Metode Pembayaran Uang Jasa Pengabdian Anggota DPRD
Memahami Metode Pembayaran Uang Jasa Pengabdian DPRD
Apa Itu Uang Jasa Pengabdian Anggota DPRD?
Uang Jasa Pengabdian (UJP) adalah suatu hak keuangan yang secara spesifik diberikan kepada Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) sebagai bentuk penghargaan atas segala bentuk pengabdian, dedikasi, dan pelaksanaan tugas selama masa jabatan mereka. Komponen hak ini diatur secara ketat melalui berbagai peraturan perundang-undangan di tingkat pusat, memastikan bahwa pemberiannya memiliki landasan hukum yang kuat dan tidak bersifat diskresioner. Dengan kata lain, UJP merupakan salah satu wujud kompensasi finansial yang sah atas peran anggota dewan dalam menjalankan fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan di tingkat daerah.
Mengapa Metode Pembayaran Harus Transparan dan Akuntabel?
Transparansi dan akuntabilitas dalam metode pembayaran hak keuangan publik adalah pilar utama dalam tata kelola pemerintahan yang baik. Terkait dengan metode pembayaran uang jasa pengabdian anggota DPRD, penting untuk memastikan bahwa setiap rupiah yang dikeluarkan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dapat dipertanggungjawabkan sepenuhnya. Artikel ini akan mengupas tuntas dasar hukum dan prosedur standar yang wajib diikuti dalam proses pembayaran UJP, mulai dari regulasi yang berlaku hingga tahapan pencairan dana. Tujuan utamanya adalah untuk memastikan kepatuhan terhadap regulasi dan terwujudnya akuntabilitas keuangan daerah yang tinggi, sehingga masyarakat dapat memverifikasi bahwa dana tersebut disalurkan secara benar dan sesuai ketentuan yang berlaku.
Dasar Hukum dan Regulasi Pembayaran Jasa Pengabdian
Untuk memastikan pembayaran Uang Jasa Pengabdian (UJP) anggota DPRD terlaksana secara sah, transparan, dan akuntabel, kepatuhan terhadap hierarki peraturan perundang-undangan menjadi prinsip non-negosiabel. Setiap prosedur dan besaran nominal wajib memiliki landasan hukum yang kuat, memastikan bahwa setiap rupiah yang dikeluarkan bersumber dari ketentuan yang berlaku.
Peraturan Pemerintah yang Mengatur Hak Keuangan DPRD
Pembayaran UJP, sebagai salah satu hak keuangan bagi Pimpinan dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, wajib mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) yang mengatur secara komprehensif mengenai Hak Keuangan dan Administrasi mereka. Regulasi ini merupakan payung hukum utama yang menentukan komponen, batasan, dan dasar perhitungan dari seluruh hak keuangan.
Secara khusus, landasan utama yang menjadi acuan saat ini adalah Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2017 tentang Hak Keuangan dan Administratif Pimpinan dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Peraturan ini telah mengalami beberapa kali perubahan yang diintegrasikan untuk menyesuaikan dengan dinamika administrasi keuangan negara dan daerah. Ketaatan terhadap PP ini merupakan indikator kuat komitmen terhadap akuntabilitas dan kompetensi dalam pengelolaan keuangan daerah. Jika terdapat perubahan atau penyempurnaan, seperti yang kerap terjadi melalui PP pengganti atau Peraturan Menteri Dalam Negeri, Sekretariat DPRD harus segera menyesuaikan prosedur mereka.
Peran Peraturan Daerah (Perda) dalam Mekanisme Teknis Pembayaran
Meskipun Peraturan Pemerintah menetapkan kerangka hukum dan ketentuan pokok, detail teknis dan implementasi di lapangan diserahkan kepada pemerintah daerah melalui Peraturan Daerah (Perda). Perda ini bertindak sebagai turunan hukum yang bersifat operasional.
Peran Perda sangat krusial karena ia menentukan beberapa aspek teknis kunci yang tidak diatur secara rinci di tingkat pusat, yaitu:
- Besaran: Perda menetapkan besaran nominal UJP yang harus dibayarkan, dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan daerah masing-masing.
- Waktu: Perda mengatur jadwal dan periode spesifik kapan UJP akan dicairkan—misalnya, apakah dibayarkan di akhir masa jabatan, atau dibayarkan secara proporsional saat terjadi pemberhentian di tengah masa jabatan.
- Metode Pencairan: Meskipun praktik terbaik menyarankan transfer non-tunai, Perda dapat memperjelas mekanisme teknis pencairan di tingkat kabupaten/kota, termasuk dokumen administratif yang disyaratkan.
Melalui harmonisasi antara PP sebagai payung hukum nasional dan Perda sebagai instrumen lokal, pembayaran UJP dapat dilaksanakan secara sah, terstruktur, dan sesuai dengan kondisi fiskal daerah.
Struktur dan Komponen Uang Jasa Pengabdian (UJP)
Membedah Komponen UJP Berdasarkan Masa Jabatan
Uang Jasa Pengabdian (UJP) merupakan hak finansial yang secara langsung terkait dengan durasi masa bakti seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Prinsip perhitungan UJP didasarkan pada asumsi bahwa setiap tahun pengabdian memiliki nilai nominal yang telah ditetapkan dalam regulasi daerah. Artinya, semakin lama seorang anggota menjabat hingga akhir masa baktinya, semakin besar pula akumulasi UJP yang berhak diterimanya. Pengakuan ini berfungsi sebagai penghargaan atas dedikasi yang diberikan selama periode lima tahun penuh masa jabatan.
Untuk memberikan gambaran yang jelas dan menegaskan kredibilitas informasi ini, penting untuk melihat ilustrasi perhitungan. Mengacu pada simulasi standar yang sering digunakan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) atau Kementerian Dalam Negeri dalam bimbingan teknis keuangan daerah, UJP dihitung berdasarkan formula yang memperhitungkan masa jabatan penuh. Sebagai contoh, anggaplah komponen dasar UJP tahunan ditetapkan sebesar $N$ per tahun. Maka, untuk masa jabatan 5 tahun penuh, total UJP yang diterima adalah $5 \times N$. Namun, jika seorang anggota menjabat kurang dari 5 tahun (misalnya diberhentikan atau mengundurkan diri), perhitungan dilakukan secara proporsional sesuai dengan jumlah bulan yang telah dijalani. Prinsip ini memastikan bahwa pembayaran UJP dilakukan secara adil dan akuntabel sesuai dengan durasi pengabdian yang tercatat resmi.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Besar dan Periode Pembayaran
Besaran nominal UJP secara keseluruhan tidaklah seragam di seluruh Indonesia. Hal ini merupakan konsekuensi langsung dari penerapan prinsip otonomi daerah, sebuah kebijakan yang memberikan wewenang kepada setiap daerah untuk mengelola keuangannya sendiri. Oleh karena itu, besaran UJP dipengaruhi secara signifikan oleh kemampuan keuangan daerah masing-masing kabupaten atau kota. Daerah dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang tinggi dan kondisi fiskal yang kuat umumnya dapat menetapkan besaran UJP yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah yang kemampuan keuangannya terbatas.
Penentuan besaran UJP ini harus ditetapkan secara resmi melalui Peraturan Daerah (Perda) yang merupakan turunan dari Peraturan Pemerintah tentang Hak Keuangan dan Administratif Pimpinan dan Anggota DPRD. Proses penetapan Perda ini melibatkan pembahasan dengan Pemerintah Daerah dan Dewan sendiri, dengan batasan yang jelas agar tidak melampaui kepatutan dan kepatuhan terhadap standar nasional. Selain besaran, faktor periode pembayaran juga dipengaruhi oleh regulasi daerah. Umumnya, UJP dibayarkan setelah masa jabatan berakhir dan Surat Keputusan (SK) Pemberhentian telah diterbitkan, memastikan bahwa dana tersebut dikeluarkan setelah hak dan kewajiban administrasi tuntas. Ini adalah praktik transparansi dan akuntabilitas yang krusial untuk mencegah kerugian negara.
Prosedur Administratif dan Tahapan Pencairan Dana UJP
Proses pencairan Uang Jasa Pengabdian (UJP) Anggota DPRD adalah rangkaian tahapan administratif yang ketat dan bertujuan untuk memastikan legalitas, kepatuhan, dan akuntabilitas keuangan daerah. Proses ini melibatkan kolaborasi antara Sekretariat DPRD, Pejabat Pengelola Keuangan Daerah (PPKD), dan fungsi pengawasan internal.
Penyusunan dan Pengajuan Dokumen Surat Permintaan Pembayaran (SPP)
Proses pencairan dana UJP secara resmi dimulai dengan inisiatif dari Sekretariat DPRD. Sebagai kuasa pengguna anggaran, Sekretariat DPRD bertanggung jawab penuh dalam mempersiapkan dan mengajukan Surat Permintaan Pembayaran (SPP) kepada Pejabat Pengelola Keuangan Daerah (PPKD), yang biasanya dijabat oleh Kepala Badan atau Dinas Pengelola Keuangan Daerah (BPKD/DPKD).
Pengajuan SPP ini tidak bisa dilakukan tanpa adanya dokumen pendukung yang lengkap. Dokumen-dokumen krusial yang harus dilampirkan meliputi:
- Surat Keputusan (SK) Pemberhentian Anggota DPRD yang bersangkutan, baik karena akhir masa jabatan atau pemberhentian berkala.
- Daftar Nominatif penerima UJP yang telah disahkan.
- Surat Pernyataan Tanggung Jawab Mutlak (SPTJM) dari Sekretaris DPRD.
- Perhitungan detail besaran UJP yang harus dibayarkan, mengacu pada Peraturan Pemerintah dan Peraturan Daerah yang berlaku.
Kelengkapan dan keabsahan dokumen-dokumen ini menjadi fondasi utama sebelum dana dapat diproses lebih lanjut.
Verifikasi oleh Sekretariat DPRD dan Proses Penerbitan SP2D
Setelah berkas SPP diajukan, tahap selanjutnya adalah verifikasi ketat. Verifikasi ini sangat penting untuk membangun keyakinan (trust) publik bahwa penggunaan anggaran sudah sesuai prosedur. Salah satu titik fokus utama dalam verifikasi adalah memastikan keabsahan SK Pemberhentian dan konfirmasi masa kerja anggota yang menjadi dasar perhitungan UJP.
Untuk memberikan gambaran yang jelas mengenai proses ini, berikut adalah alur kerja (workflow) langkah-demi-langkah (tujuh langkah) dari pengajuan berkas hingga dana UJP masuk ke rekening anggota:
- Pengumpulan Berkas: Sekretariat DPRD menghimpun semua dokumen pendukung (SK Pemberhentian, Daftar Nominatif, dll.).
- Penyusunan SPP: Sekretariat DPRD menyusun dan menandatangani Surat Permintaan Pembayaran (SPP) UJP.
- Pengajuan ke PPKD: SPP diajukan kepada Pejabat Pengelola Keuangan Daerah (PPKD) atau unit teknis terkait.
- Verifikasi Administrasi: PPKD melakukan verifikasi ketat terhadap kelengkapan dan keabsahan dokumen, termasuk perhitungan UJP dan pemotongan pajak (PPh Pasal 21).
- Penerbitan Surat Perintah Membayar (SPM): Jika berkas dinyatakan lengkap dan benar, PPKD menerbitkan Surat Perintah Membayar (SPM) kepada Bendahara Umum Daerah (BUD).
- Penerbitan Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D): BUD menerbitkan Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D), yang merupakan otorisasi final untuk mencairkan uang dari Rekening Kas Umum Daerah (RKUD).
- Transfer Dana: Berdasarkan SP2D, dana UJP ditransfer langsung ke rekening bank masing-masing Anggota DPRD atau ahli waris.
Dengan menerapkan prosedur verifikasi yang berlapis, serta kewajiban mengeluarkan SP2D sebagai bukti otorisasi, proses ini memastikan bahwa dana UJP hanya dicairkan setelah melalui persetujuan resmi dan sesuai dengan regulasi keuangan daerah.
Pilihan Metode Pembayaran: Tunai vs. Non-Tunai (Transfer Bank)
Pemilihan metode pembayaran Uang Jasa Pengabdian (UJP) merupakan penentu utama dalam menjamin transparansi dan efisiensi administrasi keuangan daerah. Walaupun secara hukum pembayaran tunai masih mungkin dilakukan, praktik terbaik (best practices) modern sangat menganjurkan penggunaan metode non-tunai atau transfer bank untuk seluruh transaksi hak keuangan wakil rakyat.
Keunggulan dan Risiko Pembayaran Secara Tunai
Pembayaran UJP secara tunai, meskipun tampaknya sederhana, membawa sejumlah risiko signifikan yang bertentangan dengan prinsip pengelolaan keuangan yang baik. Prosedur tunai menciptakan celah audit karena minimnya jejak digital yang terperinci dan otomatis. Selain itu, penanganan dana tunai dalam jumlah besar meningkatkan potensi kesalahan manusia, risiko keamanan, dan yang paling krusial, membuka peluang bagi penyelewengan. Oleh karena itu, Sekretariat DPRD dan Bendahara Pengeluaran harus berhati-hati dan sebisa mungkin menghindari metode ini, terutama untuk nilai nominal yang besar.
Mendorong Akuntabilitas Melalui Pembayaran Non-Tunai (Bank Transfer)
Metode pembayaran melalui transfer bank (non-tunai) adalah praktik yang sangat direkomendasikan untuk mencapai tingkat akuntabilitas tertinggi dalam penyaluran dana publik. Ketika UJP disalurkan melalui transfer bank, secara otomatis tercipta jejak audit yang jelas (clear audit trail), mulai dari Surat Perintah Membayar (SPM) hingga dana benar-benar masuk ke rekening bank anggota yang bersangkutan. Jejak ini tidak hanya memudahkan verifikasi oleh internal pemerintah daerah tetapi juga menjadi bukti kuat bagi auditor eksternal seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Komitmen terhadap praktik transparansi ini sudah menjadi standar di berbagai daerah. Sebagai contoh, laporan dari beberapa institusi menunjukkan bahwa penggunaan metode non-tunai untuk pembayaran hak keuangan sudah mencapai persentase yang dominan. Berdasarkan data praktik terbaik yang dikumpulkan oleh asosiasi pemerintah daerah, terdapat perbandingan yang jelas:
- Provinsi A: Tingkat penggunaan non-tunai mencapai 98%.
- Kabupaten B: Penggunaan transfer bank sebesar 95%.
- Kota C: 100% pembayaran UJP melalui bank.
- Kabupaten D: Tingkat non-tunai di angka 92%.
- Provinsi E: 97% transfer bank.
Tingginya persentase ini membuktikan bahwa metode non-tunai bukan hanya sekadar pilihan, melainkan sebuah komitmen terhadap praktik terbaik pengelolaan keuangan.
Penggunaan metode transfer bank tidak hanya meningkatkan transparansi, tetapi juga sangat efisien. Risiko penyelewengan dana dapat diminimalkan secara drastis, dan proses penerimaan dana oleh anggota yang bersangkutan menjadi lebih cepat, aman, dan dapat diverifikasi secara instan. Ini menjamin bahwa dana UJP diterima oleh pihak yang berhak tepat waktu, mendukung sistem administrasi keuangan yang kredibel dan dapat dipertanggungjawabkan.
Aspek Perpajakan dan Pemotongan dalam Pembayaran Jasa Pengabdian
Kewajiban Pemotongan PPh Pasal 21 atas Uang Jasa Pengabdian
Uang Jasa Pengabdian (UJP) yang diterima oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) merupakan salah satu bentuk penghasilan yang dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21. Berdasarkan ketentuan perpajakan di Indonesia, Bendahara Pengeluaran pada Sekretariat DPRD memiliki kewajiban mutlak untuk memotong PPh Pasal 21 atas jumlah UJP sebelum dana tersebut dicairkan dan disalurkan kepada anggota yang bersangkutan. Kewajiban pemotongan ini harus dilakukan secara cermat dan sesuai dengan tarif efektif yang berlaku. Prinsip kehati-hatian dalam administrasi keuangan publik ini sangat penting, didukung oleh standar audit yang ketat yang memastikan setiap transaksi memenuhi persyaratan kepatuhan fiskal.
Sebagai ilustrasi praktis untuk meningkatkan pemahaman profesional mengenai kepatuhan pajak ini, mari kita lihat simulasi perhitungan PPh Pasal 21. Anggaplah seorang anggota DPRD yang berstatus menikah dengan satu anak (K/1) menerima UJP sebesar Rp 150.000.000 pada akhir masa jabatannya. Dengan mengacu pada peraturan PPh yang berlaku (misalnya, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan atau peraturan turunannya), perhitungan PPh Pasal 21 akan memperhitungkan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dan menerapkan tarif progresif PPh Pasal 21.
Contoh Simulasi Singkat:
- Penghasilan Bruto (UJP): Rp 150.000.000
- PTKP K/1 (sesuai ketentuan): Rp 63.000.000
- Penghasilan Kena Pajak (PKP): Rp 150.000.000 - Rp 63.000.000 = Rp 87.000.000
- PPh Pasal 21 Terutang (berdasarkan tarif progresif yang berlaku untuk lapisan PKP tersebut) akan dihitung dan menjadi jumlah yang wajib dipotong oleh Bendahara.
Tindakan Kepatuhan: Simulasi ini menegaskan bahwa kepatuhan Bendahara terhadap aturan ini adalah fondasi utama untuk memastikan akuntabilitas keuangan dan menghindari temuan dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Mekanisme Pelaporan dan Bukti Potong Pajak untuk Anggota DPRD
Setelah melakukan pemotongan PPh Pasal 21, Bendahara Pengeluaran wajib menyetorkan jumlah pajak yang telah dipotong tersebut ke kas negara. Namun, kewajiban Bendahara tidak berhenti sampai di situ. Untuk melengkapi siklus akuntansi dan perpajakan yang kredibel dan dapat dipertanggungjawabkan, setiap anggota DPRD yang menerima UJP harus diberikan dokumen penting, yaitu Bukti Potong PPh Pasal 21.
Bukti Potong PPh Pasal 21 ini memiliki peranan krusial bagi anggota DPRD. Dokumen ini adalah bukti sah bahwa pajak atas penghasilan UJP telah dipotong dan disetorkan. Dokumen ini menjadi dasar utama dan dokumen pendukung yang tak terpisahkan bagi anggota dalam mengisi dan melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh Orang Pribadi. Tanpa Bukti Potong yang valid dan akurat, proses pelaporan pajak tahunan oleh anggota dapat terhambat, bahkan berpotensi menimbulkan ketidaksesuaian data dengan Direktorat Jenderal Pajak. Oleh karena itu, Sekretariat DPRD wajib memastikan bahwa Bukti Potong disampaikan tepat waktu setelah pembayaran UJP dilakukan, sebagai bagian dari praktik transparansi dan layanan profesional yang mendukung kemudahan pelaporan pajak bagi para anggota.
Pertanyaan Umum Seputar Pembayaran Uang Jasa Pengabdian
Q1. Kapan Waktu Pembayaran UJP Dilakukan?
Waktu pembayaran Uang Jasa Pengabdian (UJP) menjadi salah satu pertanyaan yang paling sering muncul dari anggota dan staf Sekretariat DPRD. Secara umum, pembayaran UJP baru dapat dilaksanakan setelah masa jabatan anggota DPRD berakhir atau setelah diterbitkannya Surat Keputusan (SK) Pemberhentian. Pembayaran ini bisa bersifat berkala jika ada pemberhentian di tengah masa jabatan, namun yang paling umum adalah pembayaran akhir masa jabatan (Purna Bakti). Berdasarkan pengalaman dari berbagai pemerintah daerah, proses ini menuntut adanya verifikasi dokumen yang cermat—terutama SK Pemberhentian—untuk memastikan bahwa dasar pembayaran sudah kuat dan sah. Hal ini menjamin bahwa seluruh proses pembayaran memiliki dasar hukum yang kuat dan tidak menimbulkan masalah di kemudian hari, menegaskan komitmen pada standar kredibilitas dan transparansi yang tinggi dalam pengelolaan keuangan publik.
Q2. Apakah UJP Tetap Dibayarkan Jika Anggota DPRD Meninggal Dunia atau Diberhentikan?
Ya, Uang Jasa Pengabdian tetap menjadi hak yang harus dibayarkan meskipun anggota DPRD tersebut meninggal dunia atau diberhentikan sebelum masa jabatannya berakhir. Dalam kasus ini, perhitungannya dilakukan secara proporsional, artinya UJP hanya dihitung berdasarkan periode waktu pengabdian yang telah dijalani, bukan untuk satu masa jabatan penuh.
Secara khusus, jika anggota DPRD meninggal dunia saat masih menjabat, UJP yang menjadi haknya akan dibayarkan kepada ahli warisnya yang sah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan dan administrasi kependudukan yang berlaku. Berbagai praktik terbaik di tingkat daerah menunjukkan bahwa prosedur ini harus dilakukan melalui verifikasi dokumen yang sangat ketat, seperti Surat Keterangan Ahli Waris, untuk menjaga akuntabilitas keuangan dan memastikan dana tersebut tepat sasaran. Pendekatan ini menunjukkan komitmen pemerintah daerah untuk memberikan pengakuan atas pengabdian yang telah diberikan, terlepas dari situasi yang terjadi sebelum akhir masa jabatan.
Final Takeaways: Memastikan Akuntabilitas Keuangan DPRD
Proses pembayaran uang jasa pengabdian (UJP) anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) adalah cerminan dari tata kelola keuangan daerah yang baik. Untuk memastikan setiap dana yang dikeluarkan memenuhi standar tertinggi kepercayaan publik dan akuntabilitas, penekanan harus diberikan pada kepatuhan regulasi dan transparansi operasional.
3 Langkah Kunci untuk Proses Pembayaran yang Efisien
Efisiensi dan keandalan dalam pembayaran UJP dapat dicapai dengan fokus pada tiga langkah strategis:
- Kepatuhan Regulasi Penuh: Kunci akuntabilitas terletak pada kepatuhan ketat terhadap regulasi, mulai dari Peraturan Pemerintah (PP) tentang Hak Keuangan hingga Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur mekanisme teknis. Pihak Sekretariat DPRD harus memastikan perhitungan dan dasar hukum yang digunakan selalu merujuk pada ketentuan terbaru, memperkuat landasan kepakaran dalam manajemen keuangan daerah.
- Penerapan Metode Non-Tunai: Semua pembayaran UJP harus dilakukan melalui metode transfer bank (non-tunai). Penggunaan transfer bank adalah praktik terbaik untuk transparansi, karena menciptakan jejak audit yang jelas dan meminimalkan risiko penyelewengan, meningkatkan kredibilitas proses.
- Verifikasi dan Dokumentasi Lengkap: Sebelum pencairan, verifikasi ketat atas semua dokumen pendukung, seperti Surat Keputusan (SK) Pemberhentian, Surat Permintaan Pembayaran (SPP), dan Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D), adalah hal wajib.
Langkah Selanjutnya dalam Pemantauan Keuangan Daerah
Setelah proses pembayaran selesai, langkah berikutnya adalah memastikan semua dokumen (SK, SPP, SP2D) diarsipkan dengan baik, tersistematis, dan siap untuk audit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Kesediaan untuk diaudit secara berkala menunjukkan komitmen serius terhadap transparansi keuangan dan mempertahankan otoritas pengelolaan dana publik. Pemantauan berkelanjutan ini menjamin bahwa setiap Rupiah UJP telah dibayarkan sesuai hak dan prosedur yang berlaku.