ini memastikan bahwa pemotongan pajak atas biaya jasa profesional yang masih dibayar tidak hanya dipotong tepat waktu, tetapi juga disetorkan dan dilaporkan dengan akurat, sehingga memelihara kredibilitas fiskal perusahaan.

Strategi Optimalisasi Kepatuhan Pajak atas Jasa Profesional: Meminimalkan Risiko

Mengelola kewajiban perpajakan atas biaya jasa profesional yang masih dibayar membutuhkan lebih dari sekadar pemahaman tarif; hal ini menuntut sistem dan pengendalian internal yang kuat. Strategi yang proaktif akan secara signifikan mengurangi risiko sanksi dan koreksi fiskal, menjaga reputasi baik perusahaan dalam hal kepatuhan.

Penerapan Sistem Akuntansi dan Pengendalian Internal yang Kuat

Fondasi dari kepatuhan PPh Pasal 23 yang efektif terletak pada sistem akuntansi yang mampu membedakan dengan jelas berbagai jenis transaksi. Sangat penting untuk memiliki sistem yang memisahkan biaya jasa dengan biaya penggantian (reimbursement). Biaya jasa adalah objek pemotongan PPh Pasal 23, sementara biaya reimbursement (seperti biaya tiket perjalanan atau akomodasi yang dibayarkan di muka oleh penyedia jasa) tidak. Namun, agar pemisahan ini sah di mata fiskal, biaya reimbursement tersebut harus didukung oleh faktur atau bukti pendukung pihak ketiga yang sah dan dialamatkan kepada perusahaan penerima jasa, bukan kepada penyedia jasa. Ketidakmampuan memisahkan kedua elemen ini sering menjadi titik lemah yang berujung pada koreksi fiskal.

Untuk memberikan jaminan yang dapat dipercaya mengenai keakuratan pemotongan PPh Pasal 23, kami merekomendasikan frekuensi audit internal triwulanan. Audit ini berfungsi untuk membandingkan jurnal akrual biaya jasa dengan realisasi pemotongan PPh Pasal 23 yang telah disetor dan dilaporkan. Proses ini memastikan bahwa setiap beban jasa yang diakui dalam laporan laba rugi (prinsip akrual) telah diimbangi dengan kewajiban pemotongan PPh Pasal 23 yang tepat waktu, sebuah praktik yang sangat dihargai oleh otoritas pajak dalam menunjukkan keandalan (Reliability) Wajib Pajak.

Mekanisme Verifikasi Bukti Dukung Jasa untuk Menghindari Koreksi

Verifikasi dokumen sebelum pembayaran atau pencatatan utang adalah mekanisme pertahanan pertama perusahaan terhadap potensi koreksi. Salah satu detail krusial yang sering terabaikan adalah identitas penyedia jasa. Pastikan setiap invoice jasa mencantumkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) penyedia jasa.

Berdasarkan peraturan perundang-undangan pajak, jika penyedia jasa tidak mencantumkan atau tidak memiliki NPWP, Wajib Pajak yang melakukan pemotongan wajib memotong PPh Pasal 23 dengan tarif 100% lebih tinggi, yaitu 4% dari jumlah bruto. Hal ini merupakan kenaikan yang signifikan dibandingkan tarif normal 2%. Oleh karena itu, bagian Account Payable perusahaan harus menjadikan verifikasi NPWP sebagai langkah wajib dalam proses penerimaan invoice jasa untuk menghindari beban pajak yang tidak perlu dan meningkatkan transparansi dalam setiap transaksi jasa profesional.

Pertanyaan Umum Seputar PPh Pasal 23 Jasa yang Masih Dibayar

Q1. Apakah PPh Pasal 23 harus tetap dipotong jika penyedia jasa tidak memiliki NPWP?

Ya, kewajiban pemotongan PPh Pasal 23 atas imbalan jasa tetap wajib dilakukan oleh pemberi kerja, terlepas dari apakah penyedia jasa memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atau tidak. Prinsip ini diatur secara tegas dalam ketentuan perpajakan di Indonesia.

Namun, terdapat perbedaan signifikan pada tarif pemotongan yang diterapkan. Sesuai dengan peraturan yang berlaku, jika penerima penghasilan (penyedia jasa) tidak dapat menunjukkan NPWP, maka tarif PPh Pasal 23 yang dipotong akan menjadi 100% lebih tinggi dari tarif normal.

Untuk jasa profesional umum, tarif normalnya adalah 2% dari Dasar Pengenaan Pajak (DPP) atau jumlah bruto. Apabila penyedia jasa tidak memiliki NPWP, maka tarif yang harus dipotong menjadi $2% \times 200% = 4%$ dari jumlah bruto. Hal ini bertujuan untuk mendorong kepatuhan penyedia jasa dalam mendaftarkan diri sebagai Wajib Pajak. Perusahaan yang melakukan pemotongan dengan tarif yang salah karena tidak memperhatikan kelengkapan NPWP dapat dikenai sanksi dan kekurangan bayar saat audit.

Q2. Apa perbedaan antara PPh Pasal 23 Jasa dan PPh Final Pasal 4 ayat 2?

Meskipun keduanya adalah jenis Pajak Penghasilan yang dikenakan melalui mekanisme pemotongan, PPh Pasal 23 Jasa dan PPh Final Pasal 4 ayat 2 memiliki perbedaan mendasar dalam sifatnya, objek pajaknya, dan implikasinya bagi Wajib Pajak. Pemahaman tentang perbedaan ini sangat penting untuk pelaporan pajak yang akurat dan kredibel.

Kriteria Pembeda PPh Pasal 23 Atas Jasa PPh Final Pasal 4 Ayat (2)
Sifat Pajak Tidak Final (Kredit Pajak) Final
Definisi Sifat Jumlah PPh yang dipotong dapat diperhitungkan sebagai kredit pajak (pengurang PPh terutang) bagi penerima penghasilan pada akhir tahun pajak. Jumlah PPh yang dipotong/dibayar dianggap sudah melunasi seluruh kewajiban pajak atas penghasilan tersebut. Penghasilan tersebut tidak digabungkan dengan penghasilan lain saat menghitung PPh Tahunan.
Objek Pajak Utama Imbalan sehubungan dengan jasa manajemen, jasa konsultan, jasa teknik, jasa profesional lainnya, dan sewa selain sewa tanah dan/atau bangunan. Penghasilan dari sewa atas tanah dan/atau bangunan, pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, hadiah undian, dan penghasilan dari jasa konstruksi tertentu.

Secara ringkas, pemotongan PPh Pasal 23 atas biaya jasa profesional yang masih terutang adalah pemotongan tidak final, yang berarti penyedia jasa dapat menggunakan bukti potong yang mereka terima untuk mengurangi total PPh terutang mereka. Sebaliknya, PPh Final Pasal 4 ayat (2), seperti yang dikenakan pada sewa kantor (bangunan), adalah pajak yang dianggap telah selesai setelah dipotong, dan penghasilan tersebut tidak akan dikenakan pajak lagi.

Final Takeaways: Memastikan Kepatuhan Pajak Biaya Jasa di Tahun Ini

3 Langkah Kunci untuk Pengelolaan PPh 23 Terutang yang Efektif

Mengelola PPh Pasal 23 atas biaya jasa profesional memerlukan perhatian pada prinsip akuntansi dan regulasi pajak. Prinsip krusial yang harus selalu dipegang adalah bahwa PPh Pasal 23 terutang pada saat terutangnya biaya (prinsip akrual), bukan hanya pada saat pembayaran kas dilakukan. Ini berarti, begitu Anda mengakui biaya jasa dalam laporan laba rugi, kewajiban pemotongan PPh 23 sudah timbul, terlepas dari status Accounts Payable (utang usaha) Anda. Untuk memastikan kepatuhan yang tinggi dan membangun kepercayaan (trust) oleh otoritas pajak:

  1. Tetapkan Tanggal Terutang: Identifikasi dan catat tanggal terutang PPh 23 berdasarkan pengakuan beban atau tanggal jatuh tempo pembayaran (mana yang lebih dulu).
  2. Verifikasi DPP: Pastikan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) yang digunakan adalah jumlah bruto yang benar, mengecualikan PPN dan reimbursement yang didukung bukti sah.
  3. Gunakan e-Bupot: Segera buat dan serahkan Bukti Potong melalui e-Bupot DJP Online agar penerima penghasilan dapat mengkreditkan pajak tersebut.

Langkah Berikutnya: Audit Internal PPh 23 Anda

Untuk menghindari sanksi dan koreksi fiskal yang mahal, langkah terbaik adalah proaktif. Anda perlu melakukan verifikasi berkala atas saldo utang jasa di neraca—idealnya, pada akhir setiap triwulan. Verifikasi ini bertujuan untuk membandingkan semua utang jasa yang sudah diakui sebagai beban dengan kewajiban PPh Pasal 23 yang sudah Anda setor. Memastikan semua kewajiban PPh 23 telah dipenuhi dan disetor tepat waktu adalah praktik terbaik dalam demonstrasi pengalaman dan keahlian (expertise) di bidang perpajakan korporat, yang secara langsung meminimalkan risiko pemeriksaan dan denda keterlambatan penyetoran.

Jasa Pembayaran Online
💬